Bab. 4 - Wanita yang Sebenarnya
Bab. IV - Wanita yang Sebenarnya
Pikiran Sasuke kacau sejak malam itu; malam di mana dia bertengkar hebat dengan Naruto yang juga malam di mana Naruto mengobati lukanya dan menciumnya. Sampai saat ini pun Sasuke masih merenung, memikirkan perihal perasaan Naruto kepadanya yang sama sekali tidak goyah walau cintanya bertepuk sebelah tangan.
Sasuke sungguh tak mengerti. Kenapa istrinya itu tetap bertahan meski sudah mengetahui bahwa dia memiliki wanita lain? Bahkan, sepertinya Naruto juga telah paham apa yang sudah dia lakukan bersama selingkuhannya. Demi Tuhan, Sasuke tak paham dengan jalan pemikiran istrinya. Padahal yang Sasuke inginkan saat tadi malam Naruto segera pergi saja bukan malah mengobati luka yang diakibatkan tamparannya sendiri serta memohon maaf atas perlakuannya itu melalui sebuah ukiran tinta di atas kertas.
Tiba-tiba saja bisikan lembut Naruto ketika semalam kembali terngiang dalam benak Sasuke hingga ia pun tertegun dalam sesaat.
Cinta ...?
Apakah alasan dia bertahan karena dia memang sangat mencintaiku sehingga dia rela mengorbankan perasaannya? Tapi ... aku tidak mencintainya. Aku mencintai orang lain. Hatiku sudah terlanjur dimiliki oleh wanita yang saat ini bersamaku.
"Kegiatanmu sejak tadi hanya melamun dan melamun. Kau ini kenapa, sih, Sasuke-kun? Apa yang mengganggu pikiranmu?" Nada suara dari wanita yang sejak beberapa jam lalu berbaring bersama Sasuke terdengar kesal. Karena baru hari ini Sasuke banyak mendiamkannya, padahal biasanya mereka selalu begitu mesra apalagi bila sudah berduaan dengan posisi dan suasana intim seperti ini.
"Hanya memikirkan pekerjaan," jawab Sasuke, bohong. Ya, tentu saja ia berbohong. Karena mana mungkin Sasuke berani mengatakan yang sejujurnya bahwa ia sedang memikirkan Naruto--wanita yang berstatus sebagai istrinya--. Jika itu sampai terjadi, sudah dipastikan wanita yang saat ini sedang berbaring dengannya akan marah besar. Oh, tidak! Sasuke tak ingin hubungan mereka renggang.
"Tidurlah, Sayang. Ini sudah malam." Sasuke berbisik lembut seraya mengecup pucuk kepala wanita itu yang bersandar manja di dadanya.
Rambut panjang sang wanita yang selalu tergerai indah membuat Sasuke selalu tak tahan untuk tidak mengelus dan menciumnya.
Si wanita tak menjawab, tapi tubuh mungilnya berbalik untuk menghadap penuh kepada Sasuke hingga dia pun memberi tatapan yang begitu lekat sebelum wajahnya mendekat pada wajah Sasuke, semakin dekat sampai akhirnya jarak di antara mereka terkikis oleh sebuah ciuman. Namun, percumbuan yang dimulai oleh sang wanita tak berlangsung lama karena Sasuke segera mengakhirinya. Sasuke sadar, jika ciuman itu terlalu lama dia tidak akan bisa mengendalikan diri, terutama hasratnya yang selalu bergejolak bila sudah bersama wanitanya ini.
Sedikit menghela napas, Sasuke lantas melirik arloji yang menempel di pergelangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00. Tidak terasa dia sudah lima jam menghabiskan waktu berdua dengan kekasihnya ini sejak pulang bekerja. Ya, karena setiap pulang mengajar Sasuke selalu menjemput wanita itu untuk berkencan atau terkadang mereka hanya menikmati waktu berduaan di rumah sang wanita. Dan Sasuke akan pulang di saat kekasihnya sudah terlelap.
Pertemuan dan menghabiskan waktu bersama hingga malam yang nyaris mereka lakukan setiap hari tak pernah sekali pun membuat mereka merasa bosan. Terutama Sasuke, pria itu tak pernah terlihat malas dan jenuh. Justru, bila sudah bersama kekasihnya ini Sasuke selalu tampak ceria dan lebih banyak tersenyum. Dan semua itu didasari oleh alasan sederhana, yaitu karena Sasuke sangat mencintainya. Bagi Sasuke, hanya wanita inilah yang paling bisa membuatnya nyaman.
Sang wanita kembali mencium bibir Sasuke dengan begitu mesra. "Aku tidak mau tidur sendiri," ucapnya, manja.
Sasuke tersenyum. "Memang siapa yang menyuruhmu tidur sendiri, hm?"
Tubuh mungil sang wanita kini sudah berada dalam dekapan hangat Sasuke dengan sempurna. Tapi, tiba-tiba saja dia sedikit menjauhkan diri demi bisa menatap sepasang oniks milik Sasuke dengan penuh keseriusan hingga Sasuke pun dibuat heran melihatnya. "Sasuke-kun."
"Ada apa, Sayang?"
Raut wajah si wanita tampak berubah, begitu pula dengan tatapannya yang mulai terlihat sendu. "Apa benar, kau ..." Dia memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkan dengan sedikit keraguan. "..., tidak pernah menyentuhnya sama sekali?"
Tak butuh waktu lama untuk Sasuke memahami makna dari pertanyaan kekasihnya itu. Sasuke sangat paham siapa yang sang kekasih maksud. Namun meski begitu, Sasuke sedikit jengkel. Karena sejak awal mereka menjalin hubungan, Sasuke sudah pernah menjelaskan semua tentang kehidupan rumah tangganya dengan Naruto yang didasari karena perjodohan sampai tentang dirinya dan Naruto yang tak pernah tidur satu ranjang. Lalu, kenapa kekasihnya ini masih saja mempertanyakan hal yang sudah berkali-kali Sasuke beritahu?
"Bukankah aku sudah sering menceritakan semuanya kepadamu? Jangankan menyentuh, tidur satu kamar pun tak pernah." Sasuke menjawab tegas meski sebenarnya dia sedang berbohong. Memang benar Sasuke tak pernah tidur satu ranjang dengan Naruto tapi ... tidur satu kamar? Mereka pernah tidur di kamar yang sama saat di mansion Uchiha dengan Naruto yang terlelap di ranjang sedangkan Sasuke sendiri memilih tidur di sofa. Ah, dan untuk perihal menyentuh, mungkin bukan Sasuke yang menyentuh tapi Naruto lah yang memulai, saat di mana gadis itu mengobati Sasuke juga menciumnya, baru kali itu Naruto melakukan kontak fisik tanpa alasan sandiwara di hadapan keluarga.
Selama ini Sasuke juga tak pernah menceritakan pada sang kekasih bahwa dia selalu melakukan kontak fisik dengan Naruto jika di hadapan keluarganya. Bukan tanpa alasan Sasuke menutup mulut mengenai hal ini, tapi karena dia sadar bahwa kekasihnya akan sangat cemburu jika mengetahui hal tersebut.
Sasuke tahu, dia adalah pembohong besar karena telah menutupi kebohongan dengan kebohongan. Tapi, Sasuke tak peduli. Dia akan melakukan apapun demi bisa mempertahankan hubungan mereka dan menghindari pertengkaran yang disebabkan oleh kecemburuan kekasihnya kepada sang istri; Naruto.
Si wanita tak lagi menghadap Sasuke, kini posisinya lurus menghadap langit-langit kamar. "Yah ... selama dua bulan tinggal satu atap bersamanya, tidak mungkin kau menyentuhnya."
Hening.
Sasuke bergeming dalam beberapa saat kala mendengar ucapan kekasihnya yang begitu kentara akan sindiran. "Kau sudah tidak percaya padaku?" Sasuke menatapnya dari samping dengan menopang kepala menggunakan tangan kiri yang terlipat di atas bantal, sementara tangan kanannya menggenggam jemari putih sang kekasih yang saling bertaut di atas perut.
" .... " Si Wanita tak menjawab, namun dari sorot matanya Sasuke dapat mengetahui bahwa dia benar-benar mengkhawatirkan hal itu terjadi.
Dengan lembut, Sasuke menyentuh dagunya agar mata bak sepasang batu emerald itu bisa Sasuke tatap langsung. Perlahan, Sasuke pun mulai mengecup bibir sang kekasih yang selalu membuatnya begitu candu. "Dengar, Sayang. Aku hanya mencintaimu." Suara putra bungsu Fugaku ini terdengar begitu lembut penuh kasih sayang, berbeda sekali jika dia tengah berbicara kepada Naruto yang selalu penuh oleh kesinisan. "Mana mungkin aku menyentuh seseorang yang bahkan tidak kusukai sedikit pun."
Sang wanita masih saja membisu. Tapi, kali ini dia meresponse dengan kembali memeluk Sasuke dalam diamnya.
"Kau percaya padaku, 'kan?" tanya Sasuke seraya membalas pelukannya.
Dada Sasuke dapat merasakan gerakan dari kepala kekasihnya yang mengangguk lamban. "Aku juga mencintaimu," bisik sang wanita dengan pelukannya yang semakin erat. "Ini belum terlalu larut malam, 'kan?"
"Ya, memang kenapa?"
"Aku ingin ke taman hiburan."
💍
Otsutsuki Bistro, 21:30
Naruto meraih cairan bening di atas meja kayu jati di hadapannya. Dia menegak air itu hingga tandas. Dan seolah tak puas, Naruto kembali menuangkan cairan bening tersebut ke dalam gelasnya.
"Seperti belum pernah minum satu minggu saja," celetuk suara seorang pria yang membuat Naruto menoleh ke depan hingga tatapannya bersiobrok dengan seorang pria tampan berbalut baju putih yang tengah menggenggam sebuah topi koki.
"Lima jam berdiri dan memasak. Oh, aku haus sekali, Toneri." Naruto mengusap peluh yang masih setia menempel di dahinya. Memang benar, hari ini bistro begitu ramai dan banyak pesanan yang masuk baik dari tamu yang datang secara langsung mau pun yang melalui aplikasi pemesanan online, dan hal itu membuat Naruto serta Toneri--selaku koki--bekerja lebih sibuk dari biasanya.
Toneri Otsutsuki. Dia memang seorang koki di sini, tapi dia juga sebenarnya adalah anak tunggal dari pemilik bistro ini. Mulanya Naruto tak mengira bahwa anak dari seorang pemilik bistro ikut andil dalam bisnisnya. Namun, Naruto menjadi paham saat Toneri mulai menjelasan bahwa dirinya memang gemar memasak dan memiliki impian untuk membangun Otsutsuki Bistro ini agar menjadi bistro yang berkelas. Toneri ingin meneruskan kelangsungan bisnis ibunya dengan baik.
"Lelah?"
Naruto memutar bola matanya. "Jangan ditanya, itu sudah pasti," jawabnya sedikit malas.
Toneri tersenyum kecil, "Kau ini memang berbeda sekali ya dengan ayahmu." Sebagai seorang Master Chef, tentu saja membuat Minato dikenal banyak orang, termasuk oleh Toneri. "Dia tidak pernah mengeluh. Dia chef terhebat yang pernah kutemui." Tiba-tiba saja Toneri terdiam kala teringat akan sesuatu. Dia memandang Naruto dengan penuh penyesalan. "Naru, maaf. Aku tidak bermaksud un--"
"Tidak apa-apa," sela Naruto seraya melempar senyuman. "Lagi pula kau benar. Selama ini ayah memang tak pernah mengeluhkan apapun. Dia tidak pernah lelah merawatku. Sampai terbaring sakit pun ia tak pernah mengeluh akan penderitaannya." Suara Naruto terdengar semakin lirih. Gadis itu melepas topi kokinya, menundukkan wajah dan menatap kedua kakinya.
Mendengar hal itu Toneri tergelak. Dia segera mendekati Naruto. Lengannya tampak berusaha untuk menggapai tubuh ringkih Naruto, namun sebuah keraguan membuat lengan Toneri tertahan di udara. Toneri sadar, meski mereka sudah berteman sejak tiga tahun yang lalu, tapi sekarang dia tak bisa sebebas dulu pada Naruto. Gadis itu sudah menikah dan statusnya sekarang telah bersuami, tentu saja Toneri tak boleh dengan sembarang memeluknya lagi. Ya, Toneri tahu, sangat tak pantas bila dia melakukannya. Dia benar-benar harus bisa menjaga jarak dengan Naruto.
"Begitulah pengorbanan orang tua," sahut Toneri setelah mengurungkan niat meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Kau memiliki ayah tapi tak memiliki ibu. Aku memiliki ibu tapi tak memiliki ayah. Kita sama, Naru."
" .... " Naruto menoleh ke depan, tepat pada manik biru indah milik pria itu.
"Kita merasakan penderitaan yang sama. Keluarga kita tidak sempurna. Aku paham bagaimana kehidupanmu dulu." Toneri tersenyum, "Tapi, sekarang kau sudah memiliki suami, kau sudah memiliki keluarga baru yang menyayangimu. Kau tidak pantas untuk bersedih meratapi kesendirianmu yang dulu. Kehidupanmu sudah berbeda, bahkan saat ini kau memiliki ibu dan dua ayah. Kau harus mensyukuri itu, Naruto." Ia mengelus pucuk kepala Naruto penuh sayang, bak seorang kakak yang sedang menasihati adiknya.
"Hm, kau benar, Toneri." Naruto balas tersenyum, sebuah senyuman hangat seperti biasa, yang selalu dia tunjukkan pada setiap orang.
Walau senyuman yang selalu Naruto tampilkan begitu tampak hangat nan menawan, tapi mereka tak tahu saja bahwa di balik senyuman itu banyak sekali rasa sakit yang Naruto sembunyikan. Namun, sebagai seseorang yang sudah mengenal Naruto selama tiga tahun lamanya, Toneri menjadi pengecualian. Dia tahu, dia yakin bahwa ada sesuatu yang Naruto sembunyikan di balik setiap senyumannya.
Karena Toneri pun adalah orang yang paling sering memperhatikan Naruto di bistro itu dibanding dengan siapapun, Toneri menjadi lebih jeli pada setiap ekspresi yang Naruto keluarkan. Tak jarang juga Toneri selalu mendapati ekspresi Naruto yang sangat sendu bila sedang sendiri, namun bila ada seseorang yang menghampirinya Naruto akan segera memasang senyuman semanis mungkin. Hanya saja, sorot matanya tak bisa disembunyikan dengan baik. Dulu manik biru milik Naruto selalu terlihat sangat cantik penuh keceriaan, tapi entah kenapa belakangan ini yang dapat Toneri lihat dari sepasang safir itu hanyalah sebuah kehampaan dan sebuah rasa sakit yang berusaha Naruto balut dengan sebuah senyuman manis.
Sungguh, Toneri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan Naruto hingga membuat keceriaan dalam diri gadis itu hilang dalam sekejap. Bukan Toneri tak berani untuk bertanya, hanya saja Toneri sadar siapalah dirinya ini.
Aku dan Naru hanya sebatas rekan kerja. Tak lebih. Ah ... atau memang tak bisa lebih ...?
Lamunan Toneri buyar seketika saat dia merasakan cubitan pelan pada sebelah pipinya. Jantung Toneri bedebar begitu hebat kala melihat sang pelaku yang memberi cubitan kecil itu. "Kenapa kau mencubitku?" tanyanya dengan wajah yang tampak tenang meski sesuatu di dalam rongga dadanya berdebar dengan gila.
"Kau yang kenapa? Melamunkan apa, sih?" Naruto mendengkus geli. "Tenanglah ... bistro ini akan menjadi bistro impianmu, kok. Jadi Tuan muda Toneri tak perlu risau memikirkannya," lanjut Naruto seraya menepuk-nepuk pelan bahu pemuda yang lebih tinggi darinya itu diiringi dengan sebuah tawa kecil.
" .... " Toneri hanya terdiam sembari menyentuh sebelah pipi yang tadi mendapat cubitan dari Naruto.
"Jam kerjaku sudah selesai. Aku pulang duluan, ya! Bye, Toneri!" Naruto melambaikan sebelah tangannya dan tersenyum.
Toneri balas tersenyum. Dia memandang punggung kecil Naruto yang semakin lama semakin menjauh.
Sebaik apapun kau menyembunyikan masalahmu.
Setulus apapun kau mengukir senyuman.
Tetap saja ... sorot matamu tidak akan bisa menyembunyikan semuanya.
Kedua bola mata itu tidak bisa berbohong. Seperti hatimu yang tak bisa berbohong atau kau bohongi.
Sakit tetaplah sakit.
Penderitaan tetaplah penderitaan.
Rapuh tetaplah rapuh.
Sekuat apapun kau mempertahankan senyumanmu, tatapan dan hati tidak bisa mengelak. Mereka tidak akan bisa bersandiwara seperti halnya senyummu.
Selama ini Naruto tak pernah berbagi cerita tentang kehidupan rumah tangganya pada Toneri. Dan hal itu wajar saja karena memang masalah privasi. Tapi sungguh, gadis itu tak pernah bercerita apapun pada Toneri selain tentang ayahnya yang kini tengah koma.
Sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu, Naruto?
💍
Dengan tubuh yang masih berbalut baju koki, Naruto berjalan lamban menyusuri jalanan di bawah nauangan langit hitam.
Jika sudah larut malam, di Konoha memang sulit untuk mendapatkan taksi hingga Naruto terpaksa berjalan kaki untuk pulang meski dengan tubuh yang sudah lelah dan pegal.
Naruto melirik ke sekelilingnya di mana banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang pada taman hiburan malam yang ia lalui. Ada yang hanya sekadar berkumpul dengan temannya, ada yang sekadar duduk terdiam menikmati angin malam di sana dan ada juga yang berkencan. Melihat pemandangan terakhir itu, hati sontak Naruto memanas. Bagaimana tidak? Karena orang yang sedang berkencan di sana adalah suaminya sendiri.
"Sasuke." Naruto melirik pada seorang gadis yang tengah bergelayut manja di lengan suaminya dan seketika itu juga sepasang safir Naruto terbelalak tak percaya.
Dia!?
Baru saja Naruto hendak melangkah untuk menghampiri mereka, tiba-tiba keduanya hilang dalam kerumunan orang-orang yang semakin memadati taman hiburan tersebut.
Dengan suasana hati yang kacau, Naruto hanya bisa menghela napas pasrah. Mungkin dia harus mencari tahu besok.
💍
"Selamat pagi, Sasuke-kun," sapa Naruto pada sang suami yang baru saja menduduki kursi meja makan. Gadis itu tersenyum hangat seperti biasa, meski jauh di dalam hatinya dia ingin sekali berucap lantang kepada Sasuke akan rasa cemburunya atas apa yang sudah dia lihat di malam tadi. Tapi, Naruto tahu, dia tak boleh gegabah. Dia harus tetap tenang sampai waktunya tiba.
Naruto melirik penampilan Sasuke yang sudah memakai kaos abu dilapisi jaket biru gelap juga sebuah celana denim hitam. Ah, pakaian yang saat ini dikenakan sang suami sama sekali bukan style untuk pergi ke kantor atau pun bekerja.
"Apa hari ini kau sedang libur?" tanya Naruto, penasaran.
"Hn."
Ingin sekali Naruto berbicara banyak dengan Sasuke. Berbincang layaknya suami-istri. Namun, bisa apa dia? Sasuke tak pernah mau berbicara lebih dengannya.
"Cobalah." Naruto menaruh sebuah pancake di hadapan Sasuke. "Aku tahu kau sangat suka makanan manis. Jadi, aku sengaja menggunakan madu dan susu sebagai topingnya." Lagi-lagi Naruto tersenyum tulus seraya memotong pancake tersebut menjadi beberapa bagian kecil.
Sasuke hanya membisu. Dia memperhatikan gerak-gerik sang istri. Mulai dari memotong pancake buatannya sampai menuangkan sebuah air mineral pada gelasnya yang masih kosong. Setelah Naruto selesai dan kembali menjauh darinya, Sasuke pun mengambil garpu, menusuk pancake tersebut dan memakan beberapa bagian.
"Bagaimana? Enak, 'kan?" tanya Naruto begitu percaya diri. Namun, Sasuke tak menjawab, pria itu terlalu gengsi untuk mengatakan yang sebenarnya.
Sasuke bangkit berdiri seraya menyapu sisa makanan di sudut bibirnya menggunakan tisu sebelum menegak air mineral yang tadi Naruto siapkan untuknya. Tak lama setelah itu, Sasuke lantas bergegas ke kamarnya untuk mengambil ponsel serta kunci mobil.
Langkah Sasuke yang kini menuju ke pintu utama rumah berhenti seketika bersebab Naruto yang menahan lengannya dengan sangat erat. "Ada apa?" tanyanya ketus.
"Mau ke mana? Bukankah hari ini kau sedang libur?"
Sasuke menghela napas kasar. "Bisa tolong lepaskan? Aku sedang buru-buru. Aku sedang ada janji."
Tatapan Naruto tampak begitu nanar. "Janji dengan wanita itu?"
Sasuke sama sekali tidak terkejut mendengar ucapan Naruto. Dia justru hanya memandangnya dengan malas. "Dengan siapapun, itu bukan urusanmu."
"Bisakah sehari ini kau di sini?" Naruto semakin mempererat genggamannya pada lengan Sasuke. "Hari ini saja, temani aku. Kumohon."
" .... " Alih-alih menjawab. Sasuke malah melepaskan genggaman Naruto dengan kasar. Dia bahkan tidak sedikit pun melirik pada sang istri. Dan dengan tergesa, Sasuke memasuki mobil, meninggalkan Naruto yang hanya bisa bergeming menatap kepergiannya.
💍
Tekad Naruto untuk memastikan siapa wanita yang telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya dengan Sasuke memang sudah bulat sehingga Naruto tidak memilih berdiam diri kala Sasuke pergi untuk menemui wanita tersebut.
Dengan langkah cepat Naruto berjalan keluar menaiki taksi dan menyuruh sang sopir untuk mengikuti mobil Sasuke. Beruntung sekali jalanan sedang macet hingga Naruto bisa memantau mobil suaminya yang berbelok menuju sebuah jalan yang biasa dia lalui.
Naruto menepuk pundak sang sopir agar mempercepat laju mobilnya. Tapi, seketika dahi Naruto tampak berkerut bingung. Perasaan Naruto mulai tidak nyaman saat mobil Sasuke berhenti di sebuah toko bunga di mana dia bekerja.
Mau apa dia ke sini?
Kebingungan, kegelisahan, ketakutan, semuanya bercampur memenuhi hati Naruto kala Sasuke turun dari mobil dan memasuki Yamanaka Flowers.
"Maaf, kita tunggu sampai mobil itu kembali berjalan." Sang sopir hanya mengangguk patuh mendengar keinginan Naruto.
Setelah beberapa menit, akhirnya Sasuke pun keluar sembari menggandeng mesra seorang wanita. Gadis yang semalam bersamanya di taman hibura sekaligus wanita yang sangat Naruto kenali.
Apakah wanita itu yang selama ini menjadi selingkuhan Sasuke?
Apakah wanita itu yang selama ini menjadi orang ketiga dalam pernikahanku? Aku ... aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat!
Naruto harap ini hanyalah mimpi. Namun, tetap saja sebuah kenyataan di depan matanya seolah menampar dia untuk kembali tersadar bahwa apa yang dia lihat memang benar adanya.
"Jalan," pinta Naruto pada sang sopir saat Sasuke bersama wanita itu memasuki mobil dan bergegas meninggalkan toko bunga.
Naruto tahu, dia harus membuktikannya lebih dari ini dan Naruto sangat berharap bahwa wanita itu bukanlah orangnya; bukan orang yang selama ini mengusik kehidupan rumah tangganya.
Mobil Sasuke tampak melaju ke arah mal dan tak lama Naruto pun segera turun dari taksi untuk mengikuti langkah mereka berdua yang begitu lamban, seolah sedang menikmati setiap detik kemesraan yang mereka ciptakan.
Memang cukup melelahkan menguntit dua orang di dalam mal dalam tiga jam. Tapi, Naruto tak mau menyerah. Dia kembali mengikuti mereka hingga tiba di sebuah rumah yang cukup elegan. Dapat Naruto lihat sang suami yang tersenyum begitu tulus pada wanita di sampingnya seraya berjalan masuk ke dalam rumah tersebut.
Sebenarnya dengan menguntit mereka dalam tiga jam di dalam mal pun sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Naruto tentang siapa wanita itu. Tapi, tetap saja, Naruto masih merasa belum puas. Ah, atau mungkin Naruto sebenarnya tidak mau menerima kenyataan ini? Bahwa memang wanita itulah orangnya. Wanita yang selama ini menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya bersama Sasuke.
Naruto terduduk pada sebuah kursi kayu yang berseberangan dengan rumah di hadapannya. Apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana? Pertanyaan itu berkali-kali muncul dalam benak Naruto. Dia sungguh ingin tahu apa yang suaminya lakukan di dalam sana bersama wanita itu. Namun, ketika Naruto memutuskan untuk menghampiri rumah tersebut dan menemui kedua orang di sana, langkah Naruto tiba-tiba terhenti saat Sasuke keluar seorang diri dengan tergesa dan kembali melajukan mobilnya. Sepertinya, Sasuke juga tidak menyadari akan kehadiran sang istri di sekitarnya.
Meski Sasuke sudah pergi dari sana, bukan berarti Naruto juga akan ikut pergi. Dia justru dengan berani menghampiri rumah tersebut dan mengetuk pintunya beberapa kali hingga daun pintu itu perlahan mulai terbuka di satu sisi, menampilkan sang pemilik rumah yang tampak terbelalak dalam beberapa detik sebelum tatapannya berubah menjadi sorot mata yang dingin.
Naruto sungguh tidak ingin percaya dengan apa dilihatnya saat ini. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, Naruto harus tetap menerima kenyataan yang ada. Rambut panjang berwarna merah muda dan sepasang bola mata sehijau batu emerald milik wanita dihadapannya ini membuat Naruto semakin yakin bahwa memang dia lah wanita yang semalam Naruto lihat tengah berkunjung ke taman hiburan bersama Sasuke dan wanita ini juga lah yang tadi berkencan dengan suaminya.
"Sakura." Suara Naruto memecah keheningan. Dia menatap Sakura dengan rahang yang mengeras.
Sakura Haruno adalah teman sekelas Naruto di Sekolah Menengah Petama. Kala pernikahannya dengan Sasuke, Sakura memang tidak ada hadir. Sebab, Naruto memang tidak mengundangnya dikarenakan mereka tidak pernah berkomuniasi lagi sejak lulus dari SMP. Naruto tidak memiliki kontak Sakura sehingga dia tidak bisa menghubungi dan memberitahu wanita itu untuk hadir di acara pernikahannya. Dan setahu Naruto dulu rumah Sakura bukanlah di sini (Konoha), tapi di Ame Gakure.
"Ah, Naruto, ya? Ada urusan apa kau ke sini?" Sakura menatap Naruto dengan malas. Raut wajahnya benar-benar tak bersahabat. "Jika kau ingin mencari Sasuke, dia sudah pulang beberapa menit yang lalu," katanya lagi. "Jadi pergi lah, aku sedang banyak urusan."
Apa maksudnya?
Tatapan Naruto berkilat tajam, "Apa kau tahu siapa pria yang sudah berkencan denganmu tadi? Apa kau tahu siapa Sasuke itu?"
Alih-alih menjawab dengan benar, Sakura malah tertawa penuh ejekan. "Tentu saja aku tahu. Dia itu suamimu, 'kan? Eh ..." Sontak Sakura menutup mulut dengan jemarinya yang lentik. " ... apa aku pantas menyebutnya sebagai suamimu? Sedangkan dia lebih sering bersamaku daripada denganmu?"
"Kau--" Suara Naruto tercekat. Ternyata Sakura memang sudah mengetahui bahwa Sasuke adalah suaminya. Tapi, bagaimana bisa Sakura setega ini? Bukankah Naruto adalah temannya?
"Kau sudah tahu Sasuke adalah suamiku, tapi kenapa kau tega melakukan ini!?" Tangan Naruto mengepal erat. "Kau adalah temanku, Sakura." Pandangan Naruto begitu nanar saat menatap Sakura yang sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Naruto benar-benar tak pernah mengira bahwa Sakura akan sampai hati mengkhianatinya seperti ini.
Sakura tersenyum kecut. "Mohon maaf. Tolong, jangan salahkan aku." Dia melipat lengannya di depan dada dengan angkuh. "Tamu tidak akan masuk jika tuan rumah tidak membukakan pintu, bukankah begitu? Kuharap kau bisa berpikir lebih rasional." Tatapan Sakura yang semula tampak sinis, kini berubah menjadi pandangan penuh rasa kasihan yang sangat dibuat-buat. "Dan masalah 'berkhianat', sepertinya bukan hanya aku yang terlibat di sini. Tapi Ino ... dia juga memiliki peran penting dalam hubunganku dan Sasuke. Bisa dikatakan, Ino adalah penyebab awal semuanya terjadi."
Perasaan Naruto bertambah tak nyaman akan arah pembicaraan mereka. "Apa maksudmu dengan Ino?"
💍
Langit tak lagi cerah. Beberapa tetes air mulai membasahi permukaan tanah. Begitu pun dengan baju yang Naruto pakai, hampir sepenuhnya basah. Pikiran Naruto begitu kacau, tak menentu. Bahkan, dia sama sekali tidak bisa mendengar suara dari gemercik air hujan. Yang terdengar olehnya hanyalah suara wanita yang baru saja dia temui. Suara Sakura masih terdengar jelas di telinga Naruto, seolah Sakura tengah berbisik kembali padanya berulang-ulang.
Naruto menghela napas seraya memejamkan mata, mengingat setiap ucapan Sakura saat tadi dan berharap bahwa apa yang Sakura ucapkan hanyalah sebuah kebohongan.
"Kasihan sekali dirimu, Naruto."
"Apa kau tahu sikapnya yang selama ini seolah tak tahu apa-apa tentang perselingkuhan Sasuke itu ternyata menyimpan banyak rahasia?"
Selain ucapan, Naruto juga masih bisa mengingat jelas senyuman Sakura kala tadi yang penuh dengan ejekan.
"Kau sudah tertipu olehnya. Dia juga berkhianat padamu, Naruto."
"Kurasa aku harus banyak berterima kasih pada Ino karena sudah memberiku seorang Uchiha Sasuke. Ah, apa perlu aku ceritakan semuanya padamu atau lebih baik teman yang kau anggap baik itu saja yang menceritakannya?"
"Yang jelas, kau harus tahu satu hal ...
..., dia lah awal dari hubunganku dengan Sasuke."
Setelah mendengar kalimat terakhir dari Sakura saat tadi, Naruto tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kakinya pun dengan sendirinya melangkah pergi meninggalkan wanita itu. Dan kini pikiran Naruto dipenuhi oleh tiga orang. Tiga orang yang telah menjatuhkannya ke dalam sebuah kubangan luka. Bulir air mata pun tak mampu Naruto tahan lebih lama lagi. Dia menangis di bawah guyuran hujan.
Kenyataan pahit apalagi yang akan kuterima setelah ini ...!?
.
.
.
TBC ...
--------
🌷 Kota Kembang, 04 Desember 2017
✍🏻 Hana Dwinov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro