13. repotkan saja terus laki-laki itu
Matanya mengunci mataku. Tekadnya yang terlihat kuat seakan menyuruhku untuk terus membalas tatapannya seiring pertanyaannya belum juga kujawab.
"Shiragami-kun." Dia akan mengulang pertanyaan itu lagi. "Apa yang kau rasakan ketika mengetik cerita tentangku yang menyukai laki-laki lain?"
Kupalingkan wajah yang memang terasa berat. Keningku sampai berkerut dalam memikirkan jawaban-jawaban yang paling tepat untuk tanyaan itu.
Apa yang aku rasakan ketika menulis cerita tentang Mine yang menyukai laki-laki lain?
"Tidak tahu." Ucapanku yang keluar serupa gumaman. Meski jawabannya mengambang, keyakinan dalam suaraku cukup membuat Mine tak akan bertanya lagi.
"Sekali lagi, aku cuma iseng bertanya." Mine mengulangi kalimat yang telah diucapkannya. Lalu tiba-tiba dia menangkup kedua pipiku, membuatku kembali berurusan tatap dengannya. "Coba pandang aku. Apa menurutmu aku ini cantik?"
Astaga, jantungku!
"S-semua perempuan memang cantik, kan?"
"Apa kau selalu ingin menatapku lama dan lekat? Apa setiap memandang wajahku, hatimu merasa bahagia?"
Apa sih, Mine.
Aku segera menyingkirkan diri darinya, berjalan ke pintu dan berhenti di sana. "Iya. Hatiku memang sedikit sakit saat menulis tentang perasaanmu untuk lelaki lain. Tapi apa itu berarti aku bisa seenaknya menghentikan proses pembuatan ceritanya?"
Aku menunggu balasan darinya.
Tapi tak terdengar apa pun dari belakang sana.
Baru ketika kakiku terangkat untuk melangkah, Mine mengucapkan sesuatu. "Shiragami-kun. Mukamu tadi merah."
"Apa, sih."
Aku berlalu dari hadapannya. Dan selama beberapa saat, sepertinya aku akan mengurung diri dulu.
Kemudian aku memutuskan tidur. Semoga saja ketika bangun nanti perasaan dan pikiranku sudah menjernih.
Namun yang kudapati setelah kedua mataku terbuka adalah suasana kamar yang seperti tadi. Sepi, hening, dan kosong. Dari jendela sinar matahari sore menembus hingga ke keseluruhan kamar. Ada laptop juga yang telah tersimpan rapi di atas meja belajarku; tadi aku meninggalkannya di kamar Mine. Baik sekali dia mengembalikannya tanpa berusaha membangunkanku.
Ada apa sih dengan gadis itu? Akhir-akhir ini dia tampak berbeda.
Rebahan sebentar di tempat tidur, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sore ke pinggiran sungai. Aku ganti baju terlebih dahulu, memakai jaket olahraga dan celana pendek. Bukannya aku suka berolahraga, hanya membutuhkan suasana segar saja.
Ketika aku berjalan melewati pintu kamar Mine yang terbuka, gadis itu juga sedang bergoleran tak jelas. Lalu dia menyadari kehadiranku yang hendak melakukan aktivitas di luar rumah.
Dia menyusul dengan terburu-buru.
"Jangan ikut." Aku berhenti untuk memberhentikannya juga. "Jangan ikut pokoknya."
Kuturuni tangga sambil berharap aku tak mendengar sahutan apa-apa darinya.
Sekali lagi, aku membutuhkan suasana yang segar.
Tapi meskipun dia berusaha memelankan suara langkah kaki pun, aku masih dapat menyadari kelakuannya yang berniat mengikutiku itu.
Aku menghela napas jengah. "Kemarin aku membelikanmu puding stroberi. Ada di kulkas. Makan sana."
"Sudah."
"Nanti akan kubelikan lagi asal kau jangan mengikuti ke mana pun aku melangkah hari ini."
Dia tidak menyahut. Aku mengartikannya sebagai iya karena setelah aku memakai sandal dan keluar, Mine tidak berada di belakangku lagi.
Bagaimana pun. Meski belakangan sikapnya sedikit aneh, Mine tetaplah Mine. Seperti yang pernah dia katakan, kerjaannya hanya mengganggu Hiro.
Selama berjalan-jalan santai, aku merasakan angin pengujung musim semi yang menyejukkan tapi juga sedikit membuat gerah. Kubuka risleting jaket, mencari mesin penjual otomatis terdekat.
Menemukannya di dekat taman bermain, aku membeli soda jeruk dingin. Kuteguk isinya sampai setengah, lalu menatap pengait kalengnya dengan pikiran tertuju ke hal lain.
Jika hatiku sedikit sakit saat menceritakan kisah Mine dengan lelaki lain, aku tak boleh egois dengan berhenti menulis, kan? Biarpun pekerjaan itu sangat merepotkan, aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk membantu Mine dengan menyelesaikan ceritanya itu.
Selesai. Aku akan kembali pada kebiasaanku tidur di tengah aktivitas menganggur di sekolah. Aku tak akan diganggu lagi, bebas lagi.
Kuembuskan napas panjang menyadari itu semua tak lantas membuatku senang. Memangnya apa yang biasanya membuatku senang? Apa kesenanganku telah berubah?
"Tapi kerjaanku sehari-hari memang merepotkan Shiragami-kun terus, kan? Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?"
Mulutku malah tersenyum memikirkan perkataannya ketika di parkiran supermarket. Aku paling benci direpotkan. Tetapi jika direpotkan bisa membuatnya terus hadir di sampingku, agaknya aku bisa berkompromi dulu dengan kebiasaanku itu.
Walau rasanya memalukan, nyatanya tiba-tiba aku menemukan diriku yang bahagia setiap kulihat Mine ada di depanku. Dan mungkin ini berhubungan dengan ketidaksukaanku terhadap cerita Mine yang menyukai lelaki lain yang kutulis sendiri.
Yah, aku masih sedikit pusing, sih.
Ini terlalu di luar kebiasaanku.
Menghabiskan sisa soda jeruk, dan langit pun perlahan menggelap, aku melangkah ke tempat Mine sekarang berada, aku akan menghampirinya.
Tapi Kenji-nii bilang, Mine pergi mencariku keluar rumah.
"Bodoh!"
Dia kan masih takut terhadap manusia-manusia lain di luaran sana. Kenapa memaksakan diri mencariku! Aku pasti pulang kok.
Rasanya seperti deja vu. Dulu aku pernah mencarinya juga ke sepenjuru sekolah setelah aku menyakiti perasaannya untuk ke sekian kali. Dirinya kutemukan memeluk lutut tersembunyi di bawah dinding pancuran keran.
Tempat tersembunyi.
Masalahnya ini jangkauannya lebih luas dari sekolahan!
Perutku keroncongan, ingin segera pulang untuk makan malam. Kenji-nii pasti telah menyiapkan makanannya.
Tapi ....
Kenji-nii meneleponku.
"Hiro, dia sudah pulang."
Napas terengah-engahku akibat berlari sedari tadi perlahan berubah teratur. Lututku sampai lemas, dan akhirnya aku pun menjatuhkan diri bersandar ke tiang listrik.
Gadis ini benar-benar membuatku kerepotan.
Tapi ... aku ... merasa ... itu ... tak ... mengapa ....
Sekembalinya ke rumah, Kenji-nii menungguku di sofa depan televisi. Mine sedang mengurung diri di tempat persembunyiannya. Katanya sakit. Tapi Kenji-nii sudah membuatkannya semangkuk bubur.
Aku dan Kenji-nii pun makan malam berdua saja. Kakak laki-lakiku itu menyuruhku jangan cepat-cepat menelan makanan kalau tidak mau tersedak.
Tak sabar lagi, aku membuka pintu kamar Mine pelan sekali, tak mau membangunkannya. Dia tengah berbaring dengan selimut membungkus sebagian tubuhnya.
Aku berjalan mendekat.
Kutatap dirinya yang terlelap tak tenang, alisnya mengernyit seolah sedang bermimpi buruk. Kutempelkan telapak tanganku di keningnya dan tangan yang satunya lagi di keningku, membandingkan suhu.
Panas sekali.
Aku merasa bersalah. Dan aku tidak tahu kenapa aku harus merasa bersalah atas tindakan yang Mine lakukan sendiri. Susah-susah mencariku yang pasti akan pulang.
Di tengah itu, tangannya tiba-tiba menggapai lenganku. "Jangan ke mana-mana lagi. Aku mohon."
Mimpi apa dia?
Tapi aku memang berniat tak akan ke mana-mana kok.
Kuturunkan tangannya untuk kugenggam. Merasakan panas tubuhnya ke kulitku.
Lalu, Mine menggumamkan kalimat yang berhasil membuatku tak bisa tidur semalaman.
Beneran tak bisa tidur semalaman.
"Aku menyukaimu. Hiro-kun."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro