Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 8 - Tidak Mengerti

Author's Note : Tanda [*] adalah dimulainya flashback dan [**] adalah berakhirnya flashback

—————————

Bab. VIII - Tidak Mengerti

"LIHAT aku sebagai pria yang mencintaimu." Itachi memiringkan kepala, sebelah tangannya mulai menarik tengkuk Naruto agar semakin mendekat padanya. "Yang sangat mencintaimu," ucapnya seraya memejamkan mata sebelum detik kemudian sudah tidak ada jarak di antara dia dan putri Minato itu.

Itachi masih dengan posisinya, begitu pula dengan Naruto yang tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup lama mereka diam seperti itu hingga sesuatu yang basah mengenai pipinya membuat Itachi mau tak mau membuka mata lalu dengan perlahan menjauhkan bibirnya dari bibir Naruto.

"Apa yang kau tangisi?" tanya Itachi.

" .... " Naruto terdiam, namun manik biru lautnya memandang nanar pada sesosok pria di hadapannya. "Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya dengan bibir bergetar, menahan isakan dan amarah yang ingin meluap keluar. "A-aku adalah istri dari adikmu. Tapi kenapa... kenapa kau berani melakukan ini padaku!?" tanyanya emosi, namun suara yang dikeluarkannya sangatlah pelan.

Naruto kecewa, sangat kecewa pada Itachi. Kenapa pria itu begitu berani menciumnya dengan sangat intim? Padahal Itachi tahu bahwa dia adalah istri dari adiknya sendiri. Dan lagi pengakuan pria itu tadi. Itachi bilang, dia begitu mencintainya.

Kepala Naruto terasa mau pecah menerima kenyataan ini. Kenapa semuanya menjadi rumit begini?

Ah, Naruto jadi teringat sesuatu. Ingat saat di mana dirinya memberitahu Itachi tentang rencana pernikahannya dengan Sasuke, saat itu Itachi menanggapinya dengan begitu dingin dan meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata. Kini Naruto tahu alasan mengapa Itachi bersikap begitu. Tapi sejak kapan? Sejak kapan pria Uchiha itu memiliki sebuah rasa padanya?

"Sejak dulu." Itachi berseru tegas seolah tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran Naruto. "Aku mencintaimu sejak dulu. Jauh sebelum kau mengenal Sasuke."

Naruto terdiam, namun manik birunya semakin mengeruh.

Benarkah apa yang diucapkannya? Naruto bertanya dalam hati.

Ia ingat. Dulu, seseorang yang pertama menjadi temannya saat ia pertama kali berkunjung ke kediaman Uchiha adalah pria ini. Ya, Itachi. Tapi, Naruto tidak mengira bahwa ternyata pria ini memiliki sebuah rasa padanya, perasaan yang melebihi rasa sayang antara adik dan kakak.

"Kutanya..." Itachi mengusap pipi wanita itu dengan kedua ibu jarinya. "Apa yang kau tangisi? Apa aku menyakitimu?" tanyanya lembut.

Naruto segera menutup wajah dengan telapak tangan dalam beberapa saat. "Cukup!" Ia bangkit, tangannya terkepal erat di samping badan. "Kumohon. Jangan melakukan hal seperti itu lagi. Satu yang harus kau ingat..." Naruto menatap tajam pada Itachi. "Aku adalah istri dari adikmu. Kau tidak pantas melakukan ini padaku, Itachi!" lanjutnya tegas sebelum detik kemudian dia melenggang pergi, meninggalkan Itachi yang hanya bisa bergeming menatap punggungnya yang semakin menjauh.

"Ya, dan kau... kau tidak pantas bersama pria berengsek itu, Naruto," desisnya seraya menggeretakan gigi sangat murka. Ia tidak akan memaafkan siapa saja yang berani menyakiti wanita itu. Bahkan jika harus membunuhnya pun Itachi tidak akan segan. Sekali pun orang itu adalah adiknya sendiri.

💍

Naruto berlari kecil memasuki rumah, ia mengusap air matanya dengan cepat, takut jika orang-orang yang ada di dalam mempertanyakannya. Tidak mungkin 'kan, jika ia harus berkata bahwa ia menangis karena Itachi menciumnya? Gah! Itu malah akan memperumit keadaan.

"Di mana Itachi?" tanya Mikoto saat Naruto sudah memasuki kamar ayahnya.

"ia masih di halaman depan," jawab Naruto seadanya.

XMaksudmu, di taman?" Kali ini Minato yang bertanya dan Naruto hanya mengangguk pelan.

"Masih di mana 'sih suamimu itu, Naruto?" Fugaku bertanya dengan nada tinggi. "Padahal aku sudah meneleponnya sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi dia masih belum terlihat sama sekali di sini," sungutnya kesal.

Naruto tersenyum canggung. "Mu-mungkin Sasuke-kun terjebak macet, Ayah. Sabarlah, dia pasti datang, aku yakin," ucap Naruto berusaha menenangkan.

Fugaku mendesah lelah. "Sudahlah. Kalau begitu, kami pamit," ucap Fugaku kemduian. "Maaf, karena tidak bisa berlama-lama di sini."

Naruto menatapnya bingung. "Kenapa terburu-buru sekali? Bukankah Ayah sudah tidak memiliki pekerjaan?"

Fugaku tersenyum kecil, mengusap pucuk kepala wanita itu pelan. "Aku memang sudah pensiun dari perusahaan, tapi Itachi sedikitnya masih tetap membutuhkan pengarahanku dalam mengurus perusahaan ini."

Naruto hanya mengangguk paham, kemudian memandang Mikoto. "Apa Ibu juga ikut pulang?"

Mikoto tersenyum lembut. "Tentu saja, aku harus selalu menemani kakek tua ini." tunjuknya pada Fugaku yang melotot kaget mendengarnya. "Kau tahu sendiri 'kan, kalau Papa Mertuamu ini punya penyakit magg yang sangat parah? Telat makan sedikit saja, ya sudah aku yang repot karena harus menemaninya di rumah sakit."

"Tsk." Fugaku berdecak kecil, namun ucapan selanjutnya membuat Mikoto merona hebat. "Bilang saja kalau kau tidak bisa jauh dariku."

Naruto hanya mengulum senyum melihat tingkah suami-istri di hadapannya. Rasa sesak kembali melanda dadanya saat membayangkan seandainya dirinya dan Sasuke yang seperti itu.

Setelah kedua mertuanya berpamitan lalu meninggalkan kamar, Naruto menoleh pada jendela kamar yang terbuka sempurna, menampilkan pemandangan awan biru yang cerah pada hari itu. Manik birunya menoleh ke bawah di mana Fugaku dan Mikoto tengah memasuki mobil. Selang beberapa menit mobil mertuanya meninggalkan halaman rumah, seorang pria berjalan lamban menuju mobil hitamnya yang terlihat berkilat apik, pria itu menoleh ke atas di mana Naruto memandangnya nanar.

Sadar bahwa Itachi juga menatapnya, Naruto segera mengalihkan pandangan. Meski matanya sudah tak menatap keluar jendela namun ia bisa mendengar suara mesin mobil Itachi yang menyala dan perlahan suara itu semakin menjauh. Yakin bahwa Itachi sudah tidak ada di sana, Naruto pun kembali menatap keluar jendela, memandang taman rumahnya dan tidak ada satu orang pun di sana.

Naruto mendesah lelah kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding, mengusap wajahnya dengan letih.

Minato mengernyit heran melihat tingkah putri semata wayangnya itu. "Sayang, kau kenapa?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Minato membuat Naruto sedikit terperanjat. Dia hanya menggeleng pelan.

"Mau apel?" Naruto meraih keranjang buah yang dibawa oleh mertuanya tadi. "Atau anggur?" tawarnya lagi.

Minato tak menjawab, pria itu meraih lengan Naruto yang sedang memilah buah apa yang kiranya akan diberikan pada sang ayah. "Hei." Minato meremas lengan Naruto dengan lembut, sementara sebelah tangannya mengusap pipi sang anak. "Benarkah tidak ada apa-apa? Tapi, kau terlihat gelisah sekali."

Naruto tersenyum lembut mendengarnya. Ah, betapa ia merindukan di saat-saat seperti ini: di saat sang ayah selalu mengkhawatirkannya. Betapa bahagianya Naruto karena bisa kembali merasakan perhatian Minato. "Sungguh, Ayah. Aku tidak apa-apa. Kau terlalu mencemaskanku."

"Dengar, Sayang." Kali ini kedua tangan Minato menangkup pipi Naruto. "Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu kau boleh menceritakannya pada Ayah. Atau jika ada seseorang yang menyakitimu, kau juga boleh mengadu pada Ayah. Akan Ayah hajar orang itu," lanjutnya semangat meski tubuhnya masih terkulai lemas.

" .... " Naruto terdiam beberapa saat mendengar penurutan Minato.

Seandainya kau tahu siapa orang yang paling menyakitiku. Apa kau akan menghajarnya juga, Ayah?

Detik kemudian Naruto terkekeh geli. "Aku ini sudah dewasa, Ayah. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri."

"Aku tidak peduli kau sudah dewasa atau belum. Siapapun yang berani menyakitimu maka dia akan berurusan denganku!"

"Kau berlebihan, Ayah," sahut Naruto seraya menggenggam kedua tangan Minato yang masih menangkup pipinya.

"Ayah tidak berlebihan, Sayang. Ayah menyayangimu, Ayah tidak mau kau terluka. Ayah hanya ingin melindungimu.  Tidak akan kubiarkan siapapun menyakitimu. Menyakiti putriku satu-satunya."

Naruto tersenyum maklum. Sejak dulu Minato memang sangat protektif padanya. Tidak membiarkan siapapun menyakiti putrinya. Tapi, kini Naruto sudah menjadi wanita dewasa, Naruto bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia memang rindu bermanja dengan ayahnya, tapi bukan berarti ia harus menjadi anak yang benar-benar manja sampai masalah pribadi pun Minato harus campur tangan. Tidak, Naruto tidak mau sang ayah mengetahui masalahnya, terlebih mengetahui siapa orang yang sudah menyakitinya. Biarlah semua ini ia pendam dan ia selesaikan sendiri. Minato tak perlu tahu dan jangan sampai tahu. Sudah cukup penderitaannya selama dua tahun ini karena penyakitnya, Naruto tak mau semakin memperburuk keadaan sang ayah jika tahu masalah sebenarnya, ayahnya sudah cukup menderita. Jadi, ia akan menutupi ini semua dari Minato, meski Naruto tahu bahwa tidak ada bangkai yang tidak tercium sedalam apa pun menguburnya. Tapi, ia akan berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikannya dari Minato.

"Oh ya Ayah, maaf sepertinya Sasuke tidak bisa datang ke sini."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu. Tapi, tadi siang ia pergi bersama rekan kerjanya. Dan mungkin sekarang dia masih sibuk," bohong Naruto. Karena ia sendiri tahu bahwa Sasuke kini pasti tengah sibuk berkencan dengan wanitanya, Sakura.

"Hm, sayang sekali, padahal Ayah ingin bertemu dengannya." Minato menghela napas pelan, kemudian memandang Naruto dengan seringai jahil. "Dia pasti tumbuh menjadi pria tampan, iya 'kan?"

Naruto tersenyum tipis. "Ya, tampan. Sangat tampan."

Minato terkekeh ringan mendengar jawaban sang anak. "Memang apa pekerjaan suamimu?"

"Dosen. Dia bekerja sebagai dosen di Universitas Shibuya," jawab Naruto seadanya.

Mata biru jernih Minato terbelalak takjub. "Kau serius? Itu kampus terkenal yang sangat berkelas. Menjadi guru di sana tidaklah mudah, bukan hanya sekadar gelar master, tapi IQ-nya pun harus benar-benar tinggi. Tidak sembarang orang bisa menjadi dosen di sana sekalipun orang itu memiliki gelar master."

"Ya dan Sasuke adalah salah satunya." Naruto menjawab cepat.

"Ah ya Tuhan, aku hampir lupa. Dia itu 'kan, Uchiha." Minato menyunggingkan senyum tipis. "Seharusnya aku tidak perlu meragukan kejeniusannya seperti apa."

Mendengar itu Naruto hanya mengulum senyum.

"Tampan dan cerdas." Minato menatapnya lekat. "Kau beruntung, Sayang. Aku jadi tidak sabar ingin melihat cucuku kelak. Jika wanita dia pasti akan cantik sepertimu namun jika pria dia pasti akan sangat tampan seperti Sasuke."

" .... " Naruto bergeming. Kenapa lagi-lagi pembicaraan mereka mengarah pada anak? Bisakah pembicaraan itu dihentikan? Tidak tahukah mereka betapa sesak hati Naruto setiap kali medengar kata-kata itu? Bukan hanya sesak karena hubungannya dengan Sasuke tidak harmonis, melainkan sesak karena Naruto memikirkan bagaimana perasaan Minato, Fugaku, dan Mikoto jika mengetahui hal yang sebenarnya. Mereka pasti kecewa, sangat kecewa. Harapan mereka untuk bisa menimang sang malaikat kecil yang berasal dari darah daging Naruto dan Sasuke pasti akan hancur. Naruto tidak sanggup membayangkannya, ia tidak mampu, tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya sang mertua dan sang ayah jika kelak semua sandiwara ini terbongkar.

💍

Kediaman Sasuke & Naruto, 19:35

Naruto membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia memejamkan mata dalam beberapa detik sebelum menghela napas panjang. Hari ini terasa sangat melelahkan, padahal tidak ada aktivitas berat yang ia lakukan.

Namun, karena tidak ingin terlalu memikirkan tindakan Itachi serta pengakuannya, saat tadi (sebelum kembali ke rumahnya) Naruto segera mengalihkan pikiran untuk mengobrol dengan sang ayah. Naruto belum bisa membawa Minato berjalan keluar kamar, bukan hanya karena kondisi sang ayah yang belum pulih benar melainkan karena alat-alat yang sejak dua tahun lalu melekat di tubuhnya itu masih belum terlepas, hanya Dokter Tsunade yang bisa melepasnya. Alhasil, tadi Naruto hanya bisa menemaninya di kamar. Tapi, meskipun begitu, Naruto sangat senang karena akhirnya sang ayah tersadar. Akhirnya ia bisa melihat kembali iris biru yang diwariskan padanya itu. Akhirnya ia bisa melihat lagi senyum menawannya. Ya, akhirnya Tuhan mengembalikan satu-satunya kebahagiaan yang dia punya.

Sebenarnya Naruto masih ingin berada di samping sang ayah, rindu itu belum terlepas sepenuhnya. Tapi sayang, Naruto tidak bisa berlama-lama di sana, karena di rumah ini dia juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang istri. Dan Naruto bersyukur karena Minato mengerti posisinya saat ini.

[*]

"Ayah, tidak apa jika aku tinggal sekarang?"

"Kenapa kau terburu-buru? Memang Sasuke sudah menjemputmu?"

Naruto terdiam mendengar pertanyaan itu.

Menjemput? Sasuke menjemputku? Sasuke tidak akan peduli padaku Ayah!

"Ti-tidak," jawab Naruto gugup.

"Lalu kenapa kau ingin pulang? Apa Sasuke sudah menunggumu di rumah?"

"Hm, aku khawatir dia sudah ada di sana dan menungguku. Dia tidak memiliki kunci cadangan rumah kami, Ayah."

"Jika Sasuke memang sudah di sana, dia pasti akan memberitahumu," ucap Minato lagi, seolah tak ingin Naruto meninggalkannya.

Ya Tuhan, melihatnya seperti ini membuat hati Naruto sakit. Haruskah dia meninggalkannya lagi hanya demi seorang suami yang bahkan tidak peduli padanya?

"Ponselku mati, Ayah. Dia tidak akan bisa menghubungiku."

Naruto terdiam gelisah melihat tatapannya yang seolah memohon untuk tidak meninggalkannya. "Tapi tak apa lah, aku akan menemani Ayah saja di sini," tutur Naruto sembari tersenyum.

"Bagaimana jika Sasuke sudah pulang dan menunggumu di sana?"

Naruto menggenggam jemari tangan sang ayah. "Tidak apa, mungkin dia akan pergi ke rumah temannya dan menginap di sana." Ya rumah temannya. Teman seranjangnya, Sakura.

"Mana boleh begitu!" Suara Minato berubah tegas. "Pulanglah, Sasuke lebih membutuhkanmu."

[**]

Setelah ucapannya itu Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menurutinya. Ia mencium punggung tangan sang ayah sebelum meninggalkannya sendirian di kamar itu, tentu setelahnya ia memanggil Shizune untuk menjaga Naruto dengan baik sampai dia bisa kembali lagi ke sana.

Naruto melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 20:10.

Kenapa Sasuke belum pulang juga?

Baiklah, Naruto tidak perlu bertanya seperti itu, karena jawabannya pasti; karena Sasuke masih bersama dengan kekasihnya. Iya, Naruto yakin. Hanya saja, kenapa Sasuke sama sekali tidak datang saat tadi siang Fugaku meneleponnya melalui ponsel Naruto? Bukankah Sasuke berkata akan datang? Tapi, kenapa ucapannya tidak terbukti? Bahkan sampai kedua orang tuanya pulang pun, Sasuke masih belum datang juga. Jika memang tidak bisa kenapa Sasuke tak memberitahu Naruto melalui pesan singkat saja? Ya, hanya sekadar pesan singkat bahwa dia tidak bisa datang atau bahkan dengan to the point berkata bahwa dia tidak mau datang?

Apa Sasuke sungguh tidak peduli padaku? Setidaknya pada ayahku?

💍

BLAM!

Naruto terperanjat mendengar suara pintu mobil yang dibanting. Ia segera bergegas keluar kamar untuk menyambut sang suami, namun baru saja beberapa langkah, dia kembali dikejutkan oleh pintu rumah yang terbuka dengan kasar sebelum dia menyentuhnya. Setelah itu, pintu tersebut ditutup dengan bantingan yang tak kalah kasar.

"Sa-Sasuke." Naruto mengumpulkan keberanian untuk menyapa pria di hadapannya yang tengah memandangnya tajam. Lagi-lagi yang wanita itu dapatkan hanyalah tatapan benci yang menusuk.

Apakah Sakura juga pernah kau beri tatapan seperti ini? Pertanyaan bodoh itu melayang di pikiran Naruto.

Sang suami tak menggubris sapaan itu. Seperti biasa, dengan sikap dinginnya Sasuke melangkah pergi meninggalkan Naruto yang masih berdiri di tempatnya berpijak. Tetapi, tak lama kemudian Naruto mengikuti langkah sang suami yang hendak memasuki kamar.

"Dari mana saja kau?"

"Huh?"

"Kutanya, dari mana kau, Sasuke?"

"Tsk!" Sasuke berdecak jengkel tanpa membalikkan badan, ia masih membelakangi sang istri yang tengah menatap punggungnya dengan nanar. "Kau pikir, kau pantas menanyakan itu padaku?"

"Sas--"

"Cukup, Naru! Ke mana pun dan dengan siapa pun aku pergi, itu bukan urusanmu." Sasuke mengepalkan tangan sangat kuat, menahan emosinya yang semakin ingin meluap. "Berhentilah bersikap seperti ini. Berhentilah bersikap seolah kau benar-benar istriku!" lanjutnya tegas, sedikit berteriak.

Jika dibilang sakit, entah ini rasa sakit untuk keberapa kalinya, entah untuk yang keberapa kalinya juga hati Naruto selalu terluka oleh ucapan-ucapan sang suami.

Naruto berusaha keras menahan air matanya. Jika boleh jujur, ia sendiri kesal pada dirinya. Kesal karena selalu tak bisa menahan air mata agar tidak keluar sekali pun hanya tergenang di pelupuk matanya. Ia sadar, begitu mencintai Sasuke membuatnya malah semakin lemah. Hingga ia begitu rapuh.

"Berhenti juga untuk menganggap pernikahan ini hanya sandiwara!" Naruto menaruh telapak tangan kanan di dada, seolah sentuhan itu bisa sedikit mengurangi rasa sesak di sana. "Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti orang asing? Sampai kapan, Sasuke!?" tanyanya dengan intonasi lebih tinggi. "Kau bahkan tidak datang ke rumah ayahku. Padahal aku sudah memberitahumu bahwa ayahku sudah sadar. Apa kau tidak peduli, Sasuke? Aku tahu kau menganggap pernikahan kita bukan apa-apa, aku juga tahu tidak pernah ada sedikit pun rasa pedulimu untukku. Tapi, bisakah kau menghargai ayahku meski hanya sedikit?"

Rahang Sasuke mengeras mendengarnya.

"Untuk apa aku datang ke sana?" tanyanya dengan suara rendah.

Tanpa menunggu Naruto menjawab, pria itu segera membalikkan badan, menatap sang istri dengan tajam sebelum berjalan cepat ke arahnya dan mencengkeram pergelangan tangan kanan Naruto dengan kuat hingga membuat sang istri meringis sakit.

"Lepas." Lengan kiri Naruto mencoba melepaskan cengkeraman tangan sang suami. "Sa-sakit. Kumohon, lepaskan." Bukannya menurut, Sasuke malah semakin memperkuat cengkeramannya.

"UNTUK APA AKU DATANG KE SANA!?" Di hadapannya tiba-tiba Sasuke berteriak. "UNTUK MELIHATMU BERCIUMAN DENGAN KAKAK IPARMU, HUH!?"

Sontak saja Naruto membulatkan mata mendengarnya. Dia sudah tidak mempedulikan rasa sakit di pergelangan tangan kanannya. Sungguh, ucapan Sasuke membuat dia tidak bisa berkutik. Naruto bisa melihat sepasang oniks milik sang suami berkilat penuh amarah dan rasa benci.

💍

Kediaman Uchiha, 20:30

"Itachi."

"Itachi!"

"E-eh, ya ...?"

"Kau ini kenapa, sih?" Mikoto mengerutkan dahi. "Kau melamun dan kau juga tidak menyentuh makan malamu sejak tadi. Apa kau tidak suka menu malam ini?"

"Ah, tidak. Aku hanya tiba-tiba kehilangan nafsu makan."

"Jangan terlalu memikirkan pekerjaanmu. Ayah tidak melarangmu untuk refreshing. Relakslah sedikit, kau bisa stress," ucap Fugaku.

Itachi menatap mereja sebentar sebelum beranjak dari sana. "Kau benar, Ayah. Sepertinya aku butuh sedikit hiburan. Tapi, untuk sekarang sepertinya aku hanya ingin tidur."

"Ya sudah. Tidurlah." Mikoto menyahut seraya tersenyum lembut padanya.

Setelah mendengar itu, Itachi segera berjalan cepat menaiki tangga di mana kamarnya berada. Dan dengan cepat juga si sulung Uchiha itu menutup pintu kamar kemudian mengucinya dari dalam.

Itachi mengempaskan tubuh di atas kasur dengan kasar. "Sial!" Pria itu menutup wajah menggunakan kedua tangannya. "Seandainya aku lebih cepat. Mungkin dia tidak akan terikat dalam pernikahan ini lebih jauh," gumamnya penuh rasa frustasi.

Itachi benar-benar menyesali keberangkatannya ke Amerika saat itu. Ya, seandainya saja dia tidak mengurus bisnis yang diwariskan oleh ayahnya ini, mungkin saat itu dia bisa membatalkan pernikahan adiknya dengan Naruto.

Kenapa kau harus mengorbankan perasaanmu?
Tidakkah kau jera dengan semua ini?
Mendengar tentangmu dan Sasuke dari mulut orang lain saja membuat dadaku sesak.
Bagaimana denganmu yang menjalaninya?
Sebegitu tuluskah cintamu untuk adikku?
Hingga kau rela menjadi wanita bodoh seperti ini!?

Itachi terduduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh layar ponsel yang menampilkan foto seorang gadis manis yang tengah mengembungkan pipi, bibirnya mengerucut lucu, dan manik birunya menatap seseorang di sampingnya; seorang pria yang tak lain adalah Itachi sendiri. Dalam foto itu Itachi tersenyum bahagia, bahkan matanya hampir menyipit seraya merangkul Naruto.

Tawa miris keluar dari mulut Itachi mengingat masa di mana ia masih bisa dekat dengan wanita itu. Betapa Itachi merindukan seorang Naruto yang polos dan lugu. Seorang Naruto yang selalu membutuhkannya. Yang selalu membutuhkan pelukannya saat gadis itu tengah gelisah. Tapi sekarang, begitu jauh jarak antara dirinya dan Naruto hanya karena status pernikahan dengan adiknya.

💍

Kediaman Sasuke & Naruto, 20:55

"Ka-kau... melihatnya...?"

Naruto terlalu syok, hingga saat Sasuke menghentakan tangannya dengan kasar pun dia tidak peduli.

"Tadi kau bilang aku tidak bisa menghargaimu, begitu!?" Sasuke tak lagi berteriak, tapi tetap saja suara yang dikeluarkannya tak merendah. "Lalu bagaimana denganmu sendiri? Kau berciuman dengan kakakku, kakak iparmu sendiri. Apa kau pikir tingkahmu itu bisa disebut menghargaiku!?"

Sasuke mengcengkeram rahang Naruto dengan kuat. "Tadi mobilku mogok, lalu aku meminjam motor temanku untuk datang ke rumahmu. Tapi, setelah sampai di sana aku disuguhi pemandangan menjijikan!"

Mata biru Naruto terbelalak. Jadi Sasuke di sana? Tapi, sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadari kehadirannya?

"Ka-kau salah paham, Sasuke." Naruto meraih lengan sang suami, menggenggamnya dengan gemetar. "Aku--"

"DIAM!" Emosi Sasuke benar-benar sudah tidak stabil. "Jangan lagi bersikap seolah-olah kau adalah istri yang baik." Sasuke mendesis di telinga Naruto. "Kau tahu... kau benar-benar menjijikan," lanjutnya seraya meninggalkan Naruto yang sudah tidak kuasa menahan air matanya.

Dan tak lama kemudian, pintu kamar ditutup dengan bantingan kasar kala Sasuke memasuki ruangan tidurnya.

"Sasuke." Naruto menyentuh daun pintu kamar suaminya. "Biar kujelaskan semuanya."

Entah yang ke berapa kalinya Naruto bergumam seperti itu, tapi Sasuke tetap bersikukuh untuk tidak membuka pintu kamar dan mendengarkan penjelasan sang istri.

"Sasuke ..." Naruto mulai terduduk di sana, memeluk lututnya dengan gemetar. "Aku tidak seperti itu. Kau salah paham," gumamannya semakin melemah, tenggelam dalam isakan kecil.

💍

Sementara di dalam kamar, Sasuke berdiri di hadapan jendela, jemari rampingnya menyisir rambut ke belakang sebelum jemari itu beralih menutup wajahnya.

Ada apa denganku? Kenapa aku begitu emosi padanya?

Helaan napas berat beberapa kali ia lakukan. "Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku." Sasuke meremas dadanya dengan kuat. "Tapi, kenapa di sini terasa aneh." Remasannya semakin kuat, membuat kain di sana ikut tercengkeram hingga meninggalkan bekas. "Terasa sesak."

Merasa tenggorokannya kering dan sadar bahwa suara gadis itu sudah lenyap, Sasuke berniat keluar kamar untuk mengambil segelas air. Namun saat ia membuka pintunya tubuh seseorang menghalangi jalannya.

" .... " Sasuke masih berdiri tegap, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum detik selanjutnya Sasuke merendahkan tubuh lalu menyentuh rambut orang itu, menyelipkan helaian pirang tersebut ke sisi telinga sang pemilik. Seketika matanya yang sembap pun terlihat jelas. Satu kesimpulan yang bisa Sasuke dapatkan; dia menangis di sini sampai ketiduran.

"Bodoh," gumam Sasuke seraya menyelipkan lengan kirinya di bawah kepala Naruto sementara lengan kanannya diselipkan di bawah lutut.

"Tsk!" Saduke berdecak melihat kamar Naruto tertutup rapat. Bagaimana cara membukanya? Lengannya saja masih setia menggendong sang istri yang tengah tertidur lelap. Dengan sangat terpaksa Sasuke berbalik melangkah ke kamarnya kemudian kakinya membantu mendorong pintu kamarnya yang masih sedikit terbuka.

Sasuke segera mengempaskan tubuh Naruto di atas kasurnya. "Naru." Sasuke berucap yakin, seolah Naruto tengah mendengarkannya. "Kau tahu, saat tadi melihatmu berciuman dengan Itachi membuatku terasa aneh." Lagi-lagi Sasuke meremas dadanya sendiri, menatap Naruto dengan kening berkerut dalam. "Aku tidak mengerti ini apa... kenapa... tapi di sini benar-benar terasa sesak."

Pria itu mendesah lelah sebelum ikut membaringkan tubuhnya di sana. Sasuke berbaring menyamping, membelakangi Naruto. "Untuk malam ini kubiarkan kau tidur denganku. Ya, hanya untuk malam ini," gumamnya seraya memejamkan mata.

Maaf, Sakura. Bukan aku ingkar janji. Percayalah aku tidak menyentuhnya.

Detingan jarum jam mengisi kesunyian di dalam kamar. Jam dinding itu menunjukan pukul 05:00. Masih ada dua jam lagi untuk tidur sebelum benar-benar terbangun dan melakukan aktivitas seperti biasa.

Dan di atas kasur berukuran king size, seorang wanita tertidur gelisah, badannya menggeliat tidak nyaman seolah sedang mencari kehangatan. Namun tak lama kemudian, wanita itu kembali tertidur pulas setelah menemukan kehangatannya.

Sementara seorang pria di sampingnya bergumam tak jelas, tidur pulasnya mulai terusik sedikit saat merasakan ada sesuatu yang menggesek dadanya. Matanya masih tertutup rapat, namun lengan pria itu mengusap pucuk kepala sang wanita yang begitu menempel di dadanya, mengecupnya cukup lama sebelum lengannya beralih menarik pinggang si wanita untuk lebih merapatkan tubuhnya membuat kehangatan yang begitu nyaman.

Satu jam sudah berlalu.

Mereka masih dengan posisinya yang saling memeluk seolah tidak ada yang mau melepaskan kehangatan tersebut. Namun, sepertinya si pria mulai tersadar sedikit demi sedikit. Kelopak matanya terbuka, menampilkan iris obisidan yang begitu menawan. Matanya berkedip beberapa kali sebelum menoleh ke bawah, di mana seorang wanita tengah bergelung hangat di dalam rengkuhannya, wajah wanita itu tenggelam di dadanya.

Oniks Sasuke membulat sempurna saat menyadari posisi mereka. Dengan cepat dia melepaskan pelukannya dan segera beranjak. Rona merah menghiasi wajah tampan Sasuke.

Sasuke menatap hororr pada sang istri yang masih tertidur lelap seolah tak terganggu oleh gerakannya yang tiba-tiba.

OH SHIT!

Pria itu mencengkeram rambut hitamnya dengan kuat. Ia baru ingat, semalam ia yang membawa wanita itu ke sini. Tapi, kenapa tadi posisi mereka menjadi seperti itu? Bukankah semalam dia membelakanginya? Pria itu hanya bisa berdo'a semoga semalam mereka tak melakukan sesuatu.

Dengan tergesa Sasuke keluar kamar, memasuki kamar mandi. Ini tidak baik, tubuhnya terasa panas, ia harus cepat-cepat mandi untuk mendinginkannya.

Sasuke menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Punggungnya bersandar di daun pintu. Untuk ketigakalinya sejak kemarin, ia kembali meremas dadanya. Dia dapat merasakan debaran jantungnya yang begitu hebat. "Berengsek!" umpatnya kesal. "Lagi-lagi kau membuat sensasi aneh di sini."

Sasuke heran kenapa sensasi aneh kali ini terasa berbeda dari kemarin? Sensasi aneh kali ini terasa menyenangkan. Meski jantungnya berdetak cepat, tapi tidak membuatnya merasa sesak seperti saat ia melihat Itachi mencium istrinya. "Aku tidak mengerti. Ugh! Sebenarnya kenapa aku ini!?"

💍

"Uhh ...." Naruto menggeliat pelan, matanya berkedip beberapa kali sebelum bisa memfokuskan pandangannya dengan benar dan seketika itu juga iris birunya membulat sempurna saat menyadari sedang di mana dia sekarang. "Kamar... Sasuke!?"

Dengan spontan dia terbangun cepat, mendudukkan dirinya di tepi ranjang. "BBagaimana bisa aku tidur di sini? Uh, Sasuke pasti marah besar jika tahu aku tidur di sini," gumamnya seraya meringis pelan membayangkan amarah sang suami.

Naruto melangkah pelan keluar kamar. Matanya menangkap sosok Sasuke yang tengah terduduk santai di sofa seraya menyesap secangkir kopi, mata Sasuke terlihat fokus menonton televisi di hadapannya. Jika dilihat dari penampilan Sasuke saat ini yang hanya memakai kaos oblong berwarna marun serta celana jeans hitam sebatas lutut, sepertinya Sasuke tidak ada tanda-tanda akan pergi bekerja.

"Kau masih libur?"

"—!" Tubuh Sasuke tiba-tiba menegang mendengar suara itu. Ia sadar siapa yang tengah bertanya padanya. "Hn," jawabnya ambigu, namun jantungnya berdebar tak karuan, otaknya mengulang kejadian tadi pagi hingga tiba-tiba membuat wajahnya terasa panas.

Berengsek!

Sasuke bangkit membelakangi Naruto hanya untuk menyembunyikan rona merah yang bersarang di wajahnya. Sementara Naruto menatapnya dengan gelisah.

"A-anu... maaf, Sasuke," ucapan Naruto membuat langkah Sasuke terhenti. "Apa kau tahu kenapa aku bisa tidur di kamarmu? Aku tidak ingat jelas. Aku hanya merasa, aku melayang."

Sasuke mendengkus kecil. "Dasar bodoh," gumam Sasuke ketus. "Semalam kau menangis di depan kamarku sampai tertidur di sana. Dengan terpaksa aku menidurkanmu di kasurku," lanjutnya mempersingkat cerita. "Dan kau tidak perlu khawatir. Semalam kita tidak tidur satu ranjang. Aku tidur di sofa," lanjutnya berbohong.

Naruto tertegun mendengarnya. Jadi semalam Sasuke menggendongku? Pa-pantas saja aku merasa melayang.

“Terima kasih, Sasuke-kun. Maaf sudah merepotkanmu,” ucap Naruto kemudian disusul oleh senyuman tipis namun penuh kebahagiaan. Meski hanya hal kecil, tapi Naruto senang karena sedikitnya Sasuke memiliki rasa peduli padanya.

Akan tetapi, tiba-tiba Naruto teringat sesuatu, membuat senyumannya menghilang seketika. "Untuk masalah kemarin. Aku bisa men--"

"Cukup." Sasuke menyela cepat. "Tak perlu dibahas lagi," lanjutnya seraya melangkah pergi meninggalkan sang istri.

"Maaf, Sasuke. Kuharap kau tidak semakin membenciku karena hal itu." Naruto menatapnya sendu.

Semalam aku bermimpi, kau memelukku sangat erat namun lembut, sebuah pelukan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya darimu. Tapi, dalam mimpi itu kelopak matamu tertutup rapat. Pelukan itu tidak begitu lama. Karena entah kenapa kau tiba-tiba saja menghilang secara perlahan.

Naruto menghela napas kasar mengingat mimpinya. Benar-benar terasa sangat nyata. Bahkan dalam mimpi itu, saat Sasuke menghilang, ia mulai merasa ketidaknyamanan dalam tidurnya, kehangatan yang menyelimutinya tiba-tiba ikut menghilang juga.

💍

Otsutsuki Bistro, 11:00

"Selamat datang, Nona!"

"Woah!" Naruto tersentak kaget saat tiba-tiba seorang pria berambut putih keluar dari balik pintu bistro. Menyambut kedatangannya dengan semangat.

"Bahaya lho, berjalan sambil melamun," ucap pria itu seraya menyamakan langkahnya dengan Naruto memasuki bistro.

"Aku tidak melamun."

"Benarkah? Lalu kenapa kau kaget saat aku sapa? Padahal aku sudah berdiri di sana sebelum kau datang."

"Eh? Benarkah?"

"Ck, ck, ck. Benar 'kan, kau memang sedang melamun."

"Sudahlah, Toneri. Aku mau bekerja."

Toneri hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan meninggalkan Naruto sendiri dengan peralatan masaknya.

Tubuh Naruto menegang saat tiba-tiba ruangan yang ditempatinya gelap gulita. Benar-benar tidak ada cahaya sama sekali. Keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya. "To-toneri." Naruto memanggil pelan, berharap pria itu menyahut panggilannya. "Kenapa tiba-tiba gelap begini? Apa listriknya sedang bermasalah?" Naruto bertanya di antara rasa takutnya. Dalam hati, Naruto heran; kenapa listrik di sini bisa bermasalah? Selama ini tidak pernah ada gangguan apapun di bistro ini.

"Tone--" Mata birunya membulat ketakutan saat tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh pundaknya. Naruto menelan ludah dengan gugup. "Toneri... kau kah?" tanyanya meyakinkan.

Tubuh Naruto semakin menegang saat mendengar geraman kecil di belakang tengkuknya. Dengan keberanian seadanya, Naruto perlahan menoleh kebelakang.

"AAAAAAAAAA!"

Wanita itu berteriak histeris saat mendapati sepasang mata berwarna merah menyala menatapnya tajam, wajahnya berlumuran darah, mulutnya menganga. Benar-benar menyeramkan.

"PERGI KAU!" Bersamaan dengan teriakan tersebut pukulan kuat bersarang di wajah mengerikan itu. Napas Naruto terengah-engah, jantungnya berdetak lebih cepat. Wanita itu mengelus kepalan tangannya yang sudah mendaratkan pukulan telak di wajah mahluk tadi. Sakit. Wajahnya terasa sangat keras. Mahluk apa dia sebenarnya?

Naruto menatap mahluk itu yang tengah terbaring karena pukulannya tadi. Tiba-tiba dia mengerutkan dahi saat melihat penampilan mahluk tersebut; sepatu hitam, celana putih dan baju koki putih.

"Eh!?" Naruto terkesiap, mata birunya segera menatap wajah orang itu, wajah yang sangat familiar baginya. "Toneri!?" pekiknya kesal. "Kau mengerjaiku, ya!?"

Toneri hanya meringis sakit memegangi pipinya yang terkena pukulan telak gadis itu. "Pukulanmu lumayan juga, ya," gumamnya seraya bangkit.

"Salah sendiri. Untuk apa kau menakutiku dengan topeng itu!?" tanya Naruto kesal seraya menunjuk pada topeng yang digenggam oleh Toneri.

"Kukira kau tidak akan memukulku," ucap Toneri seraya menyalakan lampu. "Sekali-kali iseng padamu apa salahnya." Toneri mencoba membela diri.

Naruto berdecak jengkel. "Candaanmu keterlaluan. Bagaimana jika aku terkena jantungan?"

"Hm, baiklah maafkan aku."

"Sudah, jangan ganggu. Aku sedang sibuk." Naruto kembali fokus pada menu-menu yang akan dibuat hari ini. "Jangan diam saja. Bantu aku. Bistromu hari ini sedang ramai, apa kau tidak lihat?"

Toneri mengulum senyum. "Haaah ...." Pria itu menghela napas panjang. "Hari ini aku lelah. Kau bisa menanganinya sendiri, 'kan?"

Naruto menatapnya heran. "Apa maksudmu? Kau mau pulang?"

"Hm."

"Eits! Tidak bisa!" Naruto menujuk dada Toneri dengan jari telunjuknya yang kotor karena racikan bumbu. "Tetap di sini dan bantu aku. Kau ingin aku mati berdiri, huh?"

Toneri mengulum senyum. "Baiklah, Nona, baikah," sahutnya seraya membantu Naruto menyiapkan makanan untuk para pengunjung hari ini.

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Naruto menegak cairan bening yang dibawanya dari kulkas dengan perlahan.

"Kemarin Ino kesini." Toneri menyodorkan handuk kecil pada Naruto. "Menanyakanmu."

" .... " Naruto menerima handuk itu, mengusapkan kain halus tersebut ke wajahnya. "Mau apa dia ke sini?"

Toneri mengedikan bahu. "Dia hanya bilang ada yang ingin dia bicarakan denganmu kemudian dia pulang setelah tahu kau tidak di sini."

Naruto mengangguk paham.

"Apa kalian ada masalah?" Tiba-tiba Toneri bertanya.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Tidak. Aku hanya merasa hubungan kalian merenggang. Kau juga tiba-tiba berhenti bekerja di toko bunganya, 'kan?"

"Benarkah? Aku merasa biasa saja," sahut Naruto cepat. Memang tidak ada yang tahu tentang permasalahan dalam hubungan pertemanan mereka selain orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Naruto mendesah lelah. Apa aku sudah keterlaluan karena selalu menolak permintaan maafnya?

"Naru, kau tidak apa-apa?"

"Eh? Hah?" Naruto terkesiap saat Toneri mengibaskan tangan di hadapan wajahnya. "Tidak. Aku baik-baik saja. Oh ya, kondisi ayahku sudah sedikit lebih baik. Apa kau tidak mau menjenguknya, hm?"

Mata biru pria itu membulat tak percaya. "Benarkah?" Toneri menyentuh bahu Naruto dengan kuat. "Kenapa kau baru memberitahuku sekarang!?"

"Jadi, kapan kau akan kerumah ayahku?"

"Sepertinya besok." Toneri tersenyum canggung. "Kau tahu 'kan, hari ini masih banyak yang harus aku selesaikan."

Naruto mengangguk paham. "Aku mengerti."

💍

Di tempat lain ....

Sasuke tengah termenung sendiri. Dan pria berambut merah yang melihat sikap aneh temannya itu hanya menaikkan alisnya, merasa heran. "Galau, eh?" sindirnya.

Sasuke menoleh, menatapnya malas.

"Oh, ayolah." Pria bersurai merah itu menyentuh pundak Sasuke. "Kau ini kenapa, sih? Apa kau mulai bosan bermain biliar? Atau masih memikirkan istri dan kakakmu itu?" tanyanya.

Gaara tersenyum geli melihat sikap temannya ini. Sasuke benar-benar terlihat frustrasi saat menceritakan tentang Naruto dan Itachi. Memang hanya Gaara satu-satunya teman Sasuke yang tahu tentang konflik dalam pernikahannya.

"Tidak." Sasuke menyingkirkan tangan Gaara dengan kasar. "Aku hanya sedang malas. Sudahlah, aku pulang. Ibuku mengudang makan malam, kau mau ikut?" tanyanya menatap Gaara kemudian.

"Terima kasih, tapi aku sudah kenyang," tolak Gaara. Dan Sasuke hanya mengedikan bahunya tak peduli.

"Kuharap kau bisa mengubah sikapmu padanya, Sasuke." Ucapan Gaara itu membuat langkah Sasuke terhenti seketika.

Sasuke menoleh, menatapnya datar. "Bukankah hatimu sakit saat melihatnya berciuman dengan kakakmu sendiri?" Gaara berjalan mendekat. "Begi--"

"Hatiku tidak sakit, Gaara!" Sasuke menyela cepat. "A-aku..." Sasuke mencengkeram dadanya. "Aku hanya merasa sesak di sini.” Cengkeramannya semakin kuat dengan tatapan mata yang kosong. "Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya bisa mengeluarkannya dengan amarah."

"Dengar." Gaara menyentuh bahu Sasuke dengan remasan cukup kuat kuat. "Kau saja merasa sesak 'kan, melihatnya seperti itu? Lalu apa kau tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya saat mengetahui kau berselingkuh? Bahkan Naruto tahu bahwa kau sudah bermain ranjang dengan wanita itu. Apa kau tidak berpikir ke sana?"

Gaara menjauhkan tangannya. "Begitulah perasaan Naruto. Dia bahkan lebih sakit darimu, Sas." Ia menyunggingkan senyum tipis, sangat tipis. "Apa kau tidak takut jika suatu saat Naruto meninggalkanmu dan memilih pria yang lebih baik darimu? Kau pikir batinnya tidak tersiksa? Semua manusia memiliki rasa jera, Sasuke."

Mata hitam Sasuke membulat sempurna usai mendengar penuturan Gaara. Namun, detik selanjutnya pria Uchiha itu hanya menghela napas kasar seraya beranjak pergi dari sana.

"Berubahlah sebelum semuanya terlambat!" Gaara berseru tinggi. Dan Sasuke tetap berjalan pelan menjauh, namun Gaara yakin bahwa Sasuke pasti mendengarnya.

Yang bodoh itu kau, Sasuke.
Kau bahkan tidak bisa menyadari perasaanmu padanya.

💍

Otsutsuki Bistro, 18:00

"Sebaiknya kau pulang, jam kerjamu juga sudah selesai."

"Apa kau mengusirku, Toneri?"

"Bukan begitu maksudku." Toneri tersenyum lembut. "Kau terlihat lelah sekali."

Naruto hanya mengembungkan pipi. "Baiklah. Terima kasih sudah mengusirku," ucapnya sarkas.

"Hei." Toneri menggapai bahu Naruto yang hendak berbalik. "Sudah kubilang 'kan, bukan begitu maksudku."

"Kau tahu 'kan, hari ini adalah hari--" ucapannya terpotong oleh getaran pendek dari ponselnya. Naruto meraih benda kecil itu yang menampilkan sebuah pesan masuk. "Sasuke ...?" gumamnya seraya membuka pesan.

"Toneri, maaf, sepertinya aku harus pulang sekarang. Ibu mertuaku mengundang makan malam."

"Mau kuantar?"

"Tidak perlu." Naruto menolak halus. "Sasuke sudah menjemputku."

Toneri terdiam sebentar sebelum membuka mulutnya kembali. "O-oh... baiklah." Pria berparas tampan itu tersenyum kecil. "Hati-hati," lanjutnya pelan saat Naruto sudah menghilang di balik pintu.

Di balik kaca jendela bistro, Toneri bisa melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapan Naruto. Ia yakin bahwa sang pengemudi mobil itu adalah Sasuke. Helaan napas kasar pun Toneri lakukan. Tangan pemuda itu terkepal erat.

"Kau beruntung, Sasuke."

.
.
.

TBC ...

-----

🌷 Kota Kembang, 21 Maret 2018
✍🏻 Hana Dwinov

-----

Catatan: Maaf, ya. Baru bisa update lagi (meski pendek). Alasannya sama kok, saya sibuk. Setiap libur kerja sudah ada niat untuk mengetik bab ini hingga selesai tapi nyatanya udah hari off eh malah keenakan tiduran di kamar alias mager. Ini pun saya menyempatkan diri mengetik sedikit demi sedikit setiap pulang kerja (itu pun jika tidak terlalu lelah dan ngantuk). Terima kasih, untuk yang sudah setia menunggu setiap kelanjutan cerita ini. Tanpa para pembaca juga review dari kalian ceritaku bukanlah apa-apa. ^-^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro