Bab. 7 - Sebuah Rasa
Author's Note : Tanda [*] adalah dimulainya flashback dan [**] adalah berakhirnya flashback
—————————
Bab. VII - Sebuah Rasa
SEBUAH mobil hitam tampak melaju begitu cepat. Sasuke sang pengemudi tak peduli pada cacian orang-orang yang dilewatinya. Ia tetap memfokuskan pandangan pada sebuah mobil putih di hadapannya. Dan kecepatan laju mobil Sasuke semakin meningkat saat mobil putih tersebut menghilang di balik sebuah tikungan.
Seketika Sasuke menginjak rem saat mobil putih yang dikejarnya juga berhenti. Dengan sangat tergesa dia keluar dari mobil. Bahkan, Sasuke sama sekali tidak mempedulikan pintu mobilnya yang masih terbuka. Fokus dan langkahnya hanya tertuju pada wanita di hadapannya yang tengah terisak seraya membuka sebuah pintu rumah.
Namun, pintu rumah itu tertutup rapat kembali saat seseorang menariknya lagi dengan kuat.
"Sakura, kau salah paham!" Sasuke berujar tegas dengan satu tangan yang masih menggenggam kenop pintu. Sementara tangan lainnya menyentuh pundak sang wanita yang tengah membelakanginya lalu menarik pundak itu dengan lembut agar berbalik padanya.
"Pergi!" Sakura mengepalkan tangannya dengan kuat. Mata hijaunya enggan menatap sang kekasih.
"Tidak sebelum kau mendengarkan penjelasankanku!"
"Penjelasan apa!?" Kali ini Sakura menatapnya tajam dengan lelehan bening yang tergenang di pelupuk matanya. "Kau bilang kau tidak menyukainya! Kau tidak pernah menyentuhnya! Tapi, apa yang tadi kau lakukan!?"
Sasuke menghela napas pelan seraya menyentuh kedua bahu Sakura dengan penuh kelembutan. "Dengar, Sayang. Kuakui aku memang pernah memeluknya, menciumnya. Tapi, itu semua hanya aku lakukan di hadapan keluargaku saja."
"Tapi, kau pernah bilang padaku bahwa kau tidak pernah menyentuhnya sama sekali!" Suara Sakura meninggi dengan napas tersengal-sengal. "Kau ... berbohong!"
"Ya, kau benar. Aku memang sengaja berbohong padamu." Sasuke menangkup wajah Sakura lalu mendekatkan wajah mereka hingga kening mereka silih bersentuhan. "Aku tahu kau pasti akan sangat cemburu jika mengetahui hal ini, maka dari itu tak kuceritakan sedikit pun padamu tentang sandiwaraku dengannya." Perlahan, dia menarik tubuh Sakura ke dalam pelukannya. "Kau tenang saja. Aku tidak pernah berbuat lebih jauh dari itu."
Dalam pelukan Sasuke, Sakura masih terisak-isak. Dia sungguh tidak mau lagi melihat Sasuke mesra dengan istrinya seperti tadi. "Aku tidak suka melihat kau seperti itu dengannya."
" .... " Untuk sesaat Sasuke hanya diam lalu mencium pelipis Sakura dengan mesra. "Jangan menangis lagi, ok?" bisiknya sembari mengusap kedua pipi Sakura menggunakan kedua ibu jarinya. "Maafkan aku." Kali ini ciuman mesra Sasuke mendarat pada bibir.
"Kumohon, jangan lagi." Sakura meremas bagian depan baju milik Sasuke kemudian menenggelamkan wajahnya di sana. "Jangan lagi melakukan kemesraan sekecil apapun dengannya."
Sasuke lagi-lagi hanya terdiam. Dia tidak memberi jawaban yang memastikan untuk Sakura. "Kenapa tadi kau bisa ada di depan rumah kami? Apa yang sudah kau lakukan di sana?" tuturnya memberi pertanyaan tanpa mengindahkan rengekan Sakura agar dia tak lagi bermesraan dengan Naruto.
Sakura menjauhkan wajahnya sebelum memberi jarak pada tubuh mereka hingga kini keduanya bisa saling menatap bola mata masing-masing. "Tidak ada yang kulakukan di sana. Aku hanya baru pulang dari rumah temanku. Aku sengaja memilih jalan itu karena aku ingin melihat keadaan rumahmu dan Naruto seperti apa. Tapi, tidak kusangka aku malah melihat sepasang suami istri yang begitu mesra."
"Mesra?" Sasuke mendengkus pelan. "Dia hanya menggandeng lenganku, Sayang. Sebenarnya hal seperti itu bukanlah sesuatu yang mesra."
"Tapi, Naruto sangat menikmatinya! Dia terlihat senang berdekatan denganmu!"
Sasuke menipiskan bibir mendengar penuturan Sakura. Dia tahu, mengapa Naruto bisa tampak senang saat menggandengnya karena wanita itu memang menyukainya. Tapi, Sasuke tidak mungkin mengatakannya secara gamblang pada Sakura. Tidak. Sasuke tidak mau membuatnya semakin cemas dan cemburu.
"Lalu, apakah saat itu ekspresi wajahku sama dengannya?" Sasuke tersenyum simpul. "Apakah aku terlihat senang berdekatan dengannya?"
Kali ini Sakura terdiam. Sebab, dia sadar bahwa kala tadi, raut wajah kekasihnya itu tak tampak gembira. Terutama ketika Sasuke menyadari keberadaan dirinya di sana.
"Jangan pikirkan apapun lagi." Sasuke kembali mengecup wajah Sakura, mulai dari kening, pipi, kemudian bibir. "Dan jangan cemaskan apapun lagi, karena aku hanya mencintaimu, hanya menginginkanmu, Haruno Sakura."
💍
Naruto terduduk di sofa ruang tamu. Gadis pirang itu menatap sendu pada sebuah kertas tipis dan kecil yang berada di genggamannya. Hatinya begitu sesak mengingat di mana percakapannya dengan sang mertua. Mikoto menginginkannya hamil? Bagaimana bisa? Bahkan dirinya tak pernah sekali pun disentuh oleh sang suami. Jangankan untuk memiliki anak dari Sasuke, memiliki kasih dan cinta dari sang suami pun Naruto tidak bisa. Seandainya saja Fugaku dan Mikoto tahu semua kebenaran ini. Masihkah mereka membiarkan Naruto hidup berdampingan dengan anaknya? Masihkah mereka mengharapkan malaikat-malaikat kecil yang berasal dari darah daging Naruto dan Sasuke?
Helaan napas panjang beberapa kali gadis itu lakukan, berharap semua rasa sakit yang bersarang di hati dan menyesakkan dadanya bisa hilang hanya dengan helaan napasnya. Naruto meraih ponselnya, jemarinya membuka sebuah galeri di sana, menggeser ke kanan dan ke kiri mencari sebuah album khusus di mana terdapat foto-foto dirinya dengan sang ayah kala sang ayah masih sehat, masih bisa menjaganya dengan penuh kasih sayang.
Tanpa Naruto sadari, bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman saat sepasang safirnya menemukan beberapa foto dia bersana Minato kala dulu. Ah, betapa Naruto merindukan senyuman menawan itu di wajah sang ayah yang sangat tampan.
Tak berlama-lama Naruto menatap foto tersebut karena dia segera bergegas ke kamar, membawa coat marun dan tas tangan miliknya. Bersebab hari ini Naruto sedang libur, dia memanfaatkan hari kosongnya ini untuk menemui Minato.
Namun, tubuh Naruto mematung. Manik safir Naruto membulat tak percaya setelah membuka pintu utama rumah dan mendapati seseorang yang selama ini benar-benar dia rindukan ada di hadapannya dengan lengan yang terapung di udara seolah akan mengetuk pintu.
Naruto bisa melihat orang itu tersenyum kecil padanya, senyuman yang sangat menawan. Naruto juga bisa melihat dia mengibaskan tangan di hadapan dirinya yang masih terdiam membisu. Bibir Naruto masih mengatup rapat, tapi Naruto merasakan matanya memanas. Sedih, bahagia, tak percaya, semua perasaan Naruto bercampur menjadi satu.
"A--" Suara Naruto tercekat saat berusaha keras untuk tidak menumpahkan air mata bahagia tersebut. Bibir Naruto bergetar sangat hebat seraya berusaha tersenyum pada seseorang di hadapannya.
"Ssshhh." Orang itu menaruh jari telunjuknya pada bibir Naruto, memerintah untuk diam. "Simpan dulu segala yang akan kau ucapkan itu." Ia merentangkan kedua tangannya sangat lebar. "Kenapa masih diam? Tidakkah kau rindu?"
Segera saja Naruto berhambur dalam pelukannya. Ia peluk tubuh tegap itu dengan sangat erat seolah memberi isyarat akan kerinduannya yang teramat dalam. Tak lama, Naruto pun merasakan sebuah tangan mengelus punggungnya penuh sayang dan sebelah tangan lagi mengelus rambutnya yang tergerai bebas.
" .... " Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu sembari terdiam membisu, menikmati setiap detik kehangatan dalam pelukan. Sampai akhirnya orang itu pun membuka suara. "Well, kau begitu merindukanku, ya? Sampai-sampai tidak mau melepaskan pelukan ini, hm?"
Naruto merasakan pelukan orang tersebut semakin mengerat diiringi kecupan lembut pada pucuk kepalanya. Ya, bisa-bisanya dia menyindir Naruto begitu sementara dirinya sendiri malah semakin mempererat dekapannya, Naruto sendiri bahkan mulai sedikit merasa sesak.
"Hey." Orang itu melepas pelukannya lalu menyentuh punda Naruto dengan lembut. "Kau masih ingat aku 'kan? Kau tidak melupakanku 'kan?"
"Jangan konyol." Naruto mendengkus dan tersenyum kecil. "Tentu saja aku ingat. Kau... Uchiha Itachi." Orang itu tersenyum bahagia saat Naruto menyebutkan namanya. "Kakak iparku satu-satunya. Mana mungkin aku lupa."
" .... " Entah ada kesalahan apa dalam ucapan Naruto, karena tiba-tiba senyuman Itachi hilang begitu saja. Kini bibirnya hanya membentuk garis lurus. Sorot matanya pun seketika berubah. Seperti sebuah tatapan benci, penuh amarah dan kecewa yang tengah dipendam.
"Kak Itachi, kau kena--"
"Berhenti memanggilku 'kakak'!"
" .... " Naruto mengerjap satu kali. "Kenapa? Kau ini 'kan memang benar kakakku, tepatnya kakakk iparku."
"Kumohon. Berhenti." Itachi menjawab penuh penekanan dengan mata terpejam.
Naruto sedikit heran melihat sikap Itachi yang aneh. Kenapa sekarang Itachi begitu mempermasalahkan panggilan dia kepadanya? Bukankah sejak dulu juga dia memang memanggilnya 'Kakak'?
"Baiklah... Itachi."
"Begitu lebih baik." Itachi tersenyum kecil namun sorot matanya tak kembali berubah seperti saat awal mereka bertemu pandang. Naruto tidak tahu itu apa dan kenapa. Tapi, ada yang aneh dari pandangan Itachi terhadapnya.
Tiba-tiba Itachi menggulirkan pandangannya ke dalam rumah karena pintu yang masih terbuka lebar. "Di mana Sasuke?" tanyanya kemudian seraya menatap Naruto penuh selidik.
" .... " Naruto terdiam beberapa detik sebelum menjawab pertanyaannya. "Sa-Sasuke sedang bersama rekan kerjanya," jawabnyq bohong, karena dia sendiri tahu bahwa Sasuke kini pasti sedang bersama kekasihnya, Sakura.
"Ah ya, hari ini aku akan menjenguk Ayah." Dengan cepat Naruto menutup pintu rumah dan mengucinya. "Kau mau ikut?" ajaknya pada Itachi berusaha untuk membuat Itachi tidak lebih banyak bertanya tentang sang suami.
💍
Naruto menatap si sulung Uchiha yang tengah mengemudikan mobil. Ia memperhatikan raut wajah Itachi yang terlihat begitu serius menatap ke depan. Jujur saja, Naruto masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya; Orang yang selama ini selalu menjaganya dan yang amat dia rindukan akhirnya pulang juga.
"Bagaimana kondisi Paman Minato sekarang? Apakah ada perubahan baik?" Itachi menatap Naruto sekilas sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke depan.
Naruto yang setengah melamun pun sedikit tersentak saat Itachi tiba-tiba bertanya. "Sama seperti dulu," jawabnya pelan. "Belum ada perubahan baik apapun."
"Bersabarlah." Sebelah tangan Itachi menggenggam tangan Naruto dengan remasan lembut. "Paman Minato pasti akan kembali seperti dulu. Kau harus yakin itu."
"Hm." Naruto balas menggenggam tangannya "Semoga saja."
💍
"Selamat datang, Non--" Shizune tiba-tiba terdiam dengan mulut yang masih sedikit terbuka. Ia kemudian mengerjap dua kali, mencoba meyakinkan apa yang dilihatnya. "Tuan... Itachi...," gumamnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Naruto dan seorang pria yang tengah berdiri tegap di belakangnya.
"Hai, Shizune." Naruto melirik ke belakang di mana Itachi tengah tersenyum pada wanita tersebut. "Bagaimana kabarmu?" Itachi menjulurkan tangannya.
"Kabar baik, Tuan," jawab Shizune seraya membalas jabatan tangan Itachi. "Bagaimana dengan Tuan? Dan sejak kapan Tuan Itachi pulang? Ini sungguh sebuah kejutan," tuturnya antusias.
Itachi sedikit tertawa mendengarnya. "Pertanyaanmu meriah sekali ya, Shizune."
"Ah, maaf Tuan. Saya hanya terlalu senang bisa melihat Tuan muda Itachi kembali lagi. Karena itu artinya Nona Naru juga pasti merasa sangat senang. Iya kan, Nona?"
Naruto mengulum senyum. "Tentu saja."
"Maaf Shizune, kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Sekarang aku dan Naruto ingin menemui Paman Minato," ujar Itachi sopan.
"Te-tentu saja, Tuan." Shizune membuka pintu lebih lebar, badannya berbungkuk hormat saat Naruto dan Itachi memasuki rumah dan melewatinya. Ah, wanita itu selalu saja bersikap formal.
💍
"Hai, Ayah." Naruto menekuk lutut, mensejajarkan tingginya dengan ranjang yang sedang Minato tiduri. Ah, lebih tepatnya yang selalu sang ayah tiduri.
Naruto raih tangan yang biasa menggenggamnya saat dulu, saat di mana ia masih belajar caranya berjalan. Naruto kecup tangan itu yang saat dulu selalu mengelus rambutnya penuh kasih sayang. "Bangunlah. Lihat, dengan siapa aku datang." Dulu tangan itulah yang selalu menghapus air mata Naruto di kala dia menangis karena terjatuh, karena tubuhnya terluka. Tapi sekarang, bisakah jemari-jemari itu menghapus air matanya di kala ia menangis karena hatinya terluka? Bisakah sang ayah menghilangkan rasa sakit tersebut sama seperti dulu di mana sang ayah selalu menghilangkan rasa sakit akibat luka di tubuhnya?
Naruto memejamkan mata sangat rapat dengan bibir yang masih setia mencium punggung tangan sang ayah. Dalam hati, Naruto berdo'a; semoga Tuhan memberi kesembuhan pada sang ayah, membuatnya kembali seperti dulu. Dengan begitu, setidaknya rasa sakit Naruto akan sedikit berkurang, setidaknya Naruto bisa tersenyum lagi jika Minato kembali tersadar. Ya, setidaknya rasa sakit dia akan sedikit terobati.
Mata Naruto masih terpejam, namun Naruto tahu siapa orang yang saat ini tengah mengelus pucuk kepalanya dengan begitu lembut penuh kasih sayang karena di sampingnya tidak ada siapa pun lagi selain sang kakak ipar; Itachi. Ah, betapa Naruto merindukan belaian sayangnya seperti ini. Seperti belaian Minato. Percis sekali. Hm, mungkinkah karena dia terlalu merindukan sang ayah sampai-sampai dia merasa sang ayahlah yang saat ini sedang mengelus rambutnya bukan Itachi?
Naruto mulai membuka matanya perlahan. "Sentuhanmu seperti sentuhan Ayah--"
Tiba-tiba saja Naruto membatu saat dia melihat siapa yang kini tengah tersenyum hangat padanya dengan tangan yang masih setia membelai rambutnya.
Naruto menyentuh lengan itu dengan gemetar. Dia menggenggam kedua tangan tersebut sangat kuat. Pandangannya tidak bisa lepas dari iris sebiru laut yang percis sepertinya itu. "Ayah," gumamnya lirih diiringi berjatuhannya air mata haru.
" .... " Sang ayah tidak menjawab. Minato hanya tersenyum dan tersenyum. Jemarinya bergerak menuju pipi Naruto, menghapus lelehan bening yang terus meluncur dengan bebasnya. "Jangan... menangis," ucapnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Naruto.
Sungguh, hati Naruto berdebar senang mendengarnya. Senyuman, sentuhan dan suara yang sudah dua tahun lamanya tak pernah Naruto rasakan dan dengar lagi akhirnya kini telah kembali.
Naruto menahan diri untuk tidak langsung menerjangnya dengan pelukan rindu karena alat-alat yang selama ini setia menemani sang ayah menjadi penghalang dia untuk meraih Minato ke dalam sebuah pelukan erat.
Namun seketika Naruto diam saat terasa ada yang aneh di sekitarnya. Sedari tadi dia tidak mendengar suara Itachi. Ia pun melirik ke samping di mana pemuda tampan yang tengah berdiri tegap itu kini sedang menutup mulutnya menggunakan punggung tangan. Naruto juga melihat iris oniks milik Itachi tampak memerah dengan genangan air yang bisa jatuh kapan saja. Naruto paham apa yang sedang Itachi rasakan saat ini. Dan segera saja Naruto raih sebelah tangan Itachi yang terbebas di samping badan.
Itachi menekuk lutut, mensejajarkan tingginya dengan Naruto yang sama menekuk lutut di samping ranjang yang sedang ditiduri oleh Minato. Pria itu menggigit bibir bawahnya sangat kuat, berusaha meredam tangisan bahagianya. Itachi adalah pria berdarah Uchiha, memiliki topeng stoic yang sangat kuat namun tak Naruto kira pria itu bisa seperti ini hanya karena melihat kondisi ayahnya.
Naruto menggenggam tangannya yang bergetar hebat kemudian meremasnya dengan lembut seraya tersenyum kecil. "Kau benar." Naruto menatapnya lekat. "Ayah pasti kembali seperti dulu."
💍
Siapa yang tak bahagia melihat sang ayah yang sudah dua tahun lamanya terbaring koma akhirnya kini bisa kembali membuka mata dan tersenyum padanya? Naruto beribu-ribu kali bersyukur pada Tuhan yang sudah memberi kesembuhan pada Minato. Gadis itu tak bisa menahan bibirnya untuk terus tersenyum.
"Ayah masih ingat aku 'kan?" Naruto terus menciumi punggung tangan ayahnya. Air mata bahagia juga setia menemani perasaan senangnya.
Pria paruh baya yang masih terbaring lemas itu tersenyum kecil. "Berhentilah menangis, Naru." Minato mengusap pipi sang anak yang basah dengan sebelah tangannya yang terbebas. "Aku tidak mungkin lupa. Kau adalah anakku. Putriku satu-satunya."
Naruto merapikan rambutnya ke sisi telinga. Ia menggenggam kedua tangan sang ayah sangat kuat. "Lalu kenapa Ayah tega membiarkan aku sendiri selama dua tahun ini? Kenapa!?" Suara Naruto meninggi. Napasnya tersenggal-senggal. "Tidakkah kau tahu, Ayah? Hidupku rasanya hampa karena tidak ada kau di sisiku! Tidakkah kau tahu juga betapa sakitnya selama dua tahun ini aku selalu melihatmu berbaring dan berbaring!?"
"Tenang ah, Naru." Itachi mengelus bahu wanita itu, mencoba menenangkannya.
"Maaf." Suara serak namun pelan itu membuat Itachi menoleh pada Minato yang kini menatap sendu pada putrinya yang sedang terisak pelan. Namun, pria Uchiha itu juga bisa melihat manik biru Minato yang mulai mengeruh akibat air mata yang mulai tergenang. "Maafkan Ayah, Sayang," lanjutnya diiringi air mata yang mulai meluncur dari sudut mata.
" .... " Naruto terdiam seraya menatap lekat pada pria pirang itu sebelum detik selanjutnya Naruto memeluk sang ayah dengan lembut. "Cukup. Sudah cukup, Ayah." Wanita itu terisak di atas dada sang ayah. "Jangan lagi meninggalkanku. Jangan lagi memberiku rasa sepi. Aku sudah cukup sakit selama dua tahun ini hidup tanpamu." Naruto merasakan sebelah tangan mengelus punggungnya penuh sayang. "Kumohon, kembalilah seperti dulu."
"Maaf, Sayang." Minato meraih dagu putrinya, mencoba menatap manik biru yang ia wariskan pada Naruto. "Ayah berjanji. Ayah tidak akan membiarkanmu sendiri lagi. Ayah akan kembali menjagamu," lanjutnya seraya mencium kening sang anak cukup lama.
"Aku tidak akan memaafkan Ayah jika janji itu teringkari."
Minato tersenyum kecil seraya memeluk sang anak dengan lembut. Namun tak lama kemudian, sesuatu yang berkilat silau yang melekat pada jari manis sang anak yang tengah menaruh tangan kirinya di atas dadanya menarik perhatian Minato. "Sayang ...." Minato mengusap pipi Naruto, namun fokusnya kembali pada benda itu.
"Ada apa, Ayah?" Naruto mendongak hanya untuk mendapati ekspresi Minato yang seolah menahan sesuatu.
Minato menatap lekat pada iris sebiru laut di hadapannya. "Boleh Ayah bertanya sesuatu?"
Wanita pirang itu segera melepas pelukan, menegakkan tubuhnya kembali. "Apa itu?" tanya Naruto seraya meraih lengan sang ayah dan kembali menciumnya.
"Benda yang melingkar di jari manismu ini..." Keadaan berbalik, kini Minato yang menggenggam tangan kiri Naruto, mengusap sesuatu yang melingkar di jari manis sang anak "..., cincin apa ini?"
Jantung Naruto terasa berhenti mendengar pertanyaan itu. Ia diam beberapa detik sebelum menjawab, entah mengapa lidahnya begitu kelu untuk memberi jawaban pada sang ayah. "Ini..." Naruto menatap sendu pada benda itu. "Cincin pernikahanku dengan Sasuke," lanjutnya pelan, tak ada kesan bahagia dari jawabannya.
Berbeda dengan Minato yang mendengarnya, pria bermarga Namikaze itu tersenyum bahagia. Air mata pun lagi-lagi tergenang di pelupuk matanya. 'Benarkah?" tanyanya berusaha meyakinkan diri. "Sejak kapan kalian menikah?"
"Enam bulan yang lalu."
Hati Minato senang tak karuan mendengarnya. "Apa Ayah sudah menjadi seorang kakek?"
Naruto yang paham apa maksud pertanyaan itu hanya tersenyum miris seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin belum...," jawabnya ragu.
Minato mengusap kedua pipi sang anak. "Itu artinya akan. Aku akan segera menjadi kakek untuk anakmu dan Sasuke nanti.”
Sementara pemuda yang sejak tadi hanya menyaksikan adegan serta perbincangan Naruto dan Minato hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Hatinya terasa sesak mendengar jawaban Naruto pada ayahnya tentang cincin pernikahannya. Entah kenapa hatinya tidak terima mendengar Naruto mengakui pernikahannya dengan Sasuke yang notabene adalah adiknya sendiri. Ada kilatan benci dari sorot mata Itachi yang tak bisa pemuda itu sembunyikan. Jemari tangannya mengepal dengan kuat, menahan gejolak di dalam hatinya yang kian menjadi.
"Itachi."
Suara itu membuat Itachi tersadar, iris hitamnya kembali melembut saat menatap seseorang yang baru saja memanggilnya.
"Paman." Itachi tersenyum kecil.
"Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak merindukanku?" tanya Minato dengan tawa kecil.
"Oh ayolah, tidak mungkin aku tidak merindukan Paman." Itachi memeluk pria Namikaze itu beberapa detik. "Cepatlah pulih. Lapangan golf merindukanmu, Paman," lanjutnya dengan kekehan ringan.
Minato tertawa serak mendengarnya. "Kau ini, begitu antusias sekali untuk mengalahkanku."
"Dan pastinya kini aku lebih hebat dari Paman dalam bermain golf. Aku sudah rutin berlatih,” ucap Itachi bangga diiringi tawa kecilnya. Pria Uchiha itu ingat betul bagaimana dulu hebatnya Minato dalam olahraga itu. Minato selalu menjadi rivalnya dalam bermain golf. Itachi bahkan harus berlatih keras untuk bisa mengalahkannya.
💍
"Minato." Panggilan bernada bahagia itu membuat ketiga orang di dalam kamar menoleh pada pintu yang terbuka lebar, menampilkan dua orang yang sangat dinanti kedatangannya.
"Selamat datang, Fugaku... Mikoto," ucap seorang pria yang tengah berbaring lemas di atas ranjang. Pria itu tersenyum hangat menyambut kedatangan dua sahabatnya.
"Oh, Ya Tuhan." Mikoto menutup mulutnya untuk tidak menjerit senang. Betapa bahagianya wanita itu melihat sahabatnya yang sudah dua tahun koma kini bisa membuka mata dan tersenyum padanya, menyapanya. "Minato, kami sangat merindukanmu," ucap Mikoto seraya memeluk singkat pria itu, begitu pun dengan Fugaku.
Perbincangan singkat terdengar di dalam kamar itu. Sementara Naruto dan Itachi hanya berbagi senyuman saat melihat senyum bahagia di wajah orang tuanya. Tiga puluh menit yang lalu Itachi menghubungi sang ayah, memberitahukan kabar gembira ini.
"Um... aku akan mengambilkan minum dan sedikit cemilan untuk kalian. Tunggu sebentar," ujar Naruto seraya melangkahkan kakinya. Namun tiba-tiba saja ia menoleh ke samping, di mana Itachi tengah menahan lengannya. "Ada apa, Kak--" Seketika ia terdiam kala teringat sesuatu. "Ah, Itachi. Ada apa?" tanyanya lagi setelah merasa panggilannya benar.
"Biar aku yang mengambil. Kau di sini saja."
"Tidak bisa!" tolak Naruto tegas. "Kau ini 'kan tamu. Aku tuan rumahnya. Jadi, kau yang harus diam di sini!" titahnya.
Itachi tersenyum geli seraya mencubit pipi chubby Naruto. "Sudah berani memerintahku seperti itu, heh?"
💍
"Shizune-san!"
Shizune melirik ke belakang di mana wanita berparas manis berlari ke arahnya seraya merentangkan kedua tangannya. Sementara di belakang wanuta itu seorang pria berjalan dengan santai. Mereka pada akhirnya memang memutuskan untuk mengambil camilan bersama-sama.
Tak lama kemudian Shizune merasakan dekapan yang sangat erat. Wanita itu cukup terengah saat Naruto melepaskan pelukannya. "A-ada apa, Nona?"
Naruto tersenyum bahagia. "Ayah... ayah sudah sadar!" serunya senang.
Shizune diam beberapa detik sebelum seulas senyum terpatri di bibirnya. "Saya sudah tahu itu, Nona," jawabnya pelan dan sanggup membuat Naruto menatapnya heran.
"Apa maksudmu?"
"Sebenarnya Tuan Minato sudah sadar sejak kemarin. Bahkan saya tidak bisa menahan air mata bahagia saat itu—"
"Eh...? Lalu... kenapa kau tidak memberitahuku!?" Suara Naruto meninggi. Ia kesal.
Shizune menundukkan kepalanya dengan hormat. "Ma-maaf, Nona," ucap wanita itu pelan. "Tuan Minato yang memintanya. Beliau ingin saya menutup mulut untuk hal ini, beliau ingin semua ini menjadi kejutan untukmu. Sebenarnya saya sendiri sudah tidak tahan untuk memberitahukan kabar gembira ini sejak kemarin, tapi saya juga tidak bisa membantah keinginan Tuan Minato."
" .... " Naruto menghela napas kasar. "Baiklah. Tidak apa-apa." Suaranya kembali melembut. "Apa Dokter Tsunade tahu soal ini?"
"Tentu saja," jawab Shizune cepat. "Karena saat Tuan Minato sadar, Dokter Tsunade sedang memeriksanya."
"Tapi, apa kau tahu obat apa yang Dokter Tsunade berikan pada Ayah hingga Ayah bisa sadar kembali? Karena bukankah ia sendiri bilang bahwa kondisi Ayah semakin melemah?"
Shizune menggeleng pelan, "Saya tidak tahu, Nona." Perawat itu tersenyum lembut. "Nona tak perlu memikirkan itu. Karena kesembuhan Tuan Minato bukanlah disebabkan olehku yang merawatnya atau oleh Dokter Tsunade yang mengobatinya, melainkan karena ini sudah takdir Tuhan. Tuhan yang sudah memberi kesembuhan ini," ucap Shizune mengingat perkataan dokter Tsunade padanya kemarin.
" .... " Naruto diam sebelum seulas senyum ia tampilkan. "Kau benar. Terima kasih karena sudah setia merawat dan menjaga Ayahku selama ini."
"Ah ya, aku ke sini karena ingin mengambil minuman dan sedikit camilan," ucap Naruto kemudian.
"Saya sudah membuatnya, Nona." Shizune tersenyum seraya menata beberapa minuman dingin serta dua toples di atas nampan.
"Sini." Naruto meraihnya. "Biar aku saja yang bawa." Ia melirik Itachi yang tengah menegak air putih. "Itachi, ayo," ajaknya.
"Nanti aku menyusul," jawab Itachi seraya tersenyum kecil.
"Oh, baiklah."
💍
"Ini pasti hari paling membahagiakan untuk Nona Naru," gumam Shizune entah pada siapa. Namun seorang pria mendengarkannya dengan saksama.
"Hn. Kau benar," sahut Itachi di hadapannya yang tengah bersender pada dinding dapur.
"Tuan?" Shizune tampak heran. "Kukira Tuan Itachi kembali ke lantai atas."
Itachi mengedikan sebelah bahunya. "Aku tidak ingin mengganggu mereka. Biarkan saja mereka puas dengan berbagi rindunya pada paman."
"Memangnya Tuan Itachi tidak merindukan Tuan Minato?"
"Tentu saja rindu," jawab Itachi cepat. "Namun, aku masih bisa menahannya untuk nanti."
Shizune hanya tersenyum kecil menanggapinya. "Syukurlah. Syukurlah Tuan Itachi cepat pulang," ucapnya ambigu seraya membersihkan meja makan di sana.
Itachi mengernyit bingung mendengarnya. "Memang kenapa?" tanyanya.
"Ya, karena akhirnya Nona Naru bisa tersenyum lagi," jawab Shizune setengah melamun.
"Apa maksudmu?"
Shizune menghela napas pelan. “Semenjak pernikahannya. Nona Naru menjadi tak seceria dulu. Nona jadi lebih pendiam, bahkan saya tak pernah sekali pun melihat seulas senyum bahagia terlukis di bibirnya."
" .... " Itachi bergeming. Mendengarkan setiap perkataan Shizune.
"Tapi sekarang, Nona bisa kembali tertawa hanya karena bertemu dengammu, Tuan. Ya meskipun tawanya tak begitu tulus, karena masih ada rasa sakit yang mengganjal di hatinya." Shizune menghentikan aktivitasnya. Wanita itu menatap kosong ke depan, seolah mengingat sesuatu. "Aku selalu ingin menangis jika mengingat betapa menderitanya hidup Nona Naru. Dia harus menjalani sebuah kehidupan rumah tangga yang amat menyakitkan. Betapa tersiksanya ia karena harus hidup bersama orang yang tidak mencintainya sama sekali," ucapnya tanpa sadar.
Rahang Itachi mengeras mendengarnya. Emosinya sedikit demi sedikit mulai tersulut. "Maksudmu kehidupan rumah tangganya bersama Sasuke?"
"Ya, Tuan Sasuke. Adikmu, Tuan. Siapa lagi laki-laki yang beruntung karena begitu dicintai oleh Nona Nar—" Shizune menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia baru sadar dengan apa yang sudah ia ucapkan. "Tu-tuan...." Shizune menatap cemas pada Itachi yang tak bisa menyembunyikan kilatan amarah di matanya, raut wajahnya benar-benar dingin, berbeda sekali dengan Itachi yang tadi bertemu di pintu masuk rumah, kini sama sekali tidak ada keramahan di wajahnya. "Maaf, seharusnya aku tidak menceritakan semua ini padamu. Kumohon ma--"
"Lanjutkan."
Shizune berkeringat dingin mendengar suara berat itu. "Tidak. Maaf, Tuan. Maaf--"
"Kubilang lanjutkan! Dari mana kau tahu itu semua!?" Kali ini Itachi membentaknya. Membuat Shizune bergetar ketakutan.
Shizune menelan ludah. "Nona Naru yang menceritakannya padaku, Tuan," jawabnya pelan sembari menatap kosong lagi ke depan, mengingat malam di mana Naruto menceritakan semua masalahnya pada dirinya.
[*]
"Nona." Shizune menatap heran pada putri majikannya yang tengah terisak pelan. "Apa yang terjadi padamu, Nona? Kenapa kau menangis?" Shizune mendekati Naruto, menyentuh pundak wanita pirang itu dengan lembut. Seakan teringat sesuatu, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi perawat pribadi ayahnya tiba-tiba berkata, "Saya tahu, Nona pasti sangat tertekan melihat kondisi Tuan Minato yang semakin memburuk. Tapi Nona tidak boleh terus menerus menangis seperti ini," ucapnya penuh rasa khawatir.
Naruto yang masih terisak menggelengkan kepalanya lamban. Gadis itu menegakkan tubuh lalu menyamankan posisi duduknya. Ia menatap Shizune beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya ke depan.
"Apa Nona mempunyai masalah? Jika tidak keberatan, Nona bisa menceritakannya padaku. Jangan memendam semuanya sendiri," ucap Shizune yang sadar akan kegelisahan pada diri wanita itu.
Kali ini Naruto menatapnya lekat. "Shizune-san... ada satu rahasia yang akan kuceritakan padamu."
"Apa itu?"
"Berjanjilah, kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang hal ini. Terutama..." Naruto diam beberapa detik. "..., pada ayahku."
"Aku berjanji tidak akan menceritakannya pada siapa pun."
"Ini tentang pernikahanku dengan Sasuke.” Naruto berucap pelan. Sedangkan wanita di sampingnya tak berkata apa pun, Shizune hanya mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Naruto. "Sebenarnya pernikahan kami hanyalah sandiwara."
"A-apa ...!?" Suara Shizune sedikit meninggi. "Sandiwara!?"
"Tapi, tentu saja itu hanyalah anggapan Sasuke. Beda halnya denganku, aku tak pernah menganggap pernikahan kami sekadar sandiwara semata."
"Ba-bagaimana bisa?" Shizune masih sulit untuk mempercayainya. "Bukankah kalian saling mencintai?"
"Salah besar jika kau berpikir seperti itu." Naruto bersandar pada punggung sofa. "Kami tidak saling mencintai. Cinta itu hanya aku yang memiliki." Manik birunya mulai mengeruh. "Hanya aku yang memberi. Tapi, tidak dengannya. Cinta Sasuke bukanlah untukku," ucapnya diiringi lelehan bening yang membasahi kedua pipinya.
" .... " Shizune diam, wanita itu masih belum bisa percaya dengan apa yang Naruto ucapkan. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Pernikahan kita didasari karena perjodohan. Mana mungkin Sasuke mencintaiku." Naruto berucap di tengah-tengah tangisannya, tak terisak namun air mata itu terus mengalir dengan derasnya seiring kalimat yang terucap. "Sebenarnya sebelum pernikahan kami terlaksana, Sasuke pernah memintaku untuk membatalkannya, tapi aku menolak. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku percaya pada diriku bahwa aku bisa membuat Sasuke mencintaiku." Naruto diam beberapa detik. "Namun saat pernikahan kita menginjak usia dua bulan. Seorang wanita memasuki kehidupan rumah tangga kami, semakin membuat Sasuke jauh dariku. Dan yang lebih menyesakkan adalah, wanita itu adalah temanku sendiri."
"Nona ...." Shizune berucap lirih, entah mengapa hatinya ikut sakit mendengar curahan hati Naruto. "Bagaimana bisa... bagaimana bisa selama ini Nona hidup bersama orang yang bahkan tidak pernah mencintai Nona?"
"Dan kau tahu..." Air mata Naruto tidak berhenti mengalir. Ia mengabaikan pertanyaan Shizune. "..., sejak awal pernikahan, Sasuke memintaku untuk berpisah kamar dengannya. Dalam rumah itu, kita bagaikan dua orang asing yang benar-benar tak saling mengenal. Kita bertemu pandang hanya pada saat pagi, itu pun jika berpas-pasan sarapan bersama." Naruto mengusap sebelah pipinya yang basah. "Namun, aku tidak menyerah. Aku terus berusaha membuatnya melihatku, membuatnya mencintaiku." Ada jeda sejenak sebelum Naruto melanjutkan, "Tapi, tak sedikit pun aku mendapatkan perhatiannya, tak sedikit pun aku mendapatkan cintanya. Hatinya tetap untuk wanita itu. Sasuke benar-benar sangat mencintai wanita itu." Isakan Naruto mulai terdengar, begitu pilu, mampu membuat hati siapa saja yang mendengarnya menjadi ikut terluka, begitupun dengan Shizune. "Kau pasti berpikir aku ini wanita bodoh 'kan? Ya aku tahu, aku memang bodoh, sangatlah bodoh. Tapi, aku hanya berusaha membuka hatinya untukku. Aku ingin dia benar-benar melihatku sebagai seorang istri. Apa aku salah, Shizune? Apa aku salah karena terlalu mencintainya? Apa aku salah karena selama ini berusaha mendapatkan hatinya?" Napas Naruto tersengal-sengal seiring isakannya yang makin menjadi. "Apa... apa aku salah karena berusaha membuat kehidupan rumah tangga ini menjadi sempurna? Seperti sebuah pernikahan yang aku impikan sejak dulu? Apa aku salah...?"
Shizune meraih tubuh ringkih wanita itu pada pelukannya. "Tidak ada yang salah. Nona hanya sedikit keliru karena mencintai orang yang tidak tepat." Shizune memberi jeda sejenak. "Dan menurut saya, Nona lebih pantas bersanding dengan pria yang mencintai Nona. Pernikahan bukanlah sebuah permainan hingga bisa dijadikan sebagai sandiwara." Wanita itu mengelus punggung Naruto yang masih tersentak kecil karena isakan. "Maaf, Nona. Cinta bukan alasan untuk seseorang bersikap bodoh. Cinta seharusnya bisa saling mengkuatkan, bukan membuat sebelah pihak menjadi tersakiti."
"Apa yang harus aku lakukan?" Naruto masih terisak dalam pelukkan wanita itu.
"Jika bertahan dan memperjuangkan sudah Nona lakukan namun tak merubah apa pun, kurasa Nona sendiri tahu harus bagaimana." Shizune mengelus surainya dengan lembut. "Perceraian memang tidak baik. Tapi, apa artinya mempertahankan rumah tangga yang tidak harmonis? Untuk apa mempertahankan orang yang bahkan sudah jelas tidak mencintai Nona?" Shizune melepaskan pelukan, menangkup kedua pipi Naruto seraya mengusapnya dengan lembut. "Karena pernikahan seharusnya untuk dua orang yang saling mencintai. Bukan untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan. Terlebih lagi, Nona tidak boleh egois, Nona tidak bisa memaksakan hati seseorang untuk bisa mencintai Nona."
Akhirnya Shizune tahu, alasan mengapa Naruto tak pernah terlihat bahagia sejak pernikahannya dengan Sasuke terlaksana. Bibirnya memang selalu tersenyum namun sorot matanya tidak bisa berbohong. Yah, akhirnya Shizune paham apa yang membuat wanita berdarah Namikaze dan Uzumaki ini begitu rapuh.
"Jangan menyakiti diri sendiri." Shizune menatapnya lekat seraya tersenyum kecil. "Saya yakin pasti masih ada pria yang lebih pantas bersama Nona, yang lebih layak mendapatkan cinta Nona."
[**]
Itachi yang sedari tadi mendengarkan penjelasan Shizune hanya diam dengan rahang yang mengeras. Begitu terlihat jelas amarahnya. Pria itu mengepalkan tangannya sangat kuat. Amarah yang menguasai hatinya membuat ia merasa ingin memukul seseorang saat ini juga.
Pria berdarah Uchiha itu melenggang pergi, meninggalkan Shizune yang menyesali ketidaksadarannya tadi. "Ugh! Bodohnya aku!"
💍
"Tidak bersama Ayahmu?"
Seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman kecil rumahnya itu menoleh ke belakang di mana berdiri seorang pria tampan yang tengah tersenyum padanya seraya berjalan mendekat.
Naruto tersenyum hingga gigi-gigi kecilnya yang berbaris rapi pun tampak. "Ayah masih asyik mengobrol dengan bibi dan paman. Aku tidak mau mengganggu."
Itachi mulai terduduk di sampingnya.
"Naru."
Naruto menoleh ke samping. Menatap pria yang memanggilnya itu. "Ya, Kak?"
"Naru. Panggilanmu." Tegas Itachi yang sadar akan panggilan Naruto padanya. Pria itu menatapnya tak suka.
"Oh ayolah, aku sudah terbiasa memanggilmu 'kakak'. Aku merasa tidak sopan jika harus memanggil namamu saja.” Naruto membulatkan matanya, memakai puppy eyes, berharap Itachi tidak mempermasalahkan panggilannya lagi. "Lagipula, kenapa 'sih kau jadi mempermasalahkan panggilanku padamu?"
"Aku tidak suka." Jawaban Itachi tegas namun ambigu.
Sementara di sampingnya, Naruto hanya menghela napas kasar seraya menyandarkan punggung. Untuk sekarang ia tidak mau membahasnya lagi. Biarlah, ia akan turuti keinginan Itachi. Hanya saja, yang membuat Naruto heran, mengapa raut wajah Itachi begitu dingin saat ia memanggilnya kakak?
Yasudahlah. Tidak begitu penting, pikir Naruto. Tanpa menyadari ada sesuatu yang ia tidak tahu dari sikap dingin Itachi saat Naruto memanggilnya seperti itu.
"Naruto... kau tahu, aku tidak pernah membayangkan kau akan menikah dengan Sasuke." Tiba-tiba Itachi berkata.
" .... " Naruto diam beberapa detik sebelum seulas senyum terlukis di wajahnya. "Aku pun sama. Aku tidak pernah membayangkan bisa menikah dengan adikmu," balas Naruto. Wanita itu memang sejak dulu memiliki keinginan besar untuk bisa menikah dengan Sasuke, pria yang selalu ia idam-idamkannya. Dan kini, ia tidak mengira bahwa mimpinya akan menjadi kenyataan meski sebagian dari mimpi itu ada yang tidak mampu ia gapai. Yaitu, membangun rumah tangga yang harmonis.
"Aku malah berpikir kita yang akan dijodohkan."
Naruto dan Itachi menoleh ke samping, menatap seseorang yang baru saja mengucapkan kalimat yang sama dengannya. Mereka saling menatap beberapa detik sebelum sebuah tawa kecil keluar dari mulut keduanya.
"See? Pemikiran kita bahkan sama," ucap Itachi seraya menatap lekat pada iris sebiru laut di hadapannya. Betapa ia sangat terpesona oleh manik itu, sangat jernih, sangat cantik.
Naruto mendengkus geli. "Kita begitu dekat, jadi itulah yang ada di pikiranku. Kupikir Bibi Miko akan menjodohkanku denganmu." Ia terdiam sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke depan, tak lagi menatap Itachi. "Tapi nyatanya, aku malah menikah dengan adikmu, laki-laki yang tidak pernah kubayangkan akan meminangku menjadi istrinya," lanjutnya dengan senyuman lembut.
Rahang Itachi mengeras mendengarnya. Ingin sekali pria itu menghentikan ucapan Naruto. Ia tidak suka mendengarnya, Naruto berkata seolah ia begitu bahagia bisa bersanding dengan adiknya, laki-laki yang bahkan tidak pernah mencintainya sama sekali.
"Jika saat itu ibuku memintamu untuk menikah denganku..." Itachi masih menatapnya lekat. "Apa yang kau lakukan? Menolaknya atau menerimanya?" Kali ini Itachi menarik dagu Naruto, memaksanya agar menatap langsung pada iris hitamnya.
"Entahlah," jawab Naruto singkat.
"Kenapa?"
"Jika aku menolaknya, itu artinya aku telah menyia-nyiakan satu orang pria baik sepertimu." Kali ini Naruto juga memandangnya lekat. "Tapi, aku juga tidak bisa menerimanya, karena pernikahan impian yang selalu aku inginkan hanya bersama Sasuke."
Hati Itachi terasa diremas sangat kuat. Begitu sakit mendengar penjelasan Naruto. Itachi merasa perkataan Naruto baru saja secara tidak langsung bermaksud untuk memberitahunya bahwa ia tidak mencintai Itachi sama sekali, bukan Itachi pria yang ia dambakan selama ini.
Itachi masih menyentuh dagu gadis itu, menariknya pelan, membuat wajah Naruto semakin dekat padanya. "Naruto, kau ingin tahu mengapa aku mempermasalahkan panggilanmu padaku?" Jemari Itachi membelai pipi Naruto yang terasa lembut di kulitnya. Sementara Naruto hanya bisa mematung, ia terlalu gugup karena wajahnya begitu dekat dengan wajah Itachi, ia bahkan bisa mencium aroma tubuh pria itu.
Sungguh, Naruto tidak bisa berontak karena lengan Itachi sudah mengurungnya dari depan, sementara punggung Naruto menempel pada sandaran bangku. "Itu karena aku tidak ingin kau melihatku sebagai seorang kakak. Apa kau tahu betapa menyesakkannya tiap kali kau memanggilku begitu?"
Sepasang safir Naruto membulat sempurna. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya saat Itachi semakin mempersempit jarak di antara mereka. Dan Naruto lebih memilih untuk menatap leher Itachi, ia tidak berani menatap langsung sorot manik hitam pria itu yang entah mengapa terlihat berbeda dari biasanya.
"Lihatlah aku...." Itachi menggapai dagunya, memaksa Naruto menatap matanya. "Lihat aku, Naruto!" Suaranya sedikit meninggi hingga Naruto pun tersentak kaget karena baru kali ini Itachi membentaknya. Dengan penuh rasa takut, Naruto memberanikan diri untuk menatap langsung pada kedua iris hitam yang menawan itu.
"Lihat aku sebagai pria yang mencintaimu." Itachi memiringkan kepala, sebelah tangannya mulai menarik tengkuk Naruto, mengikis jarak di antara mereka. "Yang sangat mencintaimu."
Akhirnya sebuah rasa itu terungkap. Sebuah rasa yang selama ini Itachi simpan sendiri. Sebuah rasa yang kian dalam dan kian menyakitkan juga untuknya karena ia sendiri sadar bahwa rasanya tak terbalaskan.
Itachi memejamkan mata saat bibirnya sudah mendarat pada sesuatu yang sangat lembut dan kenyal.
Mereka tidak tahu saja bahwa di seberang jalanan sana, tepatnya di luar gerbang rumah itu, sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik keduanya. Orang itu mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan emosi yang entah kenapa tiba-tiba bergejolak di hatinya. Dan detik kemudian, motor yang dinaikinya pun melesat cepat, berbalik arah. Ia tidak mau melihat apa yang selanjutnya terjadi pada dua insan di taman rumah itu. Tidak, hatinya terlalu sesak untuk melihatnya lebih lama lagi.
.
.
.
TBC ...
-----
🌷 Kota Kembang, 18 Februari 2018
✍🏻 Hana Dwinov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro