Bab. 2 - Pengkhianat
Author's Note : Meski yang sekarang dipublish adalah hasil revisi, tapi tidak sampai mengubah alur, lho. Alur tetap sama seperti yang dulu. Jadi, kalau ada komen berisi spoiler maaf maaf yeee auto-hapus. Wkwkwk. Soalnya diriku nggak bisa update sekaligus, kudu satu-satu biar nggak error. 😂
Bab. II - Pengkhianat
Minato Namikaze dulunya adalah seorang chef yang memiliki beberapa restoran mewah. Dia adalah pengusaha yang sangat dermawan, selalu memberi donasi pada sekolah-sekolah atau pun panti-panti yang membutuhkan dana lebih. Tapi, semenjak sang istri; Kushina Uzumaki meninggal, Minato menjadi tidak fokus mengurus bisnisnya. Sampai akhirnya ia pun terbaring sakit hingga semua restoran miliknya ditutup.
Banyak orang yang menyayangkan akan usahanya yang terbengkalai. Namun, mau bagaimana lagi? Tak ada pewaris yang bisa meneruskan kelangsungan bisnisnya itu karena mereka hanya memiliki Naruto sebagai anak tunggalnya. Dan saat itu, Naruto pun masih remaja, masih duduk di bangku SMA kelas II. Dia belum bisa memahami dunia bisnis yang digeluti oleh sang ayah, apalagi menjadi seorang MasterChef sepertinya.
Namun, meski tidak lagi bekerja, mereka tidak kekurangan uang atau pun makanan. Finansial mereka tetap baik karena Minato memiliki tabungan yang cukup untuk menghidupi Naruto serta perawatan dirinya sendiri.
Ketika penyakit yang diderita Minato belum terlalu parah, dia masih bisa tersenyum dan berbicara dengan sang anak. Tapi, kian hari penyakit yang diidapnya kian menggerogoti tubuh hingga Minato mulai kesulitan berbicara. Bahkan, menggerakkan anggota tubuh saja sudah tidak bisa. Sampai akhirnya dia meminta Naruto agar memanggil Fugaku dan Mikoto ke rumah mereka.
"Fugaku, aku minta tolong padamu. Tolong jaga dan rawat anakku dengan baik jika suatu saat nanti aku tidak bisa lagi merawatnya." Kala itu Minato berucap dengan suara parau dan tersendat-sendat.
Dan Naruto yang saat itu sedang berada di ambang pintu, mendengarkan amanah sang ayah kepada keluarga Uchiha, hanya bisa menahan isakan. Hatinya begitu sakit melihat kondisi sang ayah yang semakin jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan, saat itu Naruto sempat berpikir bahwa Minato akan pergi selamanya-selamanya seperti mendiang sang ibu yang menjadi korban pemerkosaan serta pembunuhan.
Selain Naruto sendiri, Fugaku dan Mikoto pun amat terpukul melihat kondisi temannya saat itu. Fugaku juga sempat meyakinkan Minato bahwa dia bisa sembuh. Tapi, Minato mengabaikan. Kala itu Minato hanya tersenyum dan melanjutkan ucapannya, "Naruto adalah gadis yang cerdas dan penurut. Kau tidak akan kesusahan saat merawatnya nanti. Hanya saja, dia sedikit pemalu. Sulit sekali untuk bergaul. Kuharap kau dan Mikoto bisa menyayanginya seperti anakmu sendiri."
Meski terhalang oleh wajah kaku dan ekspresi datarnya, namun sorot mata Fugaku kala itu tidak bisa berbohong. Tatapannya semakin sendu kala menatap Minato sebelum akhirnya dia dan Mikoto menerima dan menyanggupi amanah yang Minato berikan kepada mereka. Yaitu, merawat, menjaga, menyayangi dan mengasihi Naruto seperti anak mereka sendiri.
Dan beberapa hari setelahnya, Fugaku dan Mikoto kembali ke kediaman Minato untuk menjemput Naruto. Akan tetapi, gadis itu menolak dengan tegas. Dia tak mau pergi dari sana jika Minato tak ikut bersama mereka. Berkali-kali mereka membujuk, tapi Naruto tetap menolak. Karena bagaimana pun Naruto tak tega bila harus meninggalkan sang ayah yang dalam kondisi seperti itu.
Amarah Naruto kala itu semakin tersulut saat Mikoto yang terus membujuknya untuk pergi dari rumahnya sendiri dan tinggal di kediaman Uchiha. "BAGAIMANA BISA AKU DIAM BERSAMA KALIAN SEMENTARA AYAHKU TERBARING SAKIT DI SANA!? DI RUMAH ITU DIA SENDIRIAN, BIBI! DIA SENDIRIAN!"
Naruto marah bukan tanpa alasan. Semua itu bersebab kecemasannya bila harus meninggalkan sang ayah yang sedang terbaring sakit. Naruto mengerti bahwa Fugaku dan Mikoto pun memaksanya karena amanah yang Minato berikan, namun tetap saja dia tak mau. Dia ingin tetap menjaga sang ayah.
Dan demi menghindari Fugaku serta Mikoto, saat itu Naruto memilih untuk pergi, meninggalkan semua orang di rumahnya, termasuk ayahnya sendiri yang sudah tak bisa membuka matanya sama sekali juga Itachi yang kala itu ikut bersama kedua orang tuanya untuk menjemput Naruto sekaligus membesuk Minato.
Itachi yang melihat kepergian gadis tersebut segera saja menyusulnya walau cukup sulit karena Naruto menghindari mereka dengan memasuki gang-gang hingga akhirnya dia pun sampai di hadapan gadis itu yang sedang terduduk di atas ayunan kayu.
"Sudah hampir malam, tidak baik jika seorang gadis berdiam diri sendirian di tempat sepi seperti ini." Suara lembut Itachi saat itu terdengar menenangkan bagi Naruto. Namun meski begitu, Naruto tetap berusaha menghindar. Dia terus menolak bahwa dia tak mau ikut bersama Itachi dan kedua orang tuanya untuk tinggal di kediaman Uchiha.
Membujuk Naruto yang di saat itu emosinya sedang tidak stabil memang sangat sulit. Namun, Itachi tak menyerah. Pemuda itu terus berusaha meyakinkan Naruto bahwa alasan Minato menitipkan dirinya pada keluarga Uchiha adalah karena Minato tak ingin Naruto terus bersedih bersebab melihat kondisinya yang tak jua membaik. Perlahan, emosi Naruto mulai tenang sampai akhirnya Itachi berhasil membawanya pulang ke kediaman Uchiha.
Meski sejak kecil Minato selalu membawanya berkunjung ke kediaman Uchiha hingga ia pun mengenal semua orang di sana, tapi Naruto tetap merasa canggung saat pertama kali tinggal di mansion tersebut. Namun beruntung Itachi selalu membantu dirinya untuk membiasakan diri tinggal di sana. Sikap Itachi begitu baik, penuh kehangatan. Berbeda dengan Sasuke yang sangat ketus, jarang berbicara dan sangat sulit memberikan senyuman.
Demi menghibur hati Naruto, Itachi selalu membawa gadis itu berlibur ke tempat mana pun yang Naruto mau. Sedikit demi sedikit hal itu membuat Naruto tak terlalu memikirkan sang ayah. Tapi, Naruto tahu, bukan maksud Itachi untuk membuatnya melupakan Minato, Itachi hanya tak ingin Naruto terus larut dalam kesedihan apalagi jika sampai depresi.
Satu tahun kemudian, surat kelulusan dari sekolah telah Naruto terima. Kala itu Naruto cukup bingung; harus ke mana dia mencari pekerjaan? Perusahaan mana yang harus dia lamar? Tapi, kebingungan tersebut tak berlangsung lama. Sebab, Ino Yamanaka; teman baik semasa SMA-nya membawa Naruto bekerja di toko bunga milik ayahnya.
Sebetulnya Mikoto sudah pernah meminta Naruto untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu berkuliah. Tapi, Naruto menolak karena ia tak mau merepotkan Mikoto lebih banyak lagi. Naruto ingin mandiri. Dan ia pun ingin membiayai perawatan sang ayah dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Namun, biaya perawatan Minato rupanya semakin lama semakin meninggi. Dan setelah memikirkan dengan matang, akhirnya Naruto pun mencari pekerjaan lain tanpa melepaskan diri dari toko bunga milik Ino. Dia bekerja di sebuah bistro dan posisinya di sana sebagai koki karena kelihaiannya dalam memasak.
Ketika Naruto sudah bekerja di kedua tempat tersebut selama tiga tahun dan usianya pun sudah menginjak genap dua puluh dua tahun, Mikoto mengajaknya berbincang dengan santai namun serius. Saat itu Mikoto tanpa banyak berbasa-basi segera memberitahu keinginan mendiang ibunda Naruto sebelum kejadian naas itu menimpanya.
"Saat terakhir kita bertemu, ibumu pernah berkata bahwa kelak jika kau tumbuh dewasa, dia ingin kau menikah dengan salah satu dari anakku." Ucapan Mikoto saat itu membuat Naruto mematung. Tentu saja, dia sangat terkejut. Terlebih, dia pun heran akan harapan sang ibu yang ingin dirinya menikah dengan salah satu dari putra Fugaku dan Mikoto.
"Aku pun sama. Aku ingin Sasuke menikah denganmu." Naruto semakin terkejut mendengarnya meski di sisi lain dia sedikit senang. Sebab, sejak awal mengenal keluarga Uchiha, dia telah jatuh hati pada adik dari Itachi tersebut.
Awalnya Mikoto memang ingin menjodohkan Naruto dengan Itachi karena mereka sudah begitu dekat dan akrab. Tapi, setelah memperhatikan lebih jeli lagi, Mikoto dapat melihat bahwa Naruto jatuh cinta pada anak bungsunya bukan kepada si sulung hingga keputusan untuk menjodohkan Naruto dengan Itachi pun ia batalkan.
Dan sebelum membicarakan hal tersebut kepada Naruto, Mikoto sendiri sudah berbicara kepada Sasuke. Mulanya si bungsu terkejut bukan main. Dia ingin menolak tapi tak bisa. Karena yang berbicara adalah sang ibu dan Sasuke sudah berjanji dalam hidupnya bahwa dia akan menuruti keinginan sang ibu apapun itu sehingga mau tak mau dia pun terpaksa menerima dan menyetujui perjodohan tersebut.
Sedangkan Naruto yang memang memiliki perasaan istimewa kepada Sasuke sejak kecil, tak kuasa menolak. Dia menerima semua itu dengan hati yang begitu gembira tanpa memikirkan risiko yang akan ia dapat karena menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak mencintainya.
Karena rasa senang yang menyelimuti hatinya saat itu, tanpa berpikir panjang Naruto segera memberitahu Itachi perihal rencana pernikahannya dengan Sasuke yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi.
Itachi awalnya menanggapi bahwa kabar yang Naruto bawa kala itu hanyalah sebuah gurauan. Sebab, dia sama sekali tidak percaya akan perjodohan tersebut. Dia benar-benar tak pernah mengira bahwa Naruto akan menikah dengan adiknya.
Tetapi, Naruto terus berusaha meyakinkan Itachi hingga pemuda itu pun akhirnya percaya setelah menanyakan langsung pada sang ibu. Dan seketika itu raut wajah Itachi berubah, hanya saja Naruto tidak menyadarinya.
Satu hari menjelang pernikahan, Sasuke akhirnya menemui Naruto secara pribadi dan mengajak gadis itu berbincang dengan serius. Naruto pikir, Sasuke akan melakukan hal-hal romantis hingga jantungnya pun berdebar hebat kala membayangkannya. Akan tetapi, Sasuke justru mengucapkan sesuatu yang menyakiti hatinya.
Saat itu, Sasuke mengatakan yang sebenarnya bahwa dia sama sekali tak pernah menyukai Naruto, menerima perjodohan itu pun dia sangat terpaksa karena sang ibu yang memintanya. Karena tak ingin menjalani rumah tangga bersama orang yang tidak dicintainya, Sasuke memberi Naruto kesempatan untuk berbicara pada Mikoto agar pernikahan mereka dibatalkan saja. Bukan tanpa alasan Sasuke meminta hal demikian kepada Naruto, tapi karena dia tak bisa bila dia yang berbicara langsung kepada sang ibu sehingga dia ingin Naruto lah yang mengundurkan diri dengan sendirinya. Namun, alih-alih menuruti keinginan Sasuke, Naruto justru menolak tegas dan bersikukuh untuk tetap melanjutkan pernikahan mereka. Tidak. Naruto sungguh tak mau bila pernikahan mereka harus batal.
Dengan sungguh-sungguh, Naruto meyakinkan Sasuke bahwa pria itu pasti bisa mencintainya seiring berjalannya waktu. Tapi, kala itu Sasuke tak menanggapi. Sasuke hanya bergeming dengan ekspresi dingin sampai akhirnya Sasuke melangkah pergi seraya berucap, "Kalau kau memang tak mau membatalkan pernikahan kita, kau harus siap mengikuti permainan yang akan kulakukan."
Awalnya Naruto tak paham apa yang dimaksud dengan 'permainan' oleh Sasuke. Tapi, setelah pernikahan itu terlaksana, Sasuke mulai menjelaskan bahwa Naruto jangan menaruh harapan lebih padanya bila dia bersikap lembut atau hangat ketika di hadapan keluarga Uchiha. Dan Naruto juga harus menjauh serta jangan berani-berani mendekati Sasuke bila keadaan mereka sedang tak dilihat oleh kedua orang tua Sasuke. Dari sana lah Naruto mulai mengerti pada 'permainan' yang dimaksud oleh Sasuke, yaitu tentang sebuah sandiwara yang harus mereka lakukan.
Hati Naruto tentu saja sangat sakit menerima kenyataan itu. Namun dia tak mau menyerah karena dia yakin bahwa suatu saat Sasuke pasti bisa membalas perasaannya. Ya, dia akan terus berusaha untuk membuat Sasuke berbalik mencintainya hingga mereka bisa hidup sebagai suami-istri yang bahagia.
💍
Dua bulan telah berlalu sejak pernikahan mereka dilaksanakan. Hati Naruto dengan sendirinya menjadi sabar menghadapi setiap perlakuan Sasuke kepadanya. Rasa cintanya yang begitu besarlah yang membuat Naruto bisa bertahan sampai sejauh ini.
Setelah membaca percakapan mesra Sasuke dengan seorang wanita yang masih belum diketahui identitasnya, Naruto sama sekali tak menunjukkan kepada Sasuke bahwa dia telah mengetahui perselingkuhan tersebut. Naruto tetap bersikap normal seperti biasa.
Jangankan menunjukkan ekspresi terluka dan cemburu, bertanya kepada Sasuke untuk memastikan saja Naruto sama sekali tak melakukannya. Karena dia yakin bahwa Sasuke takkan mau memberitahunya perihal siapa wanita yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka.
Beban dalam pikiran memang amatlah mengganggu. Bahkan, bisa terbawa hingga tempat bekerja. Sejak memasuki toko bunga milik Ino, Naruto benar-benar tak banyak bicara atau pun interaksi seperti biasa. Dia lebih banyak diam merenung. Hal itu tentu saja menarik perhatian Ino sebagai pemilik toko sekaligus teman dekatnya.
"Akhir-akhir ini kau sering melamun." Ino ikut terduduk di samping Naruto seraya memandang sekumpulan bunga-bunga cantik di dalam tokonya. "Apa karena Sasuke?"
Naruto diam sejenak. Sebelumnya dia memang sudah pernah bercerita kepada Ino perihal masalah rumah tangganya dengan Sasuke yang sama sekali tidak harmonis. Semua itu dia lakukan karena hanya Ino satu-satunya orang yang menurutnya paling bisa mengerti. Naruto tak berani menceritakan hal ini kepada Mikoto karena dia takut Mikoto akan marah kepada Sasuke dan keadaan malah bertambah kacau hingga ia memilih Ino saja sebagai tempat untuk menjadi curahan isi hatinya baik di kala senang mau pun sedih.
Tapi kali ini, Naruto sedikit ragu untuk bercerita. Dia takut Ino menjadi tak nyaman bila dia terus menerus berbagi kisah perihal rumah tangganya, dia takut Ino jengah mendengar semua curhatannya.
"Bukan," jawab Naruto pada akhirnya. "Aku hanya memikirkan pekerjaanku di bistro."
Sebagai teman dekat yang sudah lama sekali mengenal Naruto, tentu saja Ino tahu bahwa Naruto sedang berbohong. "Katakan saja yang sejujurnya. Aku tahu, kau pasti memikirkan Sasuke bukan pekerjaanmu di sana."
Tak bisa lagi mengelak akhirnya Naruto pun memutuskan untuk kembali berbagi keluh kesahnya kepada Ino. Dia menceritakan hal yang sudah diketahuinya perihal percakapan pesan dalam ponsel Sasuke dengan seorang wanita.
Seketika itu juga tubuh Ino membeku. Raut wajahnya dipenuhi kegelisahan serta ketakutan. Dia bahkan belum sanggup mengucapkan sepatah kata pun kala Naruto selesai bercerita.
Naruto yang tengah memandang kosong pada hamparan bunga di sana pun tak mengetahui perubahan ekspresi Ino.
"Jadi ... Sasuke berselingkuh?" Akhirnya Ino kembali bersuara dengan ekspresi wajah yang berusaha ia normalkan kembali.
"Begitulah." Naruto menjawab singkat masih tanpa menatap.
"Apa kau tidak bertanya kepadanya siapa wanita itu?" Mungkin pertanyaan tersebut terdengar biasa saja, tak tampak memiliki tujuan tertentu. Namun, Ino bertanya seperti itu bukan bersebab dia peduli kepada Naruto. Melainkan karena dia ingin memastikan apakah Naruto sudah mengetahui atau belum siapa wanita yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya dengan Sasuke.
"Tidak."
Ino menghela napas. Merasa cukup tenang atas jawaban tersebut. Tapi, kalimat yang selanjutnya Naruto ucapkan membuat jantungnya berdetak dengan menggila disebabkan oleh rasa takut.
"Tapi, aku akan mencari tahu siapa wanita itu."
Demi Tuhan, Ino benar-benar takut mendengarnya. Dia takut Naruto akan membencinya bila Naruto sudah mengetahui siapa wanita tersebut. Sungguh, Ino takut Naruto tahu bahwa dia sudah mengkhianatinya selama ini.
Ingin sekali Ino melarang, tapi hal tersebut jelas akan membuat Naruto curiga padanya. Naruto adalah istri Sasuke, jadi wajar saja bila gadis itu hendak mencari tahu siapa wanita yang telah mengusik rumah tangganya.
"Kalau begitu sebaiknya kau pulang saja." Ino tersenyum, menutupi kegugupannya. "Aku khawatir kau akan sakit bila memaksakan bekerja dengan pikiran yang tak tenang seperti ini."
Bohong. Ucapan Ino benar-benar dusta belaka. Bukan dia cemas akan kesehatan Naruto, justru dia lah yang ingin menyelamatkan dirinya sendiri karena ketidaktenangan hatinya akibat curahan hati Naruto itu.
Naruto tampak berpikir sebentar sebelum menyetujui saran Ino yang menurutnya cukup baik. "Terima kasih, Ino, kau benar-benar pengertian." Betapa tulus hati Naruto kepada Ino, hingga dia selalu beranggapan bahwa Ino adalah malaikat baginya. Padahal nyatanya, Ino adalah seorang pengkhianat yang berkedok sebagai teman baik.
Pelukan hangat dan penuh persahabatan yang selalu Ino berikan selama ini bukan disebabkan oleh rasa simpatik dan empatinya terhadap Naruto, melainkan karena Ino ingin pisau dalam genggamannya menancap lebih dalam pada Naruto.
"Apa tidak apa-apa bila aku meninggalkanmu sendiri?" tanya Naruto kala hendak keluar dari toko dan merasa khawatir bila meninggalkan Ino yang tanpa teman.
"Tak apa." Lagi-lagi Ino memberikan senyuman manisnya yang penuh kepalsuan. "Pulanglah. Jangan cemaskan aku."
Setelah yakin bahwa Ino akan baik-baik saja, Naruto segera berpamit dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan di dalam toko, Ino hanya bisa mematung di dekat meja kasir, membelakangi pintu masuk toko. Wajahnya pucat pasi. Nyaris seperti orang yang akan dieksekusi mati.
Dalam keheningan yang mulai menyelimuti, Ino bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar semakin gila. Dia mengepalkan kedua tangannya yang sudah berkeringat dingin, "Bagaimana bila Naruto tahu siapa wanita itu!? Bagaimana bila Naruto tahu bahwa aku sudah mengkhianatinya!?" Tentu saja Ino takut. Dia merasa akan malu sekali bila sampai Naruto mengetahui yang sebenarnya karena selama ini dia sadar bahwa dia selalu bersikap baik dan seolah tak tahu apa-apa perihal masalah rumah tangga Naruto dengan Sasuke. "Naruto pasti akan membenciku!"
Di tengah ketakutannya itu, Ino berusaha meraih ponselnya dalam saku celana, menekan tombolnya dengan cukup cepat. "Aku harus bicara pada Sasuke," lirihnya disertai kedua tangan yang mulai gemetar.
Tak lama kemudian, pintu toko terbuka dari arah luar bersebab seorang pria yang masuk dengan langkah santai. Dia tersenyum melihat Ino yang berdiri di dekat meja kasir, namun dia juga sedikit bingung karena mendapati raut wajah kekasihnya itu yang tampak pucat hingga dia segera mendekat lalu memeluknya dengan lembut, "Kau kenapa, Sayang?"
.
.
.
TBC ...
-------
🌷 Kota Kembang, 17 November 2017
✍🏻 Hana Dwinov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro