Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

87. Masih Ada Hari Esok

Esti memberikan satu anggukan penuh arti pada Vanny. Ia tersenyum penuh perasaan karena memang itulah yang harus ia lakukan sebagai sahabat.

"Berapa tahun kamu benci Papa kamu? Setahun? Sepuluh tahun? Atau dua puluh tahun?" tanya Esti tanpa menunggu jawaban Vanny. "Coba kamu maafkan Papa kamu selama itu juga. Terus kamu lihat. Apa kamu masih menderita atau nggak?"

Terdengar logis. Namun, Esti pun bisa menduga bahwa itu tak semudah yang terdengar. Alhasil ia memberikan pengertian sebisa dirinya.

"Pelan-pelan saja. Kamu bukan titisan Bunda Teresa. Kita bukan malaikat atau dewa. Jadi itu manusiawi."

Vanny berpaling. "Aku sayang Papa, Es. Tapi, terkadang aku juga benci."

"Iya," angguk Esti. "Kamu terus membenci atau memaafkan, sama ada resikonya. Tapi, kalau boleh aku kasih saran. Pilihlah pilihan yang punya resiko terkecil. Bener kan?"

Vanny bisa membiarkan dirinya terus berkubang dengan rasa benci. Namun, untuk apa? Memuaskan ego demi bisa membalas sakit yang ia rasa selama ini? Agar Bhakti merasa sakit serupa di sisi hidupnya?

Atau pilihan kedua? Di mana Vanny bisa saja merasa sakit sesekali-tentu tidak semudah itu mengikhlaskan rasa sakit. Namun, setidaknya ia bisa merasakan hari-hari bersama sang ayah.

Vanny ingat rasanya. Memang singkat, tapi tak akan ia lupa. Ketika untuk yang pertama kali setelah tahun-tahun berlalu, akhirnya ia bisa merasakan kembali kehadiran ayah di tempat umum.

Persis seperti anak-ayah pada umumnya, Vanny dan Bhakti jalan bersama. Saling menggenggam. Melangkah dengan ringan layaknya mereka berjalan di setapak awan.

*

Bhakti membuang napas panjang. Arman baru saja keluar dari ruang kerjanya setelah melaporkan bahwa gugatan cerai sudah naik seperti yang ia harapkan.

Alhasil tak aneh rasanya bila siang hari itu Bhakti mendapati Widia yang terus berusaha menghubunginya. Namun, hati Bhakti sudah membatu. Ia tak hanya sekadar menolak panggilan tersebut, alih-alih langsung memblokir nomornya.

Itu adalah hari yang melelahkan. Bhakti sudah membulatkan tekadnya bahwa ia akan menceraikan Widia.

Bhakti tak peduli apa yang akan terjadi di kemudian hari. Perceraiannya dengan Widia tentu lebih dari sekadar perceraian biasa. Mungkin akan berimbas pada perusahaan, tapi ia sudah lelah.

Menginjakkan kaki di apartemen ketika hari sudah menunjukkan pukul delapan malam, Bhakti tidak berharap apa-apa. Ia hanya berdoa agar Vanny tetap pulang.

Bhakti menabahkan hati. Ia bisa mengerti sikap Vanny. Untuk itu, ia tak berharap banyak. Tak apa bila Vanny belum ingin menyapa dirinya lagi, tak apa. Asal sang putri masih pulang dan baik-baik saja, itu sudah cukup untuknya.

Masuk, Bhakti menutup pintu di belakang punggung. Ia melepas sepatu dan samar mendengar suara televisi.

Tak terkira kelegaan Bhakti. Itu adalah tanda bahwa Vanny ada.

Bhakti melangkah. Masuk dan menyiapkan diri untuk setiap sikap penolakan yang bisa saja ia dapatkan.

Suara televisi menghilang. Tepat ketika Bhakti berniat untuk berbelok dan menuju tangga. Refleks membuat langkah pria paruh baya itu berhenti.

"Papa sudah pulang?"

Tak diduga oleh Bhakti, Vanny menghampirinya. Pun lebih dari itu, satu pertanyaan bernada perhatian ia dapatkan.

Bhakti memutar tubuh. Melihat pada Vanny dan mendapati keadaan sang putri yang terlihat menyedihkan.

Wajah Vanny tampak kusam. Matanya bengkak. Juga cahaya yang biasa bersinar di sana, terlihat redup.

Bhakti hanya memberikan satu anggukan singkat. Rasa-rasanya tenggorokan Bhakti tercekik. Untuk sekadar mengucapkan kata 'ya' saja menjadi hal susah untuknya.

Bhakti merasa berdosa. Penyesalan dengan amat bertubi-tubi menghantam dirinya. Namun, semua belum seberapa hingga Vanny tersenyum.

"Papa sudah makan?" tanya Vanny. "Aku sudah siapkan makan dan nunggu Papa."

Mata Bhakti terasa perih oleh hangat yang menusuk. Ia menggeleng.

"Belum."

"Kita makan sama-sama, Pa?"

Tawaran itu membuat Bhakti kian tersiksa. Tas kerja jatuh dari tangannya dan ia meraih tangan Vanny, menggenggamnya erat dengan wajah tersiksa.

"Van," lirih Bhakti. "Maafkan Papa. Selama ini Papa bersalah sama kamu, maafkan Papa."

Vanny menatap Bhakti. Ia bisa melihat dengan jelas penyesalan yang terpancar dari mata senja sang ayah. Yang kian dimakan usia dan meredup dalam rasa sesal.

Bila ditanya, tentu saja masih ada rasa sakit di hati Vanny. Keberadaan Bhakti memang adalah hal yang ia inginkan. Namun, tidak bisa menutupi kesedihan yang sempat ia rasakan.

Hanya saja ucapan Esti kembali mengiang di benaknya. Mendorong Vanny untuk lekat mengamati Bhakti.

Ayahnya semakin tua. Usianya terus bertambah. Dan sisa sedih Vanny pun tertutupi oleh ketakutan yang lain.

Seberapa banyak waktu yang tersisa untuknya?

Sudah dua puluh tahun lebih Vanny berkubang dalam rasa sedih dan benci. Pun dengan Bhakti yang tenggelam dalam sesal dan perih. Lantas apakah Vanny akan membiarkan tahun-tahun selanjutnya dengan begitu saja? Membiarkan ego berkuasa dan justru membuat ia kian tersiksa?

Akhirnya, Vanny mengangguk. Memberikan satu jawaban yang membuat Bhakti kian tak kuasa menahan rasa sesal dan dosa di dada. Membuncah dan ia pikir akan mati dalam rasa malu yang teramat sangat.

"Aku maafkan Papa," kata Vanny tersenyum. "Aku maafkan Papa."

Mulanya tampak sulit, tapi tidak sesulit itu ketika Vanny mengatakannya. Dengan penuh ketulusan dan segenap jiwa, ia memilih pilihan kedua yang ditawarkan Esti padanya.

"Aku maafkan Papa dengan satu syarat."

Bhakti meraih tangan Vanny. Menggenggamnya dengan kuat seolah meyakinkan sang putri bahwa apa pun itu pasti akan ia lakukan.

"Apa, Van? Katakan pada Papa. Bila itu bisa membuat kamu memaafkan Papa, pasti akan Papa lakukan."

Vanny tidak berharap yang muluk. Keinginannya sederhana, tapi sungguh itu adalah impian semua anak.

"Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Pa."

Sekarang Bhakti mungkin bisa mengira sedalam apa luka yang pernah ia torehkan di hati Vanny. Bahkan untuk syarat agar ia bisa dimaafkan pun adalah keberadaannya yang Vanny inginkan.

"Vanny."

Bhakti menyerah dalam usaha menahan air mata. Pada akhirnya ia tetap menangis dan lantas menarik Vanny ke dalam pelukannya.

"Maafkan Papa. Kesalahan Papa nggak termaafkan, tapi Papa mohon. Maafkan Papa."

Pelukan Bhakti mendapatkan balasan yang serupa. Dalam bentuk rengkuhan yang Vanny berikan dengan senyum berurai air mata.

Rasanya tidak seperti yang sempat Vanny bayangkan. Ia sempat mengira bahwa itu akan menjadi hal sulit. Namun, ternyata hanya sulit karena belum ia lakukan.

"Iya, Pa," angguk Vanny. "Aku memaafkan Papa."

Bhakti memang salah. Ia pernah meninggalkan keluarga dan hidup bersama yang lain. Namun, ia pun diselimuti penderitaan selama ini.

Semua tersakiti. Tidak ada yang bahagia dengan perpisahan. Dan setidaknya, untuk waktu yang yang masih tersisa, ada kesempatan untuk Bhakti menebus salah.

"Papa nggak akan meninggalkan kamu lagi, Van. Papa janji. Di sisi hidup Papa," lirih Bhakti di sela isak yang kian menderas. "Papa akan membahagiakan kamu."

Vanny mengangguk. Ia akan menaruh benci dan marahnya di belakang. Sekarang ia akan memanfaatkan waktu yang ada untuk mengisi kekosongan di hati. Yang hanya bisa penuh oleh kasih sayang Bhakti.

Pun demikian pula dengan Bhakti. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ia dapatkan. Vanny sudah memaafkan dan memberikan kesempatan. Alhasil ia harus membuktikan pada sang putri bahwa ia amat menyesal dan ia sungguh menyayangi Vanny.

Tidak menggunakan kata-kata, Vanny dan Bhakti agaknya sama sepakat. Bahwa mereka akan memulai lembaran baru. Meninggalkan semua penyesalan dan kesedihan di belakang. Melangkah demi meraih kebahagiaan yang masih Tuhan berikan pada mereka.

Untuk hal pertama, adalah kunjungan makam yang mereka lakukan. Hal yang tak pernah terjadi selama ini. Ketika mereka kerap datang bergantian dan Vanny selalu menghindari Bhakti, sekarang berbeda.

"Ma," lirih Vanny seraya memegang tangan Bhakti. "Hari ini aku datang dengan Papa."

Pada saat itu Vanny sempat berpikir, apa mungkin ada arwah yang memang tidak tenang di alam sana? Seperti yang sering orang-orang katakan. Karena memang bila hal itu bisa terjadi, Vanny bisa memastikan satu hal.

"Mama pasti bahagia sekarang kan? Lihat aku sudah bersama Papa lagi, pasti buat Mama bahagia kan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro