68. Sekali Dayung, Satu Negara Terlampaui
Itu adalah acara yang dihadiri oleh para pengusaha terkemuka di Indonesia. Pertemuan rutin yang di dalamnya membahas segala macam yang berkaitan dengan pasar dalam dan luar negeri. Meninjau stabilitas dan laju minat para konsumen.
Maka seharusnya Vanny sudah mengantisipasi hal tersebut. Bahwa bisa saja ia akan bertemu dengan seorang pria yang paling ia hindari di muka bumi ini. Tapi, nyatanya tidak. Entah karena memang Vanny tidak terpikir sedikit pun atau karena Vanny terlalu fokus pada Haris. Entah mana yang menjadi penyebabnya. Yang pasti sekarang sudah terlambat untuk Vanny menyadarinya.
Karena sedari tadi sudah ada dua pasang mata yang menunggu kehadirannya. Yang ketika ia melangkah masuk ke ruang pertemuan bersama dengan Haris, dua pasang mata itu langsung membesar seketika.
"Nona Vanny datang, Pak."
Suara Arman terdengar rendah. Nyaris seperti berbisik. Tapi, Bhakti bisa mendengarnya dengan jelas.
Bhakti mengangguk. Satu senyum tak mampu ia tahan.
"Iya," ujar Bhakti. "Ternyata Haris mengajak Vanny."
Bhakti sempat beradu pandang dengan Haris. Beberapa detik sebelum pada akhirnya Bhakti merasakan keanehan. Tidak langsung menuju meja yang tersedia untuknya, Haris justru beranjak. Mengajak Vanny menuju ke meja jamuan.
"Bagaimana, Pak?"
Suara Arman terdengar. Membuat Bhakti membuang napas panjang.
"Bapak ingin menunggu sampai acara ini selesai atau ...."
Bhakti mempertimbangkan dua kemungkinan itu dengan cepat di benaknya. Ia bisa menunggu hingga acara itu selesai dan barulah menemui Haris, juga Vanny tentunya. Atau Bhakti bisa mengambil opsi kedua. Pilihan yang lebih masuk akal dan terasa tepat untuk kesabarannya yang sudah terkikis beberapa hari belakangan ini.
"Aku akan menemui mereka sekarang."
Selesai mengatakan itu, Bhakti pun langsung beranjak. Dengan diikuti oleh Arman, ia menuju ke meja sajian. Di mana Haris dan Vanny berada.
Kala itu Haris meraih tangan Vanny. Tampak berniat untuk mengajak Vanny beranjak dari sana. Tapi, suara Bhakti terdengar tepat pada waktunya.
"Vanny."
Ketika Haris meraih tangannya dan mengajaknya pergi dari sana, Vanny dilanda bingung. Ingin mempertanyakan Haris, tapi satu suara yang amat familiar terdengar di telinganya. Vanny memutar tubuh. Melihat ke sumber suara dan seketika tubuhnya membeku.
Vanny pikir ia salah melihat. Tapi, degup jantungnya yang berbeda memberikan sinyal untuk Vanny. Bahwa matanya tidak keliru. Terlebih lagi ketika lidahnya spontan berkata.
"Papa."
Hanya itu yang diucapkan oleh Vanny. Karena ketika kata itu telah meluncur dari bibirnya, ia baru menyadari keadaan kala itu. Bahwa ia berada di tempat umum. Dengan Haris yang saat ini bersama dengannya.
Namun, Vanny tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa bergerak. Bahkan ketika ia mendapati Bhakti menatap lurus padanya, Vanny pun tidak bisa mengelak.
Vanny membalas tatapan Bhakti. Dan kala itu, tanpa sadar ia meremas tangan Haris.
"Vanny?"
Suara Haris terdengar. Membuat Vanny mengerjap.
"Papa?"
Ada kebingungan yang tersirat di suara Haris. Jelas itu adalah hal yang wajar. Ketika Vanny memanggil Bhakti dengan panggilan papa, maka otak Haris terasa berputar-putar di dalam kepalanya.
"Papa? Vanny?"
Dan Arman melihatnya dengan jelas. Bahwa bukan hanya wajah Vanny yang memucat kala itu. Alih-alih Haris pun juga.
"Jadi Pria Itu adalah Om Bhakti?"
Pertanyaan dengan nada syok itu membuat tatapan antara Vanny dan Bhakti terputus. Mereka berdua sama-sama berpaling. Melihat pada Haris yang matanya membesar dan mulutnya menganga.
Haris buru-buru menutup mulutnya dengan satu tangan. Tapi, ekspresi ngeri yang tercetak nyata di wajahnya jelas tak mampu ditutupi. Kala itu Haris persis seperti tengah melihat hantu di siang bolong.
Karena itu adalah kenyataan yang tidak pernah Haris antisipasi sebelumnya. Oh, ia tentu tidak akan lupa bagaimana dulu ia pernah mengghibah bersama Sekar. Membicarakan kehidupan Bhakti dan Vanny layaknya mereka adalah masalah yang berbeda. Dan ternyata?
"Ternyata Om Bhakti beneran calon mertua aku?"
Vanny memejamkan mata. Terhimpit di antara dua hal yang sama-sama tidak ia antisipasi. Pertemuan dengan Bhakti dan juga kesimpulan yang Haris ambil sesuka hati.
Remasan tangan Vanny pada Haris makin kuat. Tapi, Haris tidak merasakannya sama sekali. Alih-alih ia mendeham.
"Om."
Bhakti mengerutkan dahi. Melihat pada Haris yang mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Bersikap untuk sopan sesopan mungkin. Hingga membuat Arman buru-buru menutup mulutnya. Khawatir senyum gelinya terlihat oleh orang-orang di sana.
Bhakti menerima jabat tangan Haris. "Ya?"
"Gimana kalau kita bahas ulang soal perjodohannya, Om?"
Tentu saja Vanny langsung melotot.
*
Haris menyesap kopi hitam di cangkirnya. Rasa pahit yang menyentak indra pencecapnya membuat ia mengernyit. Menyadarkannya untuk banyak hal yang telah ia abaikan tanpa ada ketelitian sama sekali.
Harusnya kapan hari itu aku nanya Om Bhakti mau jodohin aku sama putrinya yang mana selain Tasya? Argh! Buat malu aja.
Namun, memangnya siapa yang bisa mengira bahwa Vanny adalah putri Bhakti? Tentu saja tidak ada yang menebaknya. Terlebih lagi ketika Haris memikirkannya dengan amat saksama. Tidak ada sedikit petunjuk yang bisa mengindikasikan bahwa Bhakti adalah ayah Vanny.
Nggak ada mirip-miripnya coba.
Berulang kali melihat bergantian pada Bhakti dan Vanny, Haris bisa yakin seratus persen bahwa matanya memang tidak keliru mengamati. Sedikit pun tidak terlihat ada kemirian antara Bhakti dan Vanny. Hingga membuat Haris yakin pada kesimpulan.
Kasihan Om Bhakti. Benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
Kala itu setengah acara telah terlewati. Masuk ke acara selanjutnya berupa makan siang bersama, Haris tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk duduk bersama dengan Bhakti dan Vanny.
Wajah Bhakti tampak penuh suka cita. Berbeda dengan Vanny yang sejujurnya mencari cara untuk melarikan diri dari tadi. Sayangnya, ia tidak bisa berbuat banyak. Hingga pada akhirnya di sinilah ia berada. Diapit oleh Bhakti dan juga Haris. Sementara Arman dengan penuh kesadaran memilih duduk di meja lain.
"Ehm."
Haris mendeham dan menjeda sejenak makan siangnya. Ia tersenyum pada Bhakti yang sedari tadi tanpa henti terus memandang Vanny.
"Sebelumnya aku minta maaf, Om," ujar Haris. "Aku sama sekali nggak tau kalau Vanny adalah putri Om."
Vanny memejamkan mata. Sejenak. Karena di detik selanjutnya ia justru membuka mata. Melihat ke sekeliling. Pada orang-orang yang hadir di sana. Pada mereka yang tentu saja bisa mendengar percakapan tersebut.
Bhakti mengangguk. "Om juga minta maaf. Selama ini Om nggak bilang kalau Vanny adalah anak Om."
Bola mata Vanny membesar. Tangannya gemetar ketika mendengar dengan jelas apa yang Bhakti katakan kala itu.
"Pa."
Suara Vanny terdengar rendah dan penuh peringatan. Matanya dengan awas memerhatikan keadaan sekitar.
Bhakti seketika paham apa yang dikhawatirkan oleh Vanny. Hanya Haris yang butuh waktu lebih lama untuk bisa mengerti situasi kala itu. Dan ketika ia menyadarinya, ia pun buru-buru menutup mulut. Manggut-manggut sejenak.
"Aku nggak nyangka kalau akan bertemu dengan Papa di sini," ujar Vanny kemudian. Kembali dengan suara rendah. Khawatir bila ada yang mendengar perkataannya. "Tapi, seharusnya Papa nggak nyamperin aku."
Tidak bisa menikmati makan siangnya, Vanny sibuk menundukkan wajah. Berusaha untuk menutupi mukanya dari setiap mata yang memandang.
Bhakti membuang napas panjang. Merasa tak nyaman ketika melihat Vanny yang berusaha untuk terus bersembunyi.
"Papa nggak bermaksud untuk menemui kamu, Van. Papa bermaksud untuk menemui Haris."
Tatapan Bhakti yang beralih padanya membuat Haris antusias.
"Bertemu dengan aku, Om? Ehm ... untuk urusan apa? Apa jangan-jangan ... untuk pembicaraan kita yang kemaren?"
Dahi Bhakti sedikit mengerut. Mencoba untuk mengingat. Dan Haris dengan cepat melanjutkan perkataannya.
"Kemaren Om bilang mau ngomongin soal aku dan putri Om kan? Mau tau sejauh apa hubungan kami kan?"
Tangan Vanny yang sedari tadi bertumpu siku di atas meja demi menutupi wajahnya, tergelincir seketika. Nyaris tubuhnya ikut terjatuh pula. Beruntung ia dengan sigap menegapkan kembali punggungnya.
A-apa yang Haris bilang tadi?
Vanny sekarang tidak lagi peduli kalau ada orang yang melihat wajahnya. Ia buru-buru menarik tangan Haris. Ia mendelik.
"Haris, kamu ngomong apa?"
"Ssst. Tenang, Van, tenang."
Haris menepuk tangan Vanny berulang kali. Dalam gestur lembut dan penuh pemakluman.
"Ini urusan sesama pria. Sebagai cowok yang gentle, aku sekarang lagi membicarakan masa depan kita dengan Om Bhakti. Eh?"
Haris sepertinya baru menyadari sesuatu. Ia buru-buru meralat perkataannya.
"Maksud aku ... Papa mertua."
Sepertinya kali ini Vanny yang mendadak merasa mulas. Perutnya mendadak melilit. Padahal ia belum ada makan apa pun selain buah pagi tadi.
"R-Ris---"
"Jadi kamu serius sama Vanny?"
Pertanyaan Bhakti memotong ucapan Vanny. Kali ini ia beralih pada Bhakti. Pria itu terlihat begitu bersemangat ketika melayangkan pertanyaan tersebut pada Haris. Dan Haris tidak kalah bersemangatnya ketika mengangguk.
"Tentu, Papa mertua. Aku sangat serius. Seperti yang Papa mertua tau. Aku sudah beli gaun pengantin. Tinggal dipakaikan aja lagi ke badan Vanny dan aku siap menikahi Vanny kapan pun."
Tuntas mengatakan itu dalam satu tarikan napas, Haris buru-buru menarik udara sebanyak-banyaknya. Astaga. Ia nyaris megap-megap. Dan kehadiran oksigen baru di dalam tubuhnya membuat ia sedikit bisa berpikir.
"Aku tau ini waktu yang benar-benar nggak tepat."
Bola mata Haris berputar. Mengedar ke seisi ruangan. Riuh dan dipenuhi oleh banyak orang.
"Tempatnya juga nggak tepat," lanjut Haris. "Tapi, kalau diberikan satu kesempatan, aku akan benar-benar menemui Papa mertua di waktu dan tempat yang lebih kondusif. Ini bisa dikatakan hanya sebagai kata pembukaan. Bagaimana, Papa mertua?"
Vanny tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia kembali menarik tangan Haris. Tapi, cowok itu bergeming. Ia benar-benar menunggu jawaban Bhakti.
Lantas Bhakti membuang napas seiring dengan kepalanya yang mengangguk. Mata Haris membesar seketika dalam luapan kebahagiaan yang tak terkira.
"Tentu saja."
Vanny membeku. Genggamannya pada Haris mengendur. Ia melihat Bhakti.
"Karena sejujurnya kemaren Papa ngubungi kamu memang untuk membicarakan soal kamu dan Vanny."
Tubuh Vanny semakin dingin. Menyadari sesuatu yang tidak pernah ia duga. Bahwa Bhakti sudah pernah menghubungi Haris karena mereka.
"Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, Ris."
Haris mengangguk. "Tentu saja banyak, Papa mertua."
Dari tanggal lamaran, tanggal pernikahan, tema resepsi, pakaian adat yang akan digunakan hingga perkiraan lama bulan madu. Itulah 'banyak' yang ada di kepala Haris. 'Banyak' yang membuat Haris mengulum senyum senangnya.
Namun, nahas. Sepertinya bukan 'banyak' itu yang ada di benak Bhakti. Karena ketika Bhakti melanjutkan perkataannya, senyum Haris sontak menghilang.
"Karena Papa ingin tau seserius apa kamu sama Vanny. Secinta apa kamu sama Vanny. Dan apa hubungan kalian baik-baik saja?"
Oh, tentu saja Haris akan menjawab bahwa ia serius. Bahwa ia cinta sekali pada Vanny. Dan hubungan mereka baik-baik saja.
"Karena Papa nggak akan menikahkan Vanny dengan cowok yang akan menyakitinya."
Haris menggeleng dengan wajah polos. "Aku nggak pernah menyakiti Vanny, Pa."
"Kalau memang kamu nggak pernah menyakiti Vanny," lanjut Bhakti seraya sedikit mencondongkan tubuh pada Haris. "Kenapa Vanny mau resign dari perusahaan kamu?"
Kepolosan wajah Haris ternoda. Oleh kebingungan yang membuat dahinya mengerut. Ia melihat pada Vanny.
"Resign?"
Vanny memucat. Tampak gelagapan. "R-Ris."
"Dan bisa-bisanya kamu ngasih Vanny pinalti satu milyar?"
Tatapan Haris membuat Vanny meneguk ludah. Kali ini tangannya benar-benar lepas dari Haris.
"Jadi bagaimana bisa Papa yakin kamu akan membahagiakan Vanny sementara kamu ngasih kontrak kerja yang nggak berperasaan sama Vanny? Kamu mau nindas Vanny? Atau apa maksud kamu?"
Untuk beberapa detik, Haris masih bergeming dengan tatapan lurus yang tertuju pada Vanny. Sementara cewek itu pelan-pelan berusaha untuk mengalihkan matanya dari Haris.
"Papa mertua."
Suara Haris terdengar bergetar ketika ia kembali beralih pada Bhakti. Wajahnya terasa panas. Tentu saja malu.
"Ini nggak seperti yang Papa mertua pikir."
Mata Bhakti menyipit melihat Haris. Dalam sorot menyelidik ia bertanya.
"Nggak seperti yang Papa pikir? Ehm ... sementara Vanny benar-benar membutuhkan uang itu untuk resign dari perusahaan kamu?"
"T-tunggu dulu."
Kali ini Haris yang meraih tangan Vanny. Menyentaknya sedikit. Membuat mata mereka kembali bertemu.
"K-kamu minta duit ke Papa mertua buat resign dari kantor?"
Vanny menggigit bibir bawahnya. Tidak tau harus menjawab apa. Tapi, tentu saja Haris tau jawabannya.
"Papa mertua."
Haris menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk bersabar dan itu sulit sekali. Rasa-rasanya kalau ingin mengikuti emosi, ingin sekali Haris menyeret Vanny saat itu pula.
"Aku minta maaf sebelumnya. Tapi, aku akan jujur."
Karena Haris yakin. Bohong dan berpura-pura tidak tau soal kontrak itu adalah tindakan yang paling bodoh. Ia memang harus jujur. Tapi, tentu saja bukan jujur sembarang jujur.
"Aku memang membuat klausal pinalti satu milyar. Tapi, bukan karena aku mau nindas Vanny atau aku mau semena-mena sama Vanny," ujar Haris. "Melainkan aku buat klausal itu agar Vanny nggak bakal pergi lagi dari aku."
Vanny berusaha untuk melepaskan tangannya dari Haris. Hanya saja keadaan tidak mengizinkannya untuk meronta. Walaupun meja di sana terpisah dalam jarak yang lumayan menguntungkan, tapi ia tidak ingin menarik perhatian orang-orang.
"Sumpah demi apa pun, Papa mertua. Aku nggak butuh duit satu milyar dari Vanny. Pinalti itu aku buat cuma biar Vanny tetap di dekat aku. Atau paling nggak sampai kami menikah. Karena kalau kami sudah menikah, aku sendiri yang bakal memecat Vanny."
"H-Haris."
Haris mendelik pada Vanny. "Bisa-bisanya kamu minta duit sama Papa kamu buat resign dari kantor?"
"Ris. Aku ...."
Vanny menyerah. Ia benar-benar tidak bisa membela dirinya saat ini.
"Ehm."
Dehaman Bhakti terdengar. Ia menatap bingung pada Haris dan Vanny secara bergantian.
"Jadi ... hubungan kalian baik-baik saja?" tanya Bhakti tidak yakin. "Papa dengar kalian saling mencintai. Tapi, kenapa Vanny mau resign?"
Vanny menahan ringisan. Genggaman Haris menguat. Dan tak hanya itu, wajah Haris pun mengeras.
"Vanny mau resign karena mau pergi dari aku."
Bhakti diam. Dua kenyataan itu seperti tidak bertemu. Antara kenyataan mereka berdua yang saling mencintai dan Vanny yang ingin pergi dari Haris, tidak ada benang merah yang menghubungkan keduanya.
"Dia memang cinta aku. Tapi, dia nggak percaya aku," ujar Haris dengan suara rendah. "Karena dia pikir menikah dengan orang kaya hanya akan menyakiti dia saja."
Setelah Haris mengatakan itu, bukan hanya Vanny yang terdiam. Alih-alih Bhakti juga demikian. Karena sejurus kemudian Haris baru menyadari sesuatu. Bahwa ibarat pemanah profesional, dirinya sudah sukses membidik dua sasaran hanya dengan satu anak panah. Dan sialnya, Haris baru menyadari itu ketika dilihatnya wajah Bhakti yang memerah padam.
Ya ampun!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro