1
Semuanya berjalan gangsar sebelum teriakan itu pecah. "Kau membunuh Puput!" Tulat kemudian, Itam membawa pulang Puput dalam wujud daging ringkai berimbuh tulang belulang.
Pagi itu, aku sudah menubikan titik lidah kepada Adik untuk jauh-jauh dari sawah atas. Karena di sana pernah ada kasus ditemukan jasad seorang perempuan di dalam tong yang untungnya saat ditanyakan siapa namanya diajawab walau sambil linglung. Yang membuat warga perumahan penasaran setengah hidup. 'Ada praktik santet di situ!' Selalu kutambahkan kalimat itu di akhir dengan intensi Adik cabar hati.
Namun, yang namanya anak perempuan umur lima tahun, jikalau ditakut-takuti begitu manakala ngebet, pasti tak terima. Karena antara kemampuan olah sel otak dan informasi yang disensor pancaindra tak imbang.
"Ah, Kakak bohong! Mana ada santet di zaman now macam begini?"
"Kamu saja yang belum tau! Dukun santet sekarang itu sudah berintegrasi Revolusi Industri 4.0, mereka pakainya komputer dan HP buat kirim santet online!"
Kugelontorkan kata-kata sulit dicerna, yang terbit berkat operon gagal menginduksi inisiasi. Namun, arus balik yang kudapat bukanlah acuhan.
"Aneh." Dia berbalik pergi.
'Tidak mungkin!' Hatiku memekik karena rencana berantakan. Aku harus kembali bongkar pasang plot demi peroleh solusi preventif guna hentikan si perempuan kecil keras kepala ini.
Di saat Dewi Fortuna lewat, dan karena kasihan, entitas itu merasuki kucing berambut putih halus yang tahu-tahu berlenggang penuh gaya di antara kami. Seakan menjelma sosok pahlawan yang menjejak mandala yuda dan berhasil menuntaskan rana, kucing tersebut menculik atensi Adik.
"Puput! Kau pasti lapar, ya? Mau makan apa? Piza hari-ulang-tahun atau ayam ka-ef-ci?"
"Kok?"
"Puput itu anggota keluarga yang berharga, tidak kayak Kakak yang beban keluarga! Jadi, setiap kemauannya harus dipenuhi meski permintaannya aneh-aneh!"
Aku berdengkus. "Paling juga mau BAB."
"Diamlah, Gigolo!"
"Demi Tuhan! Dari mana kamu bisa tau kata kotor itu!" Aku sadar bahwa biang keladi ada di situs yang suka mengalihkan ke konten dewasa. "Astaga, Adik! Kamu jangan buka-buka HP Kakak dong!"
Adik malah melet bereaksi terhadap amarahku.
"Puput sudah ada. Jadi tidak usah cari Itam, 'kan?"
"Tidak bisa! Bubu belum ketemu—"
Aku baru ingin melarang keluar yang walau sia-sia, tetapi beruntung ada yang lebih ampuh pencegahannya ketimbang diriku.
"Kakak! Adik! Ada tiwul meses nih!" seru Ibu.
Anak yang mengeluh karena menemukan rambut putih kucing di lantai tegel putih.
"Jangan ke sawah atas dan cari Itam! Nanti ketahuan Bapak," tambahku.
Adik tak acuh dan asyik mengunyah senang atas suara sebagaimana jajanan krenyes.
Keesokan harinya, Adik ditemukan di dalam tong di antara rimbunnya padi berbulir kuning, dan saat ditanya namanya, tak dia jawab karena tubuhnya terpotong-potong menjadi enam bagian.
Semua sempat baik-baik saja, prakala pengendap itu lesap ke sawah atas. "Kau membunuh Adik!" pekik Ibu di depan massa pelayat. Tubin berlalu, Bapak membawa pulang Adik dalam wujud daging kering dan tulang belulang.
***
Kucing yang menghilang setelah tujuh hari akan dianggap mati.
Ini sudah seminggu sejak hilangnya Puput di hari hujan beberapa hari lalu. Kami sudah mencarinya ke mana-mana. Sawah di samping rumah yang ditanami tebu bertepi daun tajam, kebun di halaman depan yang diinvasi tungau pembawa virus, riol yang dipenuhi bangkai tikus serta celurut, juga pekarangan tetangga yang pernah ditemukan mayat manusia beberapa tahun lalu. Namun, semuanya nihil. Puput tidak ditemukan.
Ketika aku penat mencari, kuputuskan berehat sejenang dengan berjalan-jalan di gang sempit perumahan. Terdapat vertikultur yang diterapkan pada dinding luar rumah-rumah warga, membuat suasana menjadi hijau lagi asri. Kala itulah, aku menampak selokan tertutup, tetapi ada satu balok yang hilang, sehingga jadilah tercipta "lubang" di selokan.
Ini aneh, tidak semestinya balok penutup dengan ukuran sekitar tiga puluh sentimeter itu hilang. Tunggu, sejak kapan lenyapnya balok penutup tersebut? Jika lebih dari seminggu yang lalu, berarti ....
Aku langsung mendekati lubang di selokan itu, berjongkok, kemudian mengelukan kepala guna menengok keadaan di dalam selokan kecil. Gelap, hitam pekat. Tidak ada apa pun selain lumpur hitam dan bau busuk yang dihasilkan mikroorganisme nan dikandungnya.
Akan tetapi, tak sengaja mataku menangkap sesuatu, pada bagian selokan yang terdapat cahaya menembus dari celah sempit. Seperti dua pucuk segitiga yang agak berdekatan. Seperti ....
Puput!
"Puput!" Tebersit harapan, segera kuundang dengan nama umum, 'meong', 'pus', 'kucing', berdoa untuk mengabulkan apa yang ada di firasatku memang benar.
Ya, memang benar!
Kepala seekor makhluk berupa kucing menongol dari ujung gelap sana, kemudian berlari kemari dengan cepat. Kucing berwarna putih hitam kini tepat berada di bawahku, mengeong seakan meminta diangkat ke permukaan.
Sebenarnya selokannya tidak terlalu tinggi, mungkin si kucing tak kuat meloncat sehingga terjebak di selokan. Lekas kuraih kucing itu dan kukeluarkan dari sana.
"Puput, ke mana saja kamu itu?"
Meski bau dan kotor, kupeluk kucing bernama Puput ini erat-erat. Ah, sensasi mengelus bulu halus kucing benar-benar menenteramkan hati. Senang sekali rasanya aku bisa menemukan Puput.
"Puput, ayo pulang ke rumah!"
***
Pada awal Desember, wabah virus kucing yang mematikan menyerang Desa Gondangmanis, membunuh hampir sembilan puluh persen populasi kucing di desa tersebut.
Setelah mematikan bara puntung rokok dengan sepatu pantofel, dia mengamati adik perempuannya yang menangis sengguk sembari menatap kantong kain di teras.
"Sudahlah, itu hanya kucing. Kau bisa dapat yang baru, pungut saja dari jalan. Beres."
"Kalau kucing pungut, kasihan. Sudah ada yang punya."
Bukan itu, kan, yang harusnya kamu balas? "Memangnya seberapa penting sih Bubu buat kamu?"
"Bubu sering main bareng sama aku, menemani aku kalau bosan, terus kalau lihat dia makan rasanya senang banget."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro