19. tentang si gadis centil
Nyatanya, aku tidak bisa tidak pergi ke perpustakaan nomor dua setiap harinya selama masa-masa awal liburan musim panas. Aku belum terbiasa dengan cuaca panas yang sangat menyengat ini. Di dalam rumahku, udaranya benar-benar membuat gerah sehingga mandi lima kali saja rasanya masih tetap tidak mempan.
Namun Kenji-nii tampak tidak terpengaruh. Dirinya anteng bermain gim komputer di kursi kamarnya hampir sepanjang hari selain memasak untuk sarapan dan makan malam. Padahal di kamarnya juga tidak ada pendingin udara. Metabolisme tubuhnya benar-benar bagus.
Mungkin aku harus memperbanyak olahraga.
Dan beginilah caraku berolahraga atau mengeluarkan keringat karena beraktivitas; bersepeda setiap hari ke sekolah walau tanpa Mine di bangku belakang. Dia pun tidak selalu ikut denganku akibat malas gerak.
Aku mulai menyadari suatu kejanggalan di sini. Mine kan suka keramaian, banyak tingkah, dan gampang merasa bosan. Tapi kenapa pergi ke sekolah denganku di hari sepanas ini dia malas?
Jadinya, aku harus menahan kesabaranku berduaan dengan Junko yang akhir-akhir ini sering duduk di meja tengah perpustakaan nomor dua. Dia masih penasaran denganku. Sekali lagi, aku telah menggali lubang kelinci.
"Nee, Hiro-kun."
"Shiragami."
Seharusnya tak kuucapkan nama lengkapku padanya.
"Pergi ke kolam renang atau pantai, yuk!"
Dia pun masih berpikir aku laki-laki yang hobi bersosialisasi. Padahal teman priaku hanya Daniel.
Aku tidak menanggapinya.
"Gerah banget tahu. Aku ingin bermain-main air di kolam renang atau pantai."
Sesejuk ini dia masih bilang gerah? Metabolisme tubuhnya sangat jelek.
Tapi omong-omong, itu beneran ada kaitannya sama metabolisme, ya?
"Tapi sebelumnya aku ingin berbelanja—"
"Stop, stop." Aku tahu apa yang akan dia katakan. Itu hal yang memalukan dibicarakan di depan laki-laki. "Aku tidak punya uang."
"Bohong sekali."
Iya, bohong.
"Kalau begitu sih, pakai uangku juga tidak apa-apa."
"Mana bisa." Harga diriku bisa terkikis. "Aku tidak punya waktu."
"24 jam sehari-harimu memang ngapain saja?"
"Tidur."
Akhirnya kukeluarkan juga sisi asliku!
"Tidur itu bikin cepat tua."
Hoaks dari situs mana itu.
Berhari-hari kami berada di ruangan yang sama tanpa Mine, sebenarnya aku sudah menunjukkan gelagat cuekku dengan rajin mengabaikannya melalui tidur. Sumpah, tidur di musim panas saat suasana sekolah sepi ditambah udara sejuk dari pendingin ruangan perpustakaan nomor dua, merupakan kombinasi yang sangat pas! Ini adalah surga bagi laki-laki penyuka tidur sepertiku.
"Kau menjadi agak membosankan saat sekolah libur ya, Hiro-kun?"
Aduh. Setiap harinya aku ini manusia yang membosankan, Inumura-san. Kau jangan berharap apa-apa pada laki-laki suram ini. Kemarin itu adalah kebohongan terbesarku yang kutunjukkan pada dunia. Berpura-pura menjadi laki-laki menyenangkan.
Bagaimana caranya menghentikan perempuan nyentrik ini, ya. Sudah tahu aku sudah punya gadis, masih saja didekati.
Ini sangat menyusahkan.
"Nee, Inumura-san?"
"Apa, apa?"
"Pergi ke suatu tempat, yuk?"
"Ke mana?"
"Hotel."
Dan di sinilah kami berdua sekarang. Di suatu pantai yang sepi beberapa jam sebelum matahari terbenam.
Junko mengiyakan ajakanku ke hotel tersebut; hanya sebentar saja dia terlihat terkejut, setelahnya raut mukanya kembali normal. Aku pun bersikap normal, seolah aku benar-benar akan membawanya ke hotel.
Tapi aku bukan laki-laki bejat. Dan Junko pun tahu aku tidak serius membawanya ke sana. Dia hanya duduk diam di bangku belakang yang biasa Mine duduki, agak membuatku tak suka sebenarnya.
Tapi hanya untuk hari ini, aku harus menyelesaikannya. Daripada diam mengikuti alur semula.
Junko masih diam saat kaki telanjangnya sudah bersentuhan dengan pasir pantai lembut, dia menanggalkan kaus kaki dan sepatunya di pinggir. Aku duduk sedikit jauh darinya, ikut menelanjangi kaki.
"Kau, tidak benar-benar tertarik padaku, kan?"
Kumulai apa yang sebaiknya segera berakhir. Dia jelas menjadikanku bagian dari hiburannya kala bosan menghadapi libur yang berkepanjangan.
Dia jenis cewek seperti itu.
Junko tertawa pahit. "Lumayan tertarik kok," jawabnya. "Walau kau membosankan, entah saja aku sedikit penasaran denganmu."
Bukan bohong ternyata.
Aku menggaruki belakang leher. "Yang kemarin itu, saat pertama kau bertemu denganku, itu bukan diriku yang sebenarnya. Itu palsu. Aku hanya sedang berakting menjadi lelaki menyebalkan yang biasa terlibat dengan perempuan sejenismu."
"Hoo, begitu, ya." Wajahnya tampak tak minat menghadap ke kejauhan. "Tapi aktingmu lumayan oke. Kau cocok juga jadi lelaki seperti itu "
Wow. Ternyata aku ini berbakat.
"Terus," inilah intinya, "kenapa kau terus mengintiliku jika tak benar-benar suka padaku?"
Menggelikan sekali bersikap kegeeran begini. Tapi mau bagaimana lagi.
Junko membuat garis dengan jari di pasir pantai. "Aku sedikit terkejut saja. Kok ada ya, laki-laki yang tak kenal aku dan tak tertarik padaku. Padahal yang kutahu aku ini dipuja-puja mereka."
Ya Tuhan. Apakah gadis ini doyan berhalusinasi?
"Yang kutahu, aku ini gadis yang sangat cantik, populer, punya banyak teman, aktivitas menyenangkan, dan hampir semua laki-laki menginginkanku. Tapi begitu aku berjumpa denganmu, mendapat penolakan dan pengabaian, aku merasa tidak puas. Aku seperti belum benar-benar mendapatkan kemenangan."
"Kemenangan dari siapa?"
Dia diam sejenak. Tangannya pun berhenti membuat garis. "Diriku sendiri." Kembali bergerak membentuk garis lurus.
"Maksudnya?"
Bahunya naik-turun seiring embusan napas yang dia keluarkan. "Ya itu tadi. Aku merasa diriku ini lebih. Lebih dari apa yang orang-orang sekitarku miliki. Lebih dari apa yang diriku bayangkan. Aku ini lebih. Berharga, istimewa, dan spesial."
"Lalu, hanya karena kau mendapat satu penolakan dan pengabaian dariku, alias aku hanya sedikit bersikap cuek padamu, kau langsung uring-uringan?"
Nampaknya Junko tidak mau mengakuinya. Tipe gadis seperti dia tuh serakah, selalu harus mendapatkan apa pun yang dia mau termasuk hal remeh semacam perhatian.
Ah, tapi. Bagi seseorang yang tidak pedulian sepertiku, aku jarang sekali memberikan perhatian untuk orang lain.
Sialnya Junko merasa gelisah gara-gara sikap biasaku.
"Baiklah, ini aku sudah perhatian padamu." Kubalikkan kepala ke arahnya. Dia ikut menatap diriku. "Aku sudah mengajakmu bicara serius berdua ke tempat yang jauh, bahkan sama perempuan yang belum benar-benar aku kenal. Aku sudah perhatian padamu, Inumura-san."
Tertawaan pahit kembali dia keluarkan. "Kau membuatku kelihatan menyedihkan saja."
"Maaf." Tulus, namun diucapkan dengan kurang tulus. "Aku ingin terbebas darimu. Pendek kata, jangan ganggu aku lagi."
"Baiklah, baiklah." Dia mengepruk-ngepruk sisa pasir di belakang rok seragam musim panasnya. "Kau menang, Shiragami-kun."
Junko masih berdiri di situ, menghadap arah yang sama. Cakrawala tak terbatas.
"Tapi bukan berarti aku tidak akan mengunjungi perpustakaan itu lagi. Kuakui, di situ memang nyaman."
Iya, nyaman, karena udara sejuk pendingin udaranya, dan seorang gadis yang kini sudah jarang lagi mengeksistensikan dirinya di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro