Bab. 13 - Serpihan Sesal
Bab. XIII - Serpihan Sesal
RAMBUT merah muda yang biasa tergerai panjang dengan sebuah bandana yang menghiasi, kini hanya menjadi sebatas bahu dan bandana itu pun tergantikan oleh dua buah jepit kecil.
"Huh." Sakura mendengkus pelan saat menatap pantulan dirinya melalui cermin besar, terutama kala melihat gaya rambutnya yang sekarang. Entah mengapa akhir-akhir ini dia selalu merasa gerah dengan rambut panjangnya. Tidak nyaman. Maka dari itu Sakura lebih memilih memotongnya. "Semoga Sasuke suka dengan rambutku yang sekarang," gumamnya dengan seulas senyum.
Ia meraih ponsel kemudian berdecak kesal karena tak ada satu pun panggilan yang masuk pada Sasuke. Sejak kemarin nomor pria itu tidak bisa dihubungi.
Sakura melempar ponselnya ke sembarang arah dengan raut wajah yang benar-benar murka. "Baiklah, Sasuke. Aku sudah cukup sabar."
💍
Kediaman Sasuke & Naruto, 09:45
Denyutan menyakitkan di kepala saat mencoba untuk membuka mata membuat Sasuke mengerutkan dahi begitu dalam.
"Ugh."
Kali ini bukan karena denyutan itu yang membuatnya meringis, namun Sasuke juga merasakan tubuhnya amat ngilu.
Kelopak mata Sasuke terbuka perlahan. Beberapa detik dia diam sebelum menyadari posisinya yang kini tengah terbaring di atas lantai dengan keadaan yang sangat kacau: kemeja yang hampir terlepas sepenuhnya, rambut yang sangat berantakan dan aroma dari minuman yang semalam menemani kini menusuk indra penciumannya.
Sasuke bangkit perlahan. Namun, saat dia akan mendudukkan diri di ranjang, sebuah benda kecil yang berkilau di atas meja karena pantulan cahaya matahari dari jendela kamar membuat Sasuke mematung untuk beberapa saat.
Salah satu lengan Sasuke terangkat, hendak meraih benda tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia kembali terdiam hingga lengannya pun hanya terapung di udara.
Sasuke menarik kembali lengannya diiringi helaan napas kasar.
💍
Ragu. Itulah yang Sasuke rasakan saat akan meraih knop dari pintu bercat coklat di hadapannya. Sudah dua jam berlalu sejak dia bangun, membersihkan tubuhnya dan selama itu juga dia tidak mendengar aktivitas apa pun yang menunjukkan keberadaan seorang wanita di rumah ini.
Sasuke tidak berani membuka pintu itu. Dia takut jika kamar itu benar-benar kosong: tak ada seorang wanita yang tengah dicarinya.
Namun, jika hanya diam tak memastikan, Sasuke juga tahu, tidak akan ada jawaban yang datang. Dan ...
... clik!
Benar saja, ketika Sasuke membuka pintu tersebut, hal pertama yang Sasuke lihat hanyalah kasur yang sudah tertata rapi seperti tak tersentuh.
Sasuke melangkah cepat memasukinya disertai sepasang oniks yang bergulir memindai ruangan. Sebenarnya tak butuh waktu lama untuk mencari seseorang di ruangan yang sesederhana itu. Tetapi, Sasuke enggan menerima kenyataan bahwa Naruto memang tidak ada di sana.
Memang tak ada yang aneh di kamar itu, semua barang di sana masih lengkap. Bahkan, beberapa barang kecil milik Naruto masih terpajang dengan apik. Namun, pintu lemari yang tidak tertutup rapat menarik perhatiannya. Dengan perlahan Sasuke membuka lemari tersebut untuk memastikan bahwa Naruto memang masih tinggal bersamanya. Tapi sayang sekali, lemari yang kosong, tak berisi apapun membuatnya terpaku. Tidak ada satu pun baju sang istri di sana. Naruto benar-benar sudah pergi meninggalkannya.
💍
Beberapa jam sebelumnya ...
Naruto berdiri, menatapnya dalam diam. Entah sudah berapa menit dia dalam posisi seperti ini dan menatap sang suami yang masih juga terlelap. Jujur, berat rasanya untuk meninggalkan orang yang dia cintai. Maka dari itu, Naruto ingin memuaskan diri dengan menatap wajah Sasuke sebelum benar-benar pergi. Karena mungkin, ini adalah terakhir kali dia bisa memandang paras rupawan itu.
Jika saja Sasuke tetap terlelap, mungkin saat ini Naruto masih berdiri di ambang pintu kamar dan menatapnya. Akan tetapi, melihat pergerakkan Sasuke dalam tidurnya membuat Naruto segera melangkah mundur sebelum berbalik badan dan dengan cepat meninggalkan kamar sang suami.
Sebisa mungkin Naruto tidak menimbulkan suara saat menutup pintu rumah dengan rapat. Dia meraih koper yang sebelumnya sudah dia letakkan di depan rumah.
Naruto melangkah perlahan menjauhi rumah tersebut. Namun, sebelum langkahnya benar-benar meninggalkan rumah, Naruto menyempatkan diri untuk menolehkan pandangan yang terakhir kalinya hanya demi menatap rumah yang selama hampir satu tahun ini dihuni oleh dirinya dan Sasuke.
Banyak hal yang sudah terjadi di rumah itu. Perdebatan, tangisan, amarah. Dan sontak saja Naruto teringat akan kejadian semalam. Dia mengelus syal merah yang saat ini sedang menutupi kiss mark. Ah, sebenarnya bukan kiss mark berwarna merah biasa, tapi tanda itu berwarna biru lebam: bite mark.
Naruto tersenyum miris. Kenapa tidak ada satu pun kesan bahagia selama ini? Seburuk itukah hubunganku dengan Sasuke?
Tiba-tiba saja sebuah bayangan yang terlintas dalam pikirannya membuat Naruto diam seketika sebelum embun hangat pun tergenang di pelupuk mata. Terus membendung, mendesak ingin keluar ...
... kelak, akan ada seorang wanita yang menggantikan posisiku di rumah itu. Seorang wanita yang akan menjadi pendamping hidup Sasuke. Seorang wanita yang akan menjadi ibu dari anak seorang pria yang aku cintai.
Ya, Sakura ... seorang wanita yang beruntung karena begitu dicintai oleh Sasuke. Kelak, Sakura lah yang akan menggantikan posisiku. Sakura yang akan membuat sarapan setiap pagi, yang akan memasak makan siang dan malam untuk Sasuke serta anak-anak mereka.
Sakura yang akan menemani tidurnya dalam status yang sakral setelah pengucapan janji suci pernikahan mereka.
Foto pernikahanku dan Sasuke di dalam sana juga akan tergantikan oleh foto pernikahannya dengan Sakura kelak. Dalam foto itu ... aku yakin, bibir Sasuke akan melengkung membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang amat bahagia. Rumah itu akan terisi oleh tawa dan canda, bukan lagi air mata atau pun sebuah amarah. Rumah itu akan terasa sangat hangat karena kebahagiaan yang menyelimutinya.
" .... " Lengan Naruto terangkat untuk mengusap sudut mata, menghapus butiran bening yang siap pecah.
"Selamat tinggal, Sasuke ..."
... dan selamat menempuh hidup baru.
💍
Otsusuki Bistro, 10:20
"Naruto?" Toneri memandang bingung pada wanita di hadapannya yang tengah membawa dua buah koper besar. "Bukankah hari ini kau libur? Kenapa kau ke sini?" Pria pemilik surai putih itu bertanya dengan hati-hati. Pertanyaannya memang terdengar seolah Naruto tidak boleh mengunjungi bistronya, tapi sungguh bukan itu maksud Toneri.
"Boleh aku meminta waktumu sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu."
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Toneri bertanya setelah mempersilakan Naruto memasuki bistro dan duduk di salah satu kursi.
" .... " Naruto diam sebentar sebelum menyesap kapucino yang baru saja Toneri bawakan. "Maaf sebelumnya, tapi mungkin untuk sementara waktu aku tidak bisa bekerja."
"Kenapa?" Suara Toneri sedikit tercekat. Berat rasanya menanyakan alasan wanita itu yang memutuskan untuk berhenti bekerja bersamanya, walau Naruto bilang hanya sementara. "Apa bayarannya kurang? Atau kau kurang nyaman bekerja di sini?"
Naruto terkesiap. "Tidak. Tidak." Dia mengibaskan tangannya dengan cepat seraya tersenyum kecil. "Bayaran atas pekerjaanku itu sangat setara. Aku tidak merasa kurang. Dan aku juga nyaman ... sangat nyaman selama hampir tiga tahun ini bekerja bersamamu."
"Hm. Lalu, apa alasannya?"
"Aku sedang ada sedikit masalah yang mungkin akan mengganggu pekerjaanku."
" .... "
"Ah, kau bisa mencari koki baru untuk menggantikan posisiku. Aku tidak keberatan. Toh, aku juga tidak pasti akan kembali bekerja di sini."
Mendengar itu Toneri tersenyum. "Tenang saja. Bistro ini akan selalu terbuka untukmu. Kembalilah kesini kapan pun kau butuh pekerjaan."
Naruto tersenyum senang. "Benarkah? Terima kasih, Toneri. Aku beruntung memiliki teman sepertimu."
Teman? Tidak bisa lebih, ya?
Toneri berdeham satu kali untuk membuyarkan pikiran kacaunya. "Naru, kau membawa dua koper besar untuk apa? Kau mau pergi?"
"E-eh?" Naruto bingung harus menjawab bagaimana. Dan Toneri yang menyadari kegelisahan wanita itu hanya bisa memaklumi.
"Tidak perlu dijawab." Toneri tersenyum canggung. "Maaf sudah banyak bertanya."
" .... " Naruto hanya diam seraya mencengkeram mug dengan kedua tangannya. "Toneri."
"Hm?"
"Ini hanya permisalan." Naruto menatapnya serius. "Jika ada seseorang yang membohongimu selama hampir satu tahun lamanya, apakah kau akan kecewa?"
"Tidak perlu ditanyakan. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa menerima sebuah kenyataan pahit dengan mudah."
"Jadi maksudmu ... kau kecewa? Kau akan marah dan benci padanya? Kau tidak akan memaafkannya?"
"Kecewa dan marah itu pasti. Tidak ada orang yang tidak kecewa setelah dibohongi." Toneri menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. "Tapi, untuk membenci ... kurasa hal itu tergantung pada hal apa yang telah kita sembunyikan dari mereka. Jika hal itu masalah yang serius, kurasa wajar jika pada akhirnya orang yang kita bohongi membenci kita."
"Dan untuk memaafkan ..." Toneri diam sebentar, "... itu tergantung pada kebesaran hati masing-masing. Sama dengan berusaha menerima kenyataan pahit, memaafkan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan."
Naruto tertegun mendengar jawaban Toneri. Dia menundukkan pandangannya. "Begitu, ya."
Apakah mereka akan membenciku?
"Kurasa hanya itu yang ingin aku bicarakan." Naruto menegakkan kembali pandangannya dan tersenyum. "Terima kasih atas waktunya, Toneri. Semoga kita bisa bertemu lagi," tuturnya seraya bangkit berdiri dan menarik kedua koper. "Aku permisi."
"Hm, semoga saja." Toneri menyahut pelan lalu balas tersenyum. Pria itu menatap punggung kecil Naruto yang semakin menjauh sebelum tangannya mengangkat sebuah mug kapucino dan menyesapnya perlahan tepat di mana pinggiran mug itu menyentuh bibir Naruto tadi.
Hm, ciuman tidak langsung.
💍
Kediaman Uchiha, 13:00
"Itachi."
" .... "
"Ehem!" Wanita paruh baya dengan paras yang masih terbilang cantik di usianya itu berdeham satu kali untuk meminta perhatian sang anak sulungnya.
" .... " Namun, lagi-lagi pemuda di hadapannya hanya bergeming dengan tatapan kosong pada layar ponsel.
"Itachi!" Kali ini suara Mikoto naik satu oktaf.
Tubuh Itachi sedikit tersentak mendengar suara tinggi itu. Dia melirik ke samping di mana Mikoto menatapnya datar. "Ibu ...?" gumamnya kemudian.
Mikoto menghela napas kasar sebelum menyamakan posisinya dengan Itachi yang menatap awan biru lewat jendela besar di kamarnya. "Ibu memanggilmu sejak tadi."
"Ah maaf, aku tidak mendengarnya." Itachi menatapnya lembut. "Apa ada yang ingin Ibu bicarakan? Tidak biasanya Ibu--"
"Hanya ingin mengobrol layaknya ibu dan anak." Mikoto menyela cepat. "Apa tidak boleh? Selama ini kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Sedangkan Naruto dan Sasuke, mereka 'kan, sudah berumah tangga." Raut wajahnya berubah sendu. "Ibu jadi tidak punya teman untuk mengobrol lagi. Kalian sudah sibuk dengan kehidupan kalian masing-masing."
"I-ibu ..."
"Ah, ngomong-ngomong soal Sasuke ...." Mikoto lagi-lagi menyela perkataannya, ia memandang sang anak yang kini memiliki tinggi badan melebihi dirinya, bahkan Fugaku pun kalah. Itachi juga menatapnya dalam diam. "Ibu jarang melihat kalian bermain bersama lagi," lanjut Mikoto membuat Itachi tergelak seketika.
Pemuda itu tertawa hambar. "Kita sudah dewasa. Rasanya sudah tidak pantas untuk bermain-main seperti itu."
"Bu-bukan begitu maksud Ibu." Mikoto memijit keningnya, ia cukup bingung untuk mengatakan yang sebenarnya pada Itachi. "Tentu Ibu tahu kalau kalian sudah dewasa dan tidak pantas untuk bermain-main seperti dulu. Tapi, maksud Ibu ... Ibu hanya merasa jarak kalian semakin jauh."
"...." Itachi diam sebentar seolah enggan untuk mengatakan alasan yang pas demi membuat ibunya tidak berpikir macam-macam. "Sasuke sudah menikah. Dia sudah memiliki kehidupan yang baru. Wajar jika hubungan kami sebagai adik dan kakak juga menjadi berjarak." Akhirnya ia mengatakannya.
"Itulah!" Suara Mikoto berubah tegas. "Itulah yang selama ini membuat Ibu bingung. Sikapmu benar-benar berubah sejak pernikahan Sasuke." Mikoto memandangnya lekat. "Mungkin sekarang hubungan kalian memang terhalang oleh kesibukan masing-masing. Tapi, apa harus sampai tidak bertegur sapa?"
"Eh?"
"Jangan dikira Ibu tidak memperhatikan kalian, Itachi. Bahkan kalian tidak pernah saling melempar senyum setiap kali bertemu. Sejak pernikahan Naruto dan Sasuke, memang banyak yang berubah ... termasuk hubungan kalian sebagai adik dan kakak."
" .... " Itachi tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa mengelak untuk hal ini.
"Apa kau marah karena Sasuke mendahuluimu dalam membangun rumah tangga?"
Itachi terkesiap. Sungguh, bukan itu masalah utama yang membuat sikapnya berubah. Ah, tapi Itachi tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada sang Ibu. "Aku tidak pernah marah akan hal itu."
"Lalu?" Mikoto masih menatap Itachi yang kini mengalihkan pandangannya ke depan, "Kenapa kau tidak terlihat bahagia atas pernikahan adikmu?"
Apakah ada orang yang bahagia jika melihat orang yang dicintainya bersanding di altar pernikahan bersama orang lain?
Ibu ... aku selalu berusaha untuk turut bahagia atas pernikahan mereka. Tapi tetap tak bisa, karena yang Sasuke nikahi itu adalah wanita yang amat aku cintai.
"Ibu, boleh aku bertanya ...?"
Mikoto menukikan alisnya, bingung. Jelas sekali bahwa Itachi mengalihkan pembicaraan. Namun tak ayal, ia menjawab juga. "Apa itu?"
"Jika seandainya dia terlepas dari sebuah ikatan. Bolehkah dia bersamaku ...? Bolehkah aku membuat dia tersenyum ...?"
"Eh? Dia? Siapa? Apa maksudmu, Itachi?"
"Naruto," jawab Itachi, pelan. "Bolehkah aku membuat dia bahagia ...? Aku ingin menghapus semua lukanya. Aku ingin menghapus air matanya. Aku ingin dia--"
"---!" Tiba-tiba Itachi terdiam. Bibirnya terkatup rapat saat tersadar pada apa yang tengah dibicarakannya. Hampir saja dia membongkar perasaannya sendiri terhadap wanita itu kepada sang ibu.
Itachi melirik ke samping, melihat sepasang oniks yang menatapnya tak percaya.
"I-Itachi ...."
"Ah, lupakan ucapanku barusan. Aku hanya asal bicara," sahut Itachi cepat seraya tersenyum kikuk. Namun tak lama, ia merasakan usapan lembut di pucuk kepalanya.
Mikoto tersenyum kecil dengan tangan yang masih mengusap pucuk kepala sang anak. "Tidak apa, Itachi. Ibu mengerti perasaanmu."
Eh? Jadi Ibu tidak marah jika Naruto bersamaku?
Hampir saja bibirnya mengukir senyum jika Mikoto tidak meneruskan perkataannya. "Kau merasa kehilangan adikmu, 'kan?" Mikoto tersenyum dengan kelopak mata yang menyipit. "Ibu paham, Naruto sudah kau anggap sebagai adikmu sendiri. Hampir setiap hari kalian menghabiskan waktu berdua, kau juga selalu memanjakannya."
Ibu tidak paham.
"Jadi, wajar saja jika kau merasa kehilangan dia karena pernikahan ini."
Sentuhan lembut Mikoto mendarat di bahu. "Tapi Itachi, bagaimana pun dia sudah menjadi istri dari adikmu. Kau harus bisa menerima-"
BRAK!
Bantingan keras dari pintu kamar yang dibuka membuat Itachi terlonjak kaget, begitu pun dengan Mikoto. Hampir saja Itachi membentak pelayan yang dengan tidak sopannya membuka pintu tanpa mengetuk ditambah dengan membantingnya, jika sang ibu tidak mendahuluinya, "Ada apa? Wajahmu panik. Apa terjadi sesuatu?"
Sang pelayan mengatur napasnya lebih dulu, mengembuskannya dengan teratur sebelum menjawab pertanyaan sang nyonya. "Di-di bawah ..." jawabnya terbata, "Di-di bawah ada wanita gila!"
Mikoto dan Itachi berjalan mendekat dengan kening yang berkerut bingung. "Wanita gila?" Mikoto membeo. "Siapa maksudmu? Katakan yang jelas, Matsuri!"
Pelayan wanita yang diketahui bernama Matsuri itu menggeleng cepat. "Sa-saya tidak tahu, Nyonya." Ia kembali diam sebentar, merasa ragu untuk memperjelas hal ini.
Nyonya Uchiha yang menyadari itu memandangnya tajam, Mikoto tahu gerak -gerik pelayan di hadapannya yang tengah menyembunyikan sesuatu. "Matsuri!"
Matsuri lagi-lagi mengambil napas yang dalam sebelum mengembuskannya dengan cepat.
"Begini ..."
Beberapa saat sebelumnya ...
Bunyi klakson sebuah mobil cukup membuat para pelayan serta penjaga di sana tersentak kaget.
"Matsuri, memangnya hari ini akan ada tamu? Kenapa Nyonya tidak memberitahu kita?" tanya salah seorang pelayan lain pada Matsuri yang tengah membersihkan halaman rumah.
Matsuri mengedikan bahu. "Entahlah. Aku juga tidak tahu."
Wajar mereka terheran-heran, pasalnya Mikoto atau siapa pun keluarga Uchiha akan memberitahu para pelayan jika akan ada tamu yang datang untuk menjamunya.
"Maaf, apakah sebelumnya Nona sudah ada janji dengan Nyonya Mikoto atau Tuan Fugaku?" tanya seorang pelayan pria.
"Tch." Wanita yang ada di dalam mobil putih itu berdecak jengkel. Apakah setiap tamu yang datang ke sini harus ada janji terlebih dahulu? Merepotkan! pikirnya kesal. "Aku sudah ada janji."
"Dengan siapa?"
"Bukan urusanmu," sahut si wanita dengan sangat ketus.
Pelayan pria itu menukikkan alisnya, namun kemudian dia tersenyum kecil, senyuman yang amat dipaksakan. "Tentu saja ini urusanku. Karena akulah yang bertanggungjawab atas hal ini."
Matsuri yang mendengar perdebatan kecil itu segera berjalan cepat menghampiri mereka. "Ada apa, Hayate?"
Hayate mendekatkan tubuhnya pada Matsuri untuk berbisik, "Wanita menyebalkan ini ingin masuk ke dalam, tapi ia tidak ada janji dengan siapa pun."
Matsuri mengangguk paham kemudian berjalan mendekati mobil putih itu dan berhenti di pintu yang tepat di mana wanita tersebut tengah duduk seraya menatapnya tajam.
"Cepat buka gerbangnya!"
"Maaf, Nona. Tapi, seseorang tidak bisa dengan sembarang masuk ke dalam tanpa ada janji terlebih dahulu dengan--"
"Aku sudah ada janji dengan Sasuke!"
"Huh?" Matsuri tersenyum canggung. "Begitu, ya. Tapi mohon maaf, Tuan muda Sasuke sudah tidak di sini. Beliau sudah menikah dan tinggal bersama istrinya di--"
"CUKUP!" Wanita dalam mobil itu membentaknya sebelum turun dan memandang Matsuri lebih tajam dari sebelumnya. "Aku tidak memintamu untuk menjelaskan hal itu!"
Hayate mengepalkan tangannya. Baru kali ini ada tamu yang membuatnya jengkel setengah mati. Sementara Matsuri dengan berani membalas pandangannya.
"Berani sekali kau menatapku begitu!" Wanita itu mendelik ganas seraya melipat tangannya dengan angkuh. "Dasar pelayan tidak beretika! Kau mau kubuat terusir dari sini!?"
Matsuri tertawa geli. Dia memasang tampang polos yang menyebalkan. "Terusir? Maksud Anda, saya dipecat?" Senyum sinis terukir di bibirnya. "Sayang sekali, tapi tidak ada alasan yang bisa membuat saya terusir dari sini."
Wanita di hadapannya semakin jengkel melihat Matsuri yang berani melawan. "Kau sudah memperlakukan seorang tamu dengan tidak sopan! Itu alasannya!"
"Tidak sopan?" Matsuri membeo. "Saya merasa tidak melakukan apa pun terhadap Anda. Jadi, di bagian mananya yang tidak sopan?"
"Sudah cukup!" Wanita itu merasa waktunya akan terbuang dengan sia-sia jika terus meladeni Matsuri. "Cepat buka gerbangnya! Aku mau masuk!"
"Tapi, Tuan muda Sasuke tidak ada di sini, Nona."
"Aku tahu!"
"Baik. Lalu untuk apa Anda masih di sini?"
"Karena aku ingin bertemu dengan orangtuanya!"
"Nyonya Mikoto dan Tuan Fugaku?" Matsuri menatapnya heran. "Bukankah Anda tidak ada janji dengan mereka?"
Wanita di hadapannya memijit kening, merasa semakin jengkel. "Aku tidak peduli! Aku hanya ingin bertemu keluarga Uchiha!"
"Boleh beritahu kami alasan yang jelas, mengapa Anda bersikeras ingin bertemu mereka?"
"Karena aku sedang mengandung anak Sasuke!"
"HUH!?" Matsuri dan Hayate menatapnya tak percaya.
Kali ini Hayate yang mendekati wanita itu. "Jangan bercanda dan jangan membuat masalah di sini. Sebaiknya Anda pergi!"
Hayate menarik tangan Matsuri untuk masuk ke dalam meninggalkan wanita tersebut. Namun, wanita di sana mengejarnya cepat, menahan gerbang yang akan tertutup rapat.
"Kalian tidak percaya!? Aku benar-benar sedang hamil! Aku mengandung anak Sasuke! Uchiha Sasuke!" teriaknya lantang, cukup membuat para pelayan yang berada di halaman sekitar tersentak kaget.
Matsuri benar-benar geram dengan tingkah wanita itu, dia kembali menatap wanita tersebut dengan jengkel. "Dengar ya, Nona sinting! Tuan muda Sasuke sudah menikah. Beliau sudah memiliki istri. Anda boleh saja menyukai atau mengaguminya, tapi ini sudah berlebihan!"
"Si-sinting!?" Wanita itu cukup kaget akan sikap pelayan yang berani menghinanya. "Berlebihan!?" beonya lagi. "Aku tidak berlebihan, Bodoh! Lihat perutku! Yang kukandung ini adalah anakku dan Sasuke!"
Matsuri menatap perutnya yang berbalut dress hijau tua. Sekilas memang tak begitu terlihat. Tapi, jika dipandang lebih teliti lagi, perutnya memang agak buncit.
Ah, paling itu isinya bantal kecil! Wanita ini hanya terlalu menyukai Tuan Sasuke, jadi dia memakai segala cara untuk bisa bersama Tuan muda!
"Sudah kubilang 'kan, kau ini hanya wanita sinting yang terobsesi pada Tuan muda Sasuke!"
"Minggir kau!" Wanita itu menabrak pundak Matsuri dengan kasar.
Hayate yang melihatnya segera menahan pergerakan wanita itu. "Mau apa kau!?"
"Sudah kukatakan berapa kali! Aku ingin bertemu dengan seseorang yang ada di dalam sana!"
"Matsuri! Cepat laporkan pada Nyonya! Ada wanita gila di sini!"
💍
Sepasang oniks Itachi terbelalak usai mendengar penjelasan Matsuri. Tanpa harus menyebutkan namanya pun, Itachi sudah tahu siapa wanita gila yang di maksud oleh Matsuri.
"I-Ibu ..." Itachi coba memanggil Mikoto yang terlihat syok akan penjelasan Matsuri. "Ibu!" Kali ini Itachi mencengkeram kedua bahu Mikoto, menatapnya lurus. "Ibu tak perlu khawatir akan hal ini. Biar aku yang mengurusnya."
Mikoto menyentuh tangan sang anak yang masih memegangi bahunya dengan kuat. "Tak perlu khawatir?" Wanita itu membeo. "Itachi! Ini bukan masalah sepele! Ibu harus menemui wania itu!"
"Tidak boleh!" Suara Itachi naik satu oktaf dan cukup membuat Mikoto memandangnya heran. Sebab, baru kali ini Itachi berseru setinggi itu padanya. "Ma-maaf." Menyadari hal tabu itu Itachi segera kembali menenangkan pikirannya. "Ibu diam di sini dan tenanglah. Wanita itu biar aku yang urus."
"Tapi, Ita--"
"Maaf menyela ucapanmu, Ibu. Tapi, wanita itu mungkin hanya salah satu penggemar Sasuke. Ibu tahu, 'kan? Saat itu juga pernah ada beberapa wanita yang seperti ini. Jadi, tenanglah. Ini bukan masalah besar," ucapnya berusaha meyakinkan sang ibu.
" .... " Mikoto hanya bisa bergeming di tempat saat Itachi memutuskan untuk segera menghampiri wanita itu tanpa menunggu jawabannya.
Mikoto tahu, dia amat paham akan kepopuleran kedua anaknya. Tak jarang beberapa wanita memang berani mendatangi kediamannya ini, melakukan apa saja demi bisa bersama dengan kedua putranya itu. Tapi, baru kali ini Mikoto dikejutkan oleh seorang wanita yang dengan gilanya mengaku dihamili oleh salah satu putranya, anak bungsu dia dan Fugaku: Uchiha Sasuke.
Keterlaluan. Jika wanita itu hanya seorang penggemar Sasuke, apa wanita itu sungguh tidak punya harga diri sampai-sampai mengaku dihamili demi bisa mendapatkan anakku!?
💍
Langkah Itachi berubah menjadi larian kecil saat iris hitamnya menangkap sosok Fugaku yang baru saja keluar dari ruang makan.
Sial! Jangan sampai ayah juga mengetahui hal ini!
Pria itu dengan tergesa menghampiri sumber keributan di depan rumahnya. Sungguh, Itachi amat mengenali wanita yang kini tengah ditahan pergerakannya oleh Hayate. Walau rambut wanita itu kini menjadi sebatas bahu, tak lagi panjang, namun Itachi tahu percis siapa wanita pemilik surai merah muda dengan sepasang bola mata beriris hijau tersebut.
"Tu-tuan muda Itachi," sahut Hayate saat melihat Itachi berjalan mendekat padanya.
Wanita yang kedua tangannya ditahan oleh Hayate, mengikuti arah pandang penjaga gerbang. Dan seketika itu juga iris hijaunya membulat, merasa tak percaya akan apa yang dilihatnya.
Dia laki-laki yang menamparku waktu itu, 'kan!? Sedang apa dia di sini!?
"Sakura."
Sakura tersenyum kecut. "Kau tahu namaku rupanya."
Itachi meraih pergelangan tangan Sakura dari genggaman Hayate dengan kasar. "Kau gila!? Mau apa kau ke sini!?"
Hayate dan beberapa pelayan sangat terkejut mendengar ucapan tuan muda mereka. Pasalnya, Itachi tak pernah bersikap atau berucap kasar pada seorang wanita. Dan sadar akan situasi yang tidak bagus, Hayate pun meminta para pelayan untuk bubar sebelum dia sendiri juga beranjak pergi dari sana.
"Ini bukan urusanmu, Bajingan!" Sakura benci orang ini. Dia adalah pria pertama yang berani berlaku kasar padanya. "Lepas! Aku ingin menemui ibu Sasuke!"
Itachi menyeringai. "Bukan urusanku?" beonya seraya semakin mempererat cengkeraman. "Sayang sekali, ibu Sasuke adalah ibuku juga. Jadi, ini juga urusanku."
"Apa?" Sakura bingung mendengar ucapan ambigu Itachi.
"Kau tidak tahu aku?" Itachi menatapnya sinis. "Sasuke adalah adikku. Jadi, kau sudah paham 'kan, siapa aku?"
Sakura terkejut bukan main. Dia mengigit bibir bawahnya dengan gelisah.
Sial! Sial! Sial!
Sungguh, dia menyesal sudah berkata kasar pada pria ini. "Ma-maafkan perkataan kasarku barusan," gumamnya terbata seraya merubah pandangan tajamnya pada Itachi menjadi lebih lembut.
Itachi mendenglus geli melihat perubahan sikap Sakura yang sangat signifikan setelah mengetahui siapa dirinya.
"Apa tujuanmu datang ke sini?" Itachi bertanya tanpa melepas cengkeraman.
"Meminta pertanggungjawaban Sasuke." Sakura menjawab cepat.
"Kau boleh saja menyukai adikku, tapi ini sudah keterlaluan! Di mana otakmu!? Apa kau tidak memiliki harga diri sampai-sampai mengaku dihamili olehnya!?"
"Apa maksudmu dengan keterlaluan?" Mata hijau Sakura mulai berkaca-kaca. "Seandainya kami tidak pernah tidur bersama. Seandainya dia tidak pernah menyentuhku. Aku juga tidak akan mengejarnya sejauh ini setelah dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami!"
Itachi pikir, malam itu wanita ini berbohong akan kehamilannya. Mungkin hanya akal-akalannya saja demi bisa bersama dengan Sasuke, begitu pikir Itachi. Tapi ...
"Ja-jadi, i-itu benar...?"
Tubuh Itachi menegang mendengar pertanyaan lirih dengan suara tercekat itu. Itachi membalikkan badan hanya untuk melihat Mikoto yang membelalakkan kedua matanya tak percaya. Sementara Fugaku masih dengan ekspresi datarnya yang sulit ditebak. Seingat Itachi, sang ayah tidak tahu masalah ini. Tapi, mengapa kepala keluarga Uchiha itu bisa berada di sini bersama sang istri?
"A-ayah."
"Aku sudah mendengarnya dari Matsuri. Jadi, hal itu benar?" Nada suara Fugaku memang terbilang biasa. Namun, kilat amarah tidak bisa Fugaku sembunyikan.
"Ayah. Ibu! Wanita itu berbohong! Kalian jangan mempercayainya!" ucap Itachi berusaha menutupi seraya berjalan mendekati sang ibu. "Sebaiknya kita masuk ke da--"
"Aku tidak berbohong!" Sakura berseru lantang, memotong ucapan Itachi. "Sasuke dan aku sudah menjalin hubungan hampir satu tahun, tepat dua bulan setelah pernikahannya dengan Naruto."
"SAKURA!" Itachi membentaknya, berharap wanita itu menghentikan ocehannya.
"Diamlah calon kakak ipar." Sakura menyeringai seraya berjalan mendekat pada mereka. "Mereka harus tahu yang sebenarnya."
Mikoto dan Fugaku hanya bisa diam mendengarkan penjelasan wanita itu, mulai dari hubungan Sasuke dan Naruto yang tidak harmonis, sampai pada kehamilannya yang sengaja dia sembunyikan selama tiga bulan ini. Itachi tidak tahu harus bagaimana, dia sudah tidak bisa menutupinya lagi. Bukan Itachi ingin menutupi kesalahan sang adik, pria itu hanya khawatir pada Naruto.
💍
"E-eh?!" Hayate panik bukan main saat melihat seorang wanita berjalan menuju ke arahnya. Ya, seorang wanita yang amat Hayate kenali.
Kening wanita itu berkerut dalam saat melihat mobil putih yang terparkir di luar gerbang mansion. Mobil tersebut benar-benar terasa sangat tidak asing baginya.
Hayate berdiri di depan gerbang, menahan sang wanita untuk tidak masuk ke dalam. "Se-selamat sore, Nona." Hayate tersenyum canggung. "Nona Naru terlihat manis seperti biasa, ya."
Naruto mengangkat sebelah alisnya, heran melihat tingkah Hayate yang tidak biasa. "Hayate, kau kenapa, sih? Kau aneh sekali hari ini." Dia berjalan mendekat seraya menarik kedua kopernya. "Permisi, aku mau masuk."
"No-nona tidak boleh masuk. Maaf." Hayate tahu dia tidak pantas melarang Naruto untuk masuk ke dalam, tapi Hayate hanya merasa dia tidak boleh membiarkan Naruto mengetahui sesuatu yang sedang terjadi di dalam sana.
Naruto semakin bingung melihat tingkah aneh penjaga gerbang ini. Namun, wanita itu tak mempedulikannya. Dia tetap memaksa Hayate untuk menyingkir dari hadapannya. Dan saat dia hendak mendorong gerbang itu, sebuah suara menghentikan pergerakannya.
"NARUTO!"
💍
Dua jam berlalu sejak terbangun, Sasuke tidak mendengar aktivitas apapun yang menunjukkan bahwa Naruto ada di rumah yang selama ini mereka huni.
Dan kini, Sasuke tengah berdiri terpaku di depan sebuah lemari yang kosong tak berisi. Tidak ada satu pun pakaian sang istri. Tanpa berlama-lama, Sasuke segera meraih ponselnya dalam saku celana, beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dari Sakura masuk memenuhi log panggilan. Akan tetapi, Sasuke sama sekali tidak peduli, dia hanya fokus mencari nomor seseorang yang harus dia hubungi saat ini.
"Sial!" Sasuke terus mengumpat saat nomor Naruto sama sekali tidak bisa dihubungi.
Mendudukkan diri di tepi ranjang, Sasuke menutup wajah dalam beberapa detik sebelum mengembuskan napas dengan kasar.
Sesuatu yang keras di dekat kakinya membuat Sasuke menundukkan wajah, menatap sebuah buku bersampul biru. Ia meraih buku tersebut sebelum melihatnya dengan teliti. Sama sekali tidak ada yang menarik dari buku itu, sampulnya pun polos tak bergambar atau bertuliskan sesuatu.
Namun, tepat saat dia akan menyimpan buku itu di atas meja, sesuatu jatuh dari celah sana. Sesuatu yang membuat hatinya tertohok: sebuah foto Naruto yang tengah tersenyum ceria dengan tubuh yang berbalut gaun pengantin.
Itu potongan foto pernikahan mereka.
Sasuke lantas membuka buku itu, tepat di mana potongan yang lain terselip di sana: foto dirinya yang tengah memakai tuksedo. Namun, di sana bukan hanya ada potongan foto, melainkan juga ada kertas kecil tipis berwarna emas bertuliskan: Premium Ticket. Tokyo Bay Night Cruise.
Dan di samping kertas serta potongan foto itu terdapat tulisan tangan yang terangkai menjadi beberapa kalimat. Sasuke membacanya dengan perlahan.
Minggu lalu Paman Fuga dan Bibi Miko datang ke sini, memberikan tiket ini untuk aku dan Sasuke berbulan madu. Aku tertawa miris memikirkannya. Apa yang mereka harapkan? Sasuke bahkan tidak pernah menyentuhku. Menganggap aku sebagai seorang istri pun tidak. Lembaran tiket ini tidak akan merubah keteguhan hatinya yang amat mencintai Sakura. Aku tahu, tidak akan ada gunanya aku menyimpan benda ini. Tapi ... aku selalu berharap akan ada keajaiban yang datang. Keajaiban yang membuat Sasuke menerimaku, mencintaiku. Ya, aku selalu menunggu keajaiban itu.
Di lihat dari tulisannya yang tidak rapi dan tinta dari bolpoin yang luntur, Sasuke yakin Naruto menangis saat menulisnya dalam lima bulan yang lalu.
Sungguh, kini seperti ada batu besar yang menghantam dada Sasuke, tepat di mana seseorang merasakan terluka, bahagia dan perasaan-perasaan lainnya. Tempat yang biasa disebut sebagai hati. Terasa sangat sesak dan menyakitkan.
Sasuke menyatukan potongan foto itu di dalam sana sebelum buku tersebut dia tutup dan genggam dengan kuat.
"Maaf. Naruto." Suara Sasuke sedikit serak. Sepasang oniksnya memandang nanar pada buku tersebut. "Maafkan aku."
Maaf.
Hanya satu kata itu yang saat ini mampu aku ucapkan.
Selama ini aku selalu menutup pintu hatiku untuknya. Aku selalu menutup mataku untuk melihatnya sebagai seorang istri. Perjuangan dan pengorbanannya selama ini tidak pernah aku pedulikan. Bahkan saat aku mulai memiliki rasa padanya pun, aku tetap mengelak. Aku tidak tahu, sudah berapa banyak luka yang aku beri padanya. Dan kini ... saat dia sudah benar-benar pergi. Penyesalan ini perlahan mulai terasa.
Ingat bahwa Naruto sudah tidak ada di sini, Sasuke pun segera keluar dari kamar lalu mengambil kunci mobil dan melajukannya menuju salah satu tempat yang kemungkinan besar adanya Naruto.
Awalnya Sasuke ingin mendatangi rumah sang ayah mertua. Tapi, karena jaraknya lebih jauh dari kediaman Uchiha, dia memutuskan untuk lebih dulu mendatangi rumah ibu dan ayahnya.
Tepat saat mobil Sasuke hampir sampai di sana, sebuah mobil putih yang terparkir di depan gerbang membuat tubuh Sasuke menegang seketika. Sasuke sangat mengenali mobil putih itu.
Ada apa ini!?
Sasuke benar-benar merasakan akan ada hal buruk terjadi.
Pandangan Sasuke beralih menatap seorang wanita yang tengah mencoba untuk membuka gerbang. Dan seketika itu juga dia segera menginjak rem, memberhentikan laju mobil sebelum turun dan berseru lantang.
"NARUTO!"
Baru saja sebelah kakinya hendak menginjak halaman mansion, panggilan dengan suara tinggi itu membuat Naruto menoleh ke belakang di mana Sasuke tengah berjalan cepat menuju ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini!?" Sasuke mencengkeram salah satu pergelangan tangan Naruto.
Naruto menepisnya dengan kasar. "Hanya ingin menyelesaikan sebuah masalah," jawabnya tegas seraya memalingkan wajahnya dari pandangan Sasuke dan segera mendorong gerbang itu agar lebih terbuka.
Itachi dan yang lain mengalihkan pandangannya pada gerbang yang terbuka lebar, menampilkan sosok seorang wanita sekaligus juga seorang pria yang menjadi tokoh utama dalam permasalahan ini.
Naruto tak bisa bergerak selama beberapa detik. Begitu pun dengan Sasuke. Melihat Sakura berada di sana membuat tubuh keduanya terpaku.
Naruto terus memutar otaknya, berusaha keras untuk mencerna apa yang sedang terjadi di sini. Namun, saat ia menatap sepasang oniks milik Itachi, sorot mata pria itu seolah mengatakan bahwa Mikoto dan Fugaku sudah tahu semuanya.
Naruto menundukkan wajah, dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri. Benar, seperti kata Itachi, cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya. Padahal aku sudah menguatkan tekad untuk menceritakan masalah yang sebenarnya pada keluarga ini sebelum orang lain yang menceritakannya. Tapi, rupanya aku terlambat. Bibi Mikoto dan Paman Fugaku sudah lebih dahulu tahu dari mulut orang lain.
" .... " Naruto tetap diam dengan wajah tertunduk. Dia sungguh bingung harus mengatakan apa. Sebab, mereka pun sudah tahu hal yang sebenarnya.
"Naruto." Panggilan dengan suara yang amat lirih itu membuat Naruto semakin enggan untuk menatap ke depan. "Ibu sudah tahu semuanya."
"Maaf," sahut Naruto tak kalah lirih. "Maafkan aku ... Ibu."
Mikoto sama sekali tak mempedulikan kedua pipinya yang telah basah karena cairan bening yang terus meluncur dengan bebasnya. "Apa itu benar?" Mikoto menggucang tubuh Naruto, melontarkan pertanyaan yang sama seperti pada Sakura sebelumnya. "Apa benar selama ini kalian selalu bersandiwara setiap di hadapan kami!?"
" .... " Naruto mengangguk pelan. Dia sudah tidak bisa menahan air matanya hingga yang kini dia lakukan hanyalah menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berharap tidak mengeluarkan isakan sedikit pun.
"Selama ini kau juga tahu bahwa Sasuke memiliki wanita lain, tepat dua bulan setelah pernikahan kalian. Itu ... benar?"
" .... " Lagi-lagi Naruto hanya mengangguk dengan tangisan yang tak kunjung berhenti. Tetapi, beberapa detik kemudian Naruto menegakkan pandangannya, menatap Mikoto yang juga menangisi kenyataan ini. "Maaf."
Sebelum Mikoto kembali bersuara, debaman langkah kaki membuat Naruto menoleh ke depan di mana Fugaku berjalan menuju ke arahnya dengan mata yang dipenuhi oleh kilatan amarah.
"MEMALUKAN!" Tangan kepala keluarga Uchiha itu terangkat saat sudah di hadapan Sasuke, siap untuk melayangkan tamparan telak. "APA AKU PERNAH MENDIDIKMU UNTUK MENJADI PRIA BERENGSEK!?"
Melihat itu Naruto segera mencegahnya. Mencekal lengan Fugaku, menahan pergerakan Fugaku dengan kedua tangannya yang bergetar. "Hentikan, Ayah." Naruto bisa melihat dengan jelas gurat kemarahan di wajah pria paruh baya itu. "Jangan menyakiti Sasuke. Di sini akulah yang salah."
Semua orang yang melihat dan mendengar itu tertegun, terkecuali Sakura, tentu saja.
Itachi menatapnya sendu. Bahkan, di saat seperti ini kau tetap membelanya.
"Apa maksudmu, Naru ...?" Mikoto menatapnya dengan kening yang sedikit berkerut bingung.
" .... " Naruto tidak lantas menjawab. Dia terlebih dahulu meraih lengan Mikoto dan Fugaku, menggenggamnya dengan kuat sebelum lututnya ia tekuk hingga membuat tubuhnya pun terduduk bersimpuh di atas rerumputan, tepat menghadap pada kedua kaki Mikoto dan Fugaku. "Maafkan aku, Ibu ... Ayah." Naruto menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Semua ini salahku. Aku yang memaksa Sasuke untuk menikahiku. Padahal, sejak awal aku tahu bahwa Sasuke tidak pernah mencintaiku. Bahkan, saat itu Sasuke meminta agar perjodohan kita dibatalkan." Suara Naruto benar-benar bergetar. Punggung kecilnya terguncang karena isakan yang tidak mereda. "Tapi, dengan keras kepala aku tetap menerima perjodohan ini. Membuatnya menderita karena aku mengikatnya dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah Sasuke inginkan."
"Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf karena baru menyadari bahwa pernikahan seharusnya dilakukan untuk dua orang yang saling mencintai."
"Sejak awal memang aku yang salah. Aku mohon maafkan aku."
Mikoto berbungkuk untuk menarik tubuh Naruto agar kembali berdiri tegap. "Sayang, Ibu yang seharusnya meminta maaf." Mikoto menangkup kedua pipi sang menantu, mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti. "Jika saja perjodohan itu tidak dilakukan, mungkin hidupmu tidak akan seperti ini. Maaf ... maafkan Ibu."
"Kenapa Ibu meminta maaf? Bukankah sudah aku katakan, akulah yang salah. Jika aku tidak menerima perjodohan ini, mungkin sekarang Sasuke sudah hidup bahagia bersama wanita pilihannya."
Melihat drama yang terjadi di depan matanya, Sakura mendengkus kasar dengan lengan yang terlipat angkuh di depan dada. "Hei, Naruto!" Sakura menatapnya sinis. "Jika kau ingin pergi, ya pergi saja. Tidak perlu membuat drama seperti ini."
"Siapa yang kau pikir akan pergi?" Mikoto menatapnya penuh kebencian. "JAGA BICARAMU! KAU YANG SEHARUSNYA PERGI DARI SINI!"
Sakura terkejut bukan main mendengar Mikoto berkata seperti itu padanya.
Sementara Naruto hanya menatapnya dengan pandangan kosong. "Tenanglah Ibu." Naruto mengalihkan pandangannya pada Mikoto. Dia memaksakan diri untuk tersenyum. "Toh, yang dikatakan Sakura itu benar."
"A-apa?"
"Aku memang akan pergi." Naruto memejamkan matanya sebentar sebelum melanjutkan. "Pergi dari kehidupan Sasuke. Sekarang dia tidak akan terikat lagi dalam pernikahan bersamaku. Aku akan membiarkannya hidup bahagia bersama wanita pilihannya."
"Ibu mengerti maksudku, 'kan ...?"
" .... "
Naruto menghela napas pelan. "Aku sudah mengurus surat perceraianku dengan Sasuke. Sasuke juga mungkin sudah menanda ta--"
"Aku sudah membakarnya." Sasuke menyahut cepat. Membuat bibir Naruto terkatup sesaat sebelum kembali mengucapkan kalimat yang membuat hati Sasuke terasa disayat pisau tak kasat mata.
"Aku tidak peduli." Naruto enggan memandang pria yang masih berstatus sebagai suaminya. "Aku akan tetap pergi."
"Na-Naruto." Mikoto bergumam lirih.
Naruto menatap sang ibu mertua lalu tersenyum kecil. Namun, tetesan air matanya tidak berkurang sedikit pun. "Aku benci melihat orang yang aku cintai bahagia dengan orang lain. Tapi, aku lebih benci melihat orang yang aku cintai tidak bahagia ketika bersamaku."
" .... "
"Maaf, Ibu ... aku akan tetap pergi. Tidak ada lagi alasan untuk aku bertahan bersamanya." Naruto mengalihkan pandangannya pada Fugaku. "Ayah ... Ibu ... aku sangat berterima kasih banyak atas semuanya. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan kalian. Kalian sudah seperti orangtuaku sendiri," ucapnya seraya melangkah mundur dengan perlahan. "Terima kasih dan selamat tinggal. Aku sangat menyayangi kalian," lanjutnya lirih sebelum benar-benar membalikkan badan dan pergi meninggalkan semua orang di sana yang menatapnya dalam diam.
" .... " Keheningan menyelimuti mereka. Terutama Sasuke, pria itu hanya bisa bergeming menatap kepergian Naruto. Serpihan-serpihan sesal semakin menyesakkan dadanya.
Itachi juga tidak bisa berbuat banyak. Dia merasa tidak boleh ikut campur dalam permasalahan ini. Akan tetapi, melihat Naruto yang pergi dengan keadaan seperti itu tentu tidak bisa membuat hatinya tenang hingga Itachi pun segera memasuki mobil, menyalakan mesin beroda empat itu sebelum melajukannya cepat dengan kilometer di atas rata-rata.
"Mikoto." Fugaku menatap nyalang pada sang anak bungsunya juga pada seorang wanita bersurai merah muda yang masih ada di sana. "Jangan biarkan kedua orang itu tetap di sini, sekali pun Naruto sudah pergi."
"Ibu benar-benar kecewa padamu, Sas!"
Sebenarnya tanpa mengatakan itu pun, Sasuke sudah paham, dia bisa melihat raut wajah Mikoto yang dipenuhi rasa kecewa juga amarah saat menatapnya.
Sementara Sakura tak mempedulikan perkataan Fugaku atau pun Mikoto. Dia hanya mendekati sang pria yang masih memandang kosong ke depan.
Bergelayut manja di lengan kiri Sasuke, itulah yang Sakura lakukan saat ini. "Aku sangat merindukanmu, Sasuke-kun." Sakura mengelus rahang tegas pria pujaan hatinya. "Sasuke-kun ... di mana pun itu, selama bersamamu, tidak masalah bagiku."
" .... "
"Coba lihat perutku, Sas." Sakura berseru senang. "Usaplah, sepertinya dia sangat ingin merasakan sentuhan papanya," lanjutnya disertai tawa kecil.
Sasuke masih menatap lurus ke depan, enggan memandang wanita yang kini tengah memandangnya penuh harap.
"Sas, Naruto sudah pergi. Kau sudah terbebas dari ikatan itu. Kita bisa memulai hidup ba--"
"DIAM!" Sasuke menatapnya dengan mata yang berkilat tajam. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah hidup bersamamu dan bayi itu!"
.
.
.
TBC ...
.
.
.
Catatan: Saya putuskan untuk tetap update di buku ini karena ternyata masih banyak yang tidak tahu kalau ceritanya sudah alih buku juga kasihan pada pembaca yang sudah simak sampai chap 12 harus menunggu lama. Jadi, kalau mau baca dengan daftar bab yang berurutan, kalian bisa buka di buku yang satunya ya. Tapi, kalau masih mau baca di sini silakan dilihat dulu baik-baik nomor bab-nya sebelum membaca supaya tidak bingung. (:
.
.
.
Bandung, 24 Mei 2018
H.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro