Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. 'aku akan kabulkan'

Ada yang menempati kursi dan meja kami di perpustakaan nomor dua siang itu. Empat orang. Tiga perempuan satu laki-laki. Manusia-manusia ekstrover.

Perpustakaan yang mestinya sunyi agar tak memecah konsentrasi pengunjung yang sedang membaca, mereka hancurkan dengan obrolan remaja mereka yang memekakkan telinga.

Aku pergi ke sini selain untuk mengadem dan tidur, juga ingin melanjutkan bacaan. Bukunya kusimpan di sini, tidak membawanya ke rumah karena penjaga perpus tak pernah meladeniku yang hendak meminjam buku.

Tapi Mine beda lagi. Dirinya yang sudah cukup lama tidak bertandang ke markasnya ini terkejut tak percaya melihat orang lain menempati wilayahnya tersebut. Dia mungkin kangen dengan kebiasaan-kebiasaannya berdiam diri di perpustakaan nomor dua dan bercengkerama denganku.

Dan sekarang harus gagal.

Aku menatapnya dari samping, sedikit menunjukkan simpati. "Mau bagaimana?"

Mine menundukkan pandangan. Ada seberkas gelap yang menyelimuti wajahnya. Dia lalu berbalik ke arah pintu. "Cari tempat lain saja."

Ide yang bagus mengingat aku dan Mine tak pernah berduaan di tempat lain di sekolah selain perpustakaan nomor dua dan kelasku. Kami membutuhkan suasana baru. Kejadian ini adalah anugerah bagiku.

Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku, menghindar dari tangan Mine yang barangkali akan menggenggamnya. Tapi dia sudah terlihat murung saja atas peristiwa tadi. Mau tidak mau aku harus menghiburnya.

"Sudahlah," kurangkul bahunya, "masih banyak tempat yang menunggu kita datangi berdua."

Dengan mudahnya juga raut wajah Mine berubah menjadi secerah matahari musim panas. Tampak seperti anak kecil sekali.

Kupandangi dirinya dari samping. Senyum Mine yang saat itu terukir setidaknya dapat sedikit menghangatkan hatiku yang tengah dilanda kegundahan.

Gadis ini terlihat begitu rapuh. Air matanya mudah turun, rasa kesalnya sulit dia sembunyikan, seperti... biarpun manusia-manusia yang dulunya dia anggap berbahaya yang pada kenyataannya tidak berbahaya, Mine sangat bisa tersakiti oleh mereka.

Sekali lagi, gadis ini terlihat sangat rapuh.

Membutuhkan perlindungan, penjagaan, serta kehadiranmu di sisinya.

Dulu Mine adalah pengganggu bagiku, sama seperti status Junko saat ini di mataku. Namun sekarang aku ingin membahagiakannya. Untuk seseorang yang selalu ingin kusematkan senyum pada bibirnya, rasa aman pada hatinya, dan tertawaan lepas tanpa beban di pundak.

Harus mengikuti perkataannya atau instingku atau yang terbaik?

Kata Mine kemarin, dia tak ingin pergi dariku. Menurut pengamatanku, akhir-akhir ini Mine memang terlihat bahagia saat bersamaku. Dan jika menilik yang terbaik, aku harus kembali menulis cerita itu untuk mengembalikan Mine ke tempat seharusnya dia berada. Dan itu bukan di sini, di sampingku.

Kuembuskan udara ke rambut bagian depanku.

"Hiro-kun!" Mine menunjuk diriku dari depan kelas. Kelas yang kosong. Aku duduk di salah satu bangku sana, di tengah. "Coba sebutkan rumus volume tabung."

"Avertebrata adalah hewan yang tidak memiliki tulang belakang."

"Tet. Tot. Kok jadi bahas pelajaran Sejarah, sih."

Ya ampun, betapa pandainya dia memainkan peran seorang guru.

Kupasang muka remehkan ke arahnya sekaligus menyimpan lengan di bangku belakang. Posisi dudukku sudah seperti murid pembuat onar. "Mine-sensei. Tolong ajarkan aku cara membahagiakanmu dong."

Aku memerhatikan perubahan wajahnya menjadi semerah stroberi. Manis seperti stroberi.

"H-Hiro-kun tidak sopan!" sergahnya, pura-pura tidak terima. Kembali dilipatnya tangan di depan dada dengan mata terpejam. "Cara membahagiakanku, ya?"

Tuh, kan. Aslinya dia senang.

Mine ini sedikit tsundere.

Sama sepertiku.

"Apa saja bisa sih asal bersama Hiro-kun. Asal ada Hiro-kun di dalamnya."

"Selain yang berhubungan dengankulah."

Jawaban dia kurang kreatif.

Mine berdecak keras-keras. "Ya sudah, ya sudah. Aku ingin...."

Bicaranya tiba-tiba berhenti. Dan kembali lagi rona wajahnya dihiasi aksen gelap.

"Ingin apa?"

"Punya... teman."

Meski jawaban itu sempat terlintas di benakku, pikiranku tetap kosong kala mendengar Mine akhirnya mengungkapkan keinginan terpendamnya. Dadaku pun sedikit sesak merasakan kesepian Mine yang agaknya masih membabi-buta.

Aku mengacak rambut sebentar. Beranjak dari kursi kemudian. "Gantian, Mine. Aku yang di depan."

Mine yang menundukkan kepala langsung tersadar dengan raut bingung ketika aku menghampirinya. Tapi kemudian aku izin keluar kelas dulu untuk mencuci muka.

Beberapa menit setelahnya, diriku sudah berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah kertas yang kubaca keras-keras. Tapi versi keras suaraku termasuk masih pelan bagi sebagian pendengar.

Aku berdeham. "Aku akan membacakan esai tentang seorang gadis berparas cantik, menarik, unik, dan berhati baik."

Mine menahan tawanya di bangku yang kutempati tadi.

Aku berdeham lagi. Tenggorokanku agak tak enak. "Sebut saja dia NM. NM ini mempunyai banyak teman. Mudah bergaul, tidak pilih-pilih teman, dan setia pada satu orang laki-laki berinisial SH."

Tawanya itu akhirnya dia keluarkan sambil memukul-mukul meja.

Aku tersenyum di tempatku berdiri. "NM pandai dalam pelajaran Matematika, Biologi, dan Sejarah. Dalam festival olahraga pun, dirinya selalu menyabet juara pertama di setiap lomba yang diikutinya seperti lari jarak pendek—"

"Maaf Hiro-sensei, kami telat."

Dua orang murid berseragam musim panas yang sedikit berantakan dan tanpa tas, memasuki kelas lalu duduk di sebelah kiri dan kanan Mine.

"Aku bukan sensei!" teriakku ke wajah cuek mereka berdua. Kuatur suara lagi. "Aku sedang membacakan sebuah esai untuk murid perempuan yang duduk di tengah-tengah kalian."

"Ya tapi mukanya tidak perlu sampai memerah segala."

Aku terlonjak, segera berlari menuju cermin terdekat di loker belakang. Tetapi tak ada warna merah di bagian mana pun wajahku.

Sialan, Daniel mengerjaiku.

Kemudian, terdengarlah tertawaan dua orang yang baru masuk ruangan tadi, disusul si narasumber esai yang kembali menyuarakan tawa lepasnya.

Jadi badut lagi.

Tak apa. Demi Mine.

Lima belas menit sebelumnya.

"Daniel, bisa ke sekolah sekarang?"

"Hah? Malas banget deh. Aku lagi perawatan wajah."

"Mukamu sudah bagus dari sebelum aku lahir, tidak perlu dirawat-rawat segala."

"Ck. Kenapa, sih?"

"Mine. Butuh teman."

"Kan ada kau, Hiro. Kau sudah sangat cukup baginya."

"Itu beda lagi. Aku ingin Mine... setidaknya pernah merasa mempunyai teman-teman sekelas."

Daniel tidak bersuara.

"Aku mohon. Aku akan melakukan apa saja untukmu setelah ini. Ke sekolah sekarang ya, Daniel."

"Kau sungguh merepotkanku."

"Sama-sama. Ajak Inumura-san juga. Aku sayang padamu."

"NAJIS!"

Junko mengeluarkan kotak bekalnya ke tengah meja. Empat meja yang dijadikan satu untuk membuat mejanya lebih luas.

Mine berseru gembira mendapati isi makanan yang Junko bawa ke sekolah. "Kau tahu, baru kali ini aku benar-benar bisa mencicipi bento sungguhan."

"Siapa yang bilang kau boleh mencicipinya?"

"H—"

"Kita tentukan dengan jankenpon. Yang menang bisa mencicipinya satu sumpit."

Aku tahu Junko itu orangnya asyik.

Mine tak jadi cemberut.

Kemudian dimulailah acara makan siang terlalu dini yang kurang mengenyangkan karena aku cuma makan satu suap.

Aku menang delapan kali, sih. Cuman yang tujuhnya kusuapkan ke Mine. Menyebabkan Daniel dan Junko berteriak-teriak protes melihat aksi mesra yang kutujukan kepada gadisku itu.

Kalau iri ya lakukan sendiri saja ke orang yang duduk di sebelahmu!

Kukembangkan senyum menghadap tawa Mine yang tak kunjung berhenti menyaksikan adu sengit batu kertas gunting yang selalu seri antara Daniel dan Junko.

Aku akan membahagiakanmu dulu, Gadisku. Sebelum... aku akan mengantarmu ke takdirmu yang seharusnya.

Kau menginginkan apa lagi?

Aku akan kabulkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro