Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Rasa-Rasa Yang Masih Terasa

Salah satu pembelaan Haris adalah ia memastikan bahwa satu-satunya mantan pacar yang ia miliki mendapatkan pekerjaan yang terjamin. Pekerjaan yang bisa menjamin kebutuhan di tiap bulannya. Pekerjaan yang pasti jarang sekali bisa ia dapatkan dengan mudah di luar sana. Pekerjaan yang justru dengan senang hati ia berikan tanpa perlu melewati rangkaian seleksi yang susah payah.

Ehm ... Haris baik kan?

"Ya pasti dong. Yang namanya Haris itu emang baik. Karena yang jahat itu Aris, bukan Haris. Hahahahaha."

Tawa Haris berhenti ketika terdengar ketukan di pintu. Ia buru-buru mendehem dan melihat bagaimana pintu itu membuka. Ada Vanny melangkah masuk dengan membawa nampan.

"Ini kopinya, Pak."

Vanny menyajikan kopi tersebut di atas meja Haris. Cowok itu mengangguk seraya melirihkan terima kasihnya.

"Ehm ... ngomong-ngomong gimana?" tanya Haris seraya menatap Vanny. "Kamu jadi mau mundur?"

Memegang nampan dengan kedua tangannya, Vanny berusaha untuk menahan manyunnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan itu membuat Haris lanjut bicara.

"Kalau kamu sudah nyiapin uang pinaltinya ... kamu bisa mundur secepatnya."

Kali ini Vanny tidak bisa menahan manyunnya lagi ketika Haris menyinggung soal uang pinalti. Melihat itu, Haris harus dengan sekuat tenaga berjuang agar tidak mendadak tergelak terbahak-bahak.

"Pak ...."

Pada akhirnya suara Vanny terdengar pula. Dengan irama putus asa yang membuat Haris bertanya.

"Ya?"

"Uang pinaltinya nggak bisa diubah ya? Masa satu milyar sih?"

Karena mau bagaimana Vanny memikirkannya, ia benar-benar tak habis pikir. Kok bisa ada uang pinalti sebesar itu? Ia bukannya orang hebat dengan pekerjaan fantastis sehingga kontraknya seberharga itu. Ia hanya cewek biasa dan pekerjaannya hanyalah sekretaris kedua.

"Bagaimana mungkin bisa uang pinaltinya diubah? Itu kan sudah tertulis hitam di atas putih."

Vanny menggigit bibir bawahnya sekilas. "K-kalau buat kontrak ulang gimana? Uang pinaltinya diganti dan ditandatangani ulang."

"Sembarangan!"

Vanny ciut seketika. Memang tidak masuk akal sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Itu satu-satunya ide yang melintas di benaknya.

"Sudahlah, Van," ujar Haris kemudian. "Ketimbang kamu musingin soal kontrak dan uang pinaltinya, mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Kan beres."

Mana mungkin beres? Yang ada malah makin kacau.

"Lagipula kenapa sih kamu mau mundur dari kerjaan ini?"

Mata Vanny mengerjap. Pertanyaan yang satu ini membuat ia spontan melihat pada Haris kembali. Cowok itu menatapnya.

"Apa kamu dapat kerjaan yang lain?" tanya Haris lagi. "Atau gaji di sini kurang?"

Haris meragukan kemungkinan yang kedua itu. Karena pada dasarnya dulu Vanny melamar menjadi staf admin. Secara logika gaji yang bisa didapatkan Vanny sekarang jauh tinggi di atas gaji posisi tersebut.

Sial. Jangan bilang kalau omongan Bu Astrid memang benar.

"Ehm ... kamu mau mundur ..."

Berat untuk mengatakannya, tapi Haris memberanikan diri untuk tetap bertanya.

"... bukan karena aku kan?"

Namun, mata yang refleks membesar itu membuat Haris dengan cepat bisa mendapatkan jawabannya. Ia mendengkus.

"Wah! Ternyata kamu mau mundur gara-gara aku, Van?"

Vanny meneguk ludah. Buru-buru menggeleng, tapi dalam hati ia tau itu percuma. Ekspresi wajahnya benar-benar sudah terbaca.

"B-bukan seperti itu, Pak."

"Kalau bukan seperti itu, jelaskan ke aku yang seperti ini-nya."

Vanny tidak bisa menjelaskan apa pun.

"Astaga."

Haris membuang napas dengan keras seraya membanting tubuhnya ke belakang. Bersandar pada punggung kursi dengan mata yang tak berpindah dari Vanny. Tampak cewek itu menundukkan wajah dengan bibir yang mengerucut.

"Kenapa?" tanya Haris lagi. "Apa aku ngebuat kamu ngerasa nggak nyaman atau gimana sampai-sampai kamu milih buat mundur dari kerjaan ini?"

Diam, Vanny tidak menjawab.

"Vanny?"

Berat, tapi Vanny mengangkat wajahnya. "Ya?"

"Kamu bisa jawab pertanyaan aku?"

Vanny meneguk ludah. Enggan, tapi ia mengangguk. "Ya, Pak."

"Oke."

Haris menarik napas panjang terlebih dahulu. Ia menarik punggungnya dari kursi dan menegapkan kembali tubuhnya. Dengan kedua tangan yang lantas mengusap satu sama lain, ia berkata.

"Sebelumnya ... kamu duduk dulu."

Vanny menuruti perintah itu. Ia duduk di depan Haris dengan memangku nampan. Sedikit merasa lega karena astaga! Lumayan pegal juga berdiri dari tadi.

"Jadi ..."

Suara Haris membuat Vanny mengangkat wajah. Tak mau, tapi itu refleks sehingga membuat matanya bertemu dengan mata Haris. Vanny sontak menahan napas.

"... kenapa? Kamu harus ngasih aku jawaban yang jelas. Dan mungkin dengan itu aku bisa mempertimbangkannya."

Vanny sendiri ragu kalau Haris benar-benar akan mempertimbangnkannya. Karena ia ingat benar bagaimana beberapa saat yang lalu Haris dengan terang-terangan mengatakan bahwa surat kontrak tidak mungkin dibuat ulang. Benar kan?

"Maaf sebelumnya, Pak."

Pundak Vanny naik dengan irama dramatis ketika ia menarik napas. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap tenang. Tapi, ketika ia mencoba untuk menjawab pertanyaan itu, Vanny mendapati tubuhnya gemetaran atas hingga bawah.

"Tapi, kalau memang harus jujur," lanjut Vanny kemudian dengan suara lirih. "Saya memang merasa nggak nyaman karena harus bekerja dengan Bapak."

Haris buru-buru melonggarkan lilitan dasinya. Mendadak saja ia merasa seperti ada yang mencekik lehernya. Nyaris membuat ia tak bisa bernapas.

Astaga! Dia benar-benar ngomong gitu? Wah! Ternyata dugaan Bu Astrid memang benar.

"S-saya memang butuh kerjaan. Tapi, bukan kerjaan seperti ini. Bagaimanapun juga saya nggak pernah berpikir untuk bekerja dengan ..." Vanny melirik Haris sekilas. "... mantan."

Mata Haris menyipit. "Memangnya kenapa kalau kamu bekerja dengan mantan? Mantan bukan semacam virus berbahaya kan?"

Lebih dari virus berbahaya kalau menurut Vanny. Karena saking berbahayanya Vanny lebih memilih untuk mundur dari pekerjaan bergaji tinggi itu.

"B-bukan gitu, Pak," dusta Vanny. "Cuma saya ngerasa nggak nyaman aja."

Haris tidak percaya begitu saja dengan perkataan Vanny. Walau Vanny mengatakan bahwa mantan bukan virus berbahaya, tapi dari cara sikap cewek itu jelas saja Haris menarik kesimpulan yang sebaliknya.

"Ya sudah. Kalau menurut kamu mantan itu bukan virus berbahaya, berarti nggak apa-apa dong kamu dekat-dekat dengan aku?"

"Eh?"

"Lagipula ..."

Haris menatap Vanny dengan dahi berkerut. Tangan cowok itu terangkat satu. Menunjuk padanya.

"... mana ada sejarahnya di dunia pekerjaan? Orang mundur dari kerjaan gara-gara merasa nggak nyaman karena bekerja dengan mantan pacar? Itu alasan nggak profesional banget."

Yang dikatakan oleh Haris memang ada benarnya. Itu adalah alasan yang tidak profesional dan terkesan memalukan. Tapi, apa Haris sadar kalau yang ia lakukan juga tidak profesional? Ehm ... sepertinya sih tidak.

"Tapi---"

"Stop!"

Tangan Haris memberikan isyarat agar Vanny menghentikan perkataannya. Cewek itu seketika bungkam.

"Aku nggak bakal melarang kamu buat mundur. Kalau kamu mau mundur, silakan saja. Tapi, intinya tetap yang satu itu. Kamu harus membayar pinalti. Karena mau gimanapun juga kamu sudah menandatangani surat kontrak itu. Dan kalau kamu lupa, aku kasih ingat. Kamu menandatangani surat kontrak itu tanpa ada paksaan siapa pun. Kamu juga melakukannya dengan kesadaran penuh."

Tiap kata yang diucapkan oleh Haris membuat Vanny makin ciut detik demi detik. Seolah angka satu milyar itu semakin membesar dan menimpa dirinya hingga ia jatuh tak berdaya di atas lantai. Vanny benar-benar tidak berkutik.

"Gimana?"

Vanny mengerjap sekali. "Apanya yang gimana, Pak?"

"Kamu masih mau mundur?"

"Masih."

Jawaban Vanny tentu saja membuat Haris syok. Tapi, sebelum cowok itu sempat menyuarakan rasa tak percayanya, Vanny kembali bicara.

"Tapi, sekarang apa boleh buat. Saya nggak punya duit sebanyak itu."

Ekspresi wajah Haris berubah seketika. Buru-buru ia mendehem lagi sebagai tindakan antisipasi. Jaga-jaga agar ia tidak mendadak terlepas tertawa.

"Oke. Kalau gitu, kamu kumpulkan saja dulu uangnya. Kalau sudah terkumpul, baru deh kamu boleh mundur. Gimana?"

Dikira ngumpulin duit satu milyar itu kayak ngumpulin kecebong di kali apa?

Vanny berusaha untuk tersenyum ketika mengangguk. Wajahnya jelas terlihat kaku dan itu berbeda sekali dengan Haris.

"Sekarang kamu boleh keluar. Lanjutkan dulu pekerjaan kamu sampe uang satu milyar itu terkumpul."

Astaga. Dibahas lagi.

Rasa-rasanya sih Vanny seperti tidak ada tenaga lagi. Bahkan ketika ia harus bangkit dari duduknya, ia merasa gamang.

"Saya permisi."

Memerhatikan bagaimana Vanny dengan langkah nyaris terseok-seok keluar dari ruangannya membuat senyum yang sedari tadi ditahan Haris lepas seketika. Malah diikuti oleh bonus kekehan samarnya. Ia geleng-geleng kepala.

"Vanny ... Vanny .... Sebenarnya aku nggak tega, tapi ngeliat kamu kayak gitu jadi geli juga."

Meluapkan ekspresi lucunya dalam bentuk tawa untuk beberapa saat, Haris nyaris kehabisan napas beberapa menit kemudian. Wajahnya yang terkesan putih -tidak terlalu putih sebenarnya- tampak memerah.

"Ehm!"

Haris mendehem. Tertawa membuat tenggorokannya terasa kering. Waktu yang tepat untuknya menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh Vanny.

Segera, Haris meraih cangkir kopinya. Dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya, ia menyesap minuman bewarna hitam pekat itu. Bersiap dengan sensasi pahit yang akan ia rasakan, Haris justru terbatuk seketika tatkala rasa manis yang amat menyengat menyentuh indra perasanya.

"Huuuk!"

Buru-buru Haris menaruh kembali kopi itu di atas tatakan. Matanya mendelik ketika rasa manis masih menguasai lidahnya. Membuat cowok itu dengan segera meneguk air putih.

"Gila! Itu cewek ngasih aku kopi atau sirup kopi? Rasanya kok bisa semanis ini coba?"

Haris mengelap kasar bibirnya yang basah. Hilang sudah ekspresi lucu di wajahnya. Kali ini tergantikan oleh raut curiga. Matanya menatap ke pintu dengan sorot menyipit.

"Kamu sengaja, Van? Ehm ... kamu sengaja ya mau ngerjain aku?"

Haris yakin seratus persen kalau Vanny memang sengaja membuatkan kopi super manis untuknya.

"Awas aja kamu ya," geram Haris kemudian. "Aku kerjain balik baru tau rasa kamu."

*

Esti memejamkan mata ketika Vanny membenturkan kepalanya di atas meja. Tidak keras memang, tapi lumayan berhasil juga untuk menarik perhatian beberapa pelanggan yang kebetulan memenuhi warung ayam geprek itu. Esti yang menganggap dirinya masih waras pun mencoba untuk tersenyum pada mereka semua seraya berkaya.

"Biasa. Namanya juga anak muda. Ketemu mantan lebih menakutkan ketimbang ketemu pocong di tengah jalan. Hahahahaha."

Vanny mengangkat wajahnya. Menampilkan tampilan yang acak-acakan dan menatap pada Esti dengan sorot yang benar-benar tak berdaya.

"Aku harus gimana, Es?"

Esti memberikan tatapan yang sama pada temannya yang sedang nelangsa itu. Ia pun tidak tau harus berbuat apa.

"Aku juga nggak tau, Van," jawab Esti lirih. "Kayaknya kamu emang cuma punya dua pilihan itu deh."

"Apa aja?"

"Satu."

Seraya mengatakan itu, Esti mengangkat tangannya dan menunjukkan angka satu dengan jari telunjuk.

"Nabung selama delapan puluh tiga tahun lamanya."

"Astaga," desis Vanny horor. "Ngebayangin nabung selama itu cuma buat ngasih duit ke Haris aja udah ngebuat aku kayak mau mati besok. Apalagi kalau beneran kejadian?"

Esti meringis. "Kedua."

Kali ini Esti melepaskan jari tengahnya pula demi menunjukkan angka dua pada Vanny.

"Kamu tetap kerja di sana."

"Ya Tuhan," desis Vanny tanpa tenaga. "Ngebayangin aku ngekorin Haris ke mana-mana selama delapan jam sehari dan lima hari seminggu aja udah ngebuat aku merinding atas bawah. Apalagi kalau beneran kejadian?"

Itu tentu saja waktu kerja normal. Pada dasarnya pekerjaan sekretaris lebih banyak yang tidak normal ketimbang normal. Jadi Vanny bisa memperkirakan akan sesering apa ia berinteraksi dengan Haris di tiap harinya. Dan itu sukses membuat perutnya mual-mual.

Vanny segera menyambar es teh lemonnya. Menyeruput isinya yang sudah tidak seberapa. Ah, untunglah rasa asam itu berhasil meredakan gejolak perut Vanny.

"Sebenarnya ini bukan masalah yang besar loh, Van. Kamu tuh cuma ketemu mantan, bukannya ketemu ketua mafia paling kejam di dunia."

"Kamu bisa ngomong gitu karena kamu udah biasa ketemu sama mantan-mantan kamu."

Esti tersenyum lebar. "Emang. Aku keluar gang kontrakan aja ketemu sama mantan SMP. Terus pas aku naik angkot, eh kernetnya mantan SD aku. Hahahahaha. Selucu itu coba hidup ini, Van."

Vanny menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Sungguh ia merasa heran dengan sistem kerja otak Esti.

"Bisa-bisanya kamu anggap ketemu mantan itu sesuatu yang lucu, Es?"

"Bisa-bisanya kamu anggap ketemu mantan itu sesuatu yang menakutkan, Van?"

Sialan! Esti langusung membalas perkataannya dengan amat telak.

"Mantan itu cuma manusia biasa. Mereka bukan malaikat pencabut nyawa. Jadi buat apa dihindari?" tanya Esti untuk yang kesekian kalinya. "Lagipula ya, Van. Masa kamu mundur cuma gara-gara bos kamu itu Haris sih? Ehm ... kalau kemaren tanpa info soal pinalti itu, okelah. Aku masih dukung kamu buat mundur. Tapi, ini? Gila aja! Timbang kamu nabung dan ngasih duit sebanyak itu untuk Haris, mending kamu sumbangin deh ke pemerintah. Kali bisa dipake buat nyicil utang luar negeri. Itu lebih bermanfaat."

Bener juga sih apa yang dibilang Esti.

"Jadi menurut aku ya mending kamu jalani aja kerjaan kamu di sana. Toh gaji jadi sekretaris dia nggak mungkin kecil. Aku yakin deh."

Berat mengakui, tapi nyatanya Vanny mengangguk pula.

"Tuh kan!" tukas Esti penuh semangat. "Udah deh. Abaikan aja masa lalu. Tebalin aja muka. Kamu bukannya ngerasa bersalah kan sama dia? Gara-gara mutusin dia? Makanya kamu nggak mau kerja sama dia?"

Vanny menggeleng. Beberapa kali dengan jawaban yang lirih keluar dari bibirnya.

"Nggak sama sekali. Aku nggak merasa bersalah kok."

Esti sedikit ragu sebenarnya. Tapi, ia tidak akan mendebat hal tersebut. Alih-alih ia kembali berkata.

"Oke. Kalau gitu ya enjoy aja. Mau dia mantan pacar kek atau mantan suami kek, bodo amat. Yang penting kamu harus kerja di sana dengan profesional demi gaji."

"Tapi, aku nggak yakin bakal sanggup, Es. Aku nggak kebayang aja harus di dekat Haris terus-terusan."

"Hadeeeh! Nggak usah dibayangin, Van. Dijalanin aja."

"Dibayangin aja nggak sanggup, apalagi dijalanin?"

"Ck. Demi duit kita bisa jalanin kehidupan macam apa pun. Tenang aja," ujar Esti seraya mengibaskan rambutnya sekilas. "Kayak yang aku bilang loh. Kamu tuh cuma kerja sama mantan pacar. Nggak usah nganggap ini berlebihan deh. Santai aja."

"Gimana bisa santai?"

"Ya bisa aja kali, Van. Contohnya kayak aku. Ketemu mantan mah santai aja. Malah kadang aku duluan yang negur. Itu kenapa? Itu karena ya yang lalu telah berlalu. Aku udah nggak ada rasa apa-apa lagi. Jadi---oh, shit!"

Ucapan panjang lebar Esti menggantung seketika di udara. Ditutup dengan amat apik oleh satu kata yang membuat semua pengunjung di warung ayam geprek itu kompak melihat padanya.

Esti mengabaikan semua mata yang kali ini justru melihat padanya. Mata cewek itu membelalak. Kedua tangannya naik dan menutup mulut. Dan ekspresi wajahnya amat sangat syok.

"Do you?"

Horor, suara Esti persis seperti suara anak tikus yang tertangkap oleh kucing oranye. Dengan leher yang terjepit oleh taring-taring tajam. Layaknya ia yang tengah bersiap melihat kematian di depan mata.

Vanny tampak nelangsa. Wajah putus asanya semakin menjadi-jadi.

"Kalau masih ...," lanjut Esti dengan suara yang terdengar kian horor. "... kenapa dulu kamu putusin dia?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro