Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12: The Choice

Budi memangku kedua tangannya ke dagu, seperti yang biasa dilakukannya jika sedang berpikir. Matanya terus menatap Emily. Dia tak menyangka Emily akan meminta hal itu secepat ini.

"Jadi, kau sudah tahu?" tanya Budi.

Emily mengerutkan kening. "Tahu soal apa?"

Budi menghela napas panjang. Lalu dia mengangkat Holmes yang sibuk menjilat tubuhnya. Membuat kucing itu menggeram kesal. Anehnya dia tetap menurut dan membiarkan dirinya diangkat.

Budi menaruh Holmes di pangkuan Emily.

"Kau hilang ingatan." jawab Budi, akhirnya.

Emily terdiam. Beberapa detik kemudian dia tertawa keras.

"Mana mungkin!" ucapnya di sela tawa.

Tapi Budi hanya diam. Dia sama sekali tak menganggap bahwa itu lucu. Hingga akhirnya Emily berhenti tertawa dan menundukkan kepala.

"Malam tadi, Rinka cerita banyak soal orangtua." ucapnya.

"Lalu?"

"Dia bilang, ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan mobil. Saat itu dia merasa sangat kehilangan, tapi aku tak mengerti kenapa dia merasa sedih setelah bercerita tentang orangtua."

Emily mendongak dan pandangannya bersirobok dengan Budi. Lelaki itu tersenyum hangat. Entah kenapa membuat hatinya ikut menghangat. Seperti ada sesuatu yang mengisinya setelah lama dibiarkan kosong.

"Seperti yang kubilang, orangtua adalah sebutan bagi ayah dan ibu. Nah, keduanya adalah orang yang sangat berarti bagi seorang anak." Budi menjelaskan. Sesekali tangannya mengelus kepala Holmes. Yang membuat kucing hitam itu mendengkur senang.

"Oke, aku mulai paham." kata Emily.

"Jadi, kau bilang aku hilang ingatan kan?"

Budi mengangguk.

"Sepertinya kau benar, karena yang pertama kali kulihat adalah Tomi dan aku yang terbaring di atas tumpukan daun kering."

"Apakah kau berpakaian?"

Emily mengernyitkan kening. Lalu mengangguk. "Tentu saja!"

Budi menghela napas. Batinnya meneriakkan kata syukurlah! Hingga puluhan kali.

"Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Emily.

Budi menopang dagunya sekali lagi, seringaian mengembang di bibirnya yang tipis. Pupilnya yang kuning berbinar-binar penuh semangat. Lalu dia mengangkat tangannya dan memperlihatkan sebuah benda pada Emily.

"Bagaimana kalau kita mulai dari benda ini?"

Emily tersentak. Buru-buru dia menyentuh lehernya. Benda kesayangannya itu sudah menghilang dan liontin berwarna kuning terang itu kini ada di genggaman Budi.

+++++

"Kau berbakat jadi pencopet." ucap Emily.

Budi tersenyum licik. "Memang."

"Kenapa tidak dikembangkan?" tanya Emily.

Budi balik bertanya. "kau mau aku jadi penjahat?"

Emily menggeleng cepat. Jelas dia tidak mau. Sudah cukup dia berhadapan dengan ayah Budi yang juga penjahat, jangan sampai anaknya jadi penjahat juga.

Budi memberi selembar uang lima ribuan pada seorang sipir. Lalu dia menggenggam tangan Emily dan menuntun gadis itu. Penjara jelas bukan tempat yang ramah untuk anak-anak, terutama gadis polos seperti Emily.

"Kau mau menemui ayahmu kan?" tanya Emily.

Budi mengangguk pelan.

"Lalu kenapa pergi ke tempat ... Apa namanya?"

"Penjara."

"Ya, penjara ini maksudku."

Emily mengikuti Budi yang berbelok menuju sebuah kamar. Di pintu kamar itu tertulis kalimat dari bahasa yang tidak dimengerti Emily. Yang jelas kalimat itu bukan dari bahasa Indonesia.

Budi duduk di sebuah bangku besi, dia mempersilahkan Emily untuk duduk di sebelahnya. Dia lalu menekan bel yang ada di meja.

Emily melihat ke sekeliling. Ruangan itu cukup sempit. Hanya muat untuk dua buah kursi besi dan sebuah meja yang terbuat dari besi. Ukuran mejanya cukup besar. Anehnya, meja itu seolah sengaja dipisah dengan ruangan didepannya.

"Kenapa meja ini dibatasi kaca tebal?" tanya Emily.

"Ini ruangan khusus untuk bertemu dengan tahanan." jawab Budi.

"Lalu?"

Budi tersenyum senang. Dia senang jika ada orang yang suka bertanya, terutama tentang ilmu.

"Agar tahanan tidak bisa kabur tentunya." sahut Budi.

Emily mengangguk paham.

Tak lama kemudian, dua orang polisi berseragam masuk ke ruangan tersebut. Mereka mengapit seorang pria berpakaian oranye. Sekejap, Emily merasa bulu kuduknya meremang saat melihat pria itu.

Budi mengangkat telepon yang ada di meja. Begitu juga dengan pria itu.

"Halo Budi." sapa pria itu.

"Hai ... Ayah." balas Budi.

Emily mengernyit bingung. Kenapa harus pakai telepon? Pikirnya. Dia ingin bertanya tapi tidak jadi begitu melihat wajah Budi yang muram. Kelihatannya dia baru saja mendengar kabar buruk atau semacamnya. 

+++++

Malam sebelumnya, setelah pesta perayaan selesai.

Budi memeriksa kamar Roni dan Eko. Keduanya sudah tertidur pulas. Dengan langkah pelan, dia mengendap-endap menuju ruang rapat di lantai bawah.

Ren sudah menunggunya. Dia duduk di kursi dengan punggung tegak. Pupil abu-abunya fokus pada layar laptop di depannya. Tangannya dengan lincah menari-nari di atas keyboard.

Budi berjalan masuk. Langkahnya menimbulkan suara gedebuk pelan. Ren menoleh sedikit lalu kembali fokus dengan layar laptopnya. Budi menarik kursi di dekat Ren dan menghempaskan tubuhnya di kursi kayu itu. 

"Jadi ... Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

Ren mengalihkan pandangannya dari laptop dan memperlihatkan layar laptop pada Budi. Dia menggerakkan kursor dan memperlihatkan sebuah video.

Latar tempat video itu adalah taman kota di permukaan. Terdapat bangku kayu antik, lampu taman berbentuk bulat sempurna, dan pepohonan yang rindang. Tapi bukan itu yang menjadi titik fokus keduanya saat ini.

"Kamera ini dipasang di bagian dalam salah satu pohon di taman," Ren menjelaskan. "Tapi bukan berarti viewnya kurang bagus. Justru sangat jelas dan persembunyiannya juga aman." tambahnya.

"Apa ini CCTV milik kepolisian?" tanya Budi.

Ren mengangguk. "Ya, aku meretas sistemnya."

Budi mengernyitkan kening. "Lalu apa yang harus kulihat?"

"Lihat saja videonya!" seru Ren, mulai kesal.

Budi kembali menonton video yang hanya berdurasi 7 menit itu. Sudah hampir lima menit dia menonton video itu tapi tak ada objek yang mencurigakan.

Hingga di menit ke enam.

Sekelebat sosok berwarna putih melesat dari atas salah satu pohon. Melompat-lompat dengan lincahnya. Di pinggangnya terlihat setitik sinar. Budi tahu betul kalau orang itu -siapapun dia- membawa senjata tajam.

Tiba-tiba videonya berhenti. Budi menoleh dan melihat Ren yang menekan tombol pause.

"Kenapa kau hentikan?" protes Budi.

Ren memperbesar gambar video itu lalu mempertajamnya di bagian orang berpakaian serba putih. Sekarang wajahnya mulai terlihat walau agak blur.

"Tunggu hingga beberapa detik." ucap Ren.

Proses penajaman gambar telah selesai dan kini wajah orang itu terlihat jelas. Budi mengangkat alis saking kagetnya dan membetulkan kacamatanya yang tergeser.

"Dia ... Remaja sama seperti kita?!" desis Budi.

Ren mengangguk. "Dia remaja, dan dia laki-laki. Satu hal lagi, coba lihat video ini."

Ren memutar video lain. Kali ini bertempat di terowongan kasablanka. Kamera keamanan memang ada banyak di sana. Terutama karena sering ada kecelakaan.

Saat itu tengah malam. Terowongan kosong melompong. Hanya ada beberapa mobil yang melewati terowongan.
Lelaki bermantel putih panjang itu muncul lagi. Dia bersembunyi di salah satu tiang terowongan. Tangannya menggenggam sebuah benda yang diyakini Budi serta Ren sebagai sebilah pisau.

Dari arah lain, sebuah mobil jenis CRV berwarna hitam legam melintas dengan cepatnya. Budi melihat dengan jelas saat remaja bermantel itu melesatkan pisau itu ke dalam mobil yang -sialnya- jendelanya terbuka.

Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Mobil CRV itu menjadi oleng dan menabrak pembatas jalan hingga body depannya penyok. Sang pengendara yang ternyata masih hidup walau lehernya tertusuk pisau, berjalan terhuyung-huyung keluar dari mobil. Kelihatannya dia mencoba mencari pertolongan.

Tiba-tiba dari sisi lain, muncul mobil double cabin berwarna biru gelap. Mobil itu dalam keadaan berkecepatan tinggi dan langsung menabrak si pengendara CRV. Si pengendara terpental ke jalan di sebelahnya. Saking kuatnya, pisau di lehernya sampai terlempar.

Dari mobil double cabin itu keluar seorang remaja yang sama-sama berpakaian putih. Tudung dari mantel tersebut dipakainya untuk menutupi wajah. Setelah itu, keduanya terlihat mendiskusikan sesuatu. Serempak, keduanya mendongak dan melihat kamera CCTV. Remaja yang menyetir mobil double cabin tadi langsung mengacungkan sepucuk shotgun dan menembak kamera CCTV tersebut.

Membuat layar laptop menjadi gelap gulita.

"Video yang terakhir tadi diambil saat aku pergi juga?" tanya Budi.

Ren mengangguk. Wajahnya menjadi cemas. "Sebaiknya kau temui ayahmu."

Budi mengangguk. "Akan kucoba besok pagi."

*****

Dari kening Don, mengalir keringat dingin yang cukup banyak. Bukan karena dia dihukum 10 tahun penjara, melainkan karena cerita anaknya yang baru saja dia dengar.

"Kau yakin soal ini?" tanyanya, sekali lagi.

"Sangat yakin, video itu asli tanpa rekayasa." sahut Budi dengan nada mantab.

Don menghela napas berat. "Tapi jika benar begitu, kalian para bullet harus sangat berhati-hati."

Budi mengernyitkan kening. "Kenapa?"

"Beberapa bulan yang lalu, sempat tersiar kabar di PG. Bahwa ada sekelompok remaja berpakaian serba putih yang berkeliaran di wilayah Jakarta pusat."

"Teruskan."

"Bahkan tak hanya baju, rambut mereka juga berwarna putih."

"Benarkah? Mungkin hanya dicat saja."

Don menggeleng. "Aku yakin betul itu bukan cat rambut."

"Mungkin Albino? Atau memang alami."

Don kembali menggeleng. "Menurutku, mereka pernah mengalami penyiksaan secara fisik maupun mental yang membuat rambut mereka jadi berwarna putih. Kalau tidak salah, namanya Marie Antoinette syndrom."

"Marie Antoinette syndrom?" ulang Budi.

"Sindrom yang membuat rambut menjadi berwarna putih seluruhnya. Kepribadian orang yang mengidap sindrom ini juga menjadi ganas dan terkadang haus darah. Apalagi kalau pengidap sindrom itu sendiri pernah mengalami penyiksaan secara mental dan fisik." jelas Don panjang lebar.

"Yang membuat jiwanya tertekan, ya kan?"

Don mengangguk. "Betul sekali."

TRING!

Seorang polisi berseragam formal masuk ke ruangan Budi dan Emily. Dia mengingatkan bahwa jam besuk sudah berakhir. Budi meminta waktu lima menit lagi kemudian petugas tersebut keluar.

"Kau boleh datang kapan saja, Budi." ucap Don.

"Terima kasih, nanti aku datang lagi." sahut Budi.

"Jaga partnermu baik-baik. Oh iya, satu hal lagi."

"Apa?"

Don mengatakan sesuatu yang membuat Budi berubah drastis. Wajah pemuda itu terlihat memerah sedangkan Don tertawa terbahak-bahak. Emily hanya diam meski batinnya menjerit meminta penjelasan. Setelah itu, Budi menekan bel. Pipinya masih memerah dengan senyum mengembang. Don masih tertawa terbahak-bahak sampai jatuh dari kursi dan kepalanya menghantam meja. Sekarang, balik Budi yang menertawakan Don. Keduanya memang ayah dan anak yang unik, pikir Emily.

Kemudian Budi dan Emily berjalan keluar ruangan, setelah izin dengan Polisi tadi tentunya.

"Kenapa tadi harus pakai telepon?" tanya Emily.

"Karena kita dengan Don tadi dihalangi cermin anti peluru, jadi suara kita teredam." jelas Budi.

"Lalu kenapa Ayahmu tadi tertawa?"

Pipi Budi kembali memerah. Dengan nada pelan, dia berkata

"Dia merestuiku untuk menikah denganmu nanti saat umurku sudah siap."

"Menikah?!" pekik Emily, kaget.

"Jangan keras-keras!" balas Budi, panik.

"Kau serius?!" tanya Emily. Dia terlihat senang.

Budi tersenyum riang. Hatinya seolah meledak bagai baru ditembak dengan misil launcher.

"Kau tahu apa itu menikah?" tanya Budi.

Emily mengangguk. "Tomi yang menjelaskan semuanya. Tentang menikah, setelah menikah orang akan melakukan bulan madu dan saat bulan madu mereka akan melakukan sesuatu yang dinamakan se-"

Budi langsung menutup mulut Emily dengan tangan sebelum partnernya itu mengucapkan sebuah kata yang bisa membuat pertahanan Budi selama ini hancur-lebur.

"Bagian yang itu tak perlu disebutkan Emily." kata Budi. Walau jantungnya berdegup kencang dan matanya mulai bersinar. Dia tahu benar kenapa. Persetan dengan remaja dan hormon mereka yang menggila.

*****

"Jadi apa yang harus kulakukan?" tanya Emily setelah dia dan Budi keluar dari penjara. Saat ini mereka berjalan-jalan di taman kota setelah sebelumnya turun dari taksi.

"Untuk sementara aku akan mengenalkanmu dengan lingkungan sekitar sini, baru wilayah Jakarta yang lain." jawab Budi.

"Memangnya Jakarta seluas apa?"

"Lumayan luas, juga membingungkan jika kau tidak kenal. Kota manapun juga begitu jika kau tak mengenalnya."

"Tak kenal maka tak sayang?" Emily mengangkat alis.

Budi menyeringai. "Bukan, tak kenal pasti tersesat. Aku mulai dari yang kecil dulu, kau suka es krim?"

Emily mengernyitkan kening. "Es krim itu apa?"

Budi menepuk keningnya dengan frustasi. Dia baru ingat kalau partnernya ini dapat dipastikan belum pernah memakan es krim terutama setelah dia lama tinggal di hutan.

"Sudahlah, akan kujelaskan nanti. Bagaimana dengan rasa vanilla? Kau pasti suka!"

Emily mengangguk semangat. Bola matanya berbinar senang saat melihat es krim berwarna putih susu itu dimasukkan ke dalam cup kertas berbentuk mangkuk. Ditambah dengan toping saus cokelat kental dan popcorn caramel. Terlihat sangat menggiurkan.

Budi mengambil pesanan es krim dan membawa Emily menuju salah satu bangku taman yang kosong. Budi menyendok es krim dan menyurungkannya pada Emily yang kebingungan.

"Benda apa itu?!" pekiknya.

"Ini es krim, rasanya dingin dan manis." jelas Budi.

Emily mengambil sendok yang dipegang Budi dan menyuapnya sendiri.

Budi terlihat ketakutan. Mengira partnernya itu akan memuntahkan es krim itu. Tetapi ekspektasinya itu pupus seketika saat melihat Emily yang tersenyum senang.

"Rasanya enak!" pujinya.

Emily langsung merebut cup es krim di tangan Budi dan memakannya hingga ludes tak bersisa. Budi sampai melongo sendiri. Mengingat betapa cepatnya es krim itu habis.

"Bagaimana? Kau suka?" tanya Budi, penuh harap.

"Enak! Aku jadi teringat dengan es krim rasa mint buatan mama!" ucap Emily, semangat.

Sesaat, Emily terlihat bingung dengan kata-katanya tadi. Seolah-olah bukan dirinya yang barusan berkata. Budi sendiri terkejut dengan perkataan Emily barusan. Kemudian senyumnya mengembang begitu sadar kalau ingatan Emily tentang masalalunya pasti akan kembali.

Cepat atau lambat.

*****

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro