Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

"Serius duda?!"

Adilla hanya tersenyum tipis ketika mendengar pertanyaan kaget Vaya, salah satu sahabatnya.

"Wah!" Vaya menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi takjub.

"Gue tau, kadang lo anaknya memang suka nekatan kalau lagi kumat. Terus lo langsung bilang setuju buat dijodohin?" Vaya ingin menegaskan pernyataan Adilla beberapa saat lalu. "Ini kawinnya beneran sama duda?! Ya elah, Dill! Kayak kekurangan stok cowok aja."

"Pendekatan, bukannya kawin. Sembarangan lo!" sanggah Adilla dengan wajah pura-pura jengkel ketika menerima respons heboh Vaya.

"Alah! Lo udah berani terima tawaran om lo. Lo pikir dia bakal ngelepasin gitu aja? Lo udah jawab oke, kan? Nah, siap-siap, deh. Nanti jangan sibuk misuh ya, kalau ternyata diminta kawin secepatnya," sahut Vaya lagi dengan raut meremehkan.

"Dia setuju, kok, kalau pendekatan dulu." Adilla mulai terganggu dengan celetukan Vaya.

"Cowok mah gitu awalnya, tarik-ulur dulu untuk lihat respons ceweknya. Setelahnya, baru deh ...."

Ivan yang sedari tadi asyik memainkan gim, akhirnya ikut bicara meski matanya tidak juga lepas dari layar ponsel. Ketiganya memang sedang duduk santai di pinggiran halaman kampus, menghabiskan sisa waktu kosong setelah selesai kuliah. Kebetulan juga sedang tidak ada tugas yang perlu segera dikerjakan.

"Itu lo," ucap Adilla jengkel, merengut kepada Ivan.

"Sama aja. Setelah dengar cerita lo tadi, gue jadi ngebayangin gimana karakter tuh duda. Lo yang biasanya selalu berusaha nggak peduli kalau didekatin cowok, malah nggak berkutik pas pertemuan pertama. Kelihatan banget dia tipe dominan kayak om lo. Fetish lo banget, tuh," Ivan masih bicara tanpa memandang ke arah Adilla.

"Fetish apaan, coba?!" protes Adilla, merasa semakin jengkel. "Lagian, si Gavin ini mana bisa disamain dengan bocah-bocah yang ngedekatin gue selama ini. Pasti bedalah," lanjut Adilla lagi, menyanggah cercaan Ivan.

Ivan akhirnya beralih dari ponselnya, lalu menatap Adilla dengan senyum kecil. "Dari kapan, sih, kita bareng? Lo selalu nggak percaya kalau gue bilang gue bisa baca isi kepala lo."

"Lagian kenapa, sih, Dill? Lo nggak harus ikut perjodohan segala kalau mau cepat keluar dari rumah, kan? Belum pasti juga tuh cowok bakal ngeboyong lo ke rumah sendiri. Kalau nanti dia malah ikut tinggal di rumah om lo atau dikumpulin sama mertua, gimana? Ih, yang ada makin nggak bebas," sela Vaya dengan raut horor.

Adilla tidak menyahut. Pertanyaan seperti itu sudah sering keluar dari mulut Vaya. Mereka juga sudah sering membahasnya.

"Gimana kalau fokus kuliah aja? Lulus cepat, terus ambil S2. Pilih yang di luar kota atau coba ikut yang di luar negeri sekalian. Tinggalin Jakarta. Nggak usah balik-balik lagi. Beres." Ivan bicara sambil kembali memainkan permainan di ponselnya.

Adilla tersenyum masam mendengarnya. "Baru juga kuliah tahun kedua, masa gue mesti nunggu bertahun-tahun dulu baru bisa cabut dari rumah?"

"Kalau mau cepat, berarti memang cuma nikah solusinya. Mau kabur juga lo nggak berani, kan?" sahut Ivan lagi dengan mata tetap fokus pada layar ponsel.

Ivan memang selalu bisa mematahkan semua argumen Adilla. Sering kali Adilla tidak bisa menyanggah apa pun yang keluar dari mulut cowok berkarakter santai itu.

"Gue bukannya mau cabut dari rumah sekarang. Cuma, pas Om Adam nyuruh gue kenalan sama anak temannya, gue berasa kayak disodorin pintu keluar yang terbuka lebar. Dan gue nggak bego untuk ngerti apa tujuan sebenarnya dari perjodohan ini," ucap Adilla pelan sambil menundukkan kepala, tiba-tiba sok sibuk memeriksa isi ponselnya.

Ivan langsung berhenti bermain ponsel, lalu melirik Vaya yang juga melakukan hal yang sama. Topiknya mulai menjadi sensitif.

"Om Adam tahu keinginan terbesar gue buat cabut dari rumah. Sekarang dia ngasih kesempatan itu dengan cuma-cuma. Gue ngerti maksudnya apa. Gue paham maunya dia apa," lanjut Adilla tanpa mau menatap kedua sahabatnya.

"Tapi lo bisa nolak kalau memang nggak suka sama caranya," ucap Vaya pelan. Matanya kembali menatap Ivan, berusaha meminta bantuan untuk menghadapi Adilla yang kumat sensitifnya.

"Menurut lo gue bisa begitu? Kayak nggak tahu aja gimana om gue."

"Bisa, kok. Kayak biasanya. Lo berontak, lo kena boikot, terus kena hukum. Tapi setelahnya kembali kayak biasa, kan? Meski harus drama perang-perangan dulu," ujar Ivan.

"Sekarang nggak segampang itu," sahut Adilla pelan. "Lagian gue butuh cara ini biar Arian mau dipaksa mundur."

"Memang nggak gampang, itu karena lo mulai tertarik sama ide perjodohan ini. Lo demen sama tuh duda," sanggah Ivan dengan nada mengejek. "Terus, Arian? Basi! Lo nggak butuh cara beginian buat nyuruh dia menjauh. Lo aja yang terlalu santai ke dia, sampai tuh anak demen mepetin lo terus."

Adilla langsung kesal mendengar ejekan Ivan, tapi dia diam saja. Melihat hal itu, Vaya langsung menatapnya heran, meminta kepastian atas kesimpulan yang dibuat Ivan terkait Adilla yang menyukai si duda yang mereka bahas sedari tadi.

"Lo naksir beneran, Dill?!" tanya Vaya sedikit tercengang. "Tapi kemarin lo bilang, lo nggak bakal langsung serius. Cuma mau kenalan dulu, habis itu baru mikir buat lanjutannya."

Pertanyaan Vaya membuat Adilla membuang napas berat. Tidak menyanggah, tidak juga mengiakan.

"Naksir dia," celetuk Ivan dengan bibir menyeringai.

"Rese lo, Van!" gerutu Adilla, akhirnya merespons dengan wajah mulai jengah.

"Wah! Kacau lo, Dill. Ternyata benar, sukanya yang om-om," ucap Vaya, memilih memercayai dengan tuduhan Ivan. Dia kembali menggeleng-gelengkan kepala seperti di awal sambil memasang seringai mengejek.

"Rese banget lo berdua," gumam Adilla sambil bangkit berdiri dengan wajah kesal. Dia memutuskan meninggalkan Vaya dan Ivan yang terus menunjukkan wajah geli sekaligus mengejek ketika melihat gelagat jengahnya.

"Mau ke mana lo?"

Ghani yang baru datang langsung mencekal lengan Adilla, memaksanya berhenti. Adilla yang sudah telanjur jengkel untuk kembali menghadapi Ivan dan Vaya, menepis cekalan tangan Ghani dengan cuek.

"Kenapa tuh cewek?" tanya Ghani setelah berhasil mendudukkan diri di sebelah Vaya.

"Dia nerima perjodohan sama duda. Bakal segera dikawinin."

Ghani mengernyit, meragukan jawaban Vaya yang terdengar seperti candaan. Namun, ketika melihat respons tenang Ivan yang mengangguk yakin ketika ditanyai melalui tatapan, Ghani langsung mendesak keduanya untuk menjelaskan detailnya.

***

Adilla memang tidak menyangkal bahwa dia mulai tertarik pada perjodohan yang telah diatur oleh Adam Wijaya, kakak kembar almarhum ayahnya yang menjadi wali Adilla sejak dia kecil.

Keengganan yang sempat dia rasakan, perlahan mulai memudar ketika mendapati bahwa Gavin ternyata memenuhi kualifikasi yang dimiliki oleh seorang calon suami versi Adilla. Pastinya juga sesuai dengan yang diinginkan Adam.

Baru kali ini Adilla terlihat satu pemikiran dengan Adam, mengingat biasanya mereka jarang sekali bisa satu pemahaman. Berhubungan dengan Gavin pasti akan memberi keuntungan pada Adam. Kalau tidak, mana mungkin pria itu mau mendekatkan Adilla pada Gavin.

Pilihan Adam tidak mengecewakan. Namun, jangan salah sangka dulu. Adilla punya pemikiran sendiri kenapa omnya sampai repot-repot mencarikan pasangan untuknya. Tentu bukan untuk kepentingan Adilla. Sudah pasti untuk kepentingan keluarga ini.

Menjodohkan Adilla dengan pria yang memiliki status aman dan nyaman, serta dari keluarga terpandang, secara halus meminta Adilla angkat kaki dari rumah. Melepaskan tanggung jawab atas keberadaannya.

Adilla sudah membaca rencana ini dari lama. Adam yang lebih dulu ingin menyingkirkannya dari rumah. Adilla hanya mengikuti permainan meski hati kecilnya juga benar-benar serius menginginkan keluar dari rumah milik omnya.

Adilla memang memilih untuk menurut saja ketika Adam memintanya bertemu Gavin. Toh, tidak ada salahnya mencoba. Untuk hal ini, Adilla percaya kalau Adam tidak akan menjerumuskannya pada orang yang bisa merusak nama baik keluarga. Jadi, Adilla ingin melihat seperti apa tipe pilihan omnya.

Namun ternyata, Adilla langsung terkesan pada sosok Gavin. Dia hanyalah gadis biasa yang kurang mampu untuk menolak pesona dari pertemuan pertama mereka.

Biasanya Adilla selalu punya pertahanan dan berusaha bersikap selektif pada pria yang mencoba mendekatinya, tapi entah mengapa Gavin seakan memiliki magnet tersendiri untuknya. Gavin membuatnya harus berpikir keras atas keberadaan pria itu.

Ucapan yang pernah Vaya katakan pun ikut mengganggu pikiran Adilla. Adilla bisa memiliki pilihan lain, mengingat Gavin ternyata berstatus seorang duda tanpa anak. Vaya bilang, harusnya Adilla punya kesempatan untuk bersama dengan seseorang yang belum pernah berkeluarga sepertinya.

Sebuah pertanyaan juga muncul dalam kepala Adilla terkait kesediaan Gavin untuk menerima perjodohan dengannya.

Dilihat dari segi mana pun, Gavin adalah tipe pria dengan fisik di atas standar. Pria itu mapan, dewasa dan punya lingkungan yang berkelas. Dia memang seorang duda yang telah bercerai dari mantan istrinya bertahun-tahun lalu, tapi dengan modal yang dimilikinya, seharusnya tidak akan sulit bagi Gavin untuk memilih wanita mana pun yang disukainya untuk menjadi calon istri. Tidak perlu sampai repot meminta orang tuanya mencarikan jodoh segala, kan?

Apalagi saat Adilla menyadari jarak sepuluh tahun umur mereka. Apakah Gavin benar-benar serius ingin mencoba sesuatu dengan gadis bau kencur sepertinya?

Adilla menggelengkan kepala. Tidak perlu pesimis, serunya dalam hati. Dia hanya perlu percaya diri. Tidak ada salahnya mencoba dulu, seperti yang direncanakan sejak awal.

"Baguslah kalau kamu mau menerima dia."

Adilla tersadar. Suara berat Adam menariknya dari pikiran seputar Gavin dan spekulasinya terkait pria itu.

"Nggak ada pilihan lain selain menerima," sahut Adilla ketika Adam memberi tanggapan, setelah menerima laporan pertemuannya bersama Gavin.

"Dilla ...." Satya, putra sulung Adam sekaligus kakak sepupu Adilla yang duduk di sampingnya berbisik lirih, mencoba memperingatkan nada bicara gadis itu.

Selepas makan malam, Adilla memang diminta menghadap ke ruang keluarga demi membahas pertemuan pertamanya bersama Gavin. Di sinilah dia berakhir, berhadapan dengan om dan tantenya, juga kakak sepupu yang ingin mendengar langsung proses pertemuan tersebut.

"Gavin pria yang baik. Dia juga sangat sayang dan perhatian dengan mamanya."

Adam mengangguk sepakat pada ucapan yang dilontarkan istrinya terkait sosok Gavin. Senyum tipis serta binar kasih sayang terpancar dari mata pria itu untuk istrinya, Seruni. Hal yang menurut Adilla tidak pernah didapatkannya dari sosok Adam meski mereka memiliki garis darah langsung sebagai om dan keponakan.

Sesungguhnya, pemandangan semacam itu sudah ratusan kali terjadi di depannya sejak Adilla kecil dan tinggal bersama mereka. Adilla juga terbiasa bahwa dia bukan termasuk pemain di dalamnya. Tidak ada lagi rasa nyelekit di dada ketika merasa iri karena tidak mendapatkan hal yang sama. Adilla sudah merasa kebal.

"Gavin bisa bantu menjaga kamu selama kami pergi," ucap Adam lagi.

"Pergi? Maksudnya?" tanya Adilla cepat. Dia bahkan sempat mendapati Satya berdeham pelan di sampingnya.

Adilla menatap Adam dengan pandangan bertanya, tapi pria itu tidak membalas tatapannya. Seruni juga terlihat mengerling canggung pada sang suami. Mereka jelas punya hal lain yang harus disampaikan.

"Audi berhasil lulus tes masuk Mahatma High School di Singapura. Kami akan menemaninya untuk sementara. Lagipula, usaha yang baru Om mulai di sana sedang membutuhkan penanganan khusus, jadi sekalian saja," terang Adam dengan wajah tenang, seakan ini hanya informasi biasa.

Adilla terdiam. Untuk sementara? Adilla mendengkus dalam hati. Bisa ditebaknya selama apa yang dimaksud Adam. Sudah pasti bukan hanya hitungan bulan.

"Kakak ikut?" tanya Adilla pelan, memastikan. Dia hanya menatap sekilas pada Satya yang langsung mengelus pelan belakang kepalanya.

"Kakak akan tetap di sini. Tenang aja," jawab Satya. Adilla tidak membalas tatapan Satya, dia hanya mengangguk kecil. Bersikap biasa. Seperti yang sudah-sudah.

"Kami akan sering pulang, Sayang. Tante akan siap sedia membantu menyiapkan pernikahan kamu dengan Gavin." Seruni bangkit dari tempat duduknya di samping sang suami, lalu mendekati Adilla demi bisa menggenggam tangan gadis itu.

"Kami masih pendekatan, Tante. Jangan membicarakan tentang pernikahan dulu," sahut Adilla dengan raut datar.

"Orang tua Gavin meminta anaknya bertemu kamu bukan untuk membuang waktu dengan pacaran dan sebagainya." Adam kembali bicara, tapi kali ini dengan nada memperingatkan.

"Gavin sudah sepakat untuk mencoba dulu," sahut Adilla dengan suara tenang, tanpa merasa terintimidasi sama sekali meski suara Adam terdengar mulai mengancam.

Adam mulai mengerutkan kening, menatap Adilla tajam. Dia memang yang paling tahu kapan jiwa berdebat keponakannya akan muncul. "Kamu belum mengenal keluarga Anggara. Mereka nggak akan ...."

"Dia nggak akan bisa memaksa Dilla," potong Adilla sambil menarik cepat tangannya dari genggaman Seruni.

"Adilla!" hardik Adam. Dia yang melihat hal tersebut tentu saja semakin menajamkan tatapannya karena merasa tidak suka dengan sikap kasar Adilla pada sang istri, juga karena keberanian gadis itu memotong perkataannya.

Adilla memalingkan wajah, menolak patuh.

"Ayah ...." Seruni kembali bangkit dari duduknya untuk menyentuh pundak Adam, menenangkan suaminya. "Dilla baru sekali bertemu Gavin, wajar kalau mereka belum akrab. Masih butuh pengenalan dulu."

Adilla hanya diam, tidak lagi menyahut. Dia memutuskan berhenti memancing kekesalan Adam. Bahkan sampai Seruni menggiring Adam yang berwajah kesal menuju kamar mereka, Adilla tetap bungkam dan terus lanjut memakan buah yang tadi disiapkan ART.

"Kakak akan bantu bicara dengan Ayah supaya nggak terlalu serius tentang hubungan kamu dengan Gavin." Satya kembali mengelus kepala Adilla dengan pelan.

"Nggak usah, Kak. Dilla lumayan tertarik, kok, sama Gavin."

Satya agak terperanjat mendengar sahutan santai adik sepupunya.

"Akan lebih bagus kalau Dilla bisa segera menikah dan keluar dari rumah ini."

"Dari mana asal pikiran bodoh begitu?!" tanya Satya dengan nada tajam.

Adilla yang melihat tatapan tidak suka Satya, tersenyum tipis dan memilih beranjak dari duduknya untuk kembali ke kamar. "Dilla masih ada tugas," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Satya.

"Dilla!"

Adilla tidak menghiraukan. Satya adalah kakak sepupu yang cukup pengertian. Pria itu pasti paham dan tidak akan mendesaknya.

Dia juga hanya tersenyum seperti biasa ketika bertemu dengan Audina yang berdiri di pintu kamarnya, menatap Adilla penuh tanya. Audina adalah adik Satya, putri bungsu Adam. Gadis berumur lima belas tahun itu memang tidak diikutsertakan dalam pembicaraan mereka tadi.

"Ayah kenapa, Kak?" tanya Audina dengan agak berbisik. Dia sempat sedikit mencuri dengar pembicaraan akibat penasaran dengan pertemuan keluarga yang melarangnya ikut serta.

"Biasalah."

"Kakak serius mau segera nikah?" tanya Audina lagi dengan sangsi sekaligus heran.

"Bukan menikah," ralat Adilla sambil mengelus sayang kepala adik sepupunya. "Pendekatan dulu."

"Pacaran, maksudnya?!" Mata bulat Audina menatap Adilla dengan tidak percaya. Adik sepupunya memang sangat manis dan juga cantik seperti bundanya. Adilla lebih sering merasa gemas kalau harus melihat tatapan polos Audina.

"Cowok yang waktu itu bakal marah besar, loh, kalau Kakak sampai menjilat air liur sendiri. Dulu Kak Dilla nolak dia karena alasan nggak mau pacaran, kenapa sekarang malah ...."

"Baik-baik nanti sekolah di sana, ya," potong Adilla sambil kembali mengelus puncak kepala Audina dengan sayang. "Harus selalu juara kelas. Nggak boleh bandel. Jangan bikin Ayah dan Bunda khawatir."

Audina termangu sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan, lalu berucap lirih dengan bibir cemberut, "Aku nggak pengin Ayah dan Bunda ikut segala, tapi Kakak tahu sendiri gimana mereka, kan?"

Adilla tersenyum kecil. "Kamu memang harus selalu diawasi supaya nggak aneh-aneh nanti di sana," sahut Adilla sambil mencubit gemas sebelah pipi Audina hingga membuat gadis itu meringis dengan bibir semakin cemberut.

Adilla tertawa melihat Audina misuh-misuh, tapi tidak berkutik untuk membalas keusilannya. Adilla kembali menyempatkan diri mengacak puncak kepala gadis itu, sebelum memilih berlalu menuju kamar tidurnya sendiri.

Dalam kamarnya, Adilla memilih untuk duduk di pinggiran tempat tidur, terdiam sambil terus berpikir. Sesekali dia juga mendengkus miris memikirkan garis hidupnya selama ini.

Harusnya Adilla senang akan segera berjauhan dengan Adam yang hampir selalu menatapnya dengan dingin atau kadang malah tidak mau berlama-lama menatapnya. Namun anehnya, saat ini jantungnya malah terasa nyeri ketika mengingat kabar kepergian mereka.

Faktanya dia akan ditinggalkan lebih dulu.

Mungkin memang harus begini nasib yang dimiliki seorang anak yatim piatu yang bisa hidup berkecukupan lewat bantuan sanak saudara orang tuanya. Tidak banyak yang bisa dituntut Adilla dari keluarga Adam Wijaya, kakak kembar ayahnya.

Mereka mau merawatnya dengan segala kebutuhan yang terpenuhi hingga sampai sekarang saja, Adilla sudah sangat bersyukur. Walau dengan ketimpangan kasih sayang yang membuat Adilla harus banyak menahan diri dalam diam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro