Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62. Menjauh Satu Langkah

Haris melihat jam tangannya. Sudah nyaris jam sembilan malam kala itu. Dan ia masih berada di apartemen Vanny. Duduk tak jauh dari tempat tidur. Melihat pada Vanny yang terbaring dalam tidurnya.

Haris sudah mengajak Vanny untuk ke rumah sakit. Tapi, ia menolak. Beralasan bahwa dirinya hanya lelah. Dan sekarang Haris bingung. Apakah ia harus pulang dan meninggalkan Vanny seorang diri atau bertahan dan mengabari Sekar?

Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba menyentak Haris dari lamunannya. Tepat ketika ia terpikir untuk mengabari Sekar, ternyata sang ibu justru menghubunginya lebih dahulu.

Haris mengangkat panggilan tersebut seraya bangkit dari duduknya. Beranjak dan mengambil jarak yang lumayan demi tidak ingin mengganggu istirahat Vanny.

"Halo, Ma."

Langsung menyapa Sekar, Haris mendengar suara ibunya selang sedetik kemudian.

"Ris, kamu di mana? Udah jam segini belum pulang juga."

Haris membuang napas panjang. Kepergiannya ke apartemen Vanny memang tidak diketahui Sekar. Karena Sekar sudah mewanti-wanti Haris untuk memberikan waktu bagi Vanny. Tapi, walau sekuat apa Sekar melarang, nyatanya Haris tidak bisa melakukan apa yang Sekar perintahkan padanya.

"Aku lagi di apartemen Vanny, Ma," jawab Haris seraya melihat ke belakang sekilas. Pada Vanny yang baru tidur dan kesiap Sekar terdengar. "Dia lagi sakit."

Sekali lagi, kesiap Sekar kembali terdengar.

"Sakit? Vanny sakit apa? Sudah berobat?"

"Badannya panas. Cuma dia nggak mau dibawa ke rumah sakit. Sekarang dia lagi tidur."

Hening sejenak. Lalu suara Sekar kembali terdengar. Kali ini terkesan ragu-ragu.

"Ehm, Ris. Jadi sekarang ini kamu lagi jagain Vanny?"

Refleks, walau Sekar tidak bisa melihatnya, Haris mengangguk. "Iya, Ma."

"Ehm. Tapi, kamu nggak kepikiran buat nginap di sana kan?"

Kali ini Haris yang terdiam. Sejujurnya tentu saja ia ingin menginap. Tapi, tentu saja Sekar tidak akan memperbolehkannya.

"Bukannya apa ya. Tapi, kalian nggak boleh berduaan semalaman loh."

Haris sadar bahwa hubungannya dan Vanny sudah melampaui batas yang seharusnya. Tapi, tetap saja. Di depan orang tuanya hal itu akan selalu menjadi rahasia. Dan pembicaraan saat itu sudah memberikan bayangan untuk Haris.

"Vanny ada temen nggak? Yang bisa nemenin dia malam ini?"

Ketika Sekar menanyakan itu, tentu saja nama Esti langsung muncul di benak Haris.

"Ada, Ma."

Embusan napas lega Sekar terdengar samar. "Kamu hubungi dia. Coba minta tolong ke dia buat nemenin Vanny malam ini. Jadi kamu bisa balik."

Sejujurnya opsi itu sempat melintas di benak Haris. Dan sepertinya memang itulah pilihan yang terbaik saat itu.

"Dan kalau semisalnya besok Vanny masih sakit, biar Mama datang ke sana. Gimana?"

"Baiklah, Ma," jawab Haris seraya membuang napas panjang. "Kalau gitu aku telepon dulu temen Vanny."

Semula Haris ingin langsung menghubungi Esti ketika telepon Sekar berakhir. Tapi, suara lirih Vanny terdengar memanggilnya.

"Van?"

Vanny bangkit. Dengan mata dan wajah yang terlihat lesu. Sekilas ia melihat pada jam dinding.

"Kamu belum balik?"

"Rencananya bentar lagi. Tapi, sebelum itu aku mau nelepon Esti. Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian."

Vanny meraih gelas di atas nakas. Haris dengan cepat membantunya. Membiarkan beberapa teguk air yang sejuk itu membasahi tenggorokan Vanny yang terasa kering kerontang.

"Gimana?"

Menunggu jawaban Vanny sesaat, di detik kemudian Haris mendapati anggukannya. Haris pun segera menghubungi Esti. Dan setelah panggilan itu berakhir, Vanny berkata.

"Kalau kamu mau pulang sekarang, nggak apa-apa, Ris. Esti pasti nggak lama lagi sampe kok."

Namun, Haris menolak. "Aku tunggu Esti datang dulu. Baru abis itu aku balik."

Vanny yang masih merasa lelah memilih untuk tidak berdebat dengan Haris. Alih-alih menyandarkan punggung di kepala tempat tidur. Diam saja. Bahkan ketika Haris menghampirinya dan duduk pula di kasur, ia bergeming. Tidak beranjak sedikit pun.

Haris meraih tangan Vanny. Menatap jemari lentik itu dan mengusapnya perlahan. Merasakan suhu tubuh sang pemiliknya. Sudah tidak sehangat tadi.

Tidak ada pembicaraan antara Vanny dan Haris. Keduanya sama-sama membisu dalam pikiran masing-masing. Dengan mata yang sama menatap pada titik yang sama. Yaitu, jemari mereka yang bertemu.

Vanny tidak menarik tangannya. Membiarkan Haris terus menggenggamnya. Lantaran satu pemikiran berputar-putar di benaknya. Karena bila uang memang akan ia dapatkan, maka mungkin tidak banyak kesempatan baginya untuk terus merasakan genggaman Haris.

Sementara Haris, dengan gelagat tidak baik yang ditunjukkan oleh Vanny, jelas merasa tidak tenang. Menggenggam Vanny adalah satu-satunya cara untuk mengingatkan Haris. Bahwa memang hanya Vanny yang ia inginkan untuk berada di sisinya.

Haris harus tau bagaimana rasa Vanny dalam genggamannya. Harus ingat rasanya. Agar ia bisa mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan Vanny tetap bersamanya.

"Van!"

Suara Esti terdengar. Ia sudah datang. Langsung masuk dan dengan tergesa-gesa menuju ke kamar Vanny. Ketika ia membuka pintu dan memanggil nama sang sahabat, ia tertegun dengan pemandangan di tempat tidur itu.

"Ehm."

Baik Vanny maupun Haris sama-sama menarik tangan masing-masing. Mereka tampak canggung. Tapi, untungnya Esti tidak berniat untuk menggoda mereka tentang hal itu lantaran melihat wajah lesu Vanny.

"Van, kamu sakit?"

Esti masuk. Ketika Haris bangkit dari duduknya, maka ia yang mengisi posisi kosong di tempat tidur. Duduk dan melihat keadaan Vanny.

"Nggak," jawab Vanny sambil menggeleng pelan. "Aku kayaknya cuma capek aja."

Kedatangan Esti memberikan sinyal untuk Haris. Bahwa sudah waktunya ia angkat kaki dari sana. Tapi, sebelum pergi ia memastikan Vanny untuk beristirahat.

"Kalau masih sakit, lebih baik kamu ke dokter, Van. Besok kamu nggak usah masuk dulu. Kamu istirahat aja."

Vanny hanya mengiyakan perkataan Haris dan membiarkan Esti mengantar kepergiannya. Pada saat itu, Haris pun menceritakan apa yang terjadi pada Esti.

"A-apa?"

Esti melotot ketika mereka berdua tiba di depan pintu. Selangkah Haris akan keluar dari sana, ia tuntas menceritakan semuanya. Mengenai Vanny yang sudah mengetahui tentang perbincangan mereka tempo hari.

"Maaf, Es," ujar Haris merasa bersalah. "Tapi, aku tadi panik. Otak aku kalut ngelihat Vanny pulang-pulang diantar mobil mewah dan langsung nangis."

Haris membuang napas panjang. Ingatannya tertarik ke belakang. Mengingat kejadian tadi.

"Itu pasti Om."

Ketika mengatakan itu, Esti merasakan ada sedikit keraguan dan keanehan. Hingga sadar atau tidak, ia bergumam dalam pertanyaan.

"Tapi, kok Vanny mau ketemu sama Om? Ehm ... aneh. Selama ini Vanny nggak pernah mau ketemu sama Om."

Kalau Esti pikirkan baik-baik, maka ia semakin merasa aneh. Vanny bertemu dengan ayahnya adalah hal yang tidak pernah Esti duga. Lantaran ia tau persis bagaimana sikap Vanny selama ini dengan sang ayah. Tapi, kemungkinan bahwa Vanny pergi dengan orang kaya lainnya tentu saja adalah hal yang paling tidak masuk akal.

Berkat kehidupannya yang tidak menyenangkan, Vanny nyaris tidak punya teman. Merasa rendah diri. Kerap dipandang remeh. Praktis bisa dibilang bahwa hanya dirinya teman yang Vanny miliki. Dan maka dari itu Esti yakin bahwa Vanny memang pergi bertemu ayahnya.

"Tapi, kenapa tiba-tiba Vanny mau ketemu sama Om?"

Terus menyuarakan pertanyaan demi pertanyaan yang melintas di benaknya, sejurus kemudian Esti baru menyadari sesuatu. Yaitu, Haris yang masih berdiri di depannya. Cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari sana dalam waktu dekat.

"Loh?"

Dahi Esti mengerut melihat Haris. Menampilkan ekspresi heran dengan kesan yang berlebihan.

"Ngapain kamu masih di sini?" tanya Esti tanpa mengharapkan jawaban Haris. Karena sejurus kemudian ia justru mendorong tubuh Haris untuk melewati ambang pintu. Dengan gerutuan yang tak mampu ia tahan. "Kamu harus pergi sekarang. Dan oh iya. Kalau ntar Vanny ngamuk sama aku gara-gara pembicaraan kita kapan hari itu, awas aja kamu, Ris."

Haris memang akan segera pergi dari apartemen Vanny. Tapi, tidak dengan cara seolah-olah Esti tengah mengusir dirinya.

"Ih! Jangan dorong-dorong, Es!" gerutu Haris. "Aku bakal pergi kok."

Esti tidak berhenti mendorong Haris sampai cowok itu benar-benar sudah keluar. Ia menepuk-nepuk kedua tangannya.

"Ya kalau gitu ... ayo. Buruan pergi."

Haris mendelik. Esti benar-benar seperti mengusir dirinya. Dan tak hanya itu, Esti lantas langsung menutup pintu di depan wajah Haris. Tidak memedulikan cowok itu yang tentu saja mengomel di luar sana. Karena sekarang, yang Esti pedulikan hanya satu.

Gimana nasib nyawa aku ke depannya ya, Tuhan?

Nyatanya tidak langsung kembali ke kamar Vanny, Esti justru bersandar di pintu. Dengan kedua tangan yang naik di dada, wajah cewek itu berubah pucat dalam hitungan detik yang amat singkat.

Mas Cakep yang sering datang ke butik, maafkan aku kalau ada salah-salah kata. Percayalah. Itu semua memang disengaja. Soalnya Mas emang cakep banget sih.

Esti membuang napas panjang. Tangannya mengepal dan ia menguatkan diri. Ia tau. Cepat atau lambat semua memang akan terbongkar.

Tapi, astaga. Kenapa kebongkarnya secepat ini?

Esti ciut kembali. Rasa-rasanya ia ingin melarikan diri. Tapi, ketika ia ingat Vanny yang tengah sakit, mau tak mau ia pun beranjak.

Takut-takut, Esti masuk ke kamar Vanny. Ia mendapati Vanny masih dalam posisinya tadi. Bersandar di kepala tempat tidur dengan kedua tangan yang berada di atas pangkuan.

Vanny menatap Esti. Melihat pada seragam butik yang masih melekat di badannya.

"Kamu pasti buru-buru ke sini."

"Eh?"

Esti mengerjap sekali. Melihat arah mata Vanny memandang dan tatapannya turut turun pula. Ia mengerti.

"Ah, ini," lirih Esti panjang. "Haris nelepon tadi emang pas aku udah mau balik. Jadi aku nggak sempat ganti baju sih."

Suasana sedikit canggung. Esti duduk di tempatnya semula.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Esti. "Udah minum obat?"

Vanny menggeleng. "Kayaknya aku cuma capek aja. Nggak perlu sampe minum obat. Istirahat bentar juga pasti ntar baikan kok."

Esti manggut-manggut. Tidak mengatakan apa-apa lagi ketika rasa bersalah membuat ia jadi merasa tidak nyaman kala itu.

"Van."

Mengembuskan napas panjang, Esti memutuskan untuk membiarkan takdir mempermainkan nyawanya. Lebih baik ia menantang maut ketimbang ditarik ulur oleh perasaan takut.

"Aku minta maaf," ujar Esti pada akhirnya. "Aku tau aku salah karena ngomong sesuatu ke Haris yang seharusnya nggak aku omongin. Bukannya aku mau jadi temen ember. Tapi, aku cuma mau yang terbaik untuk kamu, Van. Aku tau kamu cinta sama Haris. Jadi ... jadi ...."

Esti menatap Vanny. Ia tidak mengatakan apa-apa. Vanny diam. Membalas tatapan Esti dengan sorot pemakluman. Ia mengangguk.

"Aku tau."

Vanny tidak marah padanya. Dan itu membuat Esti semakin merasa bersalah.

"Maafkan aku."

Ada senyum samar timbul di bibir Vanny. Lalu ia kembali mengangguk.

"Aku tau, Es," ujar Vanny lirih seraya menahan sejenak napas di dadanya. "Kamu cerita ke Haris soal keluarga aku pasti agar dia tau apa ketakutan aku. Biar dia tau apa yang membuat aku nggak mau bareng dia lagi. Tapi, itu percuma, Es."

"Percuma? Maksud kamu?"

Vanny tidak perlu menceritakan seberapa takutnya ia untuk menjalin hubungan dengan Haris. Tidak perlu. Karena kalau ada seseorang yang benar-benar paham akan dirinya selain Diah, maka itu pastilah Esti orangnya.

"Seminggu ini Mama Haris datang ke sini, Es."

Bola mata Esti membesar. "Mama Haris ke sini?" tanyanya yang langsung disambut anggukan Vanny. "Ngapain?"

"Ngapain?"

Mengulang satu kata tanya itu, ada senyum merekah di wajah Vanny. Itu bukan senyum formalitas, alih-alih itu adalah senyum yang benar-benar menunjukkan kebahagiaan.

"Mama Haris ngajarin aku masak. Dan kami ngobrolin banyak hal. Mama cerita tentang masa mudanya. Tentang pertemuan pertamanya dengan Om. Terus entah apa lagi yang Mama ceritakan. Pokoknya banyak."

"Van."

Esti meraih tangan Vanny. Pertama kali menyentuh kulit temannya itu, Esti langsung menyadari sesuatu. Bukan hangat yang ia rasakan di sana. Alih-alih dingin yang terasa membekukan.

"Aku takut kalau akhirnya aku bakal berharap, Es."

Esti meremas jari-jari Vanny. Dan balasan yang Vanny berikan padanya membuat Esti meringis. Karena Vanny meremas jari-jarinya dengan lebih kuat lagi.

"Aku nggak bisa, Es. Gimanapun aku cinta sama Haris, tapi aku takut."

"Van," ujar Esti mencoba untuk menenangkan Vanny. "Coba kamu lihat. Haris nggak mundur bahwa setelah tau keadaan kamu. Jadi kamu nggak perlu takut."

Logika Vanny pun mengatakan demikian. Tapi, rasa takut itu benar-benar menguasai alam bawah sadar Vanny.

"Bukan cuma Haris yang udah tau, Es. Tapi, keluarganya juga."

Esti terkejut. Jelas tidak mengira kalau Haris sudah menceritakan hal tersebut pada keluarganya. Tapi, Esti pun menyadari sisi baik dari hal itu.

"Dan setelah tau, Mamanya tetap welcome ke kamu?"

Berat, Vanny mengangguk.

"Terus apa lagi, Van? Ya Tuhan. Haris udah benar-benar berjuang buat meyakinkan kamu."

Vanny pun tau itu. Tapi, rasa kecil itu benar-benar menggerogotinya. Dan menampilkan satu kejadian yang menakutkan.

"Aku nggak mau disebut perebut, Es."

"Perebut?"

Tasya, ibunya, dan kekacauan di acara arisan membuat Esti terdiam. Ketika Vanny menceritakannya, Esti akhirnya sadar. Bahkan di saat Vanny berusaha untuk keluar dari ketakutannya, akan ada hal lain yang membelenggu langkah kakinya.

"Aku nggak bisa hidup dua kali dengan keadaan yang sama, Es," ujar Vanny perih seraya menggeleng berulang kali. "Aku nggak bisa."

Esti tak bisa berkata-kata lagi. Terjepit antara Vanny dan Haris, ia mendapati dirinya pun dibuat serba salah dengan keadaan itu.

"Jadi ... gimana, Van?"

Sekuat tenang, Esti mencoba untuk tidak menggaruk kepalanya. Tapi, situasi kala itu benar-benar membuat ia pusing tujuh turunan.

"Kamu kan tau Haris itu gimana. Aku yakin dia nggak akan nyerah sampai benar-benar bisa nikahi kamu."

Vanny jelas lebih tau bagaimana sifat Haris ketimbang Esti. Dan itu membuat ia menatap lekat pada Esti.

"Aku mau pergi dari sini, Es."

"Pergi? Maksud kamu?"

"Aku mau pergi dari Haris dan pergi dari apartemen ini."

Karena sekarang bukan hanya kenangan Diah yang ada di sana. Alih-alih cerita tentang Haris dan juga Sekar sudah turut tertulis pula.

"T-tapi, kamu kan kerja sama Haris. Kamu udah terikat kontrak, Van. Kamu harus bayar----"

Ucapan Esti berhenti di udara. Otaknya dengan cepat bekerja. Mengingat apa yang diceritakan oleh Haris tadi sebelum ia pulang.

"Kamu minta duit sama Om?"

Wajah Esti tampak syok ketika melayangkan pertanyaan itu. Tapi, belum terlalu syok sampai akhirnya Vanny mengangguk.

"Papa bakal ngasih aku duit itu, Es. Dan secepatnya aku bisa resign."

Karena di rumah yang terpisah, tepatnya di ruang kerjanya, Bhakti dengan segera menghubungi asisten pribadinya.

"Halo, Arman."

Tidak berbasa-basi, setelah sapaan yang tidak berarti itu, Bhakti pun langsung melayangkan perintahnya.

"Besok kirim uang untuk Vanny," kata Bhakti. "Satu milyar."

Tentu saja, Arman di seberang sana terkesiap.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro