Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 14 - Sandaran Hati

Bab. XIV - Sandaran Hati

LANGIT biru perlahan mulai tertelan oleh awan gelap, menandakan cuaca menuju malam ini akan sangat tidak bagus.

Itachi melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 17:20. Sudah hampir gelap. Tetapi, dia masih belum menemukan sosok wanita berambut pirang dengan dua buah koper besar yang dibawanya. Bukan tanpa alasan Itachi tak mengunjungi rumah Minato untuk menanyakan keberadaan wanita itu, Itachi takut jika Naruto tak ada di sana dan pada akhirnya Minato malah cemas, lalu apa yang harus dia katakan pada Minato?

" .... " Pria bersurai panjang itu menyentuhkan keningnya pada setir mobil seraya menghela napas berat. Itachi benar-benar bingung harus mencari ke mana lagi, nomor Naruto pun sulit untuk dihubungi. Sungguh, Itachi tidak akan bisa tidur tenang malam ini. Ya, lebih tepatnya dia tidak akan tidur sebelum menemukan Naruto.

💍

Dengan wajah yang tertunduk, wanita itu terus menyeret langkah kakinya yang berat pada sebuah kursi batu di depan sebuah taman air mancur. Entah ini di mana, Naruto tidak tahu. Dia hanya ingin beristirahat sebentar, mendudukkan dirinya di sana.

Naruto menatap lurus ke depan. Dia merasa rambutnya perlahan semakin basah hingga mengeluarkan beberapa tetes air dari setiap ujungnya. Begitu pun dengan pakaian dan syal yang dia kenakan seiring air hujan yang terus mengguyur taman. Iris birunya dapat melihat beberapa orang yang sibuk berlarian mencari tempat untuk berteduh.

"Nona, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Mari ikut denganku. Kita berteduh di kedai sana!" Seorang wanita dewasa mengajaknya.

Naruto bisa melihat payung hitam yang dibawa oleh wanita itu. "Tidak. Terima kasih," jawabnya dengan seulas senyum yang sangat tipis.

Untuk apa berteduh?
Bukankah akan lebih bebas jika kau bisa menangis di bawah hujan seperti ini?

Dalam hati Naruto tertawa pahit, menertawakan dirinya sendiri.

Bahkan langit pun ikut menangis.
Semenyedihkan inikah diriku?

💍

"Bagaimana Itachi?"  Terdengar suara seorang wanita dari sebuah ponsel, suara itu benar-benar menyiratkan rasa cemas yang mendalam. "Apa kau sudah menemukan Naruto?"

"Belum." Itachi menyahut lirih.

"Kau bisa melihatnya, 'kan? Malam ini hujan sangat deras." Suara itu semakin parau karena menahan isakan. "Ibu takut dia kenapa-kenapa, Itachi. Malam semakin larut. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya?"

"Aku tahu Ibu sangat mengkhawatirkannya. Tapi, tenanglah. Aku pasti akan menemukan Naruto."

"Ba-baiklah. Hati-hati, Itachi."

Panggilan terputus. Itachi mengusap wajah dengan letih sebelum memarkirkan mobilnya di depan sebuah kedai teh. Dia merasa butuh minuman semacam kopi atau teh panas untuk menghangatkan tubuhnya.

Iris hitam Itachi bergulir memandang padatnya kedai teh itu. Mungkin karena cuaca yang dingin, kedai-kedai kopi atau teh seperti ini menjadi lebih ramai dari biasanya. Atau mungkin sebagian dari mereka hanya ikut berteduh saja tanpa memesan apa pun. Entahlah dia tak tahu.

Itachi berjalan cepat memasuki kedai. Namun, baru saja dia akan memesan segelas teh panas, sebuah jeritan memekakkan telinga memenuhi pendengarannya.

"YA TUHAN! KENAPA DIA!?"

"APA DIA PINGSAN? BADANNYA DINGIN SEKALI!"

"CEPAT TOLONG!"

Awalnya Itachi mengabaikan teriakan-teriakan yang berasal dari seberang kedai itu. Tetapi, saat telinganya menangkap percakapan dua wanita yang baru kembali dari keramaian tersebut, tubuhnya tiba-tiba menegang dengan degup jantung yang tidak karuan.

"Apa wanita tadi pingsan?"

"Iya, badannya dingin sekali. Bayangkan saja, sejak tadi sore dia duduk di situ. Bahkan saat hujan turun pun dia tetap di sana, padahal aku sudah mengajaknya berteduh."

"Memangnya kau kenal dia? Tinggal di mana wanita itu? Apa mereka akan membawanya ke rumah sakit?"

"Tidak, aku hanya kasihan saja. Um ... entahlah. Sepertinya dia bukan dari daerah sini."

"Benar juga. Dilihat dari koper yang dia bawa, kemungkinan dia pendatang baru di sini."

"---!" Mendengar percakapan kedua wanita itu, Itachi bergegas keluar dan berlari menuju sebuah taman air mancur, tepatnya pada sekumpulan para pria dan wanita yang saling bergumam. Jaraknya tak begitu jauh dari kedai teh, pantas teriakan tadi sangat menggema.

Itachi mendesak masuk ke dalam kerumunan hanya untuk memastikan dugaannya. Dan benar saja, wanita berambut pirang yang kini terbaring lemas dengan seluruh tubuh yang basah itu amat dikenalinya.

Tangan Itachi segera menahan seorang pria yang hendak menggendong wanita itu.

"Ada apa? Aku akan membawanya ke klinik." Pria itu menatap heran pada Itachi yang terus memandang khawatir pada sosok wanita di atas tanah tersebut.

"Biar aku saja yang membawanya." Itachi segera menyelipkan kedua lengannya di belakang leher dan lipatan lutut wanita itu. "Dia istriku," lanjutnya seraya mengangkat tubuh ringkih tersebut sebelum benar-benar pergi meninggalkan taman di sana dengan kerumunan orang-orang yang bergeming menatap kepergiannya.

"Hey, ini koper milik istrimu!" Pria tadi menyusul Itachi yang sudah memasuki mobilnya, memberikan dua koper besar berwarna hitam padanya.

Itachi melirik spion di dalam mobilnya yang memperlihatkan sosok seorang wanita yang tengah terbaring lemas di jok belakang. Wanita yang sejak tadi siang dicarinya.

"Tch! Kenapa kau selalu membuatku cemas!?"

💍

Kediaman Uchiha, 23:00

"Fugaku, bagaimana ini ... Itachi sama sekali belum memberi kabar tentang Naruto."

Mikoto terus bergumam panik, dia tidak bisa tenang sejak tadi. Dan Fugaku yang melihat kekhawatiran sang istri hanya sanggup menenangkannya sebisa mungkin. Tak dapat dipungkiri, Fugaku sendiri juga amat khawatir pada Naruto. Tapi, mau bagaimana lagi? Meski di luar hujan sudah reda, tapi ini sudah hampir tengah malam. Mencari dalam kegelapan itu percuma saja, kira-kira begitulah menurut Fugaku.

"Tenanglah. Aku yakin, Itachi pasti menemukan Naruto. Dia akan baik-baik saja." Pria paruh baya itu memeluk sang istri dengan dekapan lembut. "Sekarang kita istirahat saja. Jika sampai besok Itachi tidak menemukan Naruto. Kita akan ikut mencarinya."

💍

Kediaman Sasuke, 23:45

Di dalam sebuah kamar, terlihat seorang pria sedang tergesa memakai jaketnya. Rahang pria itu mengeras, mata elangnya semakin tajam saat melihat seorang wanita yang terduduk santai di atas kasurnya.

Sasuke menghela napas. "Pulanglah," ucapnya pelan namun tegas. Sebuah perintah yang mutlak.

Sang wanita mengerucutkan bibirnya dengan kesal seraya menyusul langkah Sasuke yang keluar dari kamar. "Kau mau kemana Sasuke-kun?" Dengan cepat dia memeluk tubuh tegap itu dari belakang.

Mata beriris oniks itu terpejam jengah. "Kubilang pulang, Sakura! Berhenti mengikutiku!" Sasuke melepaskan kedua tangan yang tengah melingkar di perutnya dengan kasar.

"A-aku hanya ingin ber--"

"JANGAN MEMBUATKU MARAH!"

Iris hijau Sakura membulat sempurna. Memandang takut saat Sasuke memukul tembok di belakangnya, tepat di samping kepalanya yang kini bersandar lemas pada dinding.

Sasuke kesal. Benar-benar kesal. Sejak kepergian Naruto tadi dan sejak pria itu meninggalkan kediaman Uchiha, Sakura tetap mengikutinya. Bahkan, wanita itu dengan beraninya masuk ke dalam rumah yang semula dihuni juga oleh Naruto, duduk santai di atas kasur Sasuke.

"Ta-tapi, Sasuke-kun ..." Lengan Sakura meraih sebelah pipi Sasuke, mengelusnya pelan. "Aku hanya ingin tinggal bersamamu. Apa itu sal--"

"TAPI, AKU TIDAK!" Sasuke menyela cepat dengan suara tinggi.

Sakura menunduk, menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. "Ka-kau jahat, Sasuke," gumamnya dengan isakan yang mulai terdengar.  "Padahal yang kukandung ini adalah anakmu. Anak kita, Sas. Tapi, kenapa kau tidak mau bertanggung jawab?"

"Kenapa kau bisa yakin itu adalah anakku?"

Mendengar pertanyaan Sasuke, Sakura sontak saja menjauhkan kedua tangannya dari wajah lalu menatap Sasuke dengan pandangan tak percaya. "Kau pikir siapa pria yang selama ini selalu tidur bersamaku!?" Suaranya sedikit meninggi. "Siapa!? Haruskah aku memberimu cermin agar kau bisa tahu siapa pria itu!?"

" .... "

"Setelah apa yang kita lakukan selama ini. Kenapa kau bersikap seolah-seolah aku tidak pernah ada dalam hidupmu!?"

"Aku mencintaimu, Sasuke. Hanya kau. Tidak mungkin aku membiarkan pria lain menyentuhku." Sakura menundukkan wajah dengan satu telapak tangan yang menyentuh perut.

" .... " Sasuke menatapnya beberapa detik dalam diam sebelum mendengkus kasar dan menarik salah satu tangan Sakura, membuat langkah wanita itu terseret.

"OUCH! Sasuke, pelan-pelan. Perutku ... uuuh ... perutku sakit."

Sasuke menutup pintu rumah dengan kasar dan menguncinya setelah mereka sampai di luar.

"Sa-Sasuke ... ke-kenapa kau membawaku kelu--"

"Berisik!" Sasuke mencengkeram kedua pundak Sakura dengan kuat. "Dengar. Aku akan bertanggungjawab," lanjut Sasuke membuat bibir Sakura hampir saja mengukir senyum bahagia jika dia tidak mengatakan suatu hal yang membuat lelehan bening lagi-lagi tergenang di pelupuk mata wanita itu. "Berapa biaya yang kau butuhkan? Akan kuberi berapapun itu. Dengan satu syarat; jangan menggangguku lagi."

"Aku akan pergi. Sebaiknya kau pulang. Dan masalah uang yang kau butuhkan, beritahu saja aku melalui pesan ponsel," ucap Sasuke lagi seraya berjalan menuju mobil, meninggalkan Sakura sendirian tanpa peduli akan tangisan wanita itu yang mulai terdengar lagi.

Sasuke segera melajukan mobil dengan cepat, meski sesungguhnya dia tidak tahu harus ke mana mencari Naruto. Mungkinkah dia harus memulai dari rumah ayahnya? Tapi, bagaimana jika Minato menanyakan alasannya? Apa yang harus dia katakan?

Apa Itachi sudah menemukan Naruto? Panggilanku tidak ada yang dijawab satu pun olehnya.

Dasar, sialan!

Jika mengingat itu, Sasuke semakin kesal pada dirinya sendiri karena dia selalu kalah cepat oleh sang kakak. Tak perlu ditanyakan alasan mengapa tadi Itachi begitu panik dan dengan cepat menyusul Naruto, mengingat kejadian ciuman waktu itu saja Sasuke sudah memiliki jawabannya.

Itachi menyukai istriku.

Istri. Ya, Sasuke masih mengganggapnya istri. Bagaimanapun dia tidak menandatangani surat cerai yang Naruto ajukan. Dia telah membakarnya pada hari itu juga. Tidak ada bukti bahwa mereka sudah berpisah sekali pun Naruto telah pergi, sekali pun jari manis di sebelah kiri Naruto tak lagi terhiasi oleh benda yang menjadi bukti pernikahan mereka.

💍

Suara klakson mobil menggema di jalanan sana, tepatnya di depan sebuah gerbang rumah.

Lima menit berlalu, tak ada satu pun orang yang membuka gerbang itu dan membiarkannya masuk. Sasuke paham, ini sudah larut malam, wajar jika tak ada yang membuka gerbang itu. Namun, saat dia akan membelokkan mobilnya dan berputar balik, suara deritan dari roda gerbang yang bergesek membuat perhatiannya teralihkan.

Sasuke bisa melihat Shizune tengah membuka gerbang. Dan ia pun segera turun dari mobil. "Tunggu!" ucapnya dengan suara tinggi. Mencegah Shizune untuk membuka gerbangnya lebih luas lagi.

Shizune menatap bingung pada Sasuke.
Namun, sebelum dia mengeluarkan sepatah kata, Sasuke sudah lebih dulu menyelanya. "Apa Naruto ada di sini?"

Shizune mengerejapkan matanya beberapa kali, cukup bingung dengan pertanyaan Sasuke. Bukan bingung tak bisa menjawab. Tapi ...

Bukankah Tuan Sasuke yang seharusnya paling tahu keberadaan Nona Naru?

"Tidak ada. Sudah dua hari Nona Naru tidak datang kemari."

Sasuke semakin gelisah mendengarnya. Dan hal itu semakin membuat Shizune heran. "Ada apa, Tuan Sasuke? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya dengan sopan.

"Shizune-san. Jangan katakan hal ini pada Paman Minato ..." Sasuke terlihat ragu untuk melanjutkan. "Sebenarnya ... Naruto pergi sejak tadi siang. Aku tidak tahu dia ke mana. Itachi juga sedang mencarinya, tapi belum ada kabar apa pun."

Kedua mata Shizune terbelalak tak percaya. "Jadi, Nona Naru hilang!?" Suaranya meninggi.

"Sssttt! Pelankan suaramu!"

"Ma-maaf, Tuan. Jadi ... Nona Naru hilang, begitu?" tanya Shizune lagi dengan suara berbisik.

Sasuke mengangguk pelan. "Aku mohon rahasiakan hal ini dari Paman Minato. Ok?"

Mereka tak tahu saja, bahwa sepasang mata beriris biru memperhatikan mereka sejak tadi.

💍


Itachi menggendong tubuh ringkih Naruto sebelum berjalan cepat memasuki sebuah rumah kayu yang tampak sederhana namun elegan. Dia membawa Naruto ke tempat yang tidak diketahui banyak orang, tempat yang bahkan Fugaku dan Mikoto sebagai orangtuanya saja tidak tahu bahwa Itachi memiliki sebuah rumah di wilayah yang cukup terpencil.

Tak perlu diperjelas alasan mengapa Itachi tidak membawa Naruto pada rumah orangtuanya. Dia memang tidak berniat mengembalikan Naruto pada siapa pun. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti wanita itu lagi.

Dengan langkah cepat, Itachi segera membuka salah satu pintu kamar di sana, membaringkan tubuh basah Naruto di atas kasur.

Itachi diam sebentar, bergelut dengan pemikirannya: apa dia harus membuka baju wanita itu dan menggantinya dengan yang baru? Oh, tidak. Pilihan itu sangat tidak bagus untuk kesehatan mentalnya. Tapi, jika membiarkan Naruto tertidur dengan sekujur tubuh yang basah, bukankah lebih tidak bagus? Bagaimana jika wanita itu sakit parah setelah terkena hujan berjam-jam hingga tidur pun dalam kondisi basah?

Sial! Kenapa sih, tidak ada pilihan yang lebih baik di antara keduanya!?

Itachi memejamkan mata sebentar lalu mengembuskan napas kasar sebelum tangannya merayapi leher Naruto, menarik syal merah yang melilit di sana.

Akhirnya yang pertamalah yang menjadi pilihannya. Tidak mungkin Itachi membiarkan Naruto terus tertidur dengan keadaan tak nyaman seperti ini.

Namun, belum sempat Itachi melepaskan kain yang lain, sesuatu berwarna biru lebam di leher sang wanita membuatnya terbelalak.

Itachi sontak menyentuh leher tersebut, mengusap bekas gigitan di sana. "Na-Naruto ...."

Apa yang sebenarnya sudah terjadi sebelum kau pergi dari rumah itu!?

Tak mau berlama-lama, pria Uchiha itu segera melepaskan satu per satu baju yang melekat pada tubuh Naruto hingga membuat tubuh itu kini benar-benar polos tanpa sehelai benang pun yang menempel.

Wajah Itachi sedikit bersemu melihat pemandangan indah di depan matanya. Namun, di sisi lain dia juga merasa berengsek karena bisa-bisanya menikmati pemandangan itu di saat seperti ini.

Tak ingin dirinya lepas kendali, Itachi segera membuka koper yang di bawa oleh Naruto.

"Tch!" Dia berdecak kesal saat mendapati semua baju yang ada di dalam koper itu basah.

Dengan terpaksa Itachi membuka lemari bajunya, mengambil salah satu yukata dan dengan tergesa memakaikan kain itu pada tubuh Naruto.

Usai membalut tubuh Naruto menggunakan yukata miliknya, kini Itachi tengah menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Bayangan lekuk tubuh Naruto yang tanpa pertahanan dan bekas gigitan di leher wanita itu benar-benar membuat kepala Itachi terasa mau pecah memikirkannya.

Itachi pria normal.

Pria mana yang tidak tergoda melihat pemandangan indah di depan matanya?
Itachi bahkan tidak mengira bahwa Naruto memiliki lekukan tubuh semolek itu.

"Hah." Itachi mengembuskan napas berat.

Baiklah. Ini bukan saatnya untuk berfantasi!

Itachi segera pergi menuju dapur, membuat kopi untuk dirinya sendiri kemudian membuat semangkuk bubur serta segelas teh hangat sebelum kembali ke kamar dan menyimpan nampan tersebut di atas nakas samping ranjang.

Itachi mengamati wajah manis Naruto yang masih terlelap damai, jemari lentik Naruto yang terkulai di samping badan terasa amat dingin kala Itachi menyentuhnya. "Padahal sudah hampir empat jam. Tapi, masih terasa dingin sekali."

Putra sulung Fugaku itu terus meremas, menggosok, meniup jemari lentik Naruto. Berharap sang wanita tidak begitu kedinginan walau kini selimut tebal tengah memeluk tubuhnya.

"Ngh ..." Erangan pelan itu membuat Itachi menghentikan aktivitasnya.

Dahi Naruto tampak berkerut saat denyutan menyakitkan menyerang kepalanya ketika dia hendak membuka mata. Dia menoleh ke samping kala merasakan kedua tangannya tengah digenggam kuat.

"Itachi."

"Naru, kau sudah siuman? Di bagian mana yang sakit? Apa tubuhmu masih terasa dingin? Apa kau butuh selimut lagi?" Pertanyaan itu keluar secara bertubi-tubi tanpa jeda.

Alih-alih mendengarkan pertanyaan Itachi, Naruto justru lebih fokus pada tubuhnya yang terasa aneh hingga dia pun sedikit menyingkap selimut tebal yang semula membalutnya hanya untuk melihat tubuhnya yang kini memakai sebuah yukata hitam khusus pria.

Itachi yang mengikuti arah pandang sang wanita berdeham pelan sebelum menjelaskan dengan canggung. "Ah, maafkan aku, Naru. Bukan aku lancang. Semua bajumu basah. Aku takut kau--"

"Aku mengerti." Naruto menyahut cepat.

"Eh? Kau tidak marah?"

"Untuk apa aku marah? Itachi melalukan itu karena Itachi peduli padaku."

"Maksudku ... kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu saat aku melepasnya?"

"Tidak. Karena aku percaya, Itachi pria baik. Itachi tidak mungkin melakukannya padaku."

Jawaban Naruto cukup membuat Itachi tertegun. Namun tak lama, sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya kini teringat lagi.

"Naru."

"Ya?"

" .... " Itachi menunjuk Naruto kemudian mengusap lehernya sendiri. Sebuah kode sederhana memang, namun sanggup membuat Naruto terbelalak kaget. "Kenapa itu ...?"

Naruto memalingkan wajah, memandang apa pun selain Itachi. "Bukan hal penting," jawabnya sedikit enggan.

"Naruto." Nada suara Itachi berubah tegas. "Dia melakukan sesuatu padamu?"

Naruto paham siapa yang dimaksud dia oleh Itachi. Dan wanita itu hanya menghela napas pelan. "Hanya ini."

" .... "

"Aku tidak membiarkannya menyentuhku lebih dari ini," jelas Naruto dengan sebelah tangan yang meremas tanda bekas gigitan di lehernya.

Itachi segera menahan pergerakan Naruto dengan cepat. "Maafkan aku karena sudah bertanya. Aku percaya padamu." Ditariknya tangan Naruto dengan perlahan. "Jangan melukai diri sendiri."

Sepasang safir Naruto masih memandang ke arah lain.

"Kau bisa bangun? Maksudku duduk saja."

Naruto tidak menatap Itachi, namun dia menjawab pertanyaan pria itu dengan tubuhnya yang mulai bangkit lalu terduduk bersandar.

"Buka mulutmu."

Naruto bisa melihat sesendok bubur berada di depan bibirnya. Dia pun menggeleng lemah. Makan bukanlah sesuatu yang Naruto inginkan saat ini. Dia hanya ingin tidur kembali. Itu saja.

"Kau harus makan," desak Itachi.

" .... " Naruto masih bergeming dengan mulut yang juga masih terkatup rapat. Matanya juga masih enggan memandang Itachi.

Itachi menghela napas kasar. "Naru, kau bisa sakit. Ayo, makanlah. Sedikit saja."

" .... " Lagi-lagi gelengan lemah yang menjadi jawaban.

"Naruto."

"Aku tidak lap--"

"JANGAN MEMBUATKU MARAH!"

Tubuh Naruto menegang. Iris sebiru lautannya membulat sempurna dengan pupil yang mengecil. Naruto dapat melihat mangkuk yang tadi Itachi genggam kini hancur berkeping dengan nasi dan lauk pauk yang berserakan di ambang pintu kamar akibat lemparan kuat dari pria itu.

Naruto benar-benar tidak mengira bahwa Itachi bisa marah hanya karena dia tidak mau makan. Sungguh, baru kali ini Itachi semarah itu padanya.

Naruto semakin menundukkan pandangan. Kejadian baru saja membuat dia semakin enggan menatap Itachi.

Itachi memijit tulang hidung seraya memejamkan mata dalam beberapa saat. Dia sadar, dia sudah keterlaluan.

"Naru ...." Kedua lengan Itachi menggapai tubuh Naruto untuk masuk ke dalam pelukannya. "Maaf. Maafkan aku. Kau pasti ketakutan, ya." Dia bisa merasakan tubuh dalam dekapannya sedikit bergetar.

" .... " Naruto tidak menjawab apa pun, tidak juga membalas pelukan Itachi. Dia hanya semakin menundukkan kepala, membuat wajahnya tenggelam dalam dada bidang Itachi.

"Aku tidak bermaksud seperti itu." Itachi semakin mengeratkan pelukan. "Aku hanya khawatir padamu. Kau membiarkan hujan menyirami tubuhmu selama berjam-jam. Kau juga enggan kuberi makan. Sebenarnya apa maumu, Naru? Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri?"

" .... "

"Berhentilah melakukan hal-hal bodoh. Berhentilah membuatku cemas!" Itachi mencium pelipis Naruto cukup lama. "Aku mohon."

Tak lama kemudian, Itachi merasakan sebuah remasan pada bagian depan kemeja yang tengah dikenakannya hingga Itachi pun melepaskan pelukan dan menatap Naruto yang kini masih menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Seharusnya aku yang meminta maaf." Suara Naruto bergetar. "Itachi selalu menolongku. Itachi selalu menjagaku dengan baik. Aku ... aku pasti sangat merepotkan Itachi."

"Apa? Tidak, Naru. Aku senang bisa melindungimu." Itachi menangkup kedua pipi Naruto, memaksa wanita itu agar menatapnya. Dan di saat itu juga Itachi bisa melihat butiran bening yang tergenang di mata biru Naruto. "Cengeng sekali, sih," ucapnya dengan kekehan kecil.

"A-apa?"

"Kau. Cengeng sekali," ulang Itachi dengan senyum yang semakin merekah saat melihat Naruto mengerucutkan bibirnya karena kesal.

"Itachi menyebalkan." Naruto menepis tangan Itachi dengan sedikit kasar.

Kali ini Itachi tertawa geli melihat tingkah manis Naruto yang merajuk. "Sekarang kau makan, ya."

"Kita," ralat Naruto dengan cepat.

"Huh?"

"Kita makan."

"Apa? Kau saja, Naru."

Naruto berdecak kesal kemudian kembali berbaring seraya menarik selimut tebal di sana untuk menutupi seluruh tubuhnya. "Aku tidak mau makan jika Itachi tidak ikut makan," ucapnya dengan suara yang cukup tinggi di dalam selimut itu.

Itachi mengerejapkan matanya berkali-kali melihat Naruto yang semakin merajuk. Sungguh, dia jadi merasa wanita di hadapannya ini adalah gadis kecil yang dulu selalu bermanja padanya. Ah, setelah sekian lama, sifat manja serta wajah merajuk yang manis itu akhirnya bisa Itachi lihat lagi.

Itachi tersenyum.

"Kau ini manja sekali, sih." Nada suara Itachi memang terdengar mengejek. Namun, jauh di dalam hatinya dia sangat senang melihat Naruto yang seperti itu.

Itachi menarik selimut, membuat wajah Naruto kembali terlihat. "Baiklah, kita akan makan bersama. Ok? Kau tunggu saja di sini, biar kuambilkan." Seiring ucapannya itu, sebuah kecupan singkat mendarat di kening Naruto.

Ah, betapa sering Itachi memberinya ciuman-ciuman penuh kasih sayang. Namun, hati Naruto tetap tak terasa berdebar.

" .... " Naruto hanya diam memandang punggung Itachi yang mulai menghilang dari ambang pintu kamar. "Jika tidak begitu, kau tidak akan makan." Dia mendengkus. "Aku tahu, pasti belum ada sesendok nasi pun yang masuk ke dalam perutmu sejak tadi."

💍

Sementara di tempat lain sebelum Naruto ditemukan oleh Itachi, Shizune terkejut kala membuka pintu dan mendapati Minato yang berada di dekat jendela. "Tu-tuan."

"Aku sudah mendengar semuanya, Shizune. Jangan coba-coba berbohong padaku." Minato menyela cepat sebelum wanita di hadapannya membual.

"Ma-maaf, Tuan."

"Jadi benar, Naruto pergi?"

Shizune mengangguk pelan. "Begitulah, seperti yang dikatakan Tuan muda Sasuke."

Minato segera berusaha menghubungi sang anak melalui ponsel. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan yang tersambung. Nomor Naruto sulit untuk dihubungi. Dia juga menghubungi sang menantu, tapi tak ada panggilan yang terjawab. Ingin sekali Minato bertanya pada keluarga Uchiha, namun ini sudah malam, dia tak mau mengganggu waktu istirahat Fugaku dan Mikoto.

"Aku tidak mengerti apa yang sudah terjadi pada kalian berdua sampai kau pergi seperti ini. Tapi ... semoga Tuhan selalu melindungimu, Sayang."

💍

Sudah beberapa menit sejak Itachi keluar kamar dan Naruto masih berbaring di atas kasur sebelum akhirnya bangkit terduduk di sisi ranjang hingga atensinya teralihkan pada dua koper besar yang ada di depan lemari.

Naruto meraih salah satu koper, hal pertama yang dia rasakan adalah basah dan dingin.  Dia membuka koper itu dengan cepat dan dapat dilihat baju-baju di dalamnya pun hampir sepenuhnya basah. Seketika dia panik. "Jangan sampai buku itu juga basah!"

Buku bersampul biru yang Naruto cari tidak ada di koper yang pertama. Dia mencoba membuka koper kedua, tetapi di sana juga tidak ada. "Ke mana buku itu!? Kurasa sebelum aku pergi, aku sudah memasukannya ke dalam koper!"

Apa mungkin buku itu hilang?

Seketika hati Naruto mencelos sakit.

Bahkan untuk menyimpan kenangannya pun Tuhan tidak mengizinkan.

Perlahan Naruto merasakan matanya memanas, namun saat mendengar dentingan piring dari arah dapur dia segera mengusap wajah dengan kasar. Dia tahu, dia tidak boleh membuat orang yang saat ini bersamanya merasa khawatir.

Naruto melirik sebagian dadanya yang terekspose. Yukata milik Itachi benar-benar besar. Tetapi, hal itu tak menghalanginya untuk berjalan keluar kamar meski dengan susah payah bersebab tubuhnya dia balut menggunakan selimut tebal.

Setibanya di ruang tengah, Naruto dapat melihat di sana hanya ada satu sofa yang panjang juga sebuah televisi yang berjarak sekitar dua meter dari depan sofa. Naruto memilih untuk terduduk di depan sofa, tepatnya di atas lantai beralaskan karpet lembut dengan corak bulan sabit.

"Naru."

Belum sampai lima menit dia duduk di situ, sebuah panggilan dengan suara berat membuatnya menoleh ke belakang di mana Itachi membawa dua piring nasi.

"Kenapa kau di sini? Memang kepalamu tidak pusing?"

Naruto menggeleng pelan dengan senyum kecil. "Makan di sini saja, ya," ajaknya membuat Itachi ikut terduduk di atas karpet.

"Tu-tunggu!" Itachi menahan tangan Naruto yang hendak memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. Sebelah alis Naruto pun terangkat heran. Itachi menggaruk pipinya canggung, "A-aku tidak yakin rasanya akan enak."

"Enak tidak enak makan saja." Naruto menyahut cepat. "Dalam keadaan lapar, apa pun tidak akan terasa," lanjutnya seraya memasukkan sesuap nasi yang ditemani telur dadar itu ke dalam mulut.

Hanya telur dadar memang, tapi entah mengapa terasa sangat nikmat. Bahkan Itachi sendiri sangat lahap memakannya.

"Maaf, kita hanya makan seadanya," ucap Itachi tiba-tiba sesaat setelah mereka menghabiskan nasi dalam piring masing-masing.

Naruto tersenyum tipis. Sedang Itachi masih merasa tidak enak karena hanya memberi Naruto makan dengan lauk seperti itu.

"Tidak apa-apa, Itachi. Seharusnya aku berterima kasih."

Itachi tidak menjawab. Ia hanya membawa piring kotor itu ke dapur. Dan Naruto sendiri hanya menyamankan posisi duduk seraya meraba-raba rambutnya yang kusut sebelum kembali menggulung tubuh dengan selimut tebal.

Beberapa saat kemudian, Itachi kembali dengan sebelah tangan yang membawa sisir. Pria itu menatap Naruto dengan senyuman yang semakin merekah perlahan-lahan.

"Kau kenapa?"

Itachi menggeleng cepat. "Kau tahu ... kau seperti ulat," jawabnya membuat Naruto berekspresi bingung.

"Ulat?"

"Iya, ulat. Lihatlah. Wajahmu bulat, tubuhmu terlihat gemuk dengan gulungan selimut tebal itu." Itachi terkekeh kecil atas ucapannya sendiri.

"Yukata ini terlalu besar."

Itachi tak menanggapi. Ia hanya duduk di belakang Naruto dengan punggungnya yang bersandar pada kaki sofa kemudian mengacungkan sisir yang dibawanya. "Kemari, mendekatlah."

Naruto yang paham maksud Itachi hanya tersenyum seraya memundurkan badannya, terduduk membelakangi Itachi.

Itachi menekuk kaki kirinya, sementara kaki kanannya ia biarkan berselonjor bebas di samping gadis itu. "Rambutmu sangat kusut," gumamnya seraya mulai menyisir rambut pirang Naruto dengan hati-hati.

Naruto terdiam cukup lama sebelum berujar tulus, "Terima kasih."

"Huh?"

"Itachi selalu memperlakukanku dengan baik. Terima kasih."

" .... "

"Aku tidak tahu harus bagaimana membalas semua itu."

" .... "

Keheningan menyelimuti mereka saat tak ada lagi yang berbicara.

"Naruto, diamlah. Aku jadi sulit menyisir rambutmu." Tubuh gadis itu sesekali bergoyang ke kiri juga ke kanan, membuat Itachi cukup kesulitan menyisir rambutnya.

Namun, saat kepala gadis itu hampir menyentuh lantai karena badannya yang terkulai lemas ke depan, Itachi segera menangkapnya dengan cepat.

"Eh?" Itachi mendengkus pelan disertai senyuman tipis saat melihat kelopak mata Naruto yang tertutup rapat.

Pria itu menyamankan posisi duduknya sebelum menyandarkan tubuh Naruto pada dadanya, memeluk tubuh berbalut selimut tebal itu dengan sangat erat sebelum mencium bahu mungil di sana. "Kau tidak perlu membalasnya, Naru. Tapi, untuk sekarang bolehkah tetap seperti ini?"

Bolehkah aku tetap bersamamu ...?
Aku tidak akan membiarkanmu kembali pada mereka. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Tidak akan kubiarkan kau tenggelam dalam kepedihan dan kehancuran.

💍

Kediaman Keluarga Uchiha, 08:00

Di dalam rumah, Mikoto terlihat sangat gelisah. Ia berkali-kali mengecek ponsel, menanti kabar dari sang anak sulung.

"Mikoto. Bisakah kau sedikit tenang?" Sang suami juga cukup risi melihat kegelisahan sang istri sejak malam. Bukan ia tidak peduli, tapi bersikap seperti itu pun tidak akan membuat Itachi atau Naruto pulang.

"Tenang!?" Suara wanita itu meninggi. "Bagaimana aku bisa tenang, Fugaku?! Itachi tidak memberi kabar apapun. Bahkan sampai sekarang dia belum pulang! Apa kau tidak khawatir!?"

Fugaku mendesah lelah, ia paham perasaan istrinya. "Bukan seperti itu, Mikoto. Tapi--"

Ketukan halus dari luar kamarnya membuat ucapan Fugaku terhenti. Pria itu segera membuka pintu dengan cepat.  Di sana berdiri seorang pelayan wanita.

"Ada apa, Matsuri?"

"Tuan Minato menunggu Nyonya dan Tuan di bawah."

Mendengar itu Mikoto mengernyit heran. Pasalnya ini masih pagi. Kenapa pria itu bertamu di jam seperti ini?

"Fugaku, ada apa? Apa kau menyuruhnya kemari?"

Sang suami menggeleng cepat. "Aku juga tidak tahu. Sebaiknya kita temui saja."

💍

"Minato," sapa keduanya setelah berada di ruang tamu dan mendapati seorang pria bersurai pirang tengah terduduk di sebuah kursi roda.

Pria itu menolehkan wajah. Ia diam beberapa detik sebelum mengeluarkan pertanyaan yang sanggup membuat Mikoto juga Fugaku terbelalak.

"Naruto pergi tanpa sepengetahuan siapa pun. Apa terjadi sesuatu?"

Mikoto sudah berkeringat dingin mendengarnya. Ia mencengkeram lengan sang suami.

Fugaku mengelus lengan sang istri, berusaha menenangkan. "Dia juga perlu mengetahui hal yang sebenarnya, Mikoto," bisiknya.

" .... " Tak ada pilihan, Mikoto hanya mengangguk pelan.

"Tapi Minato, siapa yang memberitahumu masalah ini?"

"Sasuke." Ada jeda sejenak sebelum Minato melanjutkan, "Semalam Sasuke ke rumahku, menanyakan keberadaan Naruto."

"Dia tidak menceritakan apapun padamu?"

Minato menggeleng pelan. "Aku tidak bertemu dengannya. Shizune yang menemuinya, tapi aku mendengar semuanya."

" .... " Mendengar penjelasan sahabatnya, Fugaku sudah paham. Ia hanya terduduk pada salah satu sofa dan diikuti oleh Mikoto. Kepala keluarga Uchiha itu memulai pembicaraan, menceritakan semua hal yang baru ia dan istrinya ketahui kemarin.

Minato menghela napas panjang, pria itu menutup wajahnya sebentar. Namun, saat ia akan menanggapi Fugaku, tiba-tiba sebuah suara yang berat menyelanya cepat.

"Kalian tahu, siapa yang menyebabkan hal ini terjadi?" Orang itu bertanya ketus pada Fugaku dan Mikoto. Ia berjalan menghampiri ketiganya. Berdiri tepat di hadapan Fugaku.

Mikoto segera bangkit. "Itachi, kau baru pulang?" Ia menyentuh satu tangan sang anak, “Bagaimana? Apa Naruto sudah ditemukan?"

"Di mana gadis itu?" Kali ini Fugaku yang bertanya.

"Apa peduli kalian?"

Mikoto tersentak mendengar Itachi yang menjawabnya dengan pertanyaan. Bukan hanya itu, tapi nada ketus serta tatapan tajam yang Itachi berikan membuatnya sedikit tersinggung. "Sayang, ada apa denganmu?" Mikoto memandangnya sendu.

Alih-alih menjawab pertanyaan Mikoto dengan benar, Itachi malah mengucapkan sesuatu yang menyulut emosi sang ayah, "Apa kalian tidak sadar!? Kalianlah penyebab semua ini! Seandainya Ibu tidak menjodohkan dia dengan Sas--"

Tamparan kuat dan keras membuat Itachi bungkam seketika. Fugaku menatapnya penuh amarah. "SEJAK KAPAN KAU BERANI BERBICARA SEPERTI ITU PADA ORANGTUAMU!? D MANA SOPAN SANTUNMU, ITACHI!?"

"Kenapa?"  Itachi mengusap sudut bibirnya yang terasa perih. Tenaga yang dikeluarkan Fugaku tidak main-main. "Ucapanku benar, bukan? Seandainya kalian membiarkan mereka memilih pasangan hidup masing-masing. Seandainya perjodohan itu tidak pernah dilakukan. Mungkin saat ini Naru--"

"ITACHI!"

Saat Fugaku hendak melayangkan tamparannya lagi, Mikoto menahan lengannya dengan cepat, "Cukup Fugaku. Dia anakmu. Sadarlah."

Fugaku hanya menghela napas kasar. Dan Mikoto berusaha menahan tangisan. Sementara Itachi segera meninggalkan ruangan dengan aura gelap yang menyelimuti tubuhnya.

"Minato, maafkan aku." Wanita itu berucap parau. "Itachi benar. Seandainya--"

"Mikoto." Minato menyela cepat. "Sudah cukup. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kau juga melakukan itu karena keinginan mendiang istriku, 'kan?"

" .... "

"Siapa sangka semuanya akan berakhir seperti ini." Minato mengusap wajahnya, letih. "Aku tidak marah atau membenci siapapun. Semua ini sudah takdir Tuhan. Lagi pula kita tidak perlu ikut campur terlalu jauh dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tapi ..." Ia menatap lekat pada Fugaku dan Mikoto. " ... hanya satu yang aku pinta. Tolong, bawa pulang anakku dalam keadaan selamat. Aku mohon. Seandainya kondisiku tidak seperti ini, aku tidak akan mengandalkan kalian.”

Fugaku menatapnya penuh keyakinan. "Aku dan Mikoto akan berusaha."

Mendengarnya, Minato hanya tersenyum seraya mendorong kedua roda yang menempel pada kursi yang ia duduki itu dengan perlahan.

Sebelum Minato benar-benar pergi dari sana, suara parau Mikoto menghentikan pergerakannya. "Terima kasih, Minato."

Minato tak menjawab. Dia hanya mendengkus pelan lalu meninggalkan ruangan.

💍

"Shizune, aku sudah selesai. Kita kembali."

Perawat yang sudah mengurusnya selama bertahun-tahun itu mengangguk pelan saat sang Tuan memberinya perintah. Namun, ketika baru saja kedua tangannya akan mendorong kursi roda, sebuah suara menahannya.

"Paman."

Minato menoleh ke belakang di mana Itachi tengah berjalan cepat ke arahnya. Pria itu merendahkan tubuhnya, menyejajarkan tingginya dengan Minato. "Paman, maaf perkataan kasarku tadi. Aku berbicara seperti itu hanya kepada ayah dan ibu."

Minato tersenyum maklum, ia mengusap puncak kepala Itachi dengan lembut. "Aku mengerti. Tapi, lain kali kendalikan emosimu. Walau bagaimanapun mereka itu orangtuamu, Itachi. Kau harus tetap menghormatinya."

Itachi memandang lurus pada iris biru di hadapannya. "Apa Paman ingin bertemu dengan Naruto?" Ia mengabaikan nasehat Minato.

"Memang kau tahu di mana anakku?"

Itachi mengangguk tegas. "Aku bisa membawa Paman untuk bertemu Naruto. Tapi, aku mohon jangan beritahu siapapun."

Minato menatap kosong ke depan penuh kesenduan. "Sepertinya aku tidak  bisa menemui dia."

"Kenapa? Apa ... Paman marah?"

"Jangan konyol, Itachi. Tidak mungkin aku marah padanya."

"Lalu, kenapa?"

"Dua hari lagi aku harus pergi ke luar negeri. Aku akan melakukan pengobatan di sana."

Itachi cukup terkejut mendengar berita itu. "Bukankah Paman sudah sembuh ...?"

Minato tersenyum getir. "Kau tidak lihat?" Ia menatap kedua kakinya. "Aku lumpuh. Dan di sana aku akan ditangani oleh ahlinya dengan harapan kedua kaki ini bisa kembali berjalan normal."

Tatapan Itachi menyendu. "Aku paham. Tapi, bagaimana dengan Naru?"

"Sampaikan maafku padanya." Sebisa mungkin Minato menyembunyikan nada getir dari suaranya. "Maaf karena aku tidak bisa menemuinya. Maaf karena aku tidak bisa berada di sampingnya di saat dia benar-benar membutuhkan sandaran."

Sepasang iris biru Minato menatap lekat pada Itachi. "Itachi, aku tahu kau sangat menyayangi putriku. Jadi ... bisakah kau bertahan menjaganya sampai aku kembali?"

"Aku bisa. Tapi, aku yakin dia lebih membutuhkanmu, Paman."

"Kumohon, Itachi. Selama dia aman bersamamu."

💍

Di tempat lain, tepatnya di sebuah kamar, seorang gadis tengah sibuk mencari baju yang pas untuk dipakainya.

Dia berdecak kesal saat tak ada satu pun baju yang cocok untuknya. Bagaimana tidak? Semua baju yang ada di dalam lemari itu adalah baju pria: baju milik Itachi.

"Uh, bagaimana ini? Hari ini aku pakai baju Itachi yang mana?" Naruto tak bisa mengenakan pakaiannya sendiri karena seluruh bajunya masih dijemur dan belum sepenuhnya kering, hanya pakaian dalam saja yang sudah bisa dia gunakan.

"Apa ... pakai ini saja, ya?" gumamnya lagi setelah menemukan sebuah kemeja berwarna biru gelap.

Kemeja itu memang berukuran besar, tapi hanya cukup untuk menutupi setengah tubuhnya. Hanya sampai setengah paha.

Naruto mendesah lelah sebelum membaringkan tubuh di atas kasur. Ia sudah tahu, Itachi pergi sejak tadi pagi karena pria itu meninggalkan pesan di sebuah kertas kecil yang disimpan di bawah bantal yang Naruto pakai saat tidur. Dalam kertas itu, Itachi menulis pesan singkat bahwa ia harus bekerja dan kemungkinan akan kembali ke sini nanti sore.

"Sudah sesore ini, tapi kenapa Itachi belum pulang juga."

Naruto tampak jenuh. Dia sudah membersihkan rumah sejak tadi. Dia juga sudah mandi. Semua pekerjaan rumah sudah selesai. Tidak ada pekerjaan lain lagi yang harus Naruto garap. Menonton tv sangatlah membosankan. Dia hanya ingin ada teman mengobrol, tapi sepertinya Itachi masih sibuk di luar sana.

Tepat saat Naruto melangkah keluar kamar, sebuah ketukan halus yang berasal dari pintu utama membuat Naruto bersorak senang.

Itachi sudah pulang!

"Naru, aku pul--"

"Selamat datang, Itachi."

Tubuh Itachi terpaku, mulutnya terkatup rapat saat pintu terbuka cepat menampilkan pemandangan yang lagi-lagi menguji mentalnya sebagai seorang pria sejati. Di sana, berdiri gadis yang hanya berbalut kemeja dengan bertelanjang kaki.

Tuhan ... kenapa mahluk ini manis sekali!? Seandainya semalam bukan yukata yang kupakaikan padanya.

"Itachi!" seruan tinggi itu membuat fantasi si sulung Uchiha sirna seketika. "Kau melamunkan apa?"

Pria itu hanya tersenyum canggung seraya berjalan masuk. "Aku membawakan ini untukmu." Ia menyodorkan sebuah kantung belanjaan.

"Apa ini?"

"Lihat saja."

" .... " Dan seketika mata Naruto berbinar melihatnya. Di sana terdapat lima cup ramen instan. "Semuanya untukku!?"

"Satu minggu, satu."

"Huh?"

"Satu minggu satu ramen," jelas Itachi.

Melihat Naruto yang tersenyum senang, Itachi merasa hatinya menghangat. Semoga saja aku bisa membuat bibir itu terus tersenyum.

"Naruto."

"Ya?"

"Tadi aku bertemu ayahmu."

" .... "

"Paman Minato berkunjung ke rumah. Menanyakan keadaanmu. Dia sudah mengetahui semuanya. Tapi, kau tenang saja. Tidak ada masalah besar yang terjadi setelah itu. Paman bisa memahami dan menerimanya."

Dengan berat hati, Itachi mulai menceritakan apa yang sudah dia bicarakan dengan Minato. Dan sang safir pun sontak terbelalak disertai raut wajah yang berubah penuh akan kesedihan. Tak perlu ditanya sudah berapa banyak air mata yang tumpah dari manik biru itu. Kantung berisi lima cup ramen pun terlepas dari genggaman. Naruto menutup mulutnya, menahan jeritan yang mendesak ingin keluar. Tubuhnya berguncang hebat karena isakan yang terus keluar.  "A-ayah ..."

Itachi tak bisa menghentikan tangisan gadis itu karena ia sendiri sudah tahu hal ini pasti akan terjadi. Yang Itachi lakukan hanya memeluk, mendekapnya lembut.

"Ayah pasti kecewa padaku. Ayah pasti marah padaku. Ayah pasti membenciku, Itachi." Naruto bergumam di sela isakannya.

"Tidak, Naru. Paman Minato memahami semuanya. Dia tidak membenci siapapun."

"Lalu ... lalu kenapa ayah tidak mau bertemu denganku!? Padahal dia akan pergi jauh! Dia juga tidak pernah menceritakan hal ini padaku sebelumnya!"

Itachi mengelus punggungnya. "Bukan tidak mau. Tapi, tidak bisa. Waktunya sangat sempit. Dia harus mempersiapkan semua kebutuhannya untuk di sana sebelum pergi."

Isakan Naruto semakin terdengar. "Tapi, jauh di dalam hatinya, dia pasti benar-benar kecewa padaku."

Itachi melepas pelukan. "Daripada menangis seperti ini, lebih baik kau berdo'a untuk keselamatan dan kesembuhan ayahmu. Semoga pengobatannya di sana tidak sia-sia."

Naruto tertegun. Ia terdiam beberapa saat sebelum mengangguk pelan. Dia pikir, Itachi memang benar, daripada menangis alangkah lebih baik bila dia berdo'a untuk keselamatan dan kesembuhan sang ayah.

Ayah ...
M

aafkan aku.

Sebagai anak seharusnya kini aku ada di sampingmu, merawatmu. Tapi, apa yang sudah kulakukan? Aku malah menambah beban baru untukmu. Maafkan aku.

Kau sudah berjuang ...
Semoga Tuhan memberimu kesembuhan.
Semoga Tuhan selalu melindungimu.

"Naruto." Suara berat dan sebuah usapan lembut di kedua pipi membuyarkan lamunan. Naruto melirik ke depan, pada Itachi yang tengah tersenyum. "Mau makan ramen?"

"Eh?"

"Aku tahu kau lapar. Sejak siang kau belum makan apa pun, kan?"

Naruto menjawabnya hanya dengan anggukan kecil.

"Baiklah, tunggu di sana." Itachi menunjuk pada sebuah ruangan yang kemarin mereka gunakan untuk makan berdua. Pria itu segera meraih ramen yang tercecer di atas lantai dan membawanya ke dapur.

Sementara Naruto hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Itachi.
D

ia adalah pria teristimewa dalam hidupku setelah ayah.

Di saat ada sebuah luka yang memahat.
Di saat ada sebuah luka yang menusuk, menghujam jantungku.
Dalam gelapnya jalanku.
Dalam sepinya hidupku.
Dia hadir bagai lentera yang menerangi segalanya ... menolong jiwa rapuh ini.

Itachi ...
Terima kasih sudah hadir dan menjadi sandaran hidupku.

Naruto terus hanyut dalam lamunan. Ia merasa beruntung karena Itachi hadir dalam hidupnya. Ya, tak bisa dipungkiri, selama ini Itachi sudah seperti pahlawan baginya.

Sebenarnya Minato tak perlu meminta Itachi untuk menjaga Naruto. Karena selama ini Itachi sudah menjadi sandaran untuk gadis itu, menjadi sebuah sandaran untuk hatinya yang retak.

Suara nyaring dari sendok yang beradu dengan mangkuk membuat Naruto tersentak. Ia menoleh ke depan di mana Itachi tengah membawa semangkuk ramen yang mengepul panas.

"Itachi! Kau mengagetkanku!"

"Salahmu. Melamun sambil berdiri begitu. Aku 'kan sudah menyuruhmu menunggu di ruang tengah."

Naruto tak menjawab. Ia hanya melangkahkan kakinya menuju ruangan tersebut dan diikuti oleh Itachi.

"Mau kusuapi?" tawar Itachi setelah mereka terduduk di sofa.

"Dengan senang hati." Naruto menyahut cepat seraya tersenyum kecil.

Mereka larut dalam perbincangan ringan disela-sela memakan semangkuk ramen itu. Itachi tertawa melihat mulut Naruto yang penuh oleh mie namun berusaha untuk berbicara.

"Telan dulu, Naru."

Naruto menurut. Ia menelan ramen itu dengan cepat sebelum menunjuk bibir serta pipi kiri Itachi yang sedikit memar. "Kau terluka? Kenapa aku baru melihatnya?"

Itachi hanya diam saat jemari halus Naruto mengusap daerah itu dengan hati-hati. "Ini bukan apa-apa, Naru," ujarnya, tenang.

Naruto lagi-lagi melamun. Luka di wajah Itachi seperti luka yang pernah ia buat juga di wajah Sasuke. Ia pernah menampar Sasuke sangat kuat saat pertama kali dirinya mengetahui Sasuke bercumbu dengan wanita lain. Tapi setelahnya, ia malah mengobati luka itu.

"Mau kuobati?" tanya Naruto tiba-tiba, membuat Itachi mendengkus geli.

"Tidak perlu. Ini bukan luka besar."

"Tapi, itu terlihat sakit. Apa kau berkelahi? Dengan siapa?"

Itachi diam sebentar sebelum mengangguk pelan. "Hn. Aku terlibat perkelahian di kantor bersama rekan kerja." Tak ada pilihan selain berbohong. Tidak mungkin dia jujur pada gadis ini bahwa luka tersebut bersebab tamparan Fugaku.

"Tumben sekali. Sejak kapan seorang Itachi mudah terpancing emosi begitu, huh?" Tiba-tiba Naruto merebahkan diri di sofa dengan paha Itachi yang menjadi bantalnya. "Ah, pahamu empuk. Aku jadi mengantuk," ucapnya sedikit bergurau.

Sikap Naruto yang seperti ini membuat Itachi amat terkejut.

Tch! Gadis ini sedang menggodaku atau apa!?

Itachi memperhatikan tubuh mungil Naruto yang bergelung hangat di sofa. "Naru," panggilnya tegas, melupakan obrolan sebelumnya.

"Hm?" Naruto menyahutnya dengan gumaman tak jelas. Posisinya masih memunggungi Itachi.

Itachi menghela napas kasar seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Jangan seperti ini."

Ucapan ambigu itu membuat Naruto mengernyit lalu memandangnya heran. "Maksudmu?"

"Kau tidak takut?"

Lagi-lagi Itachi mengeluarkan pertanyaan yang terasa ambigu bagi Naruto.

"Aku tidak mengerti apa maksud Itachi."

Itachi menjauhkan tangan, membuat matanya langsung menatap pada iris biru di bawah sana. "Lihatlah. Bajumu ... posisimu ...." Itachi berdecak kesal. Gemas akan kepolosan sang gadis. "Apa kau tidak takut aku menyerangmu?" tegasnya lagi dengan penekanan di akhir kalimat.


Naruto yang baru paham maksud Itachi hanya menatapnya dalam diam selama hampir satu menit sebelum sebelah tangannya terangkat, mengelus rahang Itachi.  "Kenapa harus takut? Aku 'kan sudah bilang, aku percaya padamu." Dia tersenyum, membuat Itachi semakin gemas ingin menggigitnya saat itu juga. "Itachi tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyakitiku," lanjutnya seraya kembali berbalik posisi badan, memunggungi Itachi.

Itachi menatapnya tanpa berkedip selama keheningan terus menyelimuti mereka. Namun, tak lama, Itachi membalikan tubuh mungil itu dan dilihatnya Naruto sudah tertidur sangat lelap diiringi dengkuran halus.

Perlahan, Itachi mengelus sebelah pipi Naruto yang terasa begitu kenyal dan halus. Dulu, sebelum menikah dengan Sasuke, gadis ini selalu mengandalkannya, selalu meminta apapun pada dirinya, bahkan untuk hal-hal kecil saja Naruto selalu mengadu dan meminta pada Itachi.

Betapa manjanya Naruto kepada Itachi. Dan Itachi sama sekali tidak keberatan. Itachi senang bisa selalu ada untuknya. Sampai akhirnya, hati Itachi harus dibuat patah serta nyaris hancur berkeping kala mengetahui kabar pernikahan Naruto dengan sang adik. Itachi kecewa. Itachi terluka. Tetapi, tak ada yang bisa Itachi lakukan karena pernikahan tersebut rupanya keinginan kedua belah pihak sebelum Itachi tahu bahwa Sasuke sama sekali tidak mencintai wanita yang telah dinikahinya.

Itachi memang marah ketika tahu pernikahan mereka. Namun, Itachi lebih marah kala mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang perasaan serta perlakuan sang adik kepada Naruto.

Itachi menghela napas seraya kembali mengelus pipi dan dahi Naruto. Dia tahu, pernikahan Sasuke dan Naruto sudah berjalan hampir satu tahun penuh. Dan jika boleh jujur, sampai saat ini Itachi tak melihat perubahan yang signifikan dari Naruto setelah berumah tangga. Naruto tetap terlihat polos dan lugu. Terutama melihat sikap Naruto kepada dirinya yang sekarang, sangat seenaknya tanpa berpikir panjang.

Kau belum benar-benar dewasa, Naru.
Bagiku, kau tetap masih terlihat seperti gadis kecil yang selalu butuh sandaran, selalu butuh untuk diarahkan.
Kau memang selalu tegar menghadapi setiap masalah. Tetapi, sebenarnya kau tidak sekuat itu. Kau rapuh. Sangat rapuh.

Aku tidak mengerti mengapa kau sangat mencintai pria yang sama sekali tak menyukaimu dan memaksakan membina rumah tangga yang tak sesuai impian.
Tetapi, seharusnya kau sadar ... pundak kecilmu tidak pantas mengemban masalah sebesar ini.

Sebelah tangan Itachi yang semula mengelus pipi Naruto kini beralih dengan menyentuh bahu sang gadis sebelum detik selanjutnya disusul oleh satu tangan lain yang merayapi lengan Naruto kemudian berhenti di jemari lentiknya. Menggenggam jemari mungil itu dan meremasnya lembut.

Itachi semakin membungkukan badan, merendahkan kepalanya. Dan saat wajah mereka sudah begitu dekat dengan jarak sekitar beberapa sentimeter lagi, remasan pada tangan Naruto semakin gencar Itachi lakukan sampai bibirnya benar-benar menyentuh bibir lembut di bawah sana.

Maaf, Naruto. Bagaimanapun, aku ini pria normal.

.
.
.
TBC ...
.
.
.
Bandung, 31 / Mei / 2018
Revisi, 29 / Januari / 2022
H.D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro