00: Androphobia
__________
"Kau sedang apa?"
Tubuh Stella tersentak mundur. Kepalanya menengadah ke Zahard yang heran dengan responnya. Sebelum menjawab, wanita itu membuang muka pada bentangan laut, dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Hanya sedang ... menikmati birunya laut," beo Stella.
Anak-anak ombak menabrak kaki mereka yang berdiri di atas pasir, membawakan sensasi sejuk yang mampu mendirikan sebagian bulu kuduk. Melirik Stella yang mulai menggosokkan tangan demi secercah kehangatan, Zahard melepas jubahnya.
"Semakin gelap akan semakin dingin, lebih baik kita bergabung dengan yang lain," ucap Zahard, mematrikan jubah merahnya pada bahu Stella.
"... ya, kamu benar ...."
Stella menunduk, membalikkan tubuh dan berjalan di belakang Zahard menuju penginapan. Wanita itu diam-diam menyingkirkan jubah Zahard dari bahunya, lebih memilih untuk membawanya di genggaman tangan.
Entah sampai kapan aku hidup seperti ini .... Stella mengeluh dalam hati.
Sekarang, ia dan teman-temannya berada di lantai 78. Bermula dari dirinya yang berani kabur dari sebuah istana. Stella menuntun kaki kecilnya menginjak tanah yang dibasahi air hujan. Matanya berjuang melihat di kegelapan hutan, dan berusaha mencari jalan keluar pada setiap sela pepohonan.
Dia suah berlari secepat yang ia bisa. Tak menentu arahnya, dan terkadang terpontang-panting dan tergulir di atas lumpur. Tapi, bintang yang terikat erat dengan namanya adalah darah yang mengalir di seluruh tubuh. Dan tempat yang telah lenyap dari jangkauan mata, menjadi sesuatu yang menghantui hidupnya.
Stella tidak dapat lepas. Tak sekalipun ia pernah bebas dari hal tersebut. Dan dia sudah mencoba mengalahkan bayang-bayang itu. Mencoba, mencoba dan tidak berhenti mencoba. Namun, yang tersisa untuk dirinya hanyalah kebisingan, yang perlahan menebarkan goresan di balik baju yang ia kenakan.
Dari dulu sampai saat ini, tidak ada perubahan.
"Kenapa kau melepasnya?" Suara berat yang akrab di pendengaran menarik Stella keluar dari alam bawah sadar.
"O-oh ... aku tidak merasa terlalu dingin ... d-dan di dalam penginapan ada penghangat ruangan ...."
Pandangan melirik penginapan yang ternyata sudah ada di depan mata. Buru-buru Stella mengembalikkan jubah tersebut kepada pemiliknya. Ia juga lekas berjalan melewati Zahard, mendahului pria itu menginjakkan kaki ke dalam penginapan.
Saat udara yang lebih hangat menerpa, Stella mendapati beberapa temannya berkumpul di ruang tamu. Tanpa berlama-lama, langsung melangkahkan kaki ke sosok perempuan bersurai hitam yang begitu cantik.
"Hana ...," panggil Stella, mendudukan diri di samping Hana yang tersenyum lembut saat bertemu tatap dengannya.
"Bagaimana? Apa kamu sudah cukup puas melihat pemandangan laut?" Telapak tangan Hana mengelus pucuk kepala Stella secara hati-hati. Sekilas, manik merah mudanya mengamati Zahard yang masuk sesudah Stella.
"Mungkin ...."
Jawaban yang tidak meyakinkan. Menuai tatapan curiga Hana, Stella mengamati seluruh teman-temannya yang ada di sana. Setelah itu, ia mendekatkan diri pada Hana dan berbisik, "Mungkin aku akan puas, jika saja tidak ada seseorang yang hampir membuatku pingsan."
Hana mendeham mengerti. Dia bisa menebak bahwa Zahard adalah seseorang yang Stella maksud, tetapi ada yang ganjal. Mereka sudah bertahun-tahun bersama menaiki menara, bagaimana bisa Zahard hampir membuat Stella pingsan?
"Apa dia ... mencium bibirmu?" Suara Hana mengecil di akhir kalimat.
"... maksudmu?"
"Apa pertanyaanku kurang jelas? Apa Za---"
"Baiklah. Cukup, aku paham pertanyaanmu." Stella menghela napas.
Jika memang itu yang terjadi padaku, aku saat ini sudah tidak ada di hadapanmu, Hana. Stella mengatupkan mulut dan membatin. Aku pasti sudah mati! tambahnya.
Api menari di pendiangan, Stella melamun sejenak di dalamnya. Menangkap setiap kata yang keluar dari ujung percikan, dan menyusun kalimat yang tak memicu kesalahpahaman.
"Dia muncul tiba-tiba dan berdiri sangat dekat denganku." Stella mulai menceritakan apa yang terjadi beberapa waktu lalu. "Aku sudah mencoba menjaga jarak, tapi dia memakaikan jubahnya padaku," ujarnya menoleh ke Hana yang setia mendengarkan.
"Aku hampir pingsan karena ... karena mencium bau khasnya ... untung saja dia membalikkan badan, jadi aku bisa segera melepasnya."
"Bau khasnya?" Kedua alis Hana naik, terperangah akan keterangan yang didapatkan dari mulut Stella. "Sebentar, maksudmu ... bau khasnya itu, bau khas yang dimiliki setiap manusia?" Stella mengangguk.
"Bau maskulin," bisik Stella.
"Apa sebelumnya kamu pernah mencium ...?" Otak Hana seketika tumpul memikirkan lanjutan pertanyaannya sendiri. "Kamu pasti paham pertanyaanku, Stella ... jadi, apa kamu pernah?"
"Tidak, kejadian tadi adalah yang pertama untukku." Hana manggut mendengar jawabannya. Pertanyaannya sudah terjawab, dan kini pertanyaan baru tumbuh di kepalanya.
Bagaimana cara memberitahu Zahard perihal ini tanpa membuatnya tahu tentang rahasia Stella? Apa lagi orang yang harus diperingati adalah ketua mereka, Zahard, yang notabenenya merupakan orang yang semakin dilarang semakin ingin tahu.
"Sebaiknya kamu lebih menjaga jarak dari---"
"Bukankah itu yang aku lakukan selama ini? Sulit untuk menjauhkan diri dari dia atau yang lain, jika mereka sendiri yang menghampiriku," potong Stella, merekah senyuman tawar.
"Aku mengerti ... kalau begitu, bagaimana jika kamu pelan-pelan memberitahu mereka?" usul Hana. "Kamu sudah melakukan yang bisa kamu lakukan sampai detik ini, tapi Stella ... aku percaya mereka pasti akan mengerti jika kamu menjelaskan."
Alunan kalimat Hana mengurung Stella di ruangan yang penuh dengan warna hitam. Meninggalkan Stella sendirian di luasnya kekosongan. Semakin menunduk, semakin tertutup pula hatinya. Semakin menenggelamkan diri di lautan masa lalu, dan kalimat terakhir Hana menjelma sebagai kaset rusak yang tak berhenti berputar.
Aku tahu. Aku tahu, aku tahu mereka pasti akan paham ... aku ingin memberitahu mereka, tapi aku tidak bisa melakukannya. A ... a-aku .... Stella merenung dalam isi hatinya, meloloskan waktu berjalan dalam keheningan. Detik-detik selanjutnya yang lewat membimbing matanya kembali bertatapan dengan Hana.
"Aku tidak siap, Hana."
.
.
.
.
.
The Fear:
- Androphobia -
(n) ketakutan terhadap laki-laki
.
.
.
.
.
Pemberat pada pundak Stella bertambah setelah percakapannya dengan Hana beberapa hari yang lalu. Dan kesalahan besar Stella, yang mengira itu adalah pemberat terakhir di hidupnya, membawa dirinya ke masalah berat yang sesungguhnya.
Dalam pantulan air yang mengalir, Stella melengak ke seberang sungai. Sesekali tetesan air jatuh dari tangannya yang berniat membasuh wajahnya. Tunggu dulu, bukankah lokasi aku dan dia ... jauh, ya? batin Stella bertanya. Aku yakin penempatan posisi kami di ujian ini sangat jauh. Jadi, itu tidak mungkin dia. Stella kembali membatin sambil manggut-manggut.
"Rupanya aku sedang berkhayal," gumam Stella lekas membasuh wajahnya, berharap sosok yang familier itu pergi dari sisi lain sungai.
"Berkhayal?"
"Benar, aku sedang ... berkha ...." Lidah Stella jadi kaku. Ia menetap di posisi membungkuk dan hanya memiliki nyali mengamati aliran sungai. Suara air terjun yang jatuh menyatu dengan batang air, kini ditemani langkah kaki yang menceburkan diri melawan aliran arusnya. Dan setiap langkah kaki yang melawan arus itu, perlahan mendekat menuju tempatnya.
Selamat tinggal, dunia. Stella melipat bibir dan sedikit mengigitnya.
"Kenapa kau tidak bergerak? Apa air sungainya beracun dan lolos ke dalam mulutmu?" tanya orang itu, lalu bunyi kaki yang keluar dari dalam air menyusul.
"...."
Stella diam. Stella diam dan masih dalam posisi yang sama. Tetapi ujung mata merahnya, mampu melihat bahwa orang itu sekarang berdiri di sisinya. Seakan tengah menunggu responnya.
"Ti-tidak ... air sungainya tidak beracun," jawab Stella sambil mencipratkan air dari kedua tangan. "K-kenapa kamu ... ada di sini? Ba-bagaimana dengan yang lain?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya baru menemukanmu." Zahard mengamati Stella yang pelan-pelan berdiri.Tampak sangat segan terhadap keberadaannya. Pria itu juga menangkap bagaimana Stella menjaga jarak darinya, dan bagaimana wanita itu menghindari tatapannya.
"Begitu rupanya," lirih Stella, mengeluarkan sapu tangan dari tas kecilnya dan menyeka kering wajahnya. "Apa kamu sudah mendapatkan salah satu relik?"
"Sudah. Bagaimana denganmu?"
"... relik yang aku tuju dijaga oleh makhluk yang sempat disinggung oleh Gustang. Dan aku berniat mencari Hana atau Blossom untuk membantuku ...." Tapi malah kamu yang muncul, lanjut Stella dalam hati.
"Dan ada di mana relik yang kau tuju?" Stella menunjuk ke atas air terjun dan berucap, "Tinggal mengikuti aliran air dan nanti akan terlihat gerbang masuknya."
"Kalau begitu, ayo jalan."
"Apa?"
"Aku akan membantumu," ketus Zahard.
"... baik ... aku akan tunjukkan jalannya ...."
Stella membimbing Zahard memutar untuk naik ke daratan yang lebih tinggi. Keduanya melewati rimbunnya pepohonan dan jalan yang penuh dengan batu-batu besar. Dan selama menuntun Zahard menuju lokasi relik, Stella sama sekali tidak menoleh ke belakang. Meskipun Zahard memanggilnya atau mengajaknya berbicara tentang banyak hal, Stella cuman menjawab seadanya dan hanya benar-benar tekun menunjukkan jalan kepadanya.
Jikalau ada kontes orang paling sengsara di menara ini, aku akan lekas mengajukan diri, batin Stella sesekali mengelap keringat dari pelipisnya.
Alasan mengapa Stella tidak sekalipun menoleh pada Zahard, adalah bentuk dari sebuah ketakutan. Ketakutan yang datang dari masa lalu dan sudah bersarang memenuhi jiwanya. Dan keberadaan pria itu, bagaikan bunyi gong yang berdengung di otak.
"Hei, Stella. Apa yang terjadi denganmu?" Zahard mengambil beberapa langkah lebar untuk menyusul Stella. "Apa kau baik-baik saja? Apa air sungai tadi benaran beracun?"
"Tidak. Tidak, aku baik-baik saja," tegas Stella. "Ngomong-ngomong, sebentar lagi kita akan tiba di lokasi relik," tambahnya dengan suara parau.
Keringat terus membanjiri wajahnya, dan didampingi oleh napas yang berpacu bersama pompaan jantung. Langkah kaki Stella mulai tertatih-tatih, dan dia berjuang agar matanya tidak tertutup. Zahard yang menyaksikan itu berniat menggendongnya.
"Jangan lakukan apapun, Zahard." Ucapan Stella berhasil menghentikan ancang-ancang Zahard, tapi tatapannya meminta penjelasan.
"Aku baik-baik saja. Aku serius. Tolong dengarkan aku." Stella memohon. "Kamu yang tidak melakukan apa-apa untukku sangat membantu, dan kalau kamu sungguh-sungguh ingin membantuku ... aku berharap kamu berjalan agak jauh dariku."
"Aku tidak bisa."
"... Zahard."
"Kalimatmu tidak menjelaskan apapun, Stella."
"...."
Menjelaskan. Sekilas kalimat Hana di tempo hari mengitarinya. "Tapi Stella ... aku percaya mereka pasti akan mengerti jika kamu menjelaskan."
Jika aku menjelaskan .... Aku tahu ... dan tidak mungkin juga untuk terus menyembunyikan hal ini dari mereka. Stella menutup kedua mata, dan mengambil langkah mundur. Sekarang atau tidak sama sekali, batinnya.
"... Aku sangat takut pada ayahanda," tutur Stella pelan.
"Lalu, apa masalahnya?"
"Aku jadi skeptis, Zahard. A-aku ... aku jadi menganggap ...." Stella mencoba menjelaskan, meski pernapasannya jadi tersengal-sengal.
"Aku takut. T-takut padamu ... dan takut ... dengan semua ... semua ... semua laki-laki d-di dunia ...."
"...."
"Aku ... sangat takut, s-sampai ... sampai terkadang ... rasanya aku ingin mati."
Zahard menutup rapat mulutnya. Tidak ada satupun kata yang tersedia di tenggorokannya, tapi ia paham. Zahard memahami penjelasan Stella, karena itulah dia bergeming. Melupakan waktu yang menunggu mereka, dan memberikan Stella ruang agar dia dapat menenangkan diri.
Terjawab semua pertanyaan yang kusimpan selama ini, batin Zahard, menyandarkan punggung ke pohon terdekat. Dia tenggelam dalam pikiran seraya pandangan melekat pada Stella.
Ketakutan terhadap laki-laki ... itu bukan sesuatu yang buruk bagiku, melainkan kabar yang sangat baik, pikir Zahard. Dia kembali berdiri tegak saat Stella berhasil menenangkan diri. Dengan sebuah ide cemerlang di kepala, Zahard pelan-pelan menghampiri Stella sambil memantau reaksinya.
"Aku akan membantumu melawan rasa takutmu." Zahard menyatakan idenya secara terbuka.
"Membantuku?" Stella memiringkan kepala. "Apa metode yang kamu pikirkan untuk membantuku, Zahard?" Jantung Stella sedikit berdegup kencang, tapi itu tidak cukup menyembunyikan perasaannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dan Stella memutuskan untuk menerima segala bantuan yang datang padanya.
"Tetap berdiri di tempatmu," pinta Zahard. "Pertama-tama, kau harus bertahan berdiri di dekatku."
"Apa?"
"Percaya saja padaku, Stella. Jika kau tidak bisa mempercayaiku sebagai seorang pria, maka kau bisa mempercayaiku sebagai seorang pemimpin," bujuk Zahard, berharap kalimatnya berhasil meyakinkan Stella.
"...." Stella mengatur napasnya dan berusaha tetap berdiri di tempatnya. "Baiklah, aku memilih .... percaya padamu."
Bagus. Zahard diam-diam menyeringai. Kau memang harus mempercayaiku, Stella, ucap Zahard dalam hati.
Dengan penuh kesabaran, pria itu mendekati Stella. Dia mundur waktu melihat ekspresi Stella yang tidak kuat, dan kembali maju saat Stella memberi isyarat padanya. Sedikit demi Sedikit. Zahard sama sekali tidak merasa keberatan, jika itu artinya dia memenangkan Stella.
"Kurasa ini bekerja ...," gumam Stella. "Tapi aku harus konsisten supaya cara ini efektif ...."
"Jangan khawatir." Zahard akhirnya berhasil berdiri di hadapannya. "Aku akan membantumu. Setiap hari dan kapanpun kau menginginkannya, Stella."
"Kenapa?" Pertanyaan spontan lolos dari mulut Stella, dan Zahard tersenyum mendengarnya.
"Kau tidak tahu? Baiklah, aku akan memberitahumu." Zahard semakin mendekat sampai hembusan napas Stella mengenai wajahnya. Dia diam sesaat melihat Stella yang masih berusaha terbiasa berada di dekatnya.
Dan dengan seringaian yang terpatri di wajah, Zahard mendekatkan telinga Stella dan berbisik, "Aku membantumu karena ...."
Zahard menggantungkan jawabannya, lalu mundur untuk menatap mata Stella. ... karena aku ingin memilikimu. Zahard mengutarakan lanjutannya dalam hati, namun jeda yang berlangsung cukup lama membuat Stella bertanya padanya.
"Karena apa?"
Zahard tidak langsung memberikan jawaban. Dia justru mengangkat tangannya seolah ingin membelai wajah Stella. Tapi melihat tatapan waspadanya, Zahard mengurungkan niat.
"Aku membantumu karena aku mencintaimu, Stella." Seringaian Zahard melebar.
Karena itu, teruslah merasa takut pada yang lain. Tapi jangan takut padaku, Stella.
__________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro