Bab 6
Sebagai anak yang tumbuh besar tanpa orang tua kandung sehingga cenderung menjalani hidup dengan mandiri, Adilla terbiasa untuk menahan emosi dan mengontrol segala sikapnya. Hanya sedikit orang terdekatnya yang bisa memancing sikap manja Adilla, itu pun sangat jarang terjadi.
Namun ketika tengah bersama Gavin, Adilla sedikit kesulitan mengontrol sikap tenangnya. Dengan gampang Gavin bisa membuat gejolak emosi Adilla melonjak-lonjak dalam waktu cepat, bahkan hanya dengan menatap saja.
Kelemahan Adilla dalam menghadapi Gavin mulai terlihat saat kejadian pria itu melupakan janji dan memilih mendampingi mantan istrinya, sampai membuat Adilla merajuk hingga esok harinya. Adilla sendiri akhirnya merasa heran mengapa dia bisa merajuk begitu saja, tanpa mau mendengar penjelasan terlebih dahulu. Buntutnya dia malah dibuat gelisah sampai mengalami kesulitan tidur.
Memikirkan seorang pria hingga sampai seperti itu, Adilla belum pernah mengalaminya. Namun, ketika tanpa sengaja Adilla berceletuk heran atas sikapnya tersebut di depan Gavin, pria itu malah terkekeh pelan.
"Kenapa harus heran dengan sikap kamu sendiri? Kalau memang itu sikap asli kamu, saya nggak akan protes selama masih dalam batas wajar. Kamu sendiri belum kenal sikap saya yang sebenarnya, kan?" ucap Gavin dengan bibir menyeringai kecil, seakan ingin membuat Adilla penasaran.
"Jangan menahan diri di depan saya, karena saya nggak akan melakukan itu di depan kamu. Kita masih dalam tahap mengenal, Adilla. Kita perlu mengetahui banyak hal dari diri masing-masing. Mulailah terbiasa dengan segala hal baru dalam hubungan kita, termasuk sikap kamu sendiri," ucap Gavin dengan nada yang berusaha menenangkan sembari tangannya bergerak mengelus pelan puncak kepala Adilla, kebiasaan barunya saat berduaan dengan gadis itu.
Adilla mencoba untuk memahami perubahan sikapnya yang berkaitan dengan Gavin. Dia menghela napas panjang, sebelum mengangguk patuh atas permintaan Gavin tentang apa yang harus mereka lakukan dalam hubungan keduanya.
Setelah beberapa minggu masa pendekatan secara intens, Adilla sudah mulai menghafal bagaimana gelagat dan ekspresi Gavin ketika pria itu merasa terganggu atau tidak suka atas sesuatu, terutama saat Adilla mulai mendebatnya.
Begitu pula Gavin yang berusaha mendengarkan semua pendapat atau tanggapan yang diungkapkan Adilla saat membahas sesuatu dengannya, walau kadang pola pikir Adilla yang masih berjiwa muda agak bertentangan dengan gaya hidup Gavin.
Kesimpulannya, Adilla dan Gavin memang sedang berada pada tahap awal adaptasi hubungan mereka. Keduanya sedang mencoba mempelajari dan menilai satu sama lain, dengan harapan di kemudian hari bisa saling melengkapi.
***
Adilla menginginkan hubungannya bersama Gavin dapat berhasil. Dia menghargai keputusan Gavin yang telah bersedia menjadikan dirinya sebagai masa depan pria itu. Ketika Gavin tidak menginginkan masa lalu menjadi penghalang kebersamaan mereka saat ini, Adilla berusaha untuk memahaminya.
Adilla tidak lagi bertanya kepada Gavin terkait mantan istrinya dan bagaimana prosesnya hingga mereka harus bercerai, lalu dapat menjalani interaksi akrab seperti saat ini. Adilla selalu mengingatkan dirinya untuk tidak terusik pada hal tersebut. Dia berusaha fokus pada rencana masa depan keduanya.
Sebenarnya Adilla melakukan hal tersebut bukanlah tanpa alasan. Gavin hanya tidak tahu saja kalau seminggu setelah pertemuan pertama Adilla dengan Sarah, wanita itu nekat menemuinya.
Kala itu Adilla diminta berkunjung lagi ke rumah orang tua Gavin. Sarah yang mengetahuinya langsung mengambil kesempatan agar bisa berbincang dengan Adilla.
Respons Sarah hampir mirip seperti Mira, kelewat antusias ketika berkenalan dengan Adilla. Berkat pertemuan itu, Sarah memudahkan Adilla memahami hubungan rumit di masa lalu mereka.
Sarah dengan gamblang membeberkan perihal tentang dirinya yang dulu mengejar Gavin mati-matian, bahkan sejak mereka baru memasuki masa remaja. Keduanya menikah saat masih seumuran Adilla dan bertahan tidak sampai dua tahun.
Perceraian itu tercetus ketika pada akhirnya Sarah memilih menyerah dan memutuskan untuk melepaskan Gavin demi kebaikan bersama. Kenyataan bahwa Gavin hanya menyayanginya sebagai seorang sahabat dan tidak pernah lebih, membuat Sarah menyadari keegoisannya selama ini hingga menyakiti mereka berdua.
"Pengharapan yang terlalu tinggi akan sangat menyakitkan saat kita menyadari bahwa ternyata dia tidak bisa memberikan puncak untuk kita capai," ucap Sarah dengan senyum miris di bibirnya. "Semua terasa sia-sia. Kenyataan bahwa Gavin terlihat nggak bahagia saat bersamaku, membuat aku berpikir ulang atas banyak hal, Adilla. Termasuk perasaanku sendiri."
Adilla terdiam mendengarkan curahan hati Sarah. Siang itu, mereka hanya bicara berdua saja di teras samping rumah milik keluarga Anggara. Mama Gavin dengan sengaja meninggalkan keduanya dan membawa Davian menjauh. Harapan Mira, setelah keduanya berbincang, Adilla tidak salah memahami keberadaan Sarah yang masih sangat akrab dengan keluarga Anggara.
Adilla sebenarnya tidak suka ide pertemuan ini. Berduaan dengan Sarah tentu saja membuatnya canggung. Namun, mau tidak mau Adilla harus melakukannya demi bisa mendapatkan informasi lebih banyak terkait Gavin, pria yang saat ini mulai memenuhi isi hati dan pikirannya.
"Maaf, Mbak. Mungkin kedengarannya lancang, tapi saya beneran pengin tahu," ucap Adilla dengan raut tidak enak hati, tapi tidak ingin lagi menahannya, "tentang alasan kalian memutuskan menikah, padahal Mbak sendiri tahu gimana perasaan Mas Gavin."
Sarah tersenyum tipis mendengar keingintahuan Adilla. "Kecerobohan di masa muda, Adilla. Kami dalam pengaruh alkohol, lalu khilaf. Hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi nyatanya aku memang hamil saat itu," ucap Sarah dengan senyum kecut.
"Aku sebenarnya sempat berpikir gila dengan mendaftar di klinik aborsi," ungkap Sarah sambil memalingkan tatapan dari Adilla, berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang tampak malu mengingat dirinya dahulu. "Gavin yang keburu tahu langsung murka. Kami sama-sama bingung waktu itu, tapi akhirnya Gavin tetap bersikeras untuk secepatnya menikahi aku. Padahal orang tuaku sendiri bahkan menolak kenyataan yang menimpa putri mereka. Aku menjadi aib keluarga."
Keceriaan yang ditunjukkan Sarah saat pertama kali mereka berbincang tampak memudar ketika menceritakan masa lalunya bersama Gavin. Wanita itu kembali bersuara lirih, "Seperti karma karena pernah berniat melenyapkan, akhirnya aku malah benar-benar kehilangan, bahkan sebelum dia sempat dilahirkan."
Seketika saja Adilla merasakan denyut sakit di jantungnya ketika mendengarkan cerita Sarah. Menyesal. Keingintahuannya ternyata malah membuka luka lama milik orang lain.
"Gavin berusaha keras menerimaku dan kondisi kami saat itu, tapi aku tahu kalau dia nggak pernah ada perasaan untukku selain sebatas sahabat. Dia juga bersedia menanggung hujatan dari keluargaku, kemarahan papanya, amukan Gerry dan juga Fabian. Tapi dia tetap bertekad mempertanggungjawabkan semuanya. Dia bahkan mengambil cuti kuliah supaya bisa fokus bekerja demi memenuhi kebutuhan kami." Sarah menyempatkan diri menarik napas panjang, menjeda kisahnya.
"Padahal kekhilafan itu akulah yang pertama kali memulai. Dibutakan obsesi dan cinta yang terasa menggebu, menjadikan alkohol berhasil mengambil alih kewarasan. Aku memanfaatkan keadaan dan menyudutkan Gavin, hingga hal itu harus terjadi," lanjut Sarah sambil terus tersenyum kecut dengan mata sudah berair.
"Mungkin karena beban pikiran, tekanan rasa bersalah atas masa depan kami yang berantakan, membuat malu keluarga, lalu kecewa pada diri sendiri, dan banyak hal lainnya, hingga entah bagaimana tubuhku malah semakin melemah tiap harinya," lanjut Sarah dengan suara agak tercekat.
"Kehamilanku bermasalah. Gavin berpikir itu adalah kesalahan dia karena ikut membuatku sangat stres saat itu. Menurut Gavin, karena dia nggak bisa membalas perasaanku dan lebih sering pergi bekerja meninggalkanku sendirian di kontrakan, makanya kondisiku semakin parah."
Akhirnya, setitik air mata milik Sarah jatuh di atas tangannya. Adilla dengan refleks segera meraih sebelah telapak tangan wanita itu untuk digenggam erat. Mereka sama-sama seorang wanita. Sedikit banyak, Adilla bisa memahami bagaimana posisi Sarah saat itu walau dia tidak pernah mengalaminya..
"Nggak usah dilanjutkan, Mbak. Maaf, saya nggak bermaksud bikin Mbak teringat lagi," ucap Adilla, langsung merasa sangat bersalah ketika melihat kesedihan Sarah.
Sarah menggeleng sambil mengusap air matanya, berusaha kembali memasang senyum ceria di bibirnya. Dia membalas remasan tangan Adilla demi meyakinkan gadis itu kalau dia baik-baik saja.
"Setelah aku keguguran, Fabian tambah marah sama Gavin. Hubungan mereka jadi semakin buruk. Fabian bersikeras kalau semua hal yang sudah terjadi padaku disebabkan oleh ketidak-becusan Gavin dalam menjagaku," lanjut Sarah sebelum kembali menghela napas panjang demi menenangkan rasa sesak di dadanya.
"Bahkan kejadian itu bikin Gavin berhenti bertegur sapa dengan Fabian selama beberapa tahun. Dan aku tahu, hal itulah yang bikin Gavin jadi semakin nggak bahagia dalam menjalani hari-harinya. Bagi Gavin, Fabian lebih dari sekadar seorang sahabat. Mereka sudah seperti saudara. Jauh sebelum aku hadir di antara mereka, Fabian yang selalu ada bersama Gavin." Sarah tampak tersenyum sendu ketika membicarakan kedua pria tersebut.
"Perlu bertahun-tahun dan juga usaha besar untuk membuat semuanya kembali lagi seperti awal, Adilla. Meskipun nggak sesempurna dulu, paling nggak kami berhasil memperbaikinya sedikit demi sedikit."
Sarah terus membagi kisahnya pada Adilla. Berharap Adilla bisa mengenal masa lalu Gavin tanpa perlu menghakimi semua yang telah telanjur terjadi.
"Untungnya sekarang Gavin sudah mulai berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Kami bertiga sudah bisa kembali duduk bareng sambil mengomentari banyak hal kalau kebetulan lagi kumpul-kumpul. Seperti dulu lagi," lanjut Sarah dengan senyum yang kini tidak lagi terlihat sendu, tapi tampak mulai cerah seperti sebelumnya.
Adilla ikut tersenyum ketika membayangkan hubungan Gavin, Sarah, dan Fabian yang mungkin serupa dengan hubungannya bersama sahabat-sahabatnya.
"Aku menyayangi Gavin, Adilla. Tapi sekarang aku cuma mencintai suamiku, Fabian. Kami berdua sangat ingin Gavin juga bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, seperti yang sudah berhasil kami temukan saat ini."
Adilla masih terdiam. Namun, dia langsung teringat bahwa dia pernah mendapati binar penuh harap seperti yang tengah ditunjukkan oleh Sarah padanya saat ini.
"Ini jarang banget terjadi. Gavin yang cuma fokus dengan satu perempuan benar-benar nggak lazim." Sarah tampak mulai kembali bersemangat.
"Maksudku, selama ini Gavin itu biasa aja kalau sama perempuan. Nggak pernah menunjukkan minat serius kalau mau dikenalkan dengan seseorang. Kalaupun punya teman dekat, nggak ada yang bakal dikenalkan ke kita-kita, apalagi ke mamanya. Artinya, perempuan itu nggak berarti apa-apa buat dia."
Sarah menyeringai jail sambil memindai tatapannya pada sekujur tubuh Adilla. "Katanya, Gavin langsung setuju dijodohkan pas Mama Mira baru sebentar nunjukin foto kamu. Nggak pakai mikir dulu. Itu artinya kamu pasti spesial banget buat dia, Adilla. Udah pasti itu!"
Adilla spontan mengerjap sambil mengalihkan tatapan. Dia langsung merasa jengah mendengar perkataan Sarah yang sangat bersemangat. Apalagi wanita itu terus memberinya senyum menggoda.
"Biasanya kalau sudah serius pengin sesuatu, Gavin nggak mau nunda-nunda buat bisa mendapatkannya. Bisa ditebak, pasti dia yang maksa-maksa kamu buat cepat-cepat nikah, kan?" tanya Sarah lagi, bersemangat.
Adilla agak meringis canggung mendengar pertanyaan Sarah. "Dia cuma bilang nggak mau menunda-nunda lagi. Takutnya saya yang berubah pikiran. Gitu, sih, katanya," jawab Adilla dengan gestur salah tingkah yang membuat Sarah tertawa geli melihatnya.
"Hati-hati kamu, Dill. Gavin itu seriusnya mati-matian, loh. Kalau kamu sudah mengiakan keinginannya, jangan harap bisa berubah pikiran," goda Sarah dengan binar senang di wajahnya.
"Tapi kamu nggak perlu khawatir masalah kepercayaan dan kesetiaan. Bukan maksud aku sok tahu, tapi sebagai orang yang mengenal Gavin sejak lama, aku bisa ingat dengan jelas kalau Gavin itu sangat bertanggung jawab dan setia dalam komitmen. Dia juga bakal berusaha mati-matian melindungi apa pun yang ingin dia jaga." Sarah kembali melanjutkan penuturannya. Namun, kali ini tanpa seringai menggoda seperti sebelumnya. Murni senyum hangat penuh dukungan untuk Adilla dan sahabatnya.
Adilla tidak berkomentar, dia hanya balas tersenyum hangat setelah mendengar Sarah bercerita tentang Gavin. Ternyata, pertemuannya bersama Sarah tidak seburuk pikirannya di awal tadi. Sarah malah membuat Adilla semakin yakin untuk bisa bersama Gavin. Mengharapkan pria itu dengan rasa yang terus membesar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro