❊ Dunia Baru ❊
«Ila»
Bergandengan kami masuk ke bagian belakang rumah keluarga Arman yang telah sunyi berkat sihir Karif yang bisa membuat badan kaku layaknya batu. Meski tidak bakal bertahan lama, setidaknya mengisi waktu bagi kami untuk mengobrol sejenak.
Kami tiba di taman. Pemandangan indah seperti di Vanam dulu, meski memang sedikit lebih jelek kalau boleh jujur.
Karif melepas genggaman. Dia berlutut kemudian memelukku dengan erat. "Dama cemas, takut kalau Ila diapakan."
Aku tersenyum dan membalas pelukannya. "Ila pasti aman. Bukannya Dama sudah mengajari? Ila tidak akan mengecewakan."
Karif tertawa kecil. Dia melepas pelukan kemudian kembali berdiri. "Tidak disangka mereka berhasil dijebak. Sekarang, kita tunggu si biang keladi itu, Frida."
Ingatanku kembali waktu beberapa hari sebelum di sini, ketika dia menawariku tentang perjalanan ke dunia luar dan informasi tentang para Penjaga sebagai bayarannya.
Dia pikir semudah itu mengelabuiku. Meski usiaku saat ini masih sepuluh tahun, aku tidak akan sebodoh itu.
Karif merentangkan otot. "Ah, leganya. Ayo, kita pergi. Serahkan saja semua kepada yang lain."
Kami berdua pun pergi.
***
Hampir saja terlambat. Aku tidak akan memberitahu rahasia tentang para Penjaga Vanam sekali pun. Bahkan jika lelaki itu mendesakku, aku tidak akan segan terus menolak meski harus diancam. Beraninya dia minta diceritakan tentang kelemahan para penciptaku. Mentang-mentang aku terlihat lugu. Untungnya Karif datang tepat waktu.
Di hari pertama ketika Frida menawariku kehidupan indah di sini, aku langsung tertarik. Dia ceritakan beberapa hal tentang dunia luar, perlahan tapi pasti, aku semakin bisa membayangkan bagaimana rupanya hidup di sana.
"Di Davan, semua makanan beragam dan kamu bisa makan enak setiap hari."
"Di dunia luar, lebih beragam rupa penghuni dan tempat tinggalnya, tidak hanya sebatas hutan saja."
Perlahan pula, Frida semakin tidak bisa mengendalikan bibir liarnya itu.
"Kamu tidak akan bosan dan menyesal keluar dari rimba ini. Kamu punya banyak potensi dan aku tidak akan membiarkan keempat binatang egois itu mengekang hingga memutus masa depan gemilang bagimu."
Frida kira, aku dikekang dan tidak bahagia di Vanam.
Aku memang mengaku bosan, namun aku tidak mungkin semudah itu tertipu dengan iming-iming keindahan di luar sana. Bisa jadi baginya semua bagai surga dunia, namun tidak bagiku.
"Di Davan, banyak orang yang membutuhkan sumber daya dari Vanam," kata Frida lagi. "Tapi, keempat Penjaga itu justru menahan kami. Padahal sumber dayanya dapat menyembuhkan luka bahkan penyakit paling berat sekali pun. Tapi, keegoisan menguasai, padahal mereka mana tahu cara menggunakannya."
Frida tidak tahu, bahwa kami selama ini tahu niat sesungguhnya dari keluarga penyihir itu.
Kami tahu mereka hanya menggunakannya untuk uang dan kekuasaan.
Karena kami belajar dari kisah lain, ketika hutan bebas dipakai sesukanya, malah tandus dan mereka justru semakin kaya, tanpa menanam kembali hutan tadi menjadi asri.
Frida kira, aku tidak tahu itu. Mengira semua yang terjadi selama sepuluh tahun ini hanya bermain tanpa mengetahui setiap risiko yang dihadapi apabila keluar dari Vanam? Dia kira aku hanya sekadar ditakuti.
"Kita harus memanfaatkan sumber daya dengan baik," ujar Frida dengan sorot mata berapi khas dia. "Kita tidak boleh menyimpan harta tanpa menggunakannya untuk kebaikan. Sayangnya, para penciptamu tidak tahu itu."
Sayangnya lagi, kamu tidak akan memanfaatkan harta itu dengan baik pula.
Aku tahu mereka tidak akan menggunakan hasil hutan ini demi kebaikan, terlebih rahasia Vanam kini jadi ilmu umum yang mana jelas orang awam pun akan mengerti.
Frida mungkin tidak tahu jika aku pada dasarnya mata orang tuaku-penciptaku.
Aku akan selalu menceritakan apa yang kutahu. Terlebih jika itu menyangkut kelangsungan Vanam.
Vanam harus dilindungi.
Harus selalu dilindungi.
"Maka, kamu bersedia ikut denganku?" Frida menatapku.
Maka, kujawab dengan mantap. "Aku ikut denganmu. Tapi, tunggu sampai besok."
Aku tinggalkan dia sendiri di tempat dia ditahan. Kembali tidur seakan tidak menyadari bahwa ada reaksi lain dariku selain mengiakan.
Aku kembali menghadap mereka setelah pertemuanku dengan Frida. "Aku bersedia ikut dengannya. Jika dia memang benar berniat baik, biarkan saja."
Dari sini kami memutuskan.
Jika Frida hidup dengan penuh gemilang tanpa memerhatikan rumah sekitar, maka sudah jelas dia berbohong. Hanya rumah keluarganya yang berdiri kokoh sementara sekitarnya hanya gubuk reyot. Mereka terlelal dalam istana sementara tetangganya meringkuk kelaparan. Keluarga itu makan hingga membuang sisanya, lalu dimakan rakyat lain yang kelaparan.
Dia kira Vanam bakal menjadi penghasil uang bagi mereka nanti. Namun, kami tidak akan memberikan apa pun kepada makhluk seperti itu. Mereka kejam, egois, hanya menginginkan harta dan abai dengan sekitarnya.
Ketika aku melangkahkan kaki ke Davan, aku langsung tahu bahwa tempat ini harus ada perbaikan.
Masalah utama, keluarga Penyihir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro