Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

77. Sinyal Darurat Memanggil

Layaknya tidak ada hari esok untuk mereka berdua, baik Haris maupun Vanny saling mencium satu sama lain dengan amat menggebu. Dengan kedua tangan yang saling menahan, bibir mereka terus bergerak dalam pagutan dan lumatan tanpa henti. Menghadirkan percikan yang dengan amat cepat menyengat naluri laki-laki Haris.

Haris beringsut. Tangannya pindah. Melepaskan pipi Vanny dan membiarkan jari-jari lentik itu tetap menahan wajahnya. Memutuskan untuk merengkuh pinggang Vanny. Menarik tubuh itu untuk melekat padanya.

Vanny pindah. Tak lagi duduk di sofa yang empuk itu. Alih-alih sudah mendarat di pangkuan Haris. Dengan kedua tangan yang menahan pinggangnya, Haris memastikan tak ada lagi jarak yang bisa memisahkan mereka berdua.

Mengangkat wajahnya, bibir Haris membuka di bawah tekanan ciuman yang Vanny berikan. Dengan sukarela menyilakan Vanny untuk merasai semua yang ada di dirinya. Ia memberikan. Tapi, ia juga meminta.

Karena ketika Vanny meloloskan lidahnya ke dalam mulut Haris, ia dengan segera menikmatinya. Menangkapnya. Memerangkapnya. Dalam satu lumatan yang membuat Vanny mengerang karenanya.

Vanny merasa dirinya seolah terisap. Tertarik dalam medan magnet yang bernama Haris. Yang membuat ia tak bisa menghindar. Alih-alih ia justru semakin mendekat. Melekat. Hingga kedua tangannya mengalung di leher Haris.

Rasa manis itu menghadirkan candu bagi Haris. Membuat ia terus dan terus melumat lidah Vanny. Mencecap semua yang ada di sana. Menyesapnya. Dengan penuh penuntutan dan keinginan untuk meredakan semua dahaga yang menyiksa dirinya selama ini.

Erangan Vanny kembali terdengar. Ketika pada akhirnya Haris melepaskan lidahnya dan melarikan tubuhnya untuk meraba lekuk tubuh itu, Vanny mendapatkan kesempatannya untuk menarik napas.

Vanny mengangkat wajahnya. Dengan pandangan yang tak lagi fokus dan tertutupi oleh kabut gairah, bola matanya memutar ke sembarang arah. Bersamaan dengan mulutnya yang membuka. Dalam bibir yang terasa membengkak, ia berusaha untuk menarik udara sebanyak-banyaknya.

Vanny berusaha untuk tetap bernapas. Tapi, satu kecupan basah yang mendarat di lehernya membuat usahanya terasa payah. Sontak membuat udara tertahan di dadanya. Dengan kedua tangan yang lantas berpegang pada pundak Haris, jari-jari itu mencengkeram. Upaya terakhir yang bisa Vanny lakukan ketika sentuhan demi sentuhan terasa makin nyata melambungkan dirinya.

Basah dan hangat, begitulah Haris memastikan setiap kecupan yang ia berikan akan meninggalkan jejak di kulit Vanny. Ia turun. Tanpa putus memberikan jejak yang serupa.

Kian turun. Kali ini Haris dengan amat sengaja berlama-lama melabuhkan kecupannya di lekuk leher Vanny. Menggodanya. Bermain-main di sana dengan ujung lidahnya yang memabukkan.

"H-Haris."

Suara Vanny terdengar mendesahkan namanya. Membuat Haris semakin menggoda Vanny. Bukan hanya dengan bibir dan lidahnya, alih-alih dengan tangannya pula yang sedari tadi sudah melakukan penjelajahannya.

Jari-jari itu meraba. Pada paha Vanny yang membuka di pangkuannya. Naik. Dan lantas menyusup ke balik kaus santai yang ia kenakan.

Masuk. Mendarat dan merasakan kehalusan kulit Vanny di dalam sana. Pada perutnya yang ramping. Pada pinggangnya yang berlekuk.

Haris tau dirinya tak akan bisa bertahan. Maka ia pun memutuskan untuk tidak membuang waktu dengan percuma. Ia meraih pinggiran kaus Vanny. Dengan berat hati sedikit menarik diri demi menciptakan jarak yang ia butuhkan untuk meloloskan pakaian itu dari tubuh Vanny.

Vanny mengangkat tangannya. Membantu Haris melepaskan kaus itu dari tubuhnya. Tidak berkeberatan sama sekali. Bahkan ketika jari-jari Haris langsung menyasar pada kaitan bra di punggungnya, ia pun tidak menolak.

Vanny membiarkannya. Menyilakan Haris untuk melepaskan atasannya dalam hitungan detik yang amat cepat. Karena ia tau adalah percuma untuk melarang. Terlebih ketika ia sendiri sudah terdesak gairah yang membutakan akal sehatnya. Dan bahkan bila Vanny masih memiliki kewarasan, rasanya pun percuma. Karena sedetik setelah pakaian itu lenyap dari tubuhnya, Haris dengan serta merta menariknya.

Mulut Haris membuka. Menuju pada satu puting payudara Vanny. Melahapnya. Menenggelamkannya dalam kehangatan yang membuat Vanny menggeliat dengan amat sensual.

"Haris."

Vanny memejamkan mata. Desakan gairah membuat tubuhnya bergerak di luar kendalinya. Dalam pergerakan yang amat seksi dan menggoda. Hingga membuat Haris pun kian tak terkendali pula.

Menahan tubuh Vanny dengan satu tangannya, Haris menggunakan tangannya yang lain untuk menangkup payudara Vanny. Meremasnya. Menggodanya. Dengan usapan dan belaian yang membuat Vanny semakin terbakar gairah.

"Haris. Haris."

Vanny merengek. Dalam desakan gelora yang semakin menjadi-jadi, sungguh ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Begitu pula dengan Haris.

Gila! Haris masih ingat. Hari itu ia berencana untuk mencari cincin. Dan niatannya semula mampir ke apartemen Vanny hanya demi melepaskan rindu sejenak. Tapi, apa yang terjadi?

Haris tau. Ia tidak akan bisa menahan diri bila ada Vanny bersama dengannya. Dan untuk kali ini, ia pun tidak akan bisa bertahan. Terlebih lagi karena Vanny pun jelas menginginkan hal yang sama.

Maka Haris bergerak. Dengan cepat dan tepat, ia menidurkan Vanny di sofa itu. Lantas menindihnya. Membiarkan Vanny untuk merengkuh dirinya dengan kakinya yang melingkari pinggang Haris.

Haris masih melumat puting payudara Vanny. Bergantian. Begitu pula dengan remasan tangannya yang lantas berpindah. Dan sementara itu, kedua tangan Vanny bergerak kacau. Mencari-cari tanpa tau arah. Lalu memutuskan untuk mencengkeram bantal sofa di bawah kepalanya.

"Haris."

Rengekan Vanny kembali terdengar. Mengirimkan isyarat untuk keinginan yang tak mampu terucap. Keinginan yang sama dengan yang Haris rasakan.

Kejantanan Haris sudah mendesak di bawah sana. Terpaksa, tapi harus. Haris pun bangkit. Melepaskan Vanny sejenak demi menyingkirkan ikat pinggangnya.

Vanny meneguk ludah. Melihat bagaimana Haris dengan terburu-buru melepas kemejanya. Pun tergesa-gesa menarik ritsleting celananya. Membuat jantung Vanny berdebar dengan amat riuh.

Bunyi ritsleting yang turun membuat Vanny menahan napas di dada. Ia memaksa diri untuk menatap Haris, alih-alih terus melihat ke bawah.

Haris menuntaskan urusannya dengan ritsleting celana dalam hitungan detik yang tak seberapa. Tapi, sudah cukup memberikan kehampaan baginya. Hingga ia kembali merebahkan diri. Mendarat di atas tubuh Vanny dan menerima sambutan itu.

Vanny merasakan dengan jelas kejantanan Haris yang telah terbebas. Dan ia menggeliat. Ketika Haris mencium bibirnya dan tangan kokoh itu membantunya, mereka jelas berniat ingin menyingkirkan celana yang masih Vanny kenakan.

"Ting! Tong!"

Tangan Vanny dan Haris sama-sama berhenti bergerak. Dengan bibir yang masih menyatu, bola mata mereka saling menatap satu sama lain. Di balik kabut gairah itu terselip sorot kebingungan.

Apa ada yang datang?

Namun, beberapa saat kemudian hening. Tidak terdengar lagi suara bel yang berbunyi. Yang terdengar hanyalah deru napas dua anak manusia yang sama-sama dilanda gairah.

Lalu bibir Haris bergerak kembali. Ketika dirasa semua baik-baik saja, ia mencium Vanny lagi. Dan Vanny membalasnya pula. Tapi, suara bel kembali terdengar.

"Ting! Tong!"

Cumbuan Haris dan Vanny kembali terjeda. Kali ini bibir mereka benar-benar terurai dan mereka menoleh. Ke arah pintu hanya untuk mendapati bunyi yang serupa.

Vanny meneguk ludah. Berusaha untuk tetap waras ketika hasrat yang menyelimuti dirinya semakin tak tertahankan.

"A-ada orang, Ris."

Haris tau itu. Tapi, tentu saja ia tidak mau beranjak. Karena astaga! Haris benar-benar berada di ujung gairahnya.

"M-mungkin ada yang salah nekan bel, Van."

Vanny ingin percaya hal tersebut. Tapi, orang yang keliru menekan bel tidak mungkin melakukannya sampai tiga kali.

"B-bentar, Ris. Coba aku lihat dulu siapa yang datang. Siapa tau penting."

Susah payah, Vanny berusaha untuk bangkit. Dan itu jelas membuat Haris membuang napas kesal. Manyun melihat ke arah pintu.

"Ck. Dasar," gerutu Haris. "Itu siapa sih yang datang?"

Vanny meraih bra dan kaus santainya. Berniat untuk mengenakannya, Haris justru menahannya. Cowok itu bangkit seraya menyambar kemejanya. Mengenakannya dengan praktis.

"Biar aku yang lihat, Van. Kamu di sini aja."

Dahi Vanny mengerut. Tampak tak yakin melihat pada Haris. Tepatnya pada kejantanannya yang telah keluar dan celana cowok itu yang sudah melorot hingga ke lutut.

"Kamu yakin?"

Haris meringis. Tak yakin sebenarnya. Maka dari itu Vanny dengan segera mengenakan bra dan kausnya. Ketika ia bangkit berdiri, ia merapikan celana santainya pula.

Vanny merapikan sejenak rambutnya. Ia melihat Haris dan mendudukkan cowok itu di sofa.

"Kamu tunggu bentar. Itu paling cuma petugas apartemen."

Haris tidak menanggapi perkataan Vanny. Alih-alih ia mengambil bantal sofa. Menutupi kejantanannya yang sudah menunjukkan tanda-tanda pemberontakan. Manggut-manggut meminta jatah.

Meninggalkan Haris, Vanny berusaha untuk menggerakkan kakinya yang terasa lemah. Gairah itu sungguh melumpuhkan otak dan ototnya. Hingga ketika Vanny tiba di pintu dan melihat pada kamera pengawas, ia melotot.

Bel kembali berbunyi. Membuat Vanny tersentak dan mengucek matanya. Khawatir kalau saking bergairahnya ia membuat matanya menjadi salah melihat.

Namun, tidak. Setelah Vanny mengucek matanya pun apa yang ia lihat tetap tidak berubah. Sosok yang berdiri tepat di depat pintunya tetap sama dan seketika rasa panik menguasai Vanny.

"N-nggak. Nggak mungkin. Ya Tuhan."

Vanny panik. Maka bukannya ia membuka pintu, ia justru berlari kembali ke ruang tamu. Seraya berseru.

"Ris! Ris! Ris!"

Haris terlonjak. Kaget ketika mendapati Vanny yang kembali datang dengan wajah panik.

"Van? Kamu kenapa?"

Tangan Vanny naik. Mendarat di kepala. Meremasnya dengan mimik yang benar-benar panik.

"Di luar, Ris."

Haris melongok. Melihat ke arah pintu. Bel kembali berbunyi.

"Kenapa?" tanya Haris bingung. "Ah! Siapa yang datang? Ada urusan apa?"

Bel kembali berbunyi. Dan kepanikan Vanny yang semakin menjadi-jadi membuat Haris makin penasaran.

"Van?"

Vanny bingung. Tapi, ia tau tidak ada pilihan lain selain mengatakan situasi kala itu pada Haris.

"Ris," ujar Vanny dengan wajah serba salah. "Di luar ada Papa."

"Oh."

Haris manggut-manggut. Melirih pelan.

"Ada Papa kamu toh. Ya udah. Kalau gitu--- eh?!"

Ucapan Haris menggantung di udara. Tergantikan oleh kesiap dan pelototan mata. Horor ia melihat pada Vanny. Tanpa sadar refleks membuat ia bangkit berdiri. Tak peduli dengan bantal sofa yang terbuang ke lantai begitu saja.

"Apa?!" tanya Haris ngeri. "Di luar ada Papa kamu?"

Vanny mengangguk kaku.

"Yang datang ... itu Papa kamu?"

Vanny kembali mengangguk.

"Yang nekan bel dari tadi ... itu Papa kamu?"

Lagi, Vanny kembali mengangguk.

"Ya Tuhan!"

Tidak ingin, tapi tentu saja kepanikan Vanny dengan cepat menular pada Haris. Dan penularan itu terjadi dengan sangat ampuh. Karena hanya dalam hitungan detik, debar jantung Haris yang tidak nyaman langsung membuat kejantanan Haris menciut seketika.

"Mampus aku."

*

"P-Papa."

Membuka pintu dan menyambut kedatangan Bhakti, Vanny menghirup udara dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan diri sebisa mungkin. Tapi, terlepas dari cumbuan yang baru saja ia lakukan dengan Haris, kedatangan Bhakti yang tidak terduga jelas memberikan debar pula pada jantungnya.

Bhakti tersenyum. "Papa boleh masuk?"

Mengangguk kaku, Vanny mempersilakan Bhakti untuk masuk. Dan mata cewek itu seketika melotot ketika melihat Bhakti datang bersama dengan satu koper.

Bhakti menuju ruang tamu. Duduk dan membiarkan koper berdiri di dekatnya. Ia melihat putrinya yang turut duduk bersamanya.

"Kamu lagi apa, Van? Papa nggak ganggu kamu kan?"

Vanny mengerjap. Sungguh. Sulit rasanya bagi Vanny untuk memfokuskan diri kala itu ketika gairah belum benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Ia meneguk ludah. Berusaha untuk santai ketika tersenyum pun menjadi hal yang sulit untuk ia lakukan.

"P-Papa nggak ganggu kok."

Kelegaan seketika menyeruak di dada Bhakti. Ia mengangguk dan tersenyum. Dengan pandangan yang lantas memutar seisi ruangan. Dan matanya tertahan pada bingkai-bingkai foto yang menghiasi dinding.

Ada sesuatu yang timbul di dadanya. Menghadirkan perasaan yang tak mampu untuk ia uraikan dengan kata-kata. Bhakti ingin bangkit. Melihat potret-potret dua perempuan yang bahagia itu. Tapi, satu suara membuat niatannya tertunda.

"Papa mertua."

Bhakti menoleh. Tampak kaget ketika melihat Haris yang menghampirinya. Langsung meraih tangannya dan bersalaman dengan sopan.

"Loh? Haris?"

Haris tersenyum lebar. Ia duduk seraya mengusap kedua tangannya satu sama lain.

"Iya, Papa mertua," angguk Haris. "Ini aku, Haris. Yang malam tadi datang ke rumah Papa mertua sama orang tua."

Bhakti tentu saja tidak mengira kalau akan bertemu dengan Haris di apartemen Vanny. Ia melihat Vanny dan putrinya itu hanya tersenyum kaku. Menyadarkan Bhakti bahwa tidak aneh kalau Haris ada di sana. Itu hari Minggu. Pasti Haris dan Vanny sedang pacaran.

Namun, ada sesuatu yang membuat Bhakti mengernyitkan dahi. Menatap Haris dengan tatapan menyipit nan menyelidik.

"Kamu baru habis mandi?"

Bhakti menebak karena ada setetes dua tetes air yang terjatuh dari rambut lembab Haris. Wajahnya pun terlihat segar. Pemandangan khas orang yang baru selesai mandi.

"N-nggak, Papa mertua. Aku nggak habis mandi. Aku cuma habis cuci-cuci."

"Habis cuci-cuci?"

"Iya. Cuci muka. Cuci rambut. Cuci tangan," jawab Haris mengangguk. "Pokoknya cuci semuanya."

Mengatakan hal tersebut, Haris menguatkan diri agar tidak meringis. Terlebih karena di dalam hati, ia lanjut berkata.

Termasuk cuci adek aku yang ngambek. Hiks. Terpaksa harus bobok sebelum waktunya.

"Aaah."

Bhakti manggut-manggut. Dan Haris yang tidak ingin membahas soal cuci-mencuci karena tidak ingin mengambil risiko hasratnya yang tersentil kembali, melihat sesuatu. Koper yang berdiri di dekat Bhakti.

"Itu koper Papa mertua?"

Bhakti menoleh pada kopernya sekilas. Ia mengangguk. "Iya."

"Loh?" kesiap Haris bingung. Kepalanya meneleng ke satu sisi. "Papa mertua mau ke mana bawa-bawa koper? Ada kerjaan di luar? Atau gimana?"

"Ehm ... itu ...."

Tidak langsung menjawab pertanyaan Haris, Bhakti justru mengusap kedua tangannya satu sama lain. Wajahnya terlihat serba salah. Melihat pada Vanny dan ia menarik napas dalam-dalam.

"Papa bukan mau pergi ke mana-mana. Tapi, Papa berniat untuk tinggal di sini, Van."

Bukan hanya Vanny, alih-alih Haris pun melongo mendengar perkataan Bhakti. Keduanya kompak membisu ketika perkataan Bhakti terdengar tak masuk akal bagi mereka.

"A-apa, Pa?" tanya Vanny terbata. "P-Papa mau tinggal di sini?"

Bhakti mengangguk. "Beri Papa satu kesempatan, Van. Papa ingin menebus semua kesalahan Papa. Papa ingin menjaga kamu seperti seorang ayah yang seharusnya."

Itu jelas adalah permintaan yang amat menyentuh hati. Terlepas dari apa yang telah terjadi, sungguh Vanny tidak pernah mengira bahwa hari itu akan tiba. Hingga membuat Vanny membeku. Tidak bisa mengatakan apa-apa.

Namun, ketika momen mengharukan itu tercipta di antara Vanny dan Bhakti, ada Haris yang justru memikirkan hal lain. Karena ketika Bhakti mengatakan bahwa ia ingin tinggal di sana, maka alarm pun berdering di benak Haris.

Astaga!

Haris memucat. Dengan satu keyakinan pasti yang membuat ia ketar-ketir.

Kalau Papa mertua tinggal di sini ... maka itu artinya ....

Haris berusaha tetap bernapas. Tapi, ia tau satu yang pasti.

Sial! Itu artinya aku benar-benar harus nikahi Vanny secepatnya!

Karena sungguh. Haris tidak ingin kembali cuci-cuci di saat genting seperti tadi. Cukup sekali. Dan tak akan terulang kedua kali.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro