Tiga
Sebenernya mau update hari Sabtu. Tapi aku udah nggak sabar mau update.
Happy reading guys.
***
“Gimana Han?”
Begitu memasuki ruang kelas, Salsa langsung menghampiri Hana yang terlihat sibuk dengan diktat kuliahnya. Hana mengalihkan pandang sekilas sebelum kembali berkutat dengan diktatnya.
“Gimana apanya?” ia balik bertanya.
“Udah dapet kabar belum?” kejar Salsa, tak sabar.
Hana mengernyit, tahu apa yang tengah dibicarakan Salsa. Setengah malas ditutupnya diktat yang tadi menemani. Mengembuskan napas yang terdengar lelah.
“Belum dapet kabar,” jawabnya. “Mungkin aku nggak ditakdirin buat KP.”
Salsa langsung menarik kursi di dekat Hana. Duduk di atasnya seraya memandangi wajah Hana dari dekat.
“Beneran? Kamu udah cek e-mail?”
“Beneran kali, Sa. Ngapain juga aku bohong?”
“Sini, mana hape kamu?”
Hana mendesah. Walau terlihat enggan, ia akhirnya memberikan ponselnya pada Salsa. Wajah Salsa begitu serius menatap ponsel yang berpindah ke tangannya.
“Mungkin mereka belum cek e-mail, Han. Balasan dari mereka aku terima empat-lima hari setelah aku kirim e-mail.”
Salsa terlihat kecewa. Setelah mengembalikan ponsel pada Hana, ia langsung menyandarkan punggungnya. Bersedekap sembari menatap lurus ke depan.
“Mungkin nanti siang kamu udah dapet feedback dari mereka, Han.” Diliriknya Hana yang kini tengah mencoret bagian belakang bindernya. “Kamu nggak boleh putus asa gitu. Sampe ngomong nggak ditakdirin buat KP segala.”
Hana seketika menoleh. Salah satu sudut bibirnya terangkat naik menyadari Salsa lebih antusias ketimbang dirinya.
“Kamu tahu kan, aku enggak terlalu berbakat mendesain. Mungkin karena itu sampai saat ini belum ada proposal KP-ku yang keterima.”
Salsa berdecak. “Ini yang aku nggak suka dari kamu Han. Terlalu cepat nyerah,” cibirnya. “Belum mendapat tempat buat KP bukan berarti kamu nggak ditakdirin buat KP. Kamu harus lebih sabar nunggu, bukan malah berpikiran sempit kayak gini.”
Hana terdiam. seharusnya keyakinan itu bersarang di dirinya. Namun entah kenapa, saat ini keyakinan itu malah menjauhinya. Membuatnya begitu putus asa dan ingin menyerah saja.
“Belum dapet tempat KP bukan akhir dari segalanya, Han. Percaya deh, pasti ada salah satu proposal kamu yang keterima.”
***
Sore harinya Hana kembali mendatangi The Passion. Sudah seperti agenda rutin menyambangi kafe ini sepulang kuliah. Bahkan kini salah satu pelayan di sana sudah akrab dengannya. Menyediakan sepotong cheesecake tanpa perlu Hana memesannya.
“Seperti biasa, cheesecake dengan ekstra saus stroberi dan air mineral dingin.”
Hana tersenyum. Menggumamkan terima kasih pada Danu yang sudah mengantarkan pesanannya. Pemuda berbadan gempal itulah yang melayani Hana semenjak kali pertama gadis itu menginjakkan kaki di The Passion.
“Lama-lama aku bakal jadi penghuni tetap di sini,” canda Hana yang membuat tawa kecil mencuat dari bibir Danu.
“Boleh saja. Asal jangan membuat gaduh.”
“Kalo gitu, boleh dong kalau aku dapet gratisan?”
Danu kembali tertawa. Matanya yang dibingkai kacamata menyipit dan bahunya naik-turun saat tertawa.
“Kalau itu, kamu bisa minta sama owner.” Danu kemudian mendekatkan wajahnya. “Owner lagi pergi ke luar kota, dan dia masih available, kalau kamu berminat.”
Hana tergelak. Dengan pelan ia menepuk lengan Danu yang ikut tergelak.
Danu benar-benar bisa membuat orang di sekitarnya tertawa. Bahkan saat kali pertama mereka berkenalan, Danu tak segan melempar lelucon. Hal yang membuat Hana senang telah mengenalnya.
“Eh, Dan, The Passion udah berapa lama dibuka?” Hana memotong cheesecake-nya menjadi beberapa potongan kecil. Hana mendongak, menyadari Danu masih berdiri di dekat mejanya. “Eh, duduk gih. Nggak enak kalau kamu berdiri kayak gitu.”
“Nggak usah. Aku juga bentar kok.” Danu menggeleng. “Udah jalan tiga bulan.”
Mata Hana terbelalak. Gerakan tangannya yang memotong cheese cake seketika terhenti.
“Kok masih sepi sih? Um—maaf, maksud aku—”
Danu mengibaskan tangannya sembari tertawa. Tubuh gempalnya membuat wajah pemuda itu terlihat lucu.
“Iya, nggak usah ngerasa bersalah gitu.”
Hana tersenyum, tak enak. Ia mengulum sendoknya setelah satu suapan masuk ke mulutnya.
“Kalian nggak melakukan promosi atau semacamnya? Share di Instagram? Path? Kan lumayan biar bisa banyakin pengunjung.”
Danu mengendikkan bahu.
“Udah pernah berpikiran seperti itu, sih. Tapi owner bilang biarin aja. Dia lebih suka pengunjung datang sendiri ke sini ketimbang memancing mereka melalui sosial media.”
Hana terdiam. Dengan pelan ia mengunyah potongan cheesecake di dalam mulutnya.
“Eh, Han, aku ke belakang dulu ya. Masih ada urusan.” Danu mengedipkan sebelah matanya.
“Oh, oke. Sori ganggu waktu kerja kamu.”
“Nevermind. Kalau kamu sih aku nggak masalah.”
Setelah kepergian Danu, Hana menyisir pandang ke sekeliling. The Passion benar-benar sepi. Hanya ada tiga meja yang terisi termasuk meja tempat ia berada sekarang.
Meski sudah seminggu lebih menyambangi The Passion, ia sama sekali belum memperhatikan detail kafe ini. Ia selalu memilih meja bundar di dekat jendela sebagai spot favoritnya karena hanya jendela itu satu-satunya tempat dimana ia bisa melihat jalanan.
Sebagai sebuah kafe, sebenarnya The Passion tidak terlalu luas.
Saat pertama kali ke The Passion, Hana tertarik dengan catnya yang begitu mencolok. Bagian luarnya dicat berwarna-warni, terkesan sangat hidup dan ceria, namun warna monokrom langsung menyambutnya saat memasuki kafe ini.
Jendelanya pun dibuat dengan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang dibuat kecil sehingga bagian bawah jendela itu dapat diisi dengan tanaman hias yang berjejer rapi. ada juga jendela besar yang didesain ala Eropa klasik seperti jendela di dekat mejanya. Bahkan, ada juga jendela yang didesain dengan bentuk menyerupai buku yang tengah terbuka. Memberikan kesan unik dan beda dari yang lain.
Selain itu juga, pemilihan wallpaper yang berbeda di tiap-tiap dinding membuat Hana tidak pernah bosan ke sini. Alasan lain mengapa Hana menjadikan The Passion sebagai rumah keduanya.
***
Hana baru selesai mandi saat Bia—tantenya—masuk ke kamarnya. Selama kuliah, Hana memang tinggal bersama Bia dan Reno. Suami-istri itu begitu senang begitu mendengar Hana akan kuliah di Jakarta dan antusias saat Hana akan menemani mereka.
Ana—anak tunggal Bia dan Reno—empat tahun yang lalu sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di Suriname. Karena itulah kehadiran Hana di rumah mereka seolah memberi warna baru di rumah yang sempat sepi itu.
“Kenapa Tan?” tanya Hana saat dilihatnya Bia duduk di pinggir ranjangnya dengan senyuman lebar.
“Hari Minggu nanti kamu ada acara?” Bia balik bertanya.
Dahi Hana berkerut, mengingat-ingat.
“Nggak ada kayaknya. Kenapa emang?”
“Temenin Tante ke nikahan anaknya temen Tante, ya? Mau kan?”
“Nggak mau ah, Te!” tolak Hana langsung. Melihat ekspresi sedih di wajah Bia, cepat-cepat Hana berkata, “Tante kan tahu sendiri, Hana nggak suka dandan. Kalau pergi ke acara nikahan kan nggak mungkin kalau Hana nggak dandan. Jadi—”
“Kamu nggak kasihan lihat Tante datang sendirian ke sana?” tanya Bia sendu.
Hana seketika diam.
Bia merupakan adik bungsu mamanya, dan Hana tidak tega melihat tantenya itu pergi ke mana-mana sendirian. Setiap kali melihat Bia, Hana langsung teringat mamanya yang berada di Lampung.
“Emang Om Reno nggak bisa nemenin Tante?”
Mendengar nama suaminya disebut, Bia langsung cemberut. Memasang raut kesal di wajah.
“Oom kamu itu mana mau ke acara nikahan keluarga temen Tante. Pasti ada aja alasannya biar nggak datang. Katanya temen-temen Tante kelewat cerewet kalau udah kumpul.” Bia menatap Hana penuh harap. “Makanya Tante ngajak kamu. Kamu mau kan ikut Tante? Acaranya masih lima hari lagi kok.”
Ditatap sedemikian rupa seperti itu, tidak mungkin Hana menolak. Bia memekik senang saat Hana mengangguk pelan. Ditepuknya pelan pipi Hana sebelum beranjak meninggalkan gadis itu.
Saat tubuhnya berada di ambang pintu, Bia berbalik dan berujar, “Acaranya dimulai jam sepuluh dan jangan lupa dandan secantik mungkin.”
Bia mengedipkan sebelah matanya. Terkikik senang melihat Hana yang hanya melongo melihatnya.
“Tante Bia kok tiba-tiba jadi kayak ABG sih?”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro