Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Sedarah bukan berarti sama. Baik itu karakter ataupun tingkah laku. Hal tersebut sepertinya berlaku untuk Gavin dan mamanya.

Kalau Gavin tampak selalu tenang dan terbiasa mengontrol emosinya, maka mama Gavin yang bernama Mira ternyata adalah tipe yang mudah sekali mengumbar ekspresi diri, tidak suka menahan-nahan. Cenderung berlebihan dan heboh, tapi juga penuh kehangatan.

Terbukti saat Adilla baru saja datang menemui Mira. Wanita setengah baya itu langsung memeluk Adilla dengan erat, bahkan sebelum Adilla memperkenalkan dirinya secara resmi. Mira juga tidak peduli saat para pengunjung restoran menatap penasaran atas pekikan tertahannya sewaktu pertama kali melihat Adilla.

"Seruni benar. Kamu ternyata manis sekaligus cantik sekali, ya," ucap Mira dengan senyum lebar. Bahkan dia melarang Adilla duduk berhadapan, menarik gadis itu untuk duduk bersebelahan dengannya.

"Maaf, Tante. Dilla agak telat datangnya, tadi harus ketemu dosen dulu," ucap Adilla meminta maaf.

"Nggak apa-apa. Tadi Tante ke sini dengan papanya Gavin, kok. Tapi, Papa Gavin harus kembali ke kantor lagi. Kamu pesan aja dulu," sahut Mira sambil mengibaskan tangan, tanda bahwa dia tidak mempermasalahkan keterlambatan Adilla.

Adilla mengangguk, lalu mengambil buku menu. Awalnya dia memang sedikit risi atas apa yang dilakukan mama Gavin. Sedari tadi Mira terus saja menatapnya dengan penuh senyum ceria. Seakan baru saja menemukan mainan baru yang sangat menarik untuknya. Hal itu adalah Adilla.

Namun, akhirnya Adilla menyadari bahwa ada hal yang membuat Mira menjadi setipe dengan Gavin, yaitu aura dan pembawaan diri yang membuat Adilla langsung betah untuk bersama mereka.

Meski cenderung berlebihan, Adilla sangat menikmati perhatian hangat Mira. Adilla jarang berinteraksi seperti ini dengan tantenya sendiri walaupun mereka tinggal serumah, hingga menjadikan perhatian Mira terasa sangat spesial baginya.

"Nanti Gavin yang akan jemput kamu, kan?"

"Tadi malam dia bilangnya gitu," jawab Adilla. "Tante nanti gimana pulangnya?"

"Tenang aja. Habis ngantar papa Gavin, nanti supir balik lagi ke sini buat jemput Tante."

Adilla mengangguk paham. Dia merasa tidak begitu sulit berkomunikasi dengan Mira. Keduanya bahkan tidak sadar ketika jam sudah menunjukkan waktu sore hari. Entah berapa jam Adilla berusaha bertahan meladeni segala tanya selidik yang dilontarkan mama Gavin padanya.

Mira bahkan terang-terangan menanyakan terkait perasaan Adilla terhadap anaknya. Adilla tahu kalau dia tidak boleh menjawab dengan sembarangan. Jadi, dia berusaha sebisa mungkin merangkai kalimat diplomatis demi menenangkan Mira.

"Gavin itu nggak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita setelah bercerai. Maksud Tante, nggak ada satu wanita pun yang pernah dikenalkannya pada kami. Meskipun begitu, sebenarnya Tante juga tahu kalau ada satu atau dua orang yang pernah dekat dengan dia."

Adilla hanya diam, mencoba menjadi pendengar yang baik, sembari mengumpulkan informasi tentang Gavin.

"Tapi, tiba-tiba Gavin malah bikin kaget. Dia langsung sepakat pas Tante minta ketemuan sama kamu. Sedikit aneh, sih, karena biasanya Gavin itu nggak pernah mau meladeni candaan atau rayuan Tante untuk mencarikan dia istri."

Mira menceritakan perihal putranya dengan sangat terbuka, bahkan sambil terkekeh pelan. Seakan itu adalah candaan menyenangkan untuk diperbincangkan. Atau memang begitu gaya mereka, keluarga Anggara? Frontal dan blak-blakan, seperti sikap Gavin selama ini.

Menit-menit terakhir kebersamaan mereka, akhirnya Adilla tidak lagi bisa menahan diri untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran akhir-akhir ini.

"Maaf, Tante. Kalau boleh tahu, apa dulu Mas Gavin menikah muda?" Adilla langsung menggigit bibirnya demi menahan rasa tidak nyaman karena telah berani menanyakan hal tersebut. Dia juga sengaja menggunakan kata Mas di depan Mira agar terdengar lebih sopan, mengingat Gavin lebih tua darinya.

Mama Gavin hanya tersenyum ketika melihat kecanggungan Adilla, tapi dia tetap menjawab dengan tenang. "Iya, Gavin nikah muda. Yah, terjadi satu-dua hal yang mengejutkan waktu itu, jadi kami merestui aja ketika Gavin ingin menikah. Memang nggak berjalan baik pada akhirnya, tapi nggak masalah. Toh, sekarang Gavin jauh lebih merasa nyaman dengan hidupnya."

Adilla melihat senyum penuh kasih tertampak di wajah Mira. Jelas sekali kasih sayang mengalir besar teruntuk putranya, membuat Adilla kagum serta iri ketika melihatnya.

"Dan semoga akan semakin baik lagi, setelah sekarang dia sudah bersama kamu," lanjut Mira.

Adilla termangu ketika mendengar kalimat itu. Dia terdiam dengan degup jantung yang mulai memicu rasa gugup.

"Tante yakin Gavin akan bahagia bersama kamu. Kami sangat berharap begitu karena Gavin sendiri yang meminta untuk bisa dekat dengan kamu," tambah Mira lagi dengan senyum hangat di bibirnya.

Harapan yang terlalu tinggi dan juga membebani. Seketika saja Adilla langsung frustrasi ketika melihat ekspresi penuh pengharapan yang tertampil di wajah Mira. Tiba-tiba dia merasa tertekan atas sesuatu.

"Adam dan Agas dulu sangat akrab dengan Gandang, Papa Gavin." Mira meraih tangan Adilla sambil menyebutkan nama ayah Adilla dan omnya, juga suami wanita itu. Dia menggenggam erat tangan Adilla dengan binar penuh harap yang tidak memudar.

"Perasaan Tante kuat banget, kamu dan Gavin akan cocok sekali jika bersama. Kalian tampak serasi di mata Tante. Gimana menurut kamu, Sayang, hm? Kamu pasti berpikir yang sama, kan?"

Bagus sekali! Mama Gavin memang sangat berlebihan. Rayuan mautnya bahkan benar-benar membuat Adilla merasa merinding.

"Tante, Dilla ...." Adilla merasa seakan berada di ujung tanduk. Dia ternyata salah perkiraan.

Sekarang Adilla mengerti dari mana Gavin mendapatkan sikap frontal dan pantang mundurnya. Jelas sekali Mira menurunkan sifat itu pada putranya. Membuat Adilla tidak berkutik.

***

"Kebiasaan banget anak ini! Lihat aja nanti kalau dia pulang."

Adilla tersenyum maklum. Mira menggerutu dan masih saja berusaha menghubungi ponsel Gavin yang tidak bisa dihubungi.

Mira mengajak Adilla makan malam bersama. Ketika sekian waktu menunggu Gavin yang tidak kunjung datang menjemput Adilla, dia akhirnya bersikeras membawa Adilla serta ke rumahnya.

Adilla tidak kuasa menolak, jadi dia manut saja ketika mama Gavin mengajaknya pulang bersama. Apalagi ketika dia menyadari kalau Gavin sepertinya benar-benar melupakan janjinya untuk menjemput Adilla.

"Nggak apa-apa, Tante. Nanti juga bisa ketemu."

Adilla mencoba kembali memaklumi alasan Mira yang mengatakan bahwa Gavin memang tergolong gila kerja, sehingga mungkin saja pria itu lupa untuk menjemput Adilla sore ini karena masih mengurus pekerjaan.

Meski begitu, tentu saja ada rasa kesal dan geram yang muncul tanpa bisa dicegah. Adilla tergolong seseorang yang selalu berusaha menepati janji pada siapa pun. Dia paling tidak suka kalau diperlakukan sebaliknya. Apalagi atas pilihan ekstrem yang telah diambilnya hari ini. Harusnya hal itu bisa sepadan dengan kehadiran Gavin sebagai rasa penghargaan pria itu atas kesediaannya.

Akhirnya Adilla memang mengiakan ketika Mira ingin sesegera mungkin bisa mengatur pernikahannya bersama Gavin. Sikap menggebu mama Gavin benar-benar membuat Adilla tidak kuasa menolak. Pengharapan wanita itu membuat Adilla ikut terbawa suasana.

Keyakinan Adilla terhadap sosok Gavin juga semakin menguat. Hal tersebut mulai dirasakannya setelah mendengar cerita Mira tentang fakta bahwa Gavin sendiri yang ingin mengenal Adilla, bahkan berharap bisa segera mempersuntingnya, sesuatu yang ternyata tidak pernah dilakukan Gavin untuk wanita lain.

Adilla adalah gadis pertama yang dipilih Gavin, padahal sebenarnya dia memiliki banyak pilihan lain. Hal itulah yang membuat Adilla tidak bisa berhenti memikirkan pria itu, membuatnya berpikir bahwa bersama Gavin adalah sesuatu yang benar untuk hidupnya.

Pada akhirnya, Adilla hanya menikmati makan malam berdua saja dengan Mira. Papa Gavin menelepon guna mengabarkan kalau dia harus bertemu kliennya untuk makan malam bisnis, hingga terpaksa melewatkan kesempatan makan malam di rumah bersama Adilla.

Bukan masalah untuk Adilla. Baginya malah lebih nyaman seperti ini. Dia belum siap kalau harus bertemu dengan anggota keluarga Gavin yang lain. Adilla masih butuh persiapan diri. Menghadapi Gavin dan mamanya saja sudah berhasil membuatnya kewalahan, entah bagaimana kalau bertemu dengan yang lainnya.

Vaya baru saja mengabarkan kalau dia sudah hampir mencapai alamat rumah Gavin yang tadi sempat dikirimkan Adilla padanya. Adilla berhasil membujuk Mira untuk tidak perlu menyuruh supir mengantarnya pulang. Vaya kebetulan berada di dekat daerah itu dan bersedia untuk menjemput Adilla sekalian.

Mira menemani Adilla duduk di teras depan rumah sembari menunggu Vaya, mereka mengobrol santai.

Tidak lama, sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah. Adilla bisa melihat Gavin keluar dari mobil bersama seorang wanita muda cantik dan tinggi semampai bak model. Pria itu tampak langsung terdiam ketika melihat Adilla berada di rumahnya.

Adilla menolak menatap Gavin. Dia memilih fokus pada wanita muda yang tengah memeluk erat anak kecil berkulit agak pucat berumur sekitar empat tahunan dalam gendongannya. Anak lelaki itu sepertinya tengah tertidur.

"Sarah?" tanya Mira kaget ketika melihat wanita yang dibawa Gavin.

"Ma, aku nginap di sini malam ini, ya? Vian lagi demam dan aku sendirian dari kemarin. Mau ke rumah Mama-Papa, kejauhan."

Mira dengan cepat mendekat dan memanggil seorang ART untuk membantu mengambil alih tas bawaan wanita muda itu, sembari menempelkan tangannya di kening si anak. "Kenapa nggak ngabarin Mama dari tadi?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Tadi cuma sempat telepon Gavin aja, katanya dia lagi senggang, jadi sekalian minta jemput." Wanita yang dipanggil dengan nama Sarah itu menoleh pada Adilla. Sepertinya dia sudah sadar pada keberadaan Adilla di sana.

"Wah, ada siapa nih?" tanyanya dengan tatapan penasaran. "Jangan-jangan ini yang namanya ...."

"Bawa Davian masuk. Udaranya dingin." Entah sejak kapan Gavin sudah berdiri di samping Adilla. Memandang penuh arti pada Sarah dan mamanya supaya cepat menyingkir.

Keduanya patuh dan bergegas masuk. Meski begitu, Mira masih menyempatkan diri mengecup kedua pipi Adilla sebagai salam perpisahan. Dia lalu menatap tajam kepada Gavin sembari meminta putranya itu mengantarkan Adilla pulang dengan selamat, sebelum berlalu memasuki rumah.

"Mantan istri?" tanya Adilla dengan sangat yakin, setelah beberapa detik keterdiaman mereka yang sangat tidak nyaman.

Gavin tidak menjawab. Adilla bisa merasakan tatapan lurus pria itu padanya. Namun dia memilih fokus pada gerbang rumah, menolak memandang balik.

"Saya antar kamu pulang. Kita bicara di mobil."

"Nggak usah. Udah dijemput teman," sahut Adilla cepat sambil berjalan menuju halaman. Dia melihat sedan biru metalik milik Vaya sudah berhenti di depan gerbang.

"Adilla!" Gavin menjangkau sebelah lengan Adilla. Meski tidak kuat, Adilla tetap merasa tidak suka karena Gavin mencoba menghentikan langkahnya.

"Itu Vaya. Dia cewek," terang Adilla. Dia menyadari raut tidak setuju di wajah Gavin saat tahu kalau Adilla dijemput oleh seseorang.

"Biar saya aja yang antar kamu pulang," ulang Gavin.

"Nggak usah," tolak Adilla sekali lagi dengan keras kepala. "Jangan buang waktu senggang kamu cuma untuk nganterin saya. Saat ini ada yang lebih membutuhkan kamu dibandingkan saya."

Terlihat kekagetan di wajah Gavin ketika mendengar suara dingin Adilla. Pegangannya pada lengan Adilla melemah. Adilla mengambil kesempatan itu untuk menepisnya, lalu berlari kecil menuju mobil Vaya dan segera masuk.

Adilla menyadari Gavin kembali menyusulnya. "Cepetan jalan!" pintanya pada Vaya.

Vaya yang sedikit bingung, tapi tetap bisa melihat raut tidak mengenakkan di wajah Adilla, hanya bisa menutup mulutnya dan patuh. Dia segera melajukan mobilnya saat Gavin memanggil nama Adilla dari luar mobil.

"Kenapa lo?" tanya Vaya sambil terus fokus pada jalan di depannya.

"Nggak apa-apa."

"Bohong banget," ucap Vaya sambil menyeringai. Adilla juga terpaksa tersenyum kecut mendengar celetukan sahabatnya.

Vaya memang tidak akan memaksa kalau Adilla belum ingin bercerita. Dia hanya perlu menunggu. Toh, pada akhirnya Adilla sendiri nanti yang akan berbagi dengannya.

Ternyata hari ini tidak begitu menyenangkan seperti bayangan Adilla di awal. Mendapati alasan Gavin tidak menepati janjinya bukan karena masalah pekerjaan, tapi karena hal lain, tentu saja berhasil membuat Adilla merasa tersisihkan.

Adilla hanya bisa membuang napas panjang sambil memejamkan mata, bersandar pada kursi. Dia merasa lelah. Bahkan satu kata maaf saja tidak diucapkan Gavin untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro