11. charger pengisi daya
Kukira Mine akan tetap menjadi Mine di mana pun dia berada terkhusus ada aku di sampingnya.
Mungkin juga sedang demam karena hari itu, sehari setelah dia tinggal di rumahku, dia menjadi lebih diam.
Aku memang tidak menawarinya berangkat bareng ke sekolah, aku baru menyadarinya setelah berjalan beberapa meter dari rumah.
Di hari Mine bolos sekolah itu (dia memang tidak terdaftar sebagai murid sekolah meski memakai seragam yang sama denganku), dengan sendirinya aku pergi ke perpustakaan nomor dua dan hanya mendapati penjaga perpustakaan di sana.
Aku mengembuskan napas, melanjutkan langkah tertunda menuju meja kami yang biasanya. Aku pun terlelap di sana dan masih tidak menemukan seorang pun duduk di depanku.
Tidurku berlanjut sampai sore. Baru ketika itu kudapati seseorang duduk di kursi itu.
"Setiap hari kau bergadang atau bagaimana sampai selalu mengantuk begitu di sekolah." Daniel memetik-metik senar gitarnya saat mataku menyesuaikan pencahayaan sorot matahari dari jendela belakangnya.
Kenapa dia duduk di situ? Itu tempat duduk Mine.
Aku tidak menjawabnya, menyimpan kepala ke samping. Udara yang kurasakan lebih hangat meski ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
"Kenapa Mine tidak ada di sini?" Daniel bertanya padaku. "Demam, terkunci di kamar mandi, atau kau lupa mengajaknya berangkat bareng?"
"Tidak tahu."
"Bertengkar lagi? Ck. Apa lagi yang kalian ribut-"
"Diamlah." Kupingku kesakitan mendengarnya berceloteh terus. Jauh lebih tidak enak didengar daripada keluhan Mine yang biasanya.
Aku beranjak dari situ. Jam dinding perpustakaan menunjuk ke angka lima kurang lima. Kurasakan tubuhku yang sedikit lelah biarpun sedari tadi aku cuma memejamkan mata. Posisi tidurku sesungguhnya memang kurang ideal.
Aku membeli minuman kaleng di mesin penjual otomatis, meminumnya di tempat. Tak cukup satu kaleng, kubeli lagi kaleng berikutnya. Masih tak cukup-ah, sudah cukup.
Aku mendudukkan diri sebentar di tempat duduk sana. Kepalaku sekarang jadi pusing.
Setelah berdiam cukup lama, aku pergi ke kelas untuk mengambil tas. Bersama beberapa murid yang tersisa, aku pun melangkahkan kaki keluar gedung sekolah.
Berhubung makan malam masih beberapa jam lagi, aku mampir sebentar ke konbini. Membeli roti melon dan puding stroberi.
Di jalanan yang sepi menuju rumah sambil menenteng kantung kresek, langkahku lambat sekali karena energi yang kupunya belum sepenuhnya terisi.
Ketika belokan sudah di depan mata, gerak kakiku terhenti karena ada seseorang yang tiba-tiba memelukku dari depan.
Aku membatu.
"Lama banget sih, keluarnya. Aku kesepian tahu."
Rambut panjang berwarna keabuan itu sudah terlalu sering mataku pandangi meski tak ingin. Dan ketika sosoknya tak kutemukan di saat mungkin aku sedang ingin-inginnya melihatnya, ada sesuatu yang kurang seperti saat aku merasa kekurangan tidur.
Di kala tak mengapa aku hadir bersama kesendirian yang akrab, kudapati diriku tak lagi merasa penuh jika tak ada hadirnya di depan belakang kanan atau kiriku.
Kusembunyikan senyumku darinya, melepas pelukan yang diam-diam telah mengisi energiku. "Kenapa kau tidak menunggu di dalam sana. Bukankah kau ini penakut."
Mine menggembungkan pipi. "Tempat itu menjadi lebih seram jika tidak ada Shiragami-kun di dalamnya."
"Kan ada Kenji-nii."
"Aku belum terbiasa dengannya."
"Tapi dia menyukai kehadiranmu."
"Mana aku peduli."
Aku tertawa, kali ini membiarkan dirinya bersembunyi di balik punggungku.
Berhenti sampai di situ, malamnya Mine kembali bersikap murung seperti pagi tadi. Sepanjang Kenji-nii mengajukan pertanyaan-pertanyaan tak penting pun, terlihat sekali gadis itu enggan menjawab. Mengistirahatkan mulut juga diperlukan untuk memulihkan tenaga.
Mine kembali ke kamarnya duluan, Kenji-nii masih tidak memahami keadaan. Pemuda satu itu memang terlalu mementingkan kondisinya sendiri.
Setelah menghabiskan makanan dan mencuci piring, aku naik ke lantai dua. Aku berhenti sejenak di depan pintu kamar Mine yang tertutup, tak ada suara apa pun yang terdengar dari dalam. Aku baru menyadari ini. Kenapa letak kamarku di sudut sedang kamar tamu di tengah?
Aku membuka pintu kamarku. Laptop yang seharian Mine mainkan kemarin tersimpan rapi di meja belajarku dengan kabel charger terpasang. Segera aku mencabutnya mengingat setahuku setelah baterainya penuh, pengisi dayanya harus segera dilepas.
Padahal biarpun bateraiku sudah penuh, aku masih ingin dipeluk Mine.
K-kok.
Kenapa suara hatiku terlalu jujur! Aku jadi malu pada diriku sendiri.
Karena setahuku juga setelah makan tidak boleh langsung tidur, aku menyalakan laptop. Aku melihat layarnya yang langsung terbuka tanpa password. Aku berpikir ulang. Kemudian aku membiarkannya saja agar Mine bisa bermain sepuasnya. Jika kukasih password pun, mungkin aku akan memberi kodenya dengan 'Hiro ganteng' dan Mine pasti mengejekku habis-habisan sambil tertawa tiada hentinya.
Aku mengecek keseluruhan isi laptop-ku dimulai dari folder-folder atau aplikasi baru. Tetapi tak ada sesuatu yang baru, aneh, atau mencurigakan. Semuanya tampak tidak berubah. Paling-paling dia keasyikan main gim. Memang apa pula gim yang ada di laptop-ku.
Kubuka Microsoft Word, membiarkan halamannya kosong beberapa saat sembari pikiranku melayang-layang tentang apa-apa saja yang telah diriku dan Mine buat untuk projek ceritanya.
Mine diam-diam menyukai seorang laki-laki keren dari kelasnya.
Kuhela napas sejenak, meregangkan pundak dan leher.
Kata-kata ajaib yang tak mungkin keluar dengan begitu banyaknya dari seorang yang hemat kata sepertiku pun mengalir deras mengotori kertas yang tak lagi bersih itu. Aku menggunakan sudut pandang orang ketiga yaitu menyebut nama tokohnya alih-alih memakai 'aku' (aku sudah mempelajarinya di internet mengenai point of view ini).
'Mine menyukai seorang laki-laki di kelasnya. Hampir semua orang di ruang kelas tersebut memanggilnya Daisuke kecuali dirinya yang diam-diam selalu meneriakkan nama pujaan hatinya di dalam hati.
Futaro-kun! Daisuki desu!
Sangat norak.
Kalau saja Kirisaki-san, Himeko-san, dan Mayaka-san tahu, pasti Mine sudah tak punya muka lagi di hadapan mereka.'
Aku tertawa-tawa melihat perbuatan Mine yang kutulis sendiri. Kalau begini caranya sih, aku bisa membuat Mine melakukan apa saja termasuk hal-hal paling memalukan atas kehendakku sendiri.
Oh, ini akan terasa menyenangkan!
Malam itu aku bergadang keasyikan mengetik cerita tentang Mine yang lebay setiap mengekspresikan perasaannya ke Futaro. Meskipun di luar dia terlihat sangat kalem, di dalam hatinya dia ribut sekali.
Kujadikan juga dia sangat bucin pada pemuda bernama Futaro itu. Menaruh surat cinta murahan setiap hari di loker sepatu, memasukkan cokelat batangan hampir kedaluwarsa di tas, dan masih banyak lagi hal konyol lainnya yang jika aku jadi Futaro pun aku akan ilfeel padanya.
"'Menurutnya, semakin dia melakukan hal-hal aneh, semakin besar kemungkinan Futaro membalas perasaannya'."
Kepalaku berbalik. Kutemukan sesosok hantu berkeliaran di jam tengah malam begini. Mulanya aku memang menganggap dia hantu. Mulanya.
Bola mata Mine lanjut bergulir ke bawah mengikuti teks cerita yang telah kuketik. Cukup lama aku memandanginya dalam posisi seperti itu. Hingga kemudian, bulir air mata turun dari kedua matanya yang tersorot sinar layar laptop-ku yang menyala.
Dia menolehku sekejap. Satu detik yang hening, dirinya pun berlari keluar kamarku dan menuju kamarnya dengan langsung mengunci pintu.
"Mine." Kugedor-gedor pintu kamarnya. Panik melanda diriku. "Maaf, aku tidak berniat membuatmu malu seperti itu."
Sebenarnya berniat, sih. Aku hanya tidak ingin membuatnya marah lebih lama.
Aku terus menggedor-gedornya sampai kemudian aku menghentikannya karena takut mengganggu tetangga.
Ah!
Maaf, Mine.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro