Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

61. Ketakutan Itu ... Menelan Dari Dalam

"K-kamu tau, Ris?"

Haris tertegun. Diam untuk beberapa saat ketika mata Vanny menatapnya dengan sorot yang berbeda. Pada akhirnya Haris tidak bisa mengelak. Apa yang sudah ia ucapkan tentu saja tak mungkin Vanny abaikan begitu saja.

"K-kamu tau?" tanya Vanny lagi dengan wajah yang benar-benar tampak syok. "Kamu tau pria itu?"

Haris mengangguk. Membenarkan dugaan Vanny dan membuat tubuh ramping itu menegang seketika.

"Sejak kapan kamu tau?"

Haris membuang napas panjang. "Belum lama ini," jawabnya dengan lirih. "Tepatnya mungkin baru seminggu ini."

Jawaban Haris membuat Vanny membeku. Seolah butuh waktu untuk benar-benar mencerna apa yang dikatakan Haris. Dan ketika ia sadar, Vanny sontak menarik diri. Menjauh dari Haris.

"Kamu tau dan kamu diam saja?"

Haris putus asa. Wajahnya terlihat lelah. Sama seperti Vanny. Dan untuk pertanyaan Vanny yang satu itu, Haris tidak tau harus menjawab apa.

"Kamu tau dari mana?" tanya Vanny. Tapi, sebelum Haris sempat menjawab, benak Vanny seketika penuh dengan kilasan kejadian beberapa hari belakangan ini. Ia menatap Haris dan menebak dengan rasa takut. "Esti?"

Dan untuk pertanyaan itu, Haris kembali tidak bisa mengelak. Pun Vanny juga tidak butuh jawaban Haris. Karena yang mengetahui semuanya dengan pasti memang hanya Esti.

Namun, sungguh. Vanny tidak mengira kalau Esti akan melakukan hal itu padanya. Menceritakan kisah gelap keluarganya. Padahal selama ini Vanny mengira bahwa Esti akan menjaga rapat-rapat aib itu. Tapi, apa yang telah Esti lakukan? Menceritakan semua itu pada Haris?

Haris tentu tau apa yang Vanny pikirkan. Maka ia dengan cepat bertindak. Tidak ingin Vanny menuding Esti.

"Van, ini bukan salah Esti. Aku yang mendesak dia buat menceritakan semuanya. Dia nggak pernah mau buat cerita, tapi aku terus mendesak dia."

Sekarang Vanny tak lagi peduli. Entah dari mana Haris tau mengenai keluarganya. Sudah amat terlambat.

"Buat apa, Ris? Buat apa kamu nanya soal keluarga aku?" tanya Vanny cepat. "Buat apa kamu tau tentang keluarga aku?"

Buat apa? Buat apa Haris mengetahui semua mengenai keluarga Vanny? Jawabannya tentu hanya satu.

"Karena aku memang harus tau semua yang menyangkut kamu. Cewek yang aku cinta, Van."

"Haris----"

Haris beranjak dengan cepat. Mengikis jarak yang baru saja diciptakan oleh Vanny. Karena bila Vanny bersikeras untuk menjauhi dirinya, maka Haris bisa meyakinkan semua yang ada di dunia ini bahwa ia lebih bersikeras lagi.

"Aku nggak tau sesakit apa kamu, Van. Aku memang nggak pernah tau. Tapi, please. Jangan samakan aku dengan Papa kamu."

Haris tau. Mudah baginya dan orang yang tidak mengalaminya untuk mengatakan itu. Mudah sekali. Tapi, tidak akan pernah mudah untuk Vanny dan mereka yang mengalaminya.

"Aku mohon, Van," pinta Haris. "Coba lihat aku."

Haris menangkup kedua pipi Vanny. Menahan wajahnya agar pandangan mereka bertemu. Dalam satu garis tatapan lurus yang menghubungkan semuanya.

"Lihat aku sebagai aku, Van. Jangan lihat aku sebagai orang lain yang bahkan aku nggak tau dia siapa. Ini nggak adil untuk aku, Van. Dituding untuk kesalahan yang bahkan nggak pernah aku lakukan sama sekali."

Vanny tau apa yang Haris katakan memang benar. Apa yang ia lakukan sekarang tak ubahnya seperti seorang hakim yang menghukum seseorang dengan perbuatan yang orang lain lakukan. Haris tidak bersalah apa-apa. Tapi, mengapa harus ia yang menjadi tertuduh?

Namun, ketakutan itu benar-benar nyata. Menghadirkan bayangan masa depan yang mungkin terjadi dengan tak berbeda jauh dari yang Diah dan dirinya alami dulu.

"Aku benar-benar cinta kamu, Van. Aku bakal nerima kamu dan nggak akan mempermasalahkan semuanya."

Vanny memejamkan mata. Menggeleng dengan putus asa. Karena ia tau sesuatu.

"Pernikahan bukan cuma tentang dua orang, Ris. Bukan."

Karena dalam pernikahan akan ada dua keluarga yang menyatu. Dua keluarga yang juga harus saling menerima satu sama lain. Sesuatu yang Vanny pikir adalah sesuatu yang mustahil untuk bisa ia dapatkan.

"Aku tau," ujar Haris dengan penuh keyakinan. "Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Orang tua aku juga nggak mempermasalahkan apa pun tentang kamu, Van."

Mata Vanny membuka. Menatap syok pada Haris.

"J-jangan bilang?"

Haris mengangguk. Ia tak bisa mundur sekarang. Berusaha untuk berbohong pun sudah amat terlambat bagi Haris. Tapi, bila kebohongan tidak bisa meyakinkan Vanny, bagaimana dengan kejujuran?

"Mama aku tau tentang kamu, Van," ujar Haris kemudian. "Semua yang terjadi sama keluarga kamu dan semua yang terjadi sama kita berdua, Mama udah tau."

Bola mata Vanny membesar. Dalam keterkejutan yang tak mampu ia bendung sama sekali.

Mama Haris tau? Tau semuanya?

Membayangkan Sekar mengetahui segala aib yang terjadi di keluarganya membuat Vanny berkecil hati. Akan seperti apakah pandangan Sekar padanya?

"Tapi, walaupun Mama tau, buktinya Mama nerima kamu, Van."

Vanny tertegun saat Haris mengatakan itu dengan cepat dan tanpa ragu sama sekali. Karena saat itu, kilasan hari-hari di mana Sekar datang ke tempat tinggalnya, melintas.

Sekar yang begitu bersahabat terasa amat hangat. Bahkan tanpa segan untuk mengajak dirinya pergi. Dan ketika ada insiden yang tidak mengenakkan terjadi, Sekar tidak berpikir dua kali untuk memasang badan melindunginya.

"Kalau kamu bilang pernikahan bukan cuma tentang dua orang," ujar Haris mengulang perkataan Vanny. "Kamu benar. Pernikahan itu tentang dua keluarga. Dan apa kurang yang Mama aku lakukan? Untuk membuktikan kalau Mama benar-benar menerima kamu, Van?"

Semua itu layaknya dua hal yang bertentangan. Dengan masa lalu yang telah Vanny alami sendiri dan masa depan yang mungkin akan berbeda dengan yang telah terjadi. Keduanya memenuhi benak Vanny. Dalam pertempuran demi merenggut keyakinannya. Yang mana di antara keduanya yang akan menjadi milik Vanny? Masa lalu yang akan terulang atau masa depan yang ia impikan?

"Haris."

Haris sudah mempersiapkan hatinya untuk setiap kemungkinan. Tapi, sekali lagi. Mundur tidak ada dalam kemungkinan itu.

"Aku nggak akan mendesak kamu, Van. Tapi, kalau kamu pikir aku bakal berhenti, maka kamu salah. Aku nggak akan berhenti sampai kamu yakin bahwa aku nggak akan menyakiti kamu seperti yang kamu alami dulu."

Haris menggeleng berulang kali. Memanfaatkan setiap detik yang ia miliki untuk terus meyakinkan Vanny.

"Dan kalau kamu memang masih ragu," lanjut Haris kemudian. "Bilang ke aku. Apa yang harus aku lakukan agar kamu yakin? Agar kamu percaya sama aku, Van."

Namun, masalahnya bukan pada Haris. Masalahnya ada di Vanny. Ia yang tidak percaya dengan masa depan. Ia yang tidak bisa menaruhkan harapannya pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

"Haris," rintih Vanny. "Aku nggak bisa."

Haris nyaris putus asa. Dadanya terasa sesak. Pertahanannya untuk tetap waras, terancam musnah dalam waktu dekat.

Maka Haris menarik tubuh Vanny. Memeluknya dengan harapan itu akan membuat ia merasa tenang. Karena hanya dengan merasakan tubuh Vanny dalam dekapannya, ia bisa mendapatkan kedamaiannya. Karena hanya dengan menghirup aroma Vanny yang lembut nan wangi, ia bisa mendapatkan kesejukannya.

"Kita jalani ini pelan-pelan, Van. Aku nggak akan memaksa kamu buat percaya aku sekarang, tapi aku mohon. Berikan aku kesempatan itu."

Itu adalah penawaran terakhir yang Haris miliki. Penawaran yang merendahkan harga diri seorang cowok yang terbiasa dengan mudah mendapatkan semua yang ia inginkan. Tapi, ketika ego Haris mencoba untuk meledak dan membuncah dalam tindakan yang tak logis, maka ia menyadari sesuatu.

Karena Vanny memang tidak semudah itu. Untuk Vanny, semuanya akan Haris berikan. Bahkan bila itu menuntut satu hal yang nyaris tidak pernah ia lakukan.

Kesabaran.

Haris tidak mengenal apa itu sabar. Terlebih melakukannya. Tapi, ia akan mencobanya. Sama seperti dirinya yang meminta agar Vanny berani pula untuk mencoba.

"Kasih aku satu kesempatan, Van," bisik Haris di telinga Vanny. "Satu kali saja. Dan aku nggak akan menyia-nyiakannya."

Haris mengusap punggung Vanny. Lembut dan tanpa henti. Berharap bahwa masih ada harapan yang ia miliki. Hingga pada akhirnya, satu anggukan yang ia rasakan di dadanya, membuat Haris tertegun.

Vanny mengangguk. Dengan mata yang terpejam dan wajah tenggelam di dada Haris. Dengan jari-jari yang mengerat di seputaran punggung Haris. Demi menguatkan diri dalam jawaban yang ia beri.

Satu anggukan yang membuat Haris mengucapkan terima kasihnya sementara Vanny justru merasa nyeri di hatinya.

"Aku nggak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini, Van. Nggak akan pernah."

Karena ketika anggukan itu Vanny berikan, bukan berarti ia memberikan apa yang Haris inginkan. Lantaran Vanny menyadari. Bahwa ketakutan yang terpateri bertahun-tahun di ingatannya teramat sulit untuk ia singkirkan begitu saja.

Bahkan ketika seorang ayah tidak bisa menjaga dan membahagiakan darah dagingnya sendiri, lantas bagaimana orang lain bisa melakukannya? Tidak. Vanny tidak ingin bertaruh dengan hatinya yang telah rapuh.

Namun, Vanny menyadari. Haris tidak akan mundur dengan semudah itu. Maka tak masalah bila ia harus berbohong kali ini. Dan ketika ia sudah mendapatkan uang yang ia butuhkan, ia hanya perlu pergi.

Meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Haris. Meninggalkan semuanya. Mencari penghidupan yang baru tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Entah itu perih yang ingin ia lupakan atau justru bahagia yang mungkin akan ia rindukan.

Vanny menarik diri. Keluar dari dekapan Haris dan menatap wajah tampan itu. Karena bila ia memutuskan untuk benar-benar mengakhiri semuanya, maka ia mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengan Haris. Ia hanya memiliki beberapa hari yang tersisa. Waktu terbatas yang tidak akan ia biarkan terbuang percuma begitu saja.

Maka Vanny beringsut. Beranjak dengan wajah yang terangkat. Matanya terpejam dalam pergerakan pelan yang mempertemukan bibir keduanya.

Haris mengerjap. Terdiam. Dalam sentuhan yang tidak ia duga, ia membeku. Bergeming dalam kaku yang memenjarakan tubuh.

Vanny mencium Haris dengan teramat lembut. Dalam kecupan manis yang tak pernah Haris bayangkan sebelumnya.

Sesuatu menyentak di dada Haris. Menghadirkan beragam emosi yang nyaris tidak bisa ia urai satu persatu.

Ada kesedihan. Ada ketidakberdayaan. Ada cinta. Tapi, ada satu yang tidak Haris inginkan. Yaitu, ketakutan.

Remasan hadir. Menggenggam jantung Haris. Mengguncang akal sehat Haris. Menyadarkannya untuk satu naluri yang tak bisa ia abaikan begitu saja.

Haris menahan napas. Ketika tangan Vanny meraih pipinya dan terus menciumnya, tanpa sadar air mata Haris jatuh satu.

Dada Haris bergemuruh. Pundaknya bergetar. Dengan satu kengerian yang lantas langsung membayang dan memenuhi benak Haris.

Karena tidak pernah. Sebelumnya tidak pernah. Vanny tidak pernah menciumnya lebih dulu.

Maka ciuman itu tidak pernah menjelma menjadi ciuman yang semestinya. Alih-alih itu berubah menjadi tamparan yang menyadarkan Haris. Bahwa Vanny tidak pernah benar-benar memberikan kesempatan itu padanya. Tidak pernah.

Namun, Haris tidak peduli. Entah itu kesempatan atau ucapan perpisahan. Haris tidak akan mundur dari apa yang telah ia ucapkan. Karena untuk masalah bertahan pada kemauan, Haris tidak akan pernah mengecewakan siapa pun. Dan seharusnya Vanny menyadari itu.

Dan di saat Haris meraih pinggang Vanny. Pun di saat Haris menyambut ciuman Vanny. Maka di saat itu pula Vanny menyadari kebodohannya kembali. Bahwa untuk yang ketiga kalinya, lagi-lagi ia terjebak.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro