Bab. 16 - Harus Memilih Harus Terluka
Author's Note : Terima kasih banyak untuk kalian yang kemarin menjawab pertanyaan saya dengan review yang begitu beragam. Maaf tidak bisa balas satu per satu, tapi saya baca semuanya, kok. Kalian luar biasa, pemikiran kalian sangat kritis. ❤️
___________
Bab. XVI - Harus Memilih Harus Terluka
"Sai."
"Ada apa, Sayang?"
Ino melepaskan pelukan sang suami. Ia menatap Sai dengan pandangan sendu.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu Naruto. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat di super market. Kemudian kita berpaspasan dengan Sasuke dan Sakura, kemudian dia menangis di rumah kita. Oh, Sai! Kau pasti ingat itu, 'kan!?" Ino menghela napas panjang. "Bagaimana kabarnya sekarang? Kabar dirinya ... kabar pernikahannya ... kabar hubungannya dengan Sasuke. Aku khawatir."
Kecupan singkat Sai landaskan di kening sang istri. "Tidak perlu cemas. Aku yakin Naruto baik-baik saja." Ada jeda sejenak sebelum Sai melanjutkan, "Begitu pun hubungannya dengan Sasuke."
Meski Sai berucap demikian, tetapi Ino bisa melihat keraguan dari ucapannya. Karena bagaimanapun yang mereka tahu Sasuke sama sekali tidak menginginkan pernikahannya dengan Naruto.
"Tapi Sai, Naruto sulit dihubungi, sudah lama nomornya tidak aktif."
" .... "
"A-apa mungkin Naruto sebenarnya masih marah padaku? Bagaimanapun aku pernah berlaku jahat padanya."
Sai tersenyum maklum seraya menangkup kedua pipi sang istri. "Jangan berpikir negatif. Bisa saja nomornya tidak aktif karena ponselnya rusak."
"Bagaimana jika kita menghubungi Paman Minato saja? Paman pasti tahu keadaan Naruto," ucapan Sai kemudian membuat Ino mengangguk semangat dan segera meraih ponselnya.
Dering sambung panggilan menjadi pengantar awal sebelum sebuah suara lembut menyambutnya.
"Selamat pagi. Di kediaman Namikaze --"
Belum sempat orang di sana menyelesaikan kalimat sambutannya, Ino segera menyela dengan cepat, "Shizune-san, aku ingin bicara dengan Paman Minato. Bisa 'kah?"
"Maaf sebelumnya. Tapi, dengan siapa saya berbicara?"
"Ini aku Ino. Teman Naruto."
"Nona Yamanaka?"
"Ya, betul. Jadi ... apakah aku bisa bicara dengan paman?"
"Mohon maaf, Tuan Minato sedang tidak ada di sini. Beliau sedang melakukan pengobatan di luar negeri."
"Apa? Sejak kapan?"
"Tepat dua minggu yang lalu."
"Begitu, ya. Lalu, apa ada nomor yang bisa aku hubungi? Aku ingin tahu kabarnya juga kabar Naruto."
"Mohon maaf, Nona. Tapi, Tuan Minato tidak ingin ada orang lain yang menghubunginya selama beliau di sana, terkecuali pihak keluarga. Dan untuk kabar Nona Naru, apa betul Nona Yamanaka tidak tahu?"
"A-apa maksudmu? Tentu saja aku tidak tahu, sudah lama kami tidak bertemu."
"Maaf, maksud saya ... apa Nona Yamanaka benar tidak tahu bahwa Nona Naru menghilang?"
Seketika itu juga Ino terlonjak kaget. Dia lantas bangkit terduduk di atas kasur. "Me-menghilang!?" Suaranya meninggi. "Apa maksudmu, Shizune!?"
"Nona Naru pergi entah ke mana, kurang lebih sejak dua minggu yang lalu. Dan sampai saat ini, belum ada kabar tentangnya."
"---!" Tanpa berkata apa-apa lagi, Ino mengakhiri panggilan itu secara sepihak.
Sai yang tengah berbaring, menatap heran pada sang istri yang terlihat panik. "Ino, kau baik-baik saja?" Ia bangkit, menyentuh bahu sang istri.
"Na-Naru ..."
"Ada apa dengan Naruto?"
💍
"Ino." Sai menatap sang istri dengan lekat. "Kau yakin Naruto menghilang?"
Ino mengangguk cepat. "Shizune-san tidak mungkin bergurau soal ini. Dia bilang Naru pergi entah ke mana sejak dua minggu yang lalu."
Helaan napas kasar terdengar sebelum Sai melepas seat belt yang melekat pada tubuhnya. "Baiklah. Ayo kita pastikan dulu. Semoga Naru ada di dalam," ucapnya seraya membuka pintu mobil dengan cepat, begitu pun dengan Ino yang mengikuti pergerakannya.
Mereka berdua terdiam beberapa detik setelah sampai di depan sebuah pintu rumah yang amat dikenalinya.
Ino menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu bercat coklat di hadapannya. Sudah hampir lima menit, namun tak ada sahutan dari dalam. Dengan perlahan, Sai pun memutar kenopnya hingga pintu itu terbuka lebar. "Huh, tidak terkunci?"
"Naru." Ino memanggil nama seorang wanita yang seharusnya ada di sini. "Naruto." Kali ini suaranya cukup tinggi. Wanita pecinta bunga itu melirik ke arah sang suami. "Sai, bagaimana ini? Sepertinya Naruto memang tidak ada di sini!"
Sai menggenggam salah satu tangan sang istri. "Tenanglah. Tidak perlu panik. Siapa tahu Naru sedang tidur?" Sai memaksakan tersenyum walau hatinya sama gelisahnya. "Kita coba lihat saja di kamarnya."
Ino mengangguk. Dengan langkah berat, dia dan Sai berjalan menuju salah satu kamar di sana, membukanya perlahan. "Kurasa ini kamar Naruto." Iris biru pucat wanita itu bergulir memindai isi kamar. "Kau tahu 'kan, Sai? Mereka berdua tidak pernah tidur bersama." Dapat Ino lihat tidak ada siapa pun di sana.
"Kita coba lihat di kamar Sasuke." Ino menarik lengan sang suami menuju ruang tidur yang lain yang tak jauh dari sana.
"Nar--!"
Kedua bola mata Ino tampak membola sempurna saat membuka pintu kamar lain dan mendapati seorang pria tengah terduduk lemas dengan kepala yang bersandar pada pinggiran ranjang.
"Sa-Sasuke." Ino menghampirinya, begitu pun dengan Sai. Bisa mereka lihat betapa kacaunya keadaan Sasuke saat ini; rambut yang tidak rapi, kemeja yang sama berantakannya serta ada beberapa linting rokok berisikan daun ganja.
Sai mengernyit. Ya Tuhan, dia pecandu!?
"Sasuke, apa yang terjadi padamu?" Ino merendahkan tubuhnya, menyentuh bahu pria Uchiha itu dengan hati-hati.
Kelopak mata yang semula tertutup, kini terbuka perlahan, menampilkan iris oniks yang begitu sayu. Bibirnya terbuka diiringi sebelah tangan yang terangkat. "Naru ...?" Dia menyentuh rambut Ino dan beralih ke pipinya. "Kau pulang, Sayang? Kau kembali padaku?"
Ino berkeringat dingin. Namun, dia masih tetap diam seraya melirik sang suami, "Apa dia tidak sadar?"
Sai mengedikan sebelah bahunya lalu menatap Sasuke dengan tajam. "Dia istriku! Lepaskan tanganmu!" Sai menepis tangan Sasuke yang berada di pipi Ino dengan kasar.
Sasuke tak kalah tajam menatapnya. Tapi walau begitu, sorot matanya tampak sangat kosong. "Siapa kau?"
"Sai, tenanglah. Dia sedang kacau." Ino berucap lirih seraya memandang Sai dengan pandangan memohon dan Sai hanya membalasnya dengan dengkusan kasar.
"Naruto." Suara Sasuke melembut, kembali dia menangkup kedua pipi wanita itu. "Kenapa garis di pipimu tidak ada? Padahal kau terlihat manis dengan tanda itu," racaunya lagi.
Ino menatapnya sendu. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu dan Naruto?
"Sasuke." Ino menyentuh tangannya. "Aku bukan istrimu. Aku --"
"Jelas-jelas kau istriku." Sasuke memeluknya sangat erat. "Terima kasih sudah kembali. Kupikir kau tidak akan pulang."
"Tidak. Sasu --"
"BERENGSEK!" Sai berseru murka seraya memberi tendangan sangat kuat hingga Sasuke terlempar ke samping. "Sadarlah, bodoh! Dia bukan istrimu!"
Mata Ino terbelalak, dia memandang sang suami dengan raut wajah tak suka. "Sai!" Ino menahan pergerakan Sai yang hendak menendang lagi punggung pria itu. "Cukup! Kau tidak perlu sekasar itu!"
"Tapi, dia sudah memelukmu! Aku tidak terima!"
Ino mengusap bahu sang suami dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi kumohon, tolonglah ... Sasuke sedang kacau, dia tidak sadar, Sai."
Wanita itu menghela napas lelah lalu menghampiri Sasuke yang terbaring lemas. "Sas--"
"Sai! Dia pingsan!" Ino berteriak panik seraya mengguncang tubuh Sasuke dengan kuat.
"Sasuke, bangunlah!" Ino menyangga kepalanya kemudian menatap Sai dengan cemas. "Kau menendangnya terlalu kuat, kepalanya terbentur cukup keras. Bagaimana ini!?"
Jujur saja, Sai menjadi cukup panik. Dia tidak mengira akan sampai seperti ini.
Sementara Ino berdecak kesal sebelum meraih ponsel Sasuke yang tergeletak tak jauh dari sana. Dan dapat Ino lihat kontak bernama 'Naruto' memenuhi log panggilan keluar, namun tak ada satu pun yang diterima. Seolah-olah pria itu tetap bersikeras menghubunginya meskipun nomor itu selalu tidak aktif.
Ino memandang Sasuke yang masih tak sadarkan diri dalam beberapa detik sebelum kembali fokus pada ponsel digenggamannya, dia mencari nama seseorang yang paling tepat untuk dihubungi saat ini.
"Hal--"
"Halo, Bibi." Sebelum orang di seberang telepon sana menyahut, Ino lebih dulu berbicara. "Ini aku Ino, teman Sasuke dan Naruto."
"Aku tidak begitu mengenalmu. Tapi, kenapa kau menghubungi melalui ponsel anakku?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Bibi harus segera ke sini! Dan tolong segera hubungi ambulans atau dokter pribadi untuk menangani Sasuke!"
"A-apa maksudmu!? Memang apa yang terjadi pada anakku!?"
"Sasu--"
Tiba-tiba sambungan panggilan terputus. Ino mendengkus kasar saat melihat ponsel itu mati. Ah, dia bahkan belum sempat menyebutkan di mana lokasi mereka.
💍
Sementara di halaman sebuah mansion, seorang wanita tampak memasuki mobil dengan tergesa. Dia berdecak kesal saat melihat sang suami berjalan santai, seolah kabar yang baru saja diterimanya melalui ponsel bukanlah apa-apa.
"Fugaku! Cepatlah sedikit!"
"Kenapa kau santai sekali!? Apa kau tidak khawatir!?" sungut Mikoto setelah sang suami memasuki mobil dan duduk di sampingnya.
"Memang kau tahu di mana mereka?" Fugaku bertanya seraya menyalakan mesin mobil dan segera melajukannya keluar mansion.
Mikoto menggeleng pelan. "Tidak." Wanita itu menggenggam ponselnya dengan kuat. "Panggilannya tiba-tiba terputus. Dan saat aku balik menghubungi, nomornya tidak aktif." Terlihat jelas kecemasan di raut wajahnya. "Tapi, kita coba saja untuk ke rumah Sasuke. Mungkin mereka di sana."
Dalam perjalanan, keheningan dan kegelisahan menyelimuti mereka. Ya, tak bisa di pungkiri bahwa Fugaku pun cukup cemas akan kabar itu. Dan kini keduanya hanya terdiam, tak ada lagi yang berkacap sampai akhrinya mereka pun tiba di sebuah rumah yang tak asing.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mikoto segera membuka pintu rumah itu dengan cepat setelah sebelumnya dia melihat sebuah mobil berwarna silver dan hitam terparkir di halaman rumah tersebut.
"Sasuke!" Mikoto berseru tinggi seraya membuka satu kamar di sana yang tak lain adalah kamar yang dulu pernah dihuni anak dari sahabatnya sekaligus menantunya. Namun, tak ada siapa pun di sana. Dan saat wanita itu melihat ke arah lain, pintu kamar lain yang terbuka membuat dia segera menghampirinya, dapat dia dan Fugaku lihat Sasuke tengah terbaring lemas di atas kasur didampingi oleh seorang wanita bersurai pirang dan pria yang hampir memiliki potongan wajah seperti Sasuke.
"Sasuke!" Mikoto menyentuh tangan sang anak. Pandangan wanita itu memindai seisi ruangan, beberapa barang tak wajar yang berserakkan di sana membuatnya mengernyit. "Sejak kapan Sasuke seperti ini?" Wanita itu mengusap wajahnya dengan letih. "Tidak! Tidak! Tidak mungkin Sasuke seorang pecandu!" Dia bergumam histeris. "Aku yakin anakku tidak seperti itu!"
Ino segera memeluk, berusaha menenangkannya. "Bibi, tenanglah," bisiknya seraya mengelus punggung Mikoto dengan lembut, "Aku juga yakin, Sasuke tidak mungkin seperti itu."
" .... "
"Kita harus bicara. Tapi sebelumnya, apa Bibi sudah menghubungi ambulans? Sasuke harus segera ditangani."
Mikoto menegakkan badan dan mengangguk cepat. "Aku sudah menghubungi dokter." Wanita itu menatap sang suami. "Fugaku, bisakah kau membuang semua barang itu? Kumohon, jangan sampai hal ini tercium oleh polisi. Anak kita bukan pecandu!"
" .... " Fugaku hanya mendesah lelah sebelum menelepon orang suruhannya untuk membereskan barang tersebut.
Ino memandang Sai, memberi isyarat agar pria itu tetap di sini hingga dokter datang untuk menangani Sasuke. Sementara dirinya memapah Mikoto menuju ruang tamu, terduduk di salah satu sofa di sana.
"Aku tahu, ini masalah pribadi antara Sasuke dan Naruto. Tapi, bolehkah Bibi menceritakan sedikit apa yang sudah terjadi di antara mereka?" Ino menggenggam kedua tangan wanita itu dengan lembut. "Kudengar, Naruto pergi sejak beberapa minggu yang lalu? Dan tidak ada yang tahu di mana keberadaannya sekarang."
" .... " Mikoto terdiam beberapa detik sebelum menjawab. "Aku juga tidak begitu paham." Wanita itu memandang kosong ke depan. "Hanya saja, sebelum Naruto pergi, seorang wanita bersurai merah muda mendatangi rumah kami dan mengaku tengah mengandung anak Sasuke."
"---!"
"Tak lama, Naruto juga datang dan dia berkata bahwa dia sudah mengurus surat perceraiannya dengan Sasuke. Aku dan Fugaku terlalu syok akan semua kenyataan itu. Saat Naruto pergi pun kami masih bergeming di tempat. Hingga akhirnya Itachi yang menyusul langkahnya."
" .... " Ino masih terdiam mendengarkan.
"Sejak saat itu, aku dan Fugaku belum pernah bertemu lagi dengannya." Mikoto menghela napas pelan. "Aku tidak yakin. Tapi, kurasa Itachi tahu di mana keberadaan Naruto."
"Itachi?" Ino membeo.
Mikoto mengangguk pelan. "Ya, kakak Sasuke. Anak sulungku."
" .... " Ino hanya diam dengan pikiran yang kalut. Memang ada hubungan apa diantara mereka? Terlebih Sakura ... benarkah dia hamil?
Mikoto menatap ponselnya saat dirasa ada sebuah pesan yang masuk. "Ah, rupanya dokter sudah ada di rumah." Tiba-tiba dia berucap seraya bangkit berdiri. "Aku dan Fugaku akan membawa Sasuke pulang ke rumah kami."
"Lalu bagaimana dengan rumah ini? Tidak akan ada yang menghuninya?" Ino mengikuti langkah wanita itu menuju kamar.
"Ya, sebaiknya rumah ini tidak ditinggali siapa pun untuk sementara." Mikoto menjawab dengan lirih.
Ino hanya bisa bergeming. Dia bisa melihat kekalutan yang menyelimuti raut cantik sang Nyonya Uchiha. Tentu saja, wanita itu pasti sangat stress karena harus menerima permasalahan ini. Mulai dari rahasia besar di balik pernikahan anaknya, Naruto yang pergi dan sekarang entah di mana hingga keadaan Sasuke yang mulai kacau.
Bibir Ino membentuk senyuman tipis saat Mikoto dan Fugaku mengucapkan terima kasih atas kabar yang diberinya setelah sebelumnya mereka menyuruh dua orang kepercayaan Fugaku untuk membawa Sasuke ke dalam mobil.
Sepasang mata biru pucat milik Ino terus menatap dua mobil hitam yang mulai melaju jauh, menjauhi rumah ini sebelum akhirnya Ino pun menghela napas kasar.
"Sai." Ino menatap sang suami dari samping. "Kurasa Sasuke menyesal atas perbuatannya."
"Setelah semua yang terjadi. Dia baru menyesal? Bodoh sekali."
💍
Kediaman Uchiha, 14:00
Mikoto meremas-remas tangannya dengan gelisah. Iris hitamnya terus memperhatikan gerak-gerik sang dokter yang tengah memeriksa keadaan si bungsu.
"Dia hanya pingsan karena benturan cukup keras pada kepalanya. Dan untuk masalah efek dari barang yang dia hisap akan menghilang secara perlahan tergantung pada jangka pemakaian dan jumlah yang dia konsumsi. Ada baiknya Tuan Sasuke rajin mengonsumi susu murni agar membantu proses detoksifikasi sehingga mempercepat hilangnya efek ganja dari dalam tubuh."
"Apa tidak ada obat khusus?"
Sang dokter menggelengan pelan. "Tidak ada."
Mikoto menunduk hormat seraya mengucapkan terima kasih saat sang dokter hendak keluar dari sana. Wanita itu menatap sosok sang anak dengan pandangan sendu sebelum akhirnya menutup pintu dan berjalan menjauhi kamar.
Hal pertama yang Mikoto lihat saat turun dari tangga adalah sosok Fugaku yang terduduk di sofa. Pria itu tengah menyesap segelas kopi hitam. Mikoto menghampirinya, terduduk di samping sang suami sebelum akhirnya dia merebahkan tubuh di atas sofa dengan paha Fugaku yang menjadi bantalan.
Nyonya Uchiha itu memejamkan matanya sebelum beberapa menit kemudian sebuah dengkuran halus membuat Fugaku menyentuh rambutnya, membelai kepala sang istri dengan penuh sayang. Fugaku paham bagaimana perasaan istrinya saat ini karena dia pun merasakan hal yang sama. Tapi, Fugaku lebih bisa memendamnya.
Namun, alih-alih mencemaskan sang anak, yang saat ini memenuhi pikiran Fugaku adalah keadaan Naruto. Dengan permasalahan ini saja dia sudah sangat malu pada Minato, lalu bagaimana jika benar bahwa Naruto tidak bersama Itachi dan hidup sendirian di luar sana? Mau ditaruh di mana wajahnya jika nanti Minato kembali ke sini dan Naruto masih tidak ditemukan?
💍
Kediaman Itachi, 20:00
"Naruto."
" .... "
"Naruto!" Panggilan dengan suara yang tinggi itu membuat wanita di sana tersentak kaget. Dia menoleh ke depan di mana Itachi tengah memandangnya penuh tanda tanya. Ya, Itachi benar-benar bingung, sejak kemarin sore saat dia menjemputnya di sebuah super market, wanita ini hanya diam seribu bahasa, namun raut wajahnya benar-benar tidak setenang sikapnya. Sorot matanya dipenuhi perasaan terluka. Itachi tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya saat kemarin, acap kali pria itu bertanya, Naruto hanya membalasnya dengan gelengan lemah dan senyum yang amat dipaksakan.
"Mau makan atau melamun?" tanya Itachi sarkas.
Naruto mendengkus pelan, menyimpan sendok yang sedari tadi dalam genggamannya di atas piring. "Maaf, malam ini aku tidak ingin makan," gumamnya seraya berlalu.
Itachi hanya menatapnya dalam diam.
💍
Berkali-kali Naruto menutup mata, berusaha memasuki alam mimpi. Namun, rasa sesak yang amat menyakitkan di dalam dada membuatnya tak bisa tenang. Hingga kini dia memilih untuk menenangkan diri di bawah cahaya bulan, ditemani angin malam yang perlahan-lahan mulai menerpa tubuhnya. Akan tetapi, lagi-lagi hal tersebut tidak berpengaruh apapun. Air mata yang mendesak ingin keluar karena rasa sakit yang menggerogoti hati sudah tak mampu lagi Naruto tahan.
Malam itu, di bawah cahaya bulan, sungai kecil mengalir dengan pilu di kedua pipinya.
"Kembalilah padaku, Naruto."
" .... "
"Aku mohon."
"Aku sangat merindukanmu."
"Jangan bilang rindu, jika dulu kau pernah memintaku untuk pergi dari hidupmu."
Dapat Naruto rasakan tubuh Sasuke yang tengah memeluknya mulai menegang kala mendengar kalimat yang dia ucapkan.
Sasuke melepas pelukan, menggenggam kedua tangan Naruto dengan kuat, namun matanya enggan menatap sang wanita.
"Maaf." Lagi-lagi Sasuke bergumam kata maaf seraya mempererat genggamannya. "Memang benar, dulu aku sempat memintamu pergi. Tapi kau tahu, Naru? Kini aku benar-benar menyesal. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu."
" ...."
"Aku mohon, maafkan aku. Dan kem--"
"Maaf?" Naruto membeo, menyela ucapan Sasuke dengan cepat. "Setelah apa yang kau lakukan selama ini padaku?"
"Naru." Sasuke menatapnya, lekat.
"Setelah banyaknya luka yang kau beri, kenapa kini kau begitu mudah mengucapkan kata maaf?" Bibir Naruto tampak bergetar saat mengucapkannya. Sekuat mungkin dia menahan air mata yang sudah siap tumpah.
"Aku benar-benar menyesal, Naruto. Dan entah apa yang harus aku ucapkan selain permintaan maaf."
" .... "
"Kini aku sadar siapa wanita yang seharusnya lebih pantas aku cintai." Sebelah tangan Sasuke menyentuh pipi Naruto. "Maukah kau kembali?"
"Di mana perasaanmu, Sasuke?" Kedua tangan Naruto mengepal kuat. "Di mana hatimu saat dulu aku masih memiliki rasa untukmu?"
"Kenapa kau memohon saat semuanya sudah terlambat?" Salah satu safir Naruto sudah tak kuasa menahan embun hangat.
"A-apa maksudmu, Naru?
"Jangan berharap kembali." Kali ini air mata Naruto benar-benar tumpah sepenuhnya saat hatinya semakin terasa sakit karena dia harus melakukan kebohongan besar. Bukan hanya berbohong pada Sasuke, namun juga pada dirinya sendiri. "Seperti dirimu, aku pun sudah menemukan laki-laki yang lebih pantas untuk aku cintai." Naruto segera menundukkan pandangan. Sungguh, dia tak sanggup menatap sepasang iris hitam yang terbelalak tak percaya begitu mendengar penuturannya, dia tak sanggup menerima pandangan yang tidak biasa dia terima dari Sasuke. Sebab, Sasuke menatapnya seolah-olah pria itu amat terluka atas ucapannya.
Maaf, Sasuke ... sejujurnya tak seperti itu.
Cinta ini tak pernah mati.
Rasa ini tetap untukmu.
Memang, tak ada pria yang aku cintai selain kau. Hanya saja, saat ini aku sedang berusaha mencintainya, aku sedang berusaha membuka hatiku untuknya walau aku sendiri tak yakin.
"Naruto." Suara Sasuke tercekat. Sedangkan Naruto masih tak berani menerima pandangannya. "Apa kau membenciku?"
Pertanyaan yang sama terucap lagi. Namun, kali ini Naruto menjawabnya, hanya saja dengan sebuah kebohongan. "Ya, aku sangat membencimu." Lagi-lagi hati Naruto terasa diremas sangat kuat. "Jangan pernah berpikir bahwa aku akan selalu mencintaimu, setelah apa yang selama ini kau lakukan padaku."
Mungkin kata munafik pantas untuk mencerminkan diri Naruto saat ini. Bibir dan hati tak mengucapkan hal yang sama. Dia terus bersuara dengan kebohongan yang semakin menyakiti Sasuke dan juga dirinya sendiri.
"Tidak apa jika kau membenciku. Jika kau marah padaku. Tapi aku mohon, jangan usaikan kita."
"BERHENTI MEMOHON!"
Berhenti.
Berhenti.
Kumohon Sasuke, berhenti berbicara seolah-olah kau benar-benar menginginkanku!
" .... "
"Kau salah, Sasuke. Apa yang kau lakukan ini bukanlah pembenaran. Karena cinta layak diperjuangkan selagi ada kesempatan. Untuk apa kau memohon saat semuanya sudah terlambat? Tidak ada gunanya."
Naruto tidak tahu apa yang terjadi pada Sasuke setelah itu, karena dia segera melenggang pergi, meninggalkannya.
Sampai saat ini Naruto masih tidak mengerti apa maksud Sasuke berbicara seperti itu. Sebab, selama ini yang dia tahu, Sasuke tak pernah mencintainya dan memang tidak akan pernah mencintainya.
Naruto juga heran, mengapa Tuhan harus mempertemukan mereka lagi di saat dirinya sedang berusaha merelakan perpisahan tersebut? Sungguh, Naruto hanya ingin melupakannya. Namun, mengapa dalam pertemuan itu Sasuke malah mengucapkan sesuatu yang memaksa dirinya menjadi orang yang sangat munafik? Memaksa hati Naruto kembali merasakan sakit karena kebohongan yang dia buat sendiri.
Kenapa kita kembali dipertemukan setelah aku memutuskan untuk berhenti mecintaimu?
Kenapa kau berucap seolah-olah kau benar mencintaiku?
Sejak kapan rasa itu untukku?
Bukankah sejak dulu kau begitu membenciku?
"Rasa ini masih tetap untukmu, Sasuke. Entah sampai kapan."
Itachi mengatupkan rahangnya dengan kuat. Gumaman itu membuat hatinya sangat tercubit sakit. Pandangan Itachi benar-benar terluka. Padahal dia sendiri sudah tahu bahwa Naruto tak mungkin mencintainya. Namun, mendengarnya langsung dari mulut wanita itu ternyata sungguh menyakitkan.
Tidak adakah tempat untukku? Sedikit pun ...?"
Itachi tak tahu saja, bahwa sebenarnya Naruto sedang berusaha keras membuka pintu hatinya untuk dia, berusaha keras membuang perasaannya pada Sasuke walau lagi-lagi dia harus terluka begitu dalam.
Karena salah satu keputusan tersulit dalam cinta adalah ketika kau harus memilih: bertahan atau melepaskan.
💍
Kediaman Uchiha, 21:00
Mikoto memeluk sang anak dengan kuat namun lembut setelah satu jam yang lalu anak bungsunya itu mulai siuman. "Kau baik-baik saja, Sayang?"
Tanpa dijawab pun Mikoto sudah tahu sebenarnya, karena Sasuke terlihat normal seperti biasa. Hanya saja pandangan pria itu tampak kosong.
"Sasuke --"
"Naruto ... Naruto membenciku." Tiba-tiba Sasuke berucap lirih dengan pandangan menerawang.
Mikoto mengernyit. "Apa maksudmu, Sayang?" Wanita itu membelai rambut sang anak.
"Dia berkata bahwa dia membenciku, Ibu!" Sasuke bergumam dengan mata yang berkaca-kaca.
Mikoto menatapnya tak percaya. "Kau bertemu dengannya!?"
Sasuke mengangguk lemah. "Dan kupikir, dia masih mencintaiku."
" .... "
"Ibu, aku sudah meminta maaf padanya. Aku sudah berkata bahwa aku menyesal, tapi dia tetap tidak mau menerimaku kembali, dia benar-benar sudah membenciku."
Mikoto ikut memandang kosong ke depan dengan senyuman miris. "Sekalipun kau mengucapkan kata maaf seribu kali. Hal itu tidak akan mengobati setitik luka dalam batinnya."
" .... "
"Naruto sudah terlalu sakit. Luka di dalam hatinya sudah terlalu dalam, Sasuke."
" .... " Sasuke hanya diam tak menggubris. Sebab, apa yang dikatakan sang ibu memang benar.
Pria itu menekuk kedua kaki, memeluknya dengan kuat, berusaha mengusir rasa sesal yang semakin menyayat hatinya.
Penyesalanku lebih terasa saat benar-benar tidak ada kehadiranmu dalam hidupku.
Ku akui, aku bodoh ... benar-benar bodoh.
Kepergianmu memang atas kesalahanku. Aku sendiri yang telah menghapus senyuman hangat itu. Aku sendiri juga yang telah menghilangkan rasa cintamu untukku.
Dan kini ... hanya penyesalan yang aku rasakan.
💍
Kediaman Itachi, 23:00
Naruto mengusap wajah, menyingkirkan jejak air mata yang terlukis di sana. Dia berjalan pelan memasuki rumah. Mata birunya menjelajah seisi ruangan untuk mencari sosok pria yang mungkin kelak akan menggantikan posisi Sasuke di dalam hatinya.
"Itachi," panggilnya pelan seraya terus berjalan ke dalam.
Hening. Tak ada sahutan apa pun.
Naruto baru sadar bahwa kemarin dia tidak jadi berbelanja dan kini dia berinisiatif untuk mengajak Itachi mengunjungi mini market 24 jam yang tak jauh dari kediaman Itachi untuk membeli bahan makanan.
"Itachi." Kembali, dia memanggil setelah sampai di sebuah kamar. Di sana seorang pria tengah berbaring dengan mata terpejam. Naruto tersenyum jahil sebelum mendekati sosok itu dan menyentuh pinggangnya.
" .... " Alih-alih sebuah tawa yang keluar, justru hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. Naruto mengernyit heran, pasalnya Itachi sangat sensitif bila pinggangnya tersentuh, pria itu akan tertawa memohon ampun.
Dia menatap wajah Itachi, kelopak mata pria itu sudah terbuka sepenuhnya, namun bibirnya hanya membentuk garis datar.
"Tidak geli, huh?" Naruto terduduk di sampingnya.
"Dari mana saja?" Itachi menjawabnya dengan pertanyaan.
Naruto diam sebentar. "Dari halaman depan."
"Melihat bintang?"
"Hanya bulan. Malam ini tidak ada satu pun bintang yang muncul."
" .... " Itachi masih berbaring menyamping, memunggungi wanita itu. Tak berniat bertanya lagi.
Naruto menarik tangan Itachi agar pria itu bangkit berdiri. "Bangunlah. Antar aku ke mini market."
Di dalam mini market, Itachi tak banyak bicara. Hanya Narutolah yang semangat memilih bahan makanan untuk esok hari. Bahkan, setelah sampai di rumah pun, pria itu tetap membisu. Dan Naruto sempat heran akan sikapnya yang aneh, namun dia terlalu segan untuk bertanya. Mungkin Itachi sedang ada masalah di kantor, begitu pikirnya.
Sampai keesokan harinya, Itachi bersiap untuk pergi ke kantor. Dan Naruto semakin heran dibuatnya saat Itachi sama sekali tak berbicara apa pun kepada dirinya. Bahkan, saat Naruto menyiapkan roti untuk sarapan pagi pun Itachi tak mengindahkannya.
Naruto menatap sendu pada mobil Itachi yang perlahan menjauh dan tertelan oleh gerbang besar di depan sana.
Kau kenapa, Itachi?
💍
Sementara di dalam mobil, raut wajah Itachi tak berubah sejak dia keluar dari rumah yang ditinggalinya dengan Naruto. Ekspresi wajahnya benar-benar tak bersahabat.
Sampai pulang pun Itachi tetap membisu di hadapan Naruto. Jangankan menyapa, menatap dan tersenyum pada wanita itu saja tidak.
Berhari-hari Itachi bersikap seperti itu. Pergi tanpa pamit dan pulang tanpa permisi. Berhari-hari dia mendiamkan Naruto. Bahkan, saat wanita itu hendak mengajaknya berbincang, Itachi menghindarinya cepat dengan alasan sedang sibuk akan pekerjaannya.
Entah ini hari yang ke berapa Itachi mendiamkannya. Naruto hanya mampu menatapnya di celah pintu, di depan sana Itachi tengah terduduk dengan kepala yang mengadah, bersandar pada sofa.
Itachi ... apa kau marah padaku? Apa salahku hingga kau mendiamkanku seperti ini?
Pria berdarah Uchiha itu mengusap wajahnya letih. Dia sadar, berhari-hari dia sudah mendiamkan Naruto. Entahlah mengapa. Itachi tak tahu, bahkan dia tak mengerti pada dirinya sendiri. Dia hanya merasa setiap kali melihat senyuman dan sorot mata wanita itu, hatinya selalu tersayat sakit. Sebab, dia tahu bahwa Naruto hanya berusaha tegar, di hadapannya Naruto selalu bersikap seolah-olah dia sudah melupakan Sasuke, tapi tidak dengan kenyataan sebenarnya. Apa kabar dengan gumaman wanita itu saat malam lalu dan racauan yang selalu muncul dalam tidurnya dengan terus menyebut nama laki-laki itu?
Itachi bahkan berpikir: Mungkin aku memang tidak akan pernah bisa menempati ruang spesial itu.
💍
Beberapa jam sebelumnya ...
Itachi enggan memandang siapa pun yang berada di sana, bahkan para pelayan juga menundukkan wajahnya dalam-dalam, melihat raut wajah Itachi yang sangat masam membuat mereka tak berani menyapa sang tuan muda.
Dan kini pria itu tengah sibuk mengantongi sebuah laptop.
"Itachi." Suara lembut seorang wanita membuat dia menoleh ke belakang. "Bisakah kau ikut Ibu sebentar?"
Mereka berdua berdiri di depan sebuah pintu kamar yang terbuka cukup lebar. Di atas kasur sana, seorang pria yang amat Itachi kenali tampak tengah memeluk lututnya sendiri seraya terus menggumamkan kata maaf dan menyesal.
"Kau lihat sendiri 'kan, bagaimana kacaunya keadaan Sasuke saat ini?" Mikoto menatap kosong ke depan.
" .... " Itachi bergeming walau dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang sudah terjadi pada adiknya hingga seperti itu.
"Dia terus berucap kata maaf. Seolah-olah Naruto ada di hadapannya, dia terus meracau bahwa dia menyesal." Mikoto mengusap sebelah matanya yang basah. "Sebelum dia seperti ini, beberapa hari yang lalu dia pernah berkata bahwa dia bertemu dengan Naruto."
"---!"
"Dan dia bilang, Naruto membencinya. Naruto tak lagi mencintainya." Mikoto menatap Itachi dengan pandangan memohon. "Ibu tidak tahu apa itu benar atau hanya delusinya saja. Tapi, Ibu mohon Itachi ... jika kau memang tahu atau bahkan kalian tinggal bersama, tolonglah bawa Naruto kemari."
Mikoto terisak pelan, "Setelah mengucapkan hal itu, esoknya Sasuke terus begumam sendiri. Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menenangkannya, mungkin hanya bertemu dengan Naruto kondisi dia akan sedikit membaik."
" .... " Itachi diam beberapa detik sebelum menjawab tegas. "Aku tidak tahu di mana wanita itu. Dan kalau pun aku memang tahu, jangan harap aku akan mempertemukan mereka."
Mikoto terbelalak. Merasa tak habis pikir karena Itachi bisa sekejam ini. "I-Itachi, apa kau tidak kasihan pada adikmu!?"
Itachi tak lagi menjawab. Dia hanya memperhatikan Mikoto yang kini menghampiri Sasuke, memeluk sang adik dari samping.
"Sasuke, tenanglah."
"Dia membenciku ... dia tidak mencintaiku lagi."
"Sssttt." Mikoto mencium keningnya. "Naruto selalu mencintaimu, Sayang. Dia akan kembali, dia hanya pergi sebentar."
Sasuke memandang kosong ke depan, sorot matanya menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam, perasaan terluka juga terlukis jelas pada sepasang oniks tersebut. "Tidak. Dia tidak akan kembali!" Pria itu mencengkeram rambutnya dengan frustrasi. "Ini semua salahku! Aku yang sudah membuatnya pergi!"
Mikoto terisak melihat keadaan Sasuke yang semakin hari semakin kacau. Dia menolehkan pandang ke arah pintu di mana Itachi masih berdiri di sana, namun kali ini didampingi oleh Fugaku.
"Fugaku, bagaimana ini ... Sasuke semakin--"
"Kirim saja dia ke rumah sakit jiwa."
Sebagai seorang ibu, hati Mikoto terasa dihantam sangat kuat mendengar ucapan sang suami. "A-apa maksudmu!?" Air mata Mikoto benar-benar tumpah, dia lantas memeluk sang anak bungsu dengan kuat, tak lagi memandang Fugaku. "DIA TIDAK GILA!"
"Mikoto." Fugaku mendekati sang istri, berusaha melepaskan tangan sang istri yang tengah memeluk anak bungsu mereka. "Dia gila! Dia sudah tidak waras! Apa kau lupa apa yang dikatakan dokter kemarin!?"
Mikoto menepis lengan sang suami dengan kasar, "KAU YANG GILA!" Isakan Mikoto semakin menggema di kamar itu. "Keterlaluan. Kau keterlaluan, Fugaku. Sasuke anak kita, bisa-bisanya kau berpikir seperti itu."
Memang benar, saat sikap Sasuke mulai terlihat aneh, mereka segera menghubungi dokter yang sama yang memeriksa Sasuke saat pingsan. Dokter itu berkata bahwa saat ini Sasuke tengah depresi, cukup berat, dan memang lebih baik dirawat di tempat yang lebih tepat. Hanya saja, mana ada seorang ibu yang rela anaknya menghabiskan waktu di sebuah rumah sakit jiwa? Mikoto tak akan membiarkan siapa pun mengirim Sasuke ke tempat mengerikan itu.
"Tapi Mikoto, dia tidak --"
"CUKUP!" Wanita itu meraung tanpa melepaskan pelukannya pada Sasuke. "Yang saat ini Sasuke butuhkan adalah Naruto! Bukan dokter jiwa!"
💍
Belum sirna kepenatan yang bersarang dalam pikirannya akibat wanita itu, kini kepala Itachi juga penuh oleh kejadian tadi siang di rumah orang tuanya. Sasuke memang sangat kacau. Dan Itachi juga memang amat menyadari hal itu. Tapi, entah mengapa dia tak mau melepas Naruto untuk bertemu dengan sang adik.
Benarkah mereka sempat bertemu?
Apa itu yang membuat Naruto semakin sering melamun ...? Pertemuannya dengan Sasuke ...?
Jujur, Itachi tak rela jika Naruto sampai kembali pada pria itu karena melihat keadaan Sasuke yang benar-benar tidak normal. Tapi, di sisi lain Itachi juga merasa bodoh. Walaupun idia mempertahankan Naruto seorang diri, walaupun dia bersikap egois pada orang tuanya, tapi kenyataannya dia sendiri tak bahagia bisa hidup berdua dengan Naruto. Dia tak bahagia mengurung wanita itu untuknya seorang diri.
"Itachi." Panggilan pelan itu tak dihiraukannya. Naruto terduduk di sampingnya, menatapnya begitu lekat, kelopak mata pria itu terpejam, namun Naruto yakin, Itachi tidak tertidur.
Rahang Itachi mengeras. Bibirnya terkatup begitu rapat. Dadanya sedikit terangkat akibat dalamnya napas yang dihirupnya, namun segera pria itu lepaskan dengan helaan kasar. Berharap, perasaan menyakitkan yang bersarang di dalam dadanya juga ikut terbuang.
Iris biru Naruto membola saat melihat setitik embun hangat di sudut mata Itachi. Jemari wanita itu terangkat untuk mengelus kelopak mata Itachi yang basah. "Kau menangis, Itachi."
" .... "
"Apa yang saat ini sedang kau pikirkan?"
" .... " Kelopak mata Itachi terbuka perlahan, menatap sayu pada wanita di sampingnya yang memandangnya penuh ke khawatiran. Dan tanpa berkata apa pun, Itachi segera memeluk tubuh ringkih itu, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang wanita.
Naruto balas memeluknya, mengusap punggung lebar Itachi dengan gerakan pelan dan lembut. "Ketika keadaan mengharuskanmu untuk menangis, maka menangislah. Jangan berpura-pura. Tak semua air mata berarti lemah."
Dan, benar saja.
Tepat setelah Naruto mengucapkan itu, isakan parau mulai memenuhi pendengaran. Leher dan bahu Naruto pun terasa basah. Sedangkan punggung lebar Itachi yang biasa tegap dan kokoh, kini tampak berguncang hebat.
Tanpa disadari, sepasang safir pun ikut mengeluarkan tetesan bening.
Kedua lengan Itachi mempererat dekapannya. Seolah takut jika wanita yang telah sekian lama menjadi penghuni hatinya, belahan jiwanya akan menghilang dari hadapannya.
Apakah kita memang tidak bisa untuk bersama?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG KE BAG. XVII ...
Halo,
Siapa yang kangen ItaFemNaru / SasuFemNaru? Siapa yang masih setia menunggu? Maaf, ya. Setelah sekian lama, saya baru kembali.
ᮊᮧᮒ ᮘᮔᮓᮀᮥ | Flower City,
22 / Jun / 2018
With Love,
Hana Dwinov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro