Bab. 9 - Terikat
Bab. IX - Terikat
NARUTO terduduk canggung, jemarinya mengepal di atas paha lalu sesekali saling meremas. Sungguh, ia benar-benar gugup.
"Sasuke." Naruto memanggil pelan pada sesorang yang tengah fokus mengemudikan mobil. "Apa tidak sebaiknya kita pulang dulu?"
"Untuk apa?" Sasuke menyahut cepat tanpa emosi apapun.
"Ka-kau tidak lihat? Aku masih memakai baju koki. Terlebih baju ini kotor. Sebaiknya kita pulang, aku harus membersihkan diri dulu."
Sasuke mendengkus. "Tanggung. Kita hampir sampai."
Naruto hanya mendesah pasrah. Haruskah ia masuk ke kediamab Uchiha dengan keadaan baju seperti ini?
Pasutri muda itu turun dari mobil setelah sampai di halaman mansion. Sasuke segera menggandeng lengan kiri Naruto seraya berjalan masuk ke dalam. Ya, lagi-lagi pria itu memulai sandiwaranya.
Para maid di sana menyapa mereka dengan hormat. Seperti biasa Sasuke tak pernah mempedulikan hal itu, berbeda dengan istrinya; Naruto membalas sapaan mereka dengan senyuman kecil yang tulus.
"Di mana mereka?" Sasuke bergumam sendiri. Menggulirkan pandangan setelah sampai di dalam rumah, tepatnya di ruang tamu.
Sasuke menggulirkan pandangan pada tangga menuju ruang makan, dan seketika itu juga sepasang oniksnya menangkap sosok pria yang sangat menganggu pikirannya saat ini.
Sementara Naruto, dia enggan menatap orang tersebut lebih lama. Dia lebih memilih menundukkan wajah, menatap lantai yang dipijaknya.
Orang itu berdiri tegap dengan lengan yang terlipat di depan dada. Iris yang percis seperti Sasuke itu memandang datar pada pasutri di hadapannya. "Selamat datang kembali di sini..." Ia menuruni tangga dengan gerakan elegan sebelum menghentikan langkahnya di hadapan Sasuke dan Naruto. "..., adik iparku," lanjutnya, berucap lembut pada Naruto, namun matanya melirik Sasuke yang tengah memandangnya sinis.
"Kalian sudah datang rupanya." Suara bernada tegas namun lembut itu membuat ketiganya menoleh ke depan di mana Minato tengah tersenyum senang.
"A-ayah!?" seru Naruto. Ia menghampiri sang ayah dengan cepat. "Kenapa Ayah bisa di sini?" tanyanya seraya menekuk lutut, mensejajarkan tingginya dengan Minato yang sedang terduduk di sebuah kursi roda.
"Fugaku dan Mikoto yang menjemputku," jawab Minato singkat seraya menggulirkan pandangannya pada Sasuke yang tak jauh dari mereka. "Kau tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan ya, Sasuke," ucapnya kemudian membuat Sasuke menatapnya sebentar kemudian menyunggingkan senyum kecil.
"Paman. Ah maksudku... Ayah, akhirnya kau bisa pulih kembali." Sasuke menyahut cepat seraya berjalan mendekat. Memeluk pria itu cukup lama. Ini memang keinginannya, bukan salah satu sandiwaranya. Toh, Minato tidak tahu apa-apa tentang konflik dalam pernikahan mereka. Jadi tidak pantas 'kan, jika Sasuke bersikap dingin pada ayah mertuanya?
Minato balas memeluk pria Uchiha itu dengan erat. "Pulih bagaimana?" sahut Minato setelah melepaskan pelukannya. "Lihat, aku masih tidak bisa berjalan."
"Tapi, setidaknya Ayah tidak terus berbaring dengan mata terpejam." Naruto ikut berbicara.
"Itu benar," timpal Sasuke.
"Tapi, tunggu..." Naruto menatap lekat pada ayahnya. "Bagaimana Paman Fuga bisa melepas alat-alat yang melekat di tubuh Ayah itu?"
Minato tersenyum. "Tentu bukan mereka yang melepasnya."
"Maksud Ayah, Dokter Tsunade yang melepas semua alat itu?"
Minato mengangguk pelan menjawabnya. "Kenapa kau memakai baju koki? Dan..." Minato menyentuh pipi Naruto. "..., wajahmu kusam, bajumu kotor."
Naruto tersenyum lebar, membuat manik birunya tertutup oleh kelopak mata yang menyipit. "Ceritanya panjang." Ah Naruto lupa, ia bahkan belum menceritakan tentang pekerjaannya pada sang ayah.
"Baiklah, kau punya hutang padaku setelah makan malam ini ya, Sayang." Minato menyentil hidung bangir anaknya.
Naruto terkekeh geli. "Iya... iya."
"Well, sebaiknya kita segera ke atas." Itachi mengintrupsi perbincangan mereka. "Ibu dan Ayah sudah menunggu."
💍
"Apanya yang makan malam?" Sasuke menatap heran pada meja makan di sana yang masih kosong; tak ada satu pun makanan yang tersaji. Sasuke kira semuanya sudah siap.
Mikoto tertawa canggung. "Um... sebenarnya kami ingin Naruto yang memasak."
"Ibu!" Itachi mengerutkan dahinya, kesal. "Apa Ibu tidak lihat Naruto sangat lelah? Dia baru saja pulang bekerja."
Fugaku memijit keningnya, jengah. "Ibumu memang keras kepala, Itachi. Padahal aku sudah memberitahunya sejak tadi."
Itachi hanya berdecak. Jika dilihat dari sikap pemuda itu, Itachi terlihat lebih mengkhawatirkan Naruto dibandingkan dengan Sasuke yang notabene suami Naruto, tapi pria itu terlihat masa bodo sekali.
"Ya sudahlah, tidak apa-apa. Biar Ibu menyuruh para maid saja untuk memasak."
"Jangan!" Naruto berseru. "Tidak apa. Biar aku saja."
"Tapi Naruto, kau terlihat lelah sekali." Itachi mencengkeram pergelangan tangan Naruto, mencegahnya.
Naruto melepaskan pegangan Itachi dengan perlahan. "Tenang saja, aku masih sanggup. Lagi pula hanya memasak 'kan? Itu bukan pekerjaan yang berat." Wanita itu tersenyum kecil. Meski sebenarnya ia sangat lelah, tapi melihat ibu mertuanya yang sudah berharap begitu mau tak mau Naruto harus menurutinya.
"Kalau begitu biar aku membantumu."
Naruto menoleh pada orang yang baru saja bersuara. Ia hanya bisa diam tanpa berkomentar, karena ia sudah tahu bahwa orang itu pasti tengah bersandiwara.
Naruto pun berjalan cepat menuju dapur lalu diikuti oleh seseorang yang baru saja menawarkan jasanya.
Suara benturan pisau di atas talenan mengisi kesunyian di dapur. Naruto fokus pada pekerjaannya, sementara pria di sampingnya terlihat kewalahan sekali meski hanya mengupas bawang merah.
"Seharusnya tidak perlu begini." Naruto mendengkus pelan sembari meraih bawang merah tersebut dari tangan sang suami.
"Apa maksudmu? Dan, hei! Kembalikan bawang itu! Itu pekerjaanku!"
"Kau tidak perlu bersandiwara seperti ini. Kembalilah ke sana."
"Tsk. Kau pikir--" Sasuke menghentikan protesnya ketika ponselnya bergetar cukup keras. Ia meronggoh benda itu di dalam saku celananya. "Sakura ...?" gumamnya saat melihat nama dari panggilan masuk.
"Ada apa, Sayang?" Suara Sasuke melembut. Pria itu menjauh dari sang istri. Naruto bahkan berdo'a agar pendengarannya di tulikan saat ini juga, ia benci setiap kali mendengar suara lembut suaminya yang tidak pernah ditujukkan untuknya.
"Malam ini aku tidak bisa."
Meski jarak mereka sudah jauh tapi karena kesunyian di dapur itu, Naruto bisa mendengar apa yang Sasuke ucapkan pada wanitanya di seberang sana. "Aku sedang makan malam dengan keluargaku. Ayolah, jangan merajuk seperti itu. Besok setelah pulang kerja aku akan menjemputmu. Oke?"
Kenapa telinga ini tidak tuli saja!?
"Ke mana pun kau mau."
Tepat setelah ucapannya itu pada Sakura melalui ponsel, Sasuke menatap pada sang istri malas. "Cepatlah sedikit. Aku tidak ingin berlama-lama di sini denganmu," ucapnya dingin seraya berjalan menjauh, meninggalkan Naruto sendirian di dapur itu.
Naruto mengatupkan rahangnya dengan kuat. Hatinya mencelos sakit mendengar ucapan sang suami. Ia tahu, Sasuke pasti tidak nyaman jika harus bersikap lembut padanya. Tapi, bagaimanapun kini di hadapan mereka ada orang tua masing-masing, tidak mungkin mereka bersikap seperti orang asing.
💍
Makan malam berjalan seperti biasa, hanya berisi candaan-candaan ringan dan obrolan-obrolan kecil.
"Menginaplah di sini. Terlalu malam untuk pulang. Bahaya jika kau menyetir dengan mata mengantuk begitu," ucap Mikoto seraya menatap Sasuke yang tengah menguap kecil.
"Hn," sahut sang anak seraya berjalan lamban menuju kamarnya.
"Kau tidak ikut ke kamar?" tanya Mikoto saat mendapati Naruto yang masih berdiri di belakang kursi roda yang diduduki oleh Minato.
"Aku masih ingin mengobrol dengan Ayah."
Mikoto mengangguk paham, "Kalau begitu aku tidur duluan. Maaf, tidak bisa menemani kalian."
"Tidak apa. Istirahatlah." Minato menyunggingkan senyum kecil. "Jadi... sekarang waktunya 'membayar utangmu', Sayang." Ia melirik putrinya.
Naruto tersenyum. "Bisakah kita mengobrol di tempat lain?" Naruto mendorong kursi roda itu menuju balkon yang tak jauh dari mereka berada. "Di sini kurasa lebih nyaman. Udara malam ini sangat segar, bukan?" tanyanya kemudian seraya memakaikan mantel tebal pada sang ayah.
"Jadi..." Naruto menatap sang ayah dengan lekat. "Bagian mana yang ingin Ayah dengar?"
"Bukankah hanya satu yang belum Ayah ketahui? Tentang pekerjaanmu."
"Ah iya, aku lupa." Naruto menghela napas berat. "Kau tahu, Ayah. Bibi Mikoto dan Paman Fugaku sangat baik padaku. Mereka bahkan bersedia membayarkan seluruh biaya perawatanmu, tapi tentu saja aku menolaknya."
Naruto memandang lurus ke depan, menatap gemerlapnya malam saat itu. Sementara Minato mendengarkan setiap ucapannya dengan saksama.
"Dengan aku tinggal di sini dan membiayai seluruh kebutuhanku, bukankah itu sudah cukup merepotkan? Aku tidak ingin menyusahkan mereka lebih dari itu. Maka setelah lulus sekolah, aku memutuskan untuk bekerja di sebuah toko bunga yang cukup besar milik temanku. Tapi, karena semakin lama biaya perawatan Ayah semakin tinggi, aku kembali mencari pekerjaan lain tanpa melepaskan diri di toko bunga itu. Aku bekerja di sebuah bistro. Posisiku di sana sebagai koki."
"Kau bekerja di dua tempat sekaligus?" tanya Minato menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa anak sematawayangnya banting tulang seperti itu hanya untuk membiayai dirinya selama dua tahun ini?
Naruto tersenyum kecil, "Ya, tapi itu dulu."
"Maksudmu?"
"Sekarang aku hanya bekerja di satu tempat. Yaitu, Otsutsuki Bistro."
"Bagaimana dengan toko bunga itu? Kenapa kau melepas diri dari sana?" Minato meraih lengan sang anak yang tengah memegangi pundaknya.
Naruto melangkah ke depan, mengahadap sang ayah seraya menekuk lutut. "Maaf, karena aku, kau sampai harus bekerja keras seperti itu." Minato menangkup kedua pipi anaknya, mengusapnya penuh sayang.
"Sssshhh." Naruto menaruh jari telunjuknya di bibir Minato. "Ayah tidak pantas meminta maaf. Mengurusmu sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang anak. Dan hal itu membuatku bangga. Karena usahaku tidak sia-sia, Ayah akhirnya pulih kembali meski belum bisa berjalan lagi."
Mata biru Minato berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang. Kau benar-benar wanita hebat. Sama seperti Ibumu," ucapnya seraya mengecup kening Naruto cukup lama.
💍
Naruto terduduk di sofa kecil setelah tadi mengobrol beberapa menit dengan sang ayah dan mengantarnya ke kamar tamu untuk tidur di sana.
Sepasang safir Naruto menatap seseorang yang tengah tertidur pulas di atas kasur di depannya. Lengannya terulur seolah akan menggapai sesuatu di depannya, namun nyatanya hanya udara kosong yang mampu ia rasakan. Posisi telapak tangan Naruto sejajar dengan seseorang yang tengah tertidur itu.
"Kenapa kau begitu jauh dariku...," gumam Naruto pelan. "Aku istrimu. Tapi, untuk menggapaimu saja aku tidak bisa," lanjutnya dengan suara tercekat, menahan air mata yang siap jatuh kapan saja. Lengan yang semula terapung di udara pun kini terkulai lemas di samping badannya disertai wajah menunduk, membuat embun hangat di pelupuk matanya mulai menetes sedikit demi sedikit membasahi kedua pahanya.
Naruto mengangkat kaki, menekuk lutut lalu menenggelamkan kepalanya di sana. Dan kedua lengannya kini tengah memeluk dirinya sendiri dengan kuat. "Hatimu begitu jauh. Jangankan untuk memilikinya. Untuk menyentuhnya saja aku tidak bisa."
Merasa ada getaran kecil di sampingnya, Naruto mengangkat wajahnya. Ia meraih benda kecil itu, melihat siapa yang tengah malam begini mengiriminya pesan.
💍
Kediaman Shimura, 10:00
"Kau cantik sekali, Sayang!"
Ino berbalik, menatap seseorang yang baru saja berseru cukup tinggi. "Ayah...." gumamnya seraya menghamburkan diri dalam pelukan pria itu.
"Hei, jangan menangis." Inoichi menyentuh bahu Ino, melepaskan pelukannya. "Make up-mu bisa luntur. Ini hari yang bahagia, seharusnya kau tertawa bukan menangis."
Ino meremas bagian depan kemeja ayahnya. "Aku sedih karena harus berpisah denganmu. Kau akan hidup sendiri," ucapnya dengan wajah menunduk.
Inoichi tersenyum lembut, "Kau dan Sai bisa tinggal di rumah ayah kalau kau mau. Jadi, kita bisa bersama-sama lagi."
"Benarkah?" Mata Ino berbinar senang.
"Tentu saja." Inoichi menggandeng sang anak menuju altar pernikahan. "Ayo cepat, Sai sudah menunggumu."
💍
Mansion Shimura yang selalu terlihat sepi mencekam serta diselimuti aura dingin, kini berubah hingga menjadi sebuah altar pernikahan yang indah. Bunga mawar merah menghiasi setiap sudut ruangan dan beberapa dekorasi lainnya yang memperindah setiap ruangan di mansion itu.
Sai menyunggingkan senyum tipis yang menawan begitu melihat pengantin wanita berjalan anggun ke arahnya. Wajah yang pada dasarnya sudah cantik kini semakin terlihat bagai bidadari, rambut pirangnya yang biasa terikat satu kini tergerai bebas dengan berbagai pernak pernik yang menghiasinya.
Acara pernikahan berjalan dengan lancar. Namun Ino terlihat gelisah sedari tadi, dan tentu saja Sai menyadarinya. "Ino, apa kau baik-baik saja?"
"Naruto." Ino meremas lengan Sai dengan kuat, ia mengigit bibir bawahnya, "Aku belum melihatnya. Apa dia tidak akan datang?"
Sai mengecup keningnya sebentar. "Dia pasti datang. Sabarlah, mungkin dia terjebak macet?" ucapnya berusaha menenangkan dan Ino hanya mengangguk pelan.
"Ino!" seruan tinggi itu membuat Ino dan Sai menoleh ke depan di mana seorang wanita berambut panjang merah muda berlari kecil ke arahnya. Dia memeluk Ino cukup kuat. "Happy Wedding Day!"
"Terima kasih, Sakura." Ino melepas pelukannya, memandang teman semasa kecilnya ini. "Aku senang kau datang."
Sakura hanya tersenyum kecil kemudian berjalan menjauh menuju meja wine setelah menaruh kado untuk Sai dan Ino.
Namun, langkah Sakura terhenti kala mendapati seseorang yang paling dibencinya. Sakura dapat melihat orang itu tengah memandang kagum pada Ino dan Sai. Seringai pun terpatri di bibir Sakura. Ini saat yang tepat untuk membuat dia sadar!
"Naru."
Wanita di hadapannya menoleh. "Sakura...? Kau di sini...?"
"Tentu saja, aku 'kan temannya," sahut Sakura cepat. Dia mendekati Naruto. "Kenapa kau memandang mereka seperti itu?" tanyanya dengan seringai kecil. Tetapi, Naruto tak melihatnya karena dia kembali memandang ke depan.
"Tak apa. Aku hanya turut bahagia dengan pernikahan mereka."
"Benar. Mereka terlihat bahagia, bukan?" Sakura bertanya masih dengan nadanya yang terbilang biasa.
"Hm." Naruto menanggapinya dengan gumaman kecil.
"Apa kau melihat ekspresi yang sama pada wajah Sasuke saat pernikahan kalian?"
" .... " Naruto terdiam sebentar, ia merasa pembicaraan ini mulai tidak baik. "Apa maksudmu?" tanyanya, masih enggan memandang Sakura.
"Apa kau melihat ekspresi bahagia pada wajah Sasuke seperti ekspresi Sai saat ini?"
" .... "
"Tentu tidak, 'kan?" Seringai Sakura semakin merekah. "Lalu kenapa kau masih saja memaksanya untuk menikah denganmu?"
" .... "
"Apa kau tidak memikirkan perasaannya? Kau egois, Naru. Kau mengikatnya dalam sebuah pernikahan, padahal kau sendiri tahu bahwa Sasuke tidak mencintaimu juga tidak akan pernah bisa bahagia hidup denganmu."
"Sakura." Naruto mengepalkan tangannya sangat kuat. Hatinya benar-benar perih mendengar semua itu. "Aku percaya bahwa aku bisa membuatnya bahagia dan membuatnya mencintaiku."
"Mencintaimu?" Sakura membeo dengan senyum mengejek. "Apa sampai saat ini perasaan Sasuke berubah padamu? Apakah ia pernah berkata bahwa ia mencintaimu dengan sangat tulus, walau hanya satu kali?"
" .... "
"Sudah kubilang, kau benar-benar egois, Naru. Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Sasuke. Mungkin dari luar Sasuke terlihat dingin. Tapi, apa kau tahu bagaimana perasaannya? Dia begitu tersiksa, Naru. Dia harus mengorbankan kebahagiaannya hanya demi pernikahan kalian."
"Diam." Naruto memandangnya tajam. "Jangan berbicara seolah-olah kau mengerti semuanya."
Satu alis Sakura terangkat angkuh. "Seolah-olah? Heh. Aku memang mengerti semuanya, Naru." Sakura bisa melihat Ino tengah berjalan menuju ke arah mereka. "Cinta itu bukan berarti kau harus memilikinya, namun membuatnya bahagia. Kau tahu apa maksudku, 'kan? Lepaskan Sasuke. Ceraikan dia. Jika kau memang mencintainya dan benar-benar menginginkan dia hidup bahagia, maka lepaskanlah, karena kebahagiaan Sasuke bukan ada padamu."
Iris sebiru lautan Naruto membulat sempurna. Hatinya terasa dihantam sangat kuat mendengar penuturan Sakura. Kenyataan itu membuat lubang luka di dalam hatinya semakin menganga lebar.
"Naru!"
Naruto terhenyak saat tiba-tiba tubuhnya dipeluk sebegitu kuat oleh seseorang. Naruto bisa melihat Sai tengah tersenyum padanya seraya melambaikan tangan. "Terima kasih sudah datang, Sahabatku."
Detik selanjutnya, ia melirik orang yang masih memeluknya dengan erat itu. "Na-Naruto... terima kasih, kukira kau tidak akan datang."
Sakura yang melihat drama itu hanya memutarkan bola matanya dengan bosan.
"Bukankah kau bilang aku adalah sahabat terbaikmu? Tidak mungkin aku tidak menghadiri acara bahagia sahabatku ini," ucap Naruto seraya balas memeluk Ino.
Hati Ino senang tak karuan. Ia melepaskan pelukannya, menatap Naruto dengan wajah yang basah karena air mata. "Kau pasti masih membenciku, 'kan?" Ino meraih lengan Naruto, menggenggamnya cukup kuat. "Maafkan aku. Aku tahu kesalahanku sangat besar dan tidak akan semudah itu untuk kau maafkan."
"Tidak, Ino." Naruto menyunggingkan senyum tipis. "Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah mengabaikanmu selama ini. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan seharusnya aku tidak egois. Maafkan aku."
"Ah ya. Ini ada hadiah sederhana dariku." Naruto menyerahkan sebuah kado cukup besar yang dibawanya pada Ino. "Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut bahagia. Dan ini hadiah untuk kalian dariku. Kuharap kau bisa menjaganya dengan baik."
Ino menerimanya. "Terima kasih. Tapi, dengan melihatmu di sini saja aku sudah bahagia."
Naruto tertawa kecil, kemudian memandang Sai. "Sai, jaga Ino baik-baik. Kau pasti bisa menjadi suami yang baik untuknya. Aku percaya padamu."
Sai mengangguk pelan. "Itu tentu saja."
"Oh ya, kau..." Ino memandang Naruto. "..., tidak datang dengan suamimu?"
"Sas--"
"Sasuke masih bekerja. Dia menitipkan pesan padaku untuk kalian. Selamat atas pernikahan kalian dan maaf dia tidak bisa datang."
Ino mengernyit bingung mendengar orang yang baru saja mengatakan itu. "Kau tahu dari mana, Sakura?"
"Oh, are you stupid?" Sakura tersenyum sinis. "Aku adalah kekasihnya, aku pasti tahu."
"Naruto ...." Ino memandang iba pada teman semasa SMA-nya itu. Mencoba mencari kepastian dari Naruto.
Naruto tersenyum canggung, "Mungkin. Aku tidak tahu karena sejak pagi Sasuke tidak mengatakan apa pun padaku," ucapnya pelan.
"Tentu saja dia tidak tahu." Sakura melipat lengannya dengan angkuh, memandang Naruto dengan tajam disertai bibirnya yang membentuk sebuah senyuman iblis. "Dia hanya orang asing bagi Sasuke-kun."
"SAKURA!" Ino menatap nyalang pada wanita itu. "Hentikan omong kosongmu itu. Naruto bukan orang asing, dia istri dari Sasuke!" lanjutnya tegas.
"Istri, katamu?" Sakura tertawa sinis menatap Ino. "Hahahaha... istri macam apa yang tidak tahu apa-apa tentang suaminya sendiri? Dia bahkan tidak tahu hal apa saja yang Sasuke sukai dan tidak Sasuke sukai. Lagi pula, Sasuke lebih sering bersamaku daripada dengan dia yang berstatus sebagai istrinya. Bukankah semua itu sudah jelas menunjukkan bahwa dia bukan siapa-siapa dalam kehidupan Sasuke-kun?" Pandangannya beralih pada Naruto. "Benarkan, Naru?"
"Sakura." Sai menggeram marah. Berharap teman istrinya ini menghentikan celotehannya.
"Dia hanyalah seorang wanita egois yang mendahulukan perasaan serta kebahagiaannya sendiri." Sakura mengabaikan Ino dan Sai yang sudah siap menamparnya saat itu juga.
"Nona Haruno, kurasa lebih baik kau tidak ada di sini daripada kau membuat acaraku ini kacau." Sai tersenyum dingin seraya memegang bahu sang istri. Mencegah Ino untuk tidak menamparnya dengan gamblang meski sebenarnya ia sendiri sudah tak tahan ingin mencabik wajah wanita pemilik surai merah muda itu.
Sakura berdecak kecil kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka.
"Sai, seharusnya kau tidak bicara seperti itu padanya." Naruto mengerutkan dahinya, merasa tidak suka atas tindakan Sai dan Ino. "Ino, kau juga seharusnya tidak membentaknya. Sakura pasti sakit hati karena kalian memperlakukannya begitu."
Sai memijat tulang hidung. "Ya Tuhan." Dia menghela napas kasar. "Kenapa kau mempedulikannya? Dia itu selingkuhan suamimu, seharusnya tadi kau membunuh wanita itu!"
"Benar!" Ino menyahut cepat. "Rasanya aku juga ingin merobek mulutnya yang selalu mengeluarkan kata-kata tajam itu." Gurat kemarahan tercetak jelas di wajah cantik Ino.
Benar! Seharusnya aku tidak diam saja. Tapi aku masih mencintai suamiku, aku tidak ingin membuat pandangan Sasuke padaku semakin buruk!
"Ini acara sakral yang paling membahagiakan untuk kalian. Jadi, kalian jangan memikirkan aku. Nikmatilah hari ini, jangan memikiran apa pun." Naruto tersenyum kecil pada Ino dan Sai.
"Tapi, Naruto." Ino menatapnya sendu. "Boleh aku tahu, apa yang tadi kalian bicarakan? Tadi aku melihat kalian mengobrol sebelum aku sampai di sini?"
"Bukan apa-apa. Dia hanya menanyakan kado apa yang aku berikan padamu."
Satu alis Sai sedikit terangkat. "Itu tidak benar, 'kan?"
"Tentu saja, Sai." Ino menatap kesal pada Naruto. "Aku tahu kau bohong."
Naruto tersenyum lebar menampilkan gigi-gigi putihnya yang berbaris rapi. "Kalian ini. Ini hari pernikahan kalian. Seharusnya kalian tidak memikirkan aku." Dia menghela napas pelan. "Sudahlah, nikmati saja hari ini dengan kebahagiaan. Aku pamit, ya. Aku tidak bisa berlama-lama di sini."
"Kenapa? Kau tidak merindukanku dan Sai ya ...?"
"Bukan begitu, Ino. Aku harus bekerja."
💍
Sasuke tersenyum kecil melihat gadis yang kini tengah bergelayut manja di lengan kirinya. Namun meski begitu, pikiran Sasuke masih penuh oleh dua orang yang telah menimbulkan
rasa aneh pada dadanya. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Hubungan apa yang terikat pada mereka hingga Itachi mencium istrinya seperti itu? Lalu ada apa dengan dirinya ini? Kenapa dadanya terasa sesak kala melihat perbuatan Itachi pada sang istri?
Sasuke menghela napas kasar. Seketika dia merutuki kebodohannya karena masih memikirkan mereka sedangkan kini seorang yang amat dia cintai ada di hadapanku.
Tsk. Bodohnya aku... kenapa aku membuang banyak waktu untuk memikirkan hal tidak penting begitu.
Sasuke mengecup pucuk kepala Sakura berkali-kali. Ya, dia harus menikmati setiap detik waktu bersaman wanita itu.
Sakura mendongak, menatapnya dengan senyuman menggoda. Sasuke tahu arti senyuman itu, dia paham setiap 'undangan' yang Sakura berikan padanya.
Jemari ramping Sakura menarik dasi Sasuke hingga terlepas dari tempatnya. Lalu beralih pada kancing kemeja Sasuke, membukanya satu persatu dengan gerakan sensual hingga dada bidang Sasuke terekspose jelas, membuat wajah Sakura merona.
Tak lama kemudian, dia menyentuh dada Sasuke, mengusapnya dengan lembut lalu bibirnya pun memberi kecupan ringan pada leher Sasuke.
"Menggodaku, eh?" Sasuke tersenyum jahil. Membuat bibir Sakura yang masih menciumi dadanya pun akhirnya membentuk sebuah senyuman penuh undangan. "Tunggu, Sakura." Sasuke menggenggam pergelangan tangan sang kekasih yang hendak mendarat di ritsleting celananya. "Kau sungguh tidak mau pergi keluar? Kita bisa jalan-jalan dulu kalau kau mau."
Sakura menggeleng pelan. "Tidak. Aku hanya ingin dirimu," jawabnya tegas seraya membuka gaun yang dipakainya tadi saat menghadiri acara pernikahan Ino.
Ya, Sasuke tadi menjemputnya setelah pulang bekerja dan langsung membawa Sakura ke rumahnya karena wanita itu menolak untuk berkencan.
"Sasuke."
Panggilan bernada manja dan sedikit desahan itu menggelitik pendengaran suami dari Naruto. Ah, Sakura memang sangat bisa menggoda Sasuke.
Sepasang oniks Sasuke tak mampu lepas darinya. Tubuh Sakura kini terpangpang tanpa pertahanan sedikit pun, semua pakaiannya telah tergeletak di atas lantai.
Sasuke menarik tengkuk Sakura agar wajahnya semakin mendekat. Tanpa menunggu apapun lagi, Sasuke segera mencium bibir sang kekasih yang sangat membuatnya begitu candu. Sementara lengan Sakura kembali menggerayangi celana Sasuke, membukanya perlahan. Tentu saja Sasuke pun ikut membantunya, membuat bagian bawahnya sudah tidak terlindung oleh apapun.
"Kau yakin ingin melakukannya di sini?" Tanya Sasuke di sela ciuman mereka. "Di sofa?"
Sakura melingkarkan kedua lengannya di leher Sasuke, membuat ciuman mereka semakin dalam. Ia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
Sasuke membaringkan tubuh ramping Sakur di atas sofa yang lebih panjang sebelum dia sendiri melepas kemejanya. Kini tubuh Sasuke pun sama-sama polos seperti Sakura, tak ada sehelai benang pun yang menempel.
Sasuke menindih tubuh wanita yang sudah lama menjadi kekasih gelapnya itu. Dia mengecup keningnya sebentar sebelum bibirnya beralih mengecup lehernya, memberi tanda kepemilikan di sana. Namun, saat Sasuke mengangkat wajah untuk mecium bibirnya lagi, sepssang iris hitamnya seketika membulat tak percaya hingga pergerakannya pun terhenti seketika saat rambut merah muda itu perlahan berubah menjadi warna pirang, iris sehijau batu emerald itu juga perlahan berubah menjadi sepasang manik sewarna biru lautan. Lalu bibir ranumnya mulai terbuka perlahan ...
"Kau bahkan tidak pernah menyentuhku ...."
Jantung Sasuke terasa berhenti berdetak mendengar suara tersebut. Suaranya begitu lirih. Dan kalimat itu adalah kalimat yang pernah Naruto katakan padanya saat awal dari pertengkaran mereka karena hubungan dia dengan Sakura.
Dapat Sasuke lihat sebuah embun hangat menyelimuti manik birunya. Entah kenapa, hati Sasuke terasa seperti diremas sangat kuat melihat ekspresinya yang menunjukkan penderitaan yang sangat mendalam itu, seolah dia bisa merasakan rasa sakit yang Naruto alami.
"Kau saja merasa sesak 'kan, melihatnya seperti itu? Lalu apa kau tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya saat mengetahui kau berselingkuh? Bahkan Naruto tahu bahwa kau sudah bermain ranjang dengan wanita itu. Apa kau tidak berpikir ke sana?"
"Begitulah perasaan Naruto. Dia bahkan lebih sakit darimu, Sas."
"Apa kau tidak takut jika suatu saat Naruto meninggalkanmu dan memilih pria yang lebih baik darimu? Kau pikir batinnya tidak tersiksa? Semua manusia memiliki rasa jera, Sasuke."
Tiba-tiba saja ucapan Gaara kemarin berputar kembali di telinganya. "A...a...."
Tepukan halus di kedua pipi Sasuke membuat pria itu kembali tersadar. Dia mengerejapkan mata berkali-kali untuk meyakinkan diri bahwa wanita di bawah tindihannya memang Sakura.
Sasuke dapat melihat rambut wanita itu kembali berwarna merah muda dan irisnya kembali berwarna hijau.
"Sasuke-kun, kenapa berhenti dan tiba-tiba melamun?"
Sasuke meraih tangan Sakura yang masih menangkup kedua pipinya. "Tanganmu dingin sekali, Sas. Apa kau sakit?"
Sasuke berusaha mengukir senyuman natural. "Aku baik-baik saja. Tadi aku hanya teringat sesuatu yang mengerikan."
💍
Detingan jarum jam mengisi kesunyian di rumah. Waktu mulai menunjukkan pukul sepuluh malam. Yang Naruto lakukan sejak pulang dari acara pernikahan Ino hanyalah diam, merenungkan ucapan Sakura. Ya, dia membohongi Ino. Dia sebenarnya tidak bekerja. Dia berasalan begitu agar bisa pergi karena pikirannya sudah terlalu kalut oleh semua masalah yang tengah dihadapinya.
Naruto terduduk di sofa kamar, ia lirik foto pernikahanny dengan Sasuke yang terbingkai indah di atas meja kecil sisi ranjang.
Naruto menyandarkan kepala pada sofa, dia memejamkan mata mengingat kejadian tadi siang di mana Sakura mengatakan sesuatu yang membuat hatinya kian sakit. Bukan hanya itu, Naruto juga teringat saat Shizune mengatakan hal yang sama pada dirinya.
"Jika bertahan dan memperjuangkan sudah Nona lakukan namun tak merubah apa pun, kurasa Nona sendiri tahu harus bagaimana."
"Perceraian memang tidak baik, tapi apa artinya mempertahankan rumah tangga yang tidak harmonis? Untuk apa mempertahankan orang yang bahkan sudah jelas tidak mencintai Nona?"
"Karena pernikahan seharusnya untuk dua orang yang saling mecintai. Bukan untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan. Terlebih lagi, Nona tidak boleh egois, Nona tidak bisa memaksakan hati seseorang untuk bisa mencintai Nona."
Kenapa mereka menginginkan aku untuk meninggalkan Sasuke? Apa benar aku ini egois?
Seketika Naruto tertawa miris. Dia rasa, mereka memang benar. Baik Shizune mau pun Sakura. Naruto sadar, dia sudah egois karena mendahulukan perasaannya sendiri, dia mengikat Sasuke dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah sedikit pun Sasuke harapkan. Padahal dia sendiri tahu bahwa Sasuke tidak pernah mencintainya, tapi dengan tingginya ego, dia membuat Sasuke terikat dalam pernikahan. Membuat Sasuke terikat dalam penderitaan.
Naruto meraih bingkai kecil itu, mengusapnya penuh sayang pada bagian wajah pria yang amat dia cintai. "Maaf, Sasuke." Tanpa ia sadari, sesuatu yang bening dan hangat mulai menetes sedikit demi sedikit membasahi kaca dari bingkai itu. "Maaf karena sudah membuatmu hidup dalam penderitaan. Sakura benar, kau pasti tersiksa karena harus hidup bersama orang yang tidak kau cintai."
Buta. Ya, keegoisan ini membutakan logika Naruto. Seharusnya dari awal Naruto sadar, dia tidak boleh memaksa Sasuke untuk menikahinya. Seharusnya dia tidak membuat Sasuke terikat dalam sebuah pernikahan dengannya.
Benar. Jika kita mencintai seseorang, bukan berusaha memilikinya namun berusaha membuatnya bahagia. Bukankah cinta tak harus memiliki?
Dan ada satu kebenaran lagi yang membuat hati Naruto sesak. Dia adalah orang asing. Ya, Sakura benar. Meski statusnya adalah istri Sasuke, tapi dia tidak tahu hal apa saja yang Sasuke sukai dan tidak disukainya. Naruto tidak mengenal suaminya sendiri. Naruto benar-benar hanyalah orang asing yang tinggal satu atap dengannya.
Air mata Naruto terus mengalir, membentuk sebuah sungai kecil di kedua pipinya.
"Bisakah kau pergi dari kehidupanku? Bisakah kau membiarkan aku hidup bahagia dengannya?"
"Bukankah kau sendiri tahu, sejak awal tak pernah sedikit pun aku menyukaimu, aku tak pernah menginginkan pernikahan ini!"
"Lalu kenapa kau masih mau menungguku untuk mencintaimu? Kenapa kau tidak pergi saja dari kehidupanku? Dengan begitu kau bisa mencari pria lain yang bisa mencintaimu dan menjadi suami yang pantas untukmu."
Isakan Naruto mulai menggema. Entah kenapa, tiba-tiba saja benaknya kembali terngiang oleh ucapan sang suami waktu itu, seolah kini Sasuke tengah berbisik padnyau untuk membuat dirinya semakin tersadar bahwa dia memang sudah melakukan kesalahan besar.
Semua kenyataan ini menampar telak hati Naruto. Sakit dan perih sekali saat dia sadar bahwa Sasuke sendiri pernah beberapa kali memintanya untuk pergi dari kehidupannya. Meminta Naruto untuk membiarkannya hidup bahagia dengan Sakura, namun Naruto tidak menanggapinya, dengan keras kepala dia tetap mempertahankan rumah tangga mereka.
Tapi, apakah semua usaha Naruto selama ini untuk membuat Sasuke melihatnya sebagai seorang istri, sebagai orang yang paling mencintainya, memang tidak berhasil?
"Apakah benar-benar tidak ada sedikit pun tempat di hatimu untukku ...?"
Genggaman Naruto pada bingkai semakin kuat, membuat buku jarinya memutih.
"Haruskah... aku melepaskanmu?"
.
.
.
TBC ...
-----
🌷 Kota Kembang, 01 April 2018
✍🏻 Hana Dwinov
-----
Maaf jika cerita ini masih belum dapat feel-nya. Saya akan berusaha lebih baik lagi. Thanks for reading! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro