16. bersama si ekstrover di pusat perbelanjaan
Aku menemani Mine belanja ke pusat perbelanjaan. Dia sendiri yang mengajakku dan merampok uangku untuk dia belikan pakaian-pakaian wanita serta aksesorinya. Karena pernak-pernik keperluan wanita biasanya lebih mahal dibanding pria, kantongku jadi terkuras banyak.
Mine memang belum sepenuhnya berani terhadap manusia-manusia lain. Tetapi momen ini dia manfaatkan juga untuk melatih dirinya terbiasa dengan mereka. Ya meski tetap ada aku di sampingnya.
Dia sampai menggenggam tanganku dan belum melepaskannya juga.
"Ke sini, Hiro-kun."
Kaum ekstrover. Sama seperti Kenji-nii dan Daniel. Tidak adakah yang sesifat denganku?
Mine sedang mencoba beberapa baju, rok pendek, celana, dan gaun one piece di kamar pas. Aku menghela napas di tempat duduk. Belum satu pun membeli apa-apa sudah kelelahan.
"Bagus tidak, Hiro-kun?"
Mine keluar dengan setelan pertamanya. Baju agak transparan dengan bawahan celana kain warna cerah di atas lutut. Jenis pakaian yang biasa digunakan perempuan gaul.
Aku hanya mengangkat jempol sebagai respons.
Mine masuk lagi, dan keluar lagi dengan setelan lain. Kali ini gaun one piece sederhana berwarna putih keabuan yang membalut tubuh langsingnya.
Lebih bagus yang ini.
Aku memberi jempol bonus senyuman.
Mine malah menggerutu. "Tidak ingin bilang apa-apa gitu? Jempol saja terus yang kau beri."
"Keren."
Mukanya semakin tidak terkontrol. "Memangnya aku ini laki-laki?"
Aku mendesah. "Perempuan juga bisa keren kali."
"Tapi penampilanku ini cenderung girly." Mine berjalan mendekatiku. "Tidak bisakah sebut aku cantik?"
Aku menatapnya dengan pandangan biasa saja. Kemudian mengembuskan napas. "Dari pertama aku bertemu denganmu juga kau sudah cantik. Dan bukankah kau sendiri tahu kau itu cantik."
"Beda lagi kalau Hiro-kun yang mengucapkannya."
Dia membuatku tercekat dengan kata-katanya. Seberapa besar memang perbedaannya jika Daniel juga mengucapkannya?
Kutelan ludah, memerhatikan Mine dari atas ke bawah. Dia menyimpan kedua tangannya di balik tubuh, menungguku mengatakan sesuatu.
Dilihat-lihat Mine memang luar biasa cantik dengan gaun one piece itu.
Aku menundukkan wajah. "Iya, cantik." Ungkapan itu keluar dalam wujud bisikan.
Namun tak kubiarkan Mine sempat menanggapinya. Kudorong bahu dia kembali masuk ke kamar pas dan menyuruhnya membereskan pakaiannya yang semula.
"Langsung pakai saja yang itu. Aku akan membayarnya dulu ke kasir."
Di meja kasir, kukeluarkan kertas post it dan pulpen, lalu menulisnya dengan sebuah kalimat pernyataan. 'Aku membeli satu buah gaun one piece. Ini uangnya. Aku adalah orang yang pemalu, dan tolong jangan laporkanku ke polisi karena aku tidak mencuri'.
Kulepas bagiannya dari lem, menempelnya di permukaan meja, kemudian kusimpan uang pas seharga gaun one piece tadi di atasnya.
Ini memang sangat merepotkan. Setiap aku membeli suatu barang, aku harus menulis keterangan bahwa aku telah membeli barangnya dengan menyimpan uang pas di atas kertas post it yang kutempel tersebut. Masalah awalnya sih setiap aku menyodorkan barang yang hendak kubeli ke kasir, mereka selalu mengabaikanku seolah aku ini hantu. Jadilah kulakukan cara ini setiap aku membeli barang.
Setelahnya, biasanya mereka akan bingung sekejap saat mendapati kertas berwarna kuning menempel di meja kasir. Namun uang yang kusimpan itu tetap mereka ambil dan tidak pernah sampai melaporkan ke polisi segala.
Warga negara Jepang memang terkenal jujur termasuk diriku.
Selesai dari situ, perhentian Mine selanjutnya masih toko pakaian. Namun kali ini toko pakaian pria. Benar. Dia memilihkanku baju untuk kupakai nanti dengan uangku sendiri. Memangnya gadis fiksi punya uang dari mana? Kecuali Mine pernah merampok atau menemukan koper berisi uang.
"Mau pakaian yang manapun tetap sama saja, kan?" Aku memprotes dengan malas-malasan. "Laki-laki berbeda dengan perempuan."
Dia menyodorkan kemeja polos lengan panjang dengan baju dalamannya berwarna merah hati. "Kau itu sudah ganteng, Hiro-kun. Cuman gayamu saja yang membosankan hingga membuat penampilanmu jadi tidak keren."
Aku bukan tipe laki-laki yang biasa melambung tinggi setiap mendapat pujian dari seorang gadis. Pada Mine juga. Namun ketika barusan dia memuji fisikku yang menurutku tidak ada spesialnya, aku seperti mendapat serangan kupu-kupu dari dalam perut.
Ya ampun, sejak kapan aku jadi mudah malu begini?
Aku berusaha terlihat tidak terlalu senang. Kuambil paduan pakaian itu dari tangannya lalu pergi ke kamar pas. Untung dia tidak membawa celananya juga.
Setelah kukenakan kemeja dan baju dalamannya di depan cermin, kutemukan diriku yang masih terlihat biasa saja, tidak ada bedanya dengan yang tadi.
"Bagaimana, Hiro-kun?"
Mine tiba-tiba membuka pintu kamar pas yang lupa kukunci. Seketika matanya bersinar sampai berjalan lebih dekat padaku, menyebabkan punggungku menubruk dinding.
"Coba ponimu kau singkirkan sedikit." Mine berjinjit mengatur-ngatur rambut bagian depanku seenaknya dengan gel rambut yang tiba-tiba sudah dia lumuri ke tangannya.
Jantungku langsung saja melompat-lompat di tempat.
Gadis ini begitu agresif.
Aku sampai kewalahan.
"Nah." Dirinya mundur untuk melihat maha karyanya. "Kalau begini kan Hiro-kun jadi semakin enak dipandang."
Dilihat dari cermin samping, ada yang memerah lagi. Tentu saja wajahku.
Aku pun tidak membiarkan Mine menikmati keusilannya sendirian. Kuperangkap wajahnya dengan telapak tangan sambil berjalan keluar kamar pas. Mataku kemudian langsung menangkap sebuah gel rambut yang tutupnya terbuka di rak sebelah kiri.
Aku menghela napas.
Barangnya jadi harus aku beli.
Uangku benar-benar dirampok.
Sama seperti Mine, dan atas permintaan Mine, aku tidak melepas kemeja itu dan tidak membetulkan rambutku seperti semula. Kata Mine aku jadi tambah ... ah geli sekali mengatakannya.
Terakhir, atas tarikan tangan Mine, dia membawa kami menuju tempat foto kecil berbentuk persegi alias photobox. Dia ingin mengabadikan kebersamaan kami berdua dengan sebuah foto yang bisa dikoleksinya.
"Aku tidak bisa bergaya!" Protesanku semakin keras dari tempat ke tempat.
Mine mengeluarkan raut jengah. "Kau cuma harus senyum atau mengeluarkan tanda peace ke kamera."
"Tetap saja susah."
"Sudah, diam."
Mine mengutak-atik sekejap benda itu dari depan. Kupandangi pun di sana ada semacam cermin yang mematut diriku dan Mine. Aku tidak bisa kabur. Tanganku sedari tadi terperangkap dalam genggamannya.
"Ayo mulai."
Di jepretan pertama yang mana aku belum siap, Mine mengeluarkan jempol dan telunjuk kirinya di samping pipi. Berikutnya lidahnya dia julurkan sembari memejam sebelah mata. Aku hanya melihatinya saja dari samping.
Menyadari tingkahku, Mine kembali berekspresi normal. "Bergaya dong, Hiro-kun."
"Tidak bisa."
"Senyum."
Mine menaikkan kedua sudut mulutku dengan jempol dan telunjuknya di jepretan ketiga.
Dia tertawa-tawa kemudian.
Di tengah aku yang merengut kesal ke arahnya, Mine membisikkan sesuatu ke kupingku. "Aku mencintai Hiro-kun."
Sebuah senyuman dia tunjukkan padaku, menghasilkan juga sebaris garis lengkung di bibirku.
"Lihat ke kamera."
Persis saat aku membalikkan pandangan, jepretan keempat tercetak.
Mine tampak bersorak mengetahui aku telah melakukan gaya yang benar.
"Satu pose lagi."
Aku mencium pipi Mine dan kamera menangkapnya sebagai jepretan terakhir.
Foto yang nantinya tertempel di dinding kamar Mine dan aku yang akan selalu merasa luar biasa malu setiap tak sengaja melihatnya.
Sialan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro