Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Adilla memutar ujung jari telunjuk pada bibir cangkir miliknya. Dia enggan memulai, sekaligus masih menolak untuk menatap langsung pada sosok pria di depannya.

Mereka sudah berkenalan secara formal beberapa waktu lalu. Saat ini keduanya memilih diam dan menikmati minuman masing-masing.

Adilla tahu bahwa Gavin tengah memandangnya hampir tanpa henti. Itu yang semakin membuat dia enggan untuk mendongak dan membalas tatapan pria itu.

"Kamu keberatan?"

Mau tidak mau, Adilla harus mengangkat kepalanya ketika akhirnya Gavin berinisiatif memulai inti dari pertemuan mereka hari ini.

"Kamu keberatan dengan pertemuan ini?" ulang Gavin lagi.

Adilla tersenyum kecil dengan agak sungkan. "Enggak, sih. Tapi karena baru pertama kali bertemu, jadi saya agak ...." Dia tidak melanjutkan perkataannya. Berharap Gavin memahami kecanggungannya saat ini.

"Saya harap kamu mau bertemu saya hari ini karena memang keinginan pribadi, bukan karena paksaan dari Om Adam."

Adilla langsung penasaran akan suatu hal ketika mendengar perkataan Gavin barusan. "Memangnya kamu nggak dipaksa ketemu dengan saya?"

"Nggak."

Jawaban lugas Gavin membuat Adilla sempat termangu. Terlebih ketika melihat kesan santai yang ditunjukkan oleh pria itu.

"Saya memang berniat untuk segera menikah. Jadi, saya datang memang karena keinginan pribadi dan tanpa paksaan."

Adilla terdiam, kemudian mulai mengangguk pelan. Bertingkah seakan mengerti, padahal kepalanya sedang mencerna keras atas jawaban tanpa keraguan yang dilontarkan Gavin.

Sungguh mengagetkan. Perkataan Gavin tadi seakan-akan menunjukkan kalau pria itu sama sekali tidak keberatan dengan penyebab mereka harus bertemu hari ini.

Adilla memang sedang tidak memiliki banyak pilihan. Om Adam, walinya, ingin Adilla mencoba menjalin hubungan dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, Adilla sedang bermasalah dengan seorang pemuda yang beberapa waktu ini terus-terusan mengejarnya, terasa mengganggu. Dia butuh bantuan. Menurut Adilla, menemui Gavin mungkin adalah salah satu jalan pintas teraman untuknya saat ini.

"Jadi," ucap Adilla mengulangi kata yang tadi juga digunakan oleh Gavin, "ini kelanjutannya mau gimana?"

Gavin terlihat sedikit menaikkan alis sambil terus menatap pada Adilla dengan maksud bertanya.

"Keputusannya, maksud saya. Sebagai awal, mau mencoba dulu?" tanya Adilla langsung.

Kali ini Gavin sedikit mengernyit meski detik berikutnya dia langsung tersenyum samar, berhasil menemukan hal apa yang mengganggunya dari sosok gadis di depannya itu.

"Kalau boleh tau, berapa tepatnya umur kamu?"

"Sembilan belas tahun," jawab Adilla dengan agak bingung. Pertanyaannya malah dijawab oleh pertanyaan lain yang harusnya sudah diketahui pria itu sebelum memutuskan bertemu dengannya.

"Baru kuliah?" Suara Gavin terdengar kaget.

"Iya. Mulai masuk tahun lalu."

Gavin mengangguk paham. Sekilas dia tampak menerawang sebelum akhirnya kembali menatap Adilla. "Kamu membuat saya agak kaget," ucapnya.

"Maksudnya?" Adilla mencoba menilik dengan saksama pada ekspresi tenang Gavin.

"Di awal tadi, kamu terlihat canggung dan nggak menunjukkan ketertarikan sama sekali pada pertemuan ini. Tapi berikutnya, kamu malah langsung frontal menanyakan kelanjutannya, seperti nggak sabar mengetahui setelah ini kita mau melakukan apa."

Gavin kembali tersenyum samar ketika melihat raut terpaku Adilla. Gadis itu sepertinya baru sadar pada tingkah lakunya sendiri.

Adilla merutuk dalam hati. Apa benar dia tadi terlihat seperti yang dikatakan Gavin? Memalukan. Mudah sekali dirinya terbaca. Padahal sedari tadi dia yang berusaha membaca karakter Gavin, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Saya nggak punya pilihan," ucap Adilla pelan, kembali enggan menatap Gavin.

"Nggak punya pilihan?" tanya Gavin, terdengar heran.

Adilla menghela napas panjang dengan tidak kentara. Tidak mungkin dia akan menjawab pertanyaan Gavin dengan sebuah kejujuran bahwa dirinya mau mencoba menerima perjodohan dengan pria ini karena ingin cepat-cepat keluar dari rumah omnya, juga demi menghindari seorang pengganggu. Bisa gawat kalau tujuan utamanya ketahuan. Gavin mungkin saja akan tersinggung karena dijadikan pelarian.

"Kamu adalah pilihan Om Adam. Cukup itu aja. Saya nggak akan komplain banyak. Saya juga nggak keberatan kalau diminta untuk mencoba lebih dulu," ucap Adilla dengan memasang senyum tipis.

Gavin kurang puas, tapi memilih memaklumi. Dia memang mengetahui karakter Adam selaku wali dari gadis ini. Bisa jadi memang benar bahwa Adilla tidak punya pilihan selain menuruti omnya yang cenderung otoriter.

Adilla kembali meminum vanilla latte miliknya demi mencari kesibukan. Dia masih agak kesal pada Gavin yang hampir tepat membaca dirinya. Dia juga mencoba mengabaikan tatapan Gavin yang hampir tidak lepas menatapnya sejak awal mereka duduk berhadapan.

"Kamu mau nggak, kalau kita segera menikah?" tanya Gavin tiba-tiba.

Adilla mendongak dengan cepat kemudian menatap Gavin dengan sorot terkejut. Kembali merasa kaget karena sikap terang-terangan Gavin.

Pikir Adilla, mungkin awal pertemuan mereka akan berisi perkenalan, lalu kesepakatan untuk lebih dulu saling menilai. Baru setelahnya mulai memutuskan bisa lanjut atau tidak. Haruskah langsung ke inti tujuan seperti ini?

"Nggak butuh pendekatan dulu?" tawar Adilla, dengan nada ragu yang mencoba bernegosiasi.

Adilla tentu saja semakin merasa keheranan. Gavin serius mau melanjutkan ini? Bahkan setelah tahu bahwa dia adalah gadis yang belum genap berumur dua puluh tahun? Benarkah? Segampang itu? Padahal Adilla sudah agak pesimis saat mendengar nada kaget Gavin ketika mendengar dirinya masih berumur sembilan belas tahun.

Gavin mengangguk-angguk kecil, seperti tengah menimbang tawaran Adilla. Hanya sebentar dia melarikan matanya pada hal lain. Detik berikutnya Gavin sudah kembali menatap intens gadis di depannya, seakan takut melewatkan ekspresi yang muncul di wajah Adilla.

"Saya bukannya ingin mendesak kamu, tapi akan lebih baik kalau kita nggak menundanya terlalu lama."

Adilla terdiam sejenak. Membalas tatapan Gavin dengan harapan bisa membaca sorot matanya, sekaligus berusaha mengartikan semua kalimat yang dilontarkan pria itu beberapa saat lalu.

"Kamu ... serius dengan ini?" tanya Adilla dengan nada sangsi.

"Kenapa memangnya?"

"Maksudnya," terang Adilla sambil menegakkan tubuhnya, ingin memperjelas lagi, "saya, kan, masih ...."

"Perbedaan umur kita bukan masalah. Itu, kan, yang kamu pikirkan?" potong Gavin dengan raut tenang.

Adilla masih kurang puas. "Mungkin aja kamu menginginkan perempuan yang jauh lebih dewasa. Benar, kan?" tanyanya, berusaha memancing. "Buktinya tadi kamu kaget saat tahu saya masih sembilan belas."

"Nggak juga. Dewasa itu sifatnya relatif, tidak bergantung umur," jawab Gavin dengan nada tenang. "Abaikan kekagetan saya tadi, itu nggak berarti apa-apa."

Adilla memakin merasa heran atas jawaban santai Gavin.

"Atau kamu yang keberatan dengan umur saya?" tanya Gavin dengan nada ringan.

Adilla mengerjap. "Enggak, kok!"

Detik berikutnya, Adilla sudah merutuk dalam hati karena telanjur menjawab terlalu cepat. Seakan takut menyinggung, padahal seharusnya dia tidak perlu merasa seperti itu karena Gavin sendiri terlihat bertanya dengan nada bercanda.

"Kalau begitu, ayo kita coba."

Kalimat tersebut tidak terdengar seperti pertanyaan dengan nada ajakan. Adilla malah mendapat kesan bahwa itu adalah pernyataan yang mutlak harus disetujui.

Adilla ingin menyanggah. Dia seharusnya segera menyuarakan keberatannya atas keputusan yang baru saja dilontarkan Gavin. Namun kenyataannya, Adilla malah terdiam dan menatap tanpa bisa berpaling lagi dari wajah Gavin yang juga balas memandangnya tanpa jeda.

Seperti mata orang Asia kebanyakan, Gavin juga memiliki mata gelap dengan iris kecokelatan. Bahkan cokelat miliknya lebih pekat sehingga tampak seperti kehitam-hitaman kalau tidak dilihat dari dekat. Adilla sendiri memerlukan waktu lama untuk bisa menyadari warna aslinya.

Hal yang membuat mata itu berbeda di pandangan Adilla adalah sorot yang terpancar darinya. Adilla tidak akan menutupi kalau dia sempat terpesona oleh kilat di bola mata gelap milik Gavin. Terkesan tegas dan teguh. Memancarkan pendirian kuat, tapi juga penuh penilaian dan kehangatan.

Berdasarkan informasi yang diberikan Adam, Gavin berumur sepuluh tahun lebih tua dari Adilla. Mapan dan sudah jelas berpendidikan tinggi. Keluarganya memiliki lingkaran pergaulan yang sama dengan keluarga Adilla. Adilla yakin, semua alasan itulah yang membuat Adam memilih Gavin untuk ditawarkan pada masa depannya.

Adilla mendengkus dalam hati. Adam selalu tidak mau rugi. Bahkan untuk perkara pendamping hidup, Adilla harus dipasangkan dengan yang sesuai standar pria itu.

Lalu punya alasan apa Adilla untuk membantah ketika seseorang yang disodorkan Adam adalah sosok yang memenuhi kualifikasi di mata Adilla? Adilla tentu harus mempertimbangkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin demi kepentingannya sendiri.

"Hm, oke. Kita bisa coba. Tapi," Adilla menjeda demi meyakinkan dirinya sendiri, "saya belum bisa menjanjikan kepastian apa pun ke depannya. Kita bisa mencoba pelan-pelan dulu, kan?"

"Jangan terlalu pesimis," sahut Gavin. Pria itu tampak tidak senang pada jawaban Adilla yang terkesan tidak yakin. Dia mengerutkan kening karena merasa terganggu. "Saya malah sangat berharap hubungan kita bisa berjalan baik dan lancar sampai ke pernikahan."

Adilla menangkap keseriusan dari mata Gavin. Sungguh sial baginya, hal tersebut malah membuat bola mata beriris gelap milik pria itu semakin memesona di matanya.

Gavin memang termasuk berwajah tampan. Sosok pria dewasa dengan karisma tenang yang terpancar benar-benar tidak bisa diabaikan begitu saja, apalagi oleh gadis minim pengalaman seperti Adilla.

Entah bagaimana raut wajah Adilla saat ini. Dia jengkel sekali karena menyadari bahwa sepertinya dia kalah terlalu cepat, sebab harus lebih dulu terpesona pada sosok Gavin. Terutama pada pertemuan pertama mereka.

Bahkan saat Gavin bersikeras mengantarnya pulang, Adilla hanya mengangguk tanpa banyak berpikir. Tidak berkeinginan menolak, padahal tadi dia berniat untuk mampir dulu ke rumah sahabatnya. Adilla seakan pasrah dan menerima dengan senang hati pendekatan yang dilakukan pria itu.

Pada akhirnya, Adilla terpaksa mengaku bahwa hati kecilnya memang menginginkan lebih lama lagi bersama Gavin, agar bisa mengenali karakter pria itu.

Dalam perjalanan, Gavin tidak banyak berbicara. Adilla juga tidak terlalu berusaha membuka pembicaraan. Namun, sesekali keduanya saling bertatapan singkat dan tersenyum kecil, seakan dengan cara itulah mereka saling mendekatkan diri.

Ketika mengantarkan Adilla hingga ke teras rumah, Gavin sempat membuat Adilla kaget dengan aksi kilatnya, menyentuh helaian rambut Adilla dan merapikan anak rambut yang sepertinya mencuat dari tatanan rambut gadis itu.

Setelah berpamitan singkat, Gavin langsung berlalu untuk kembali ke mobilnya. Meninggalkan Adilla yang masih berdiri mematung di teras, menatap kepergian pria itu dalam kebungkaman.

Saat mobil Gavin menghilang dari pandangan, Adilla langsung mendesah panjang. Dia melangkah memasuki rumah sambil merutuki perilaku noraknya yang sudah jelas seperti sedang terpesona dengan segala sikap Gavin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro