Bab. 10 - Memeluk Bulan
Author's Note : Fic ini HANYA terbit di WATTPAD atas nama Hana Dwinov, di FFN sudah saya HAPUS.
-----------
Bab. X - Memeluk Bulan
PAGI ini seperti pagi-pagi biasanya, Naruto terbangun lebih awal dari sang suami. Dia juga mengerjakan rutinitasnya; mencuci baju, mengepel dan memasak. Ah iya, karena hari ini bahan-bahan di dapur sudah habis, Naruto pun dengan alakadarnya hanya memasak nasi goreng.
Derit kursi yang digeser mengalihkan atensi Naruto. Dia melirik ke depan, menatap sebentar pada Sasuke yang duduk di salah satu kursi meja makan dengan penampilan yang sudah rapi, siap pergi ke kantor. Pria itu membuka laptop, mungkin membaca laporan penting atau apa lah, Naruto tak tahu dan tak mau tahu.
Dalam kegiatannya, Sasuke sesekali melirik sang istri yang menata gelas di atas meja. Dia sadar, Naruto memang melakukan aktivitasnya seperti biasa. Namun meski begitu, Sasuke merasa ada yang tidak biasa di pagi ini. Sasuke merasa ada yang kurang dari sang istri.
Sapaan.
Ya, Naruto tidak menyapanya sejak tadi. Bukan, bukan Sasuke ingin. Sasuke hanya merasa aneh saja. Terlebih, Naruto juga tidak membangunkan dirinya saat tadi. Sungguh, ini adalah kali pertama Naruto tidak menyapanya.
Senyuman.
Untuk yang pertama kalinya juga Naruto tidak mengukir seulas senyum sejak tadi. Well, biasanya Naruto selalu melempar senyum kecil pada dirinya. Ya, meski dia tidak pernah membalas senyumannya itu. Tapi, tetap saja sikap Naruto yang berbeda ini sedikit mengganggu Sasuke jika boleh jujur.
Dia jadi lebih pendiam dan itu membuatku tidak nyaman.
Dapat Sasuke llihat, kini sang istri tengah mengucir rambut dengan cepat hingga hanya menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajah bulatnya. Setelahnya, Naruto duduk di sslah satu kursi meja makan, berseberangan dengan Sasuke. Tangan Naruto meraih piring kemudian mengisinya dengan nasi goreng yang baru saja dibuat. Mulanya, Sasuke pikir itu untuk dirinya, karena selama ini jika mereka makan bersama istrinya itu selalu mendahulukan dirinya Namun ...
Sasuke tertegun ketika melihat Naruto menyimpan piring yang sudah diisi nasi goreng itu bukan ditaruh di hadapan Sasuke, tapi di hadapan dirinya sendiri. Tak lama kemudian Naruto segera memakan nasi goreng tersebut dengan perlahan tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami.
Ini serius ...?
Naruto begitu santai memakan sarapannya dengan mata yang terfokus pada piring, seolah Sasuke tak ada di sana.
Tangan Sasuke terkepal sangat kuat. Dia menghela napas kasar saat merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya.
Sejak tadi dia tidak berbicara padaku. Ah, tidak. Tapi, jika diperhatikan lagi, dia bahkan tidak sedikit pun menatapku. Ada apa dengannya!?
"Cepat sarapan. Kau bisa terlambat ke kantor." Naruto berucap begitu datar, bahkan manik safirnya tidak sedikit pun melirik sang suami.
Setelah ucapannya itu, Naruto melenggang pergi meninggalkan Sasuke yang masih bergeming di meja makan.
Sungguh. Sikapnya yang seperti ini menjadi tanda tanya besar untuk Sasuke.
Sasuke menutup wajah menggunakan telapak tangan lalu menghela napas kasar. "Dia itu kenapa, sih ...?"
Sementara di dalam kamar, Naruto berdiri di dekat nakas yang terdapat sebuah bingkai foto pernikahannya dengan Sasuke. Jemari lentiknya menyentuh ujung bingkai itu sebelum menjatuhkannya, membuat foto dirinya dan Sasuke tertutup di atas meja.
Kedua tangan Naruto yang bertumpu di atas meja tampak sedikit bergetar, di sertai jemari yang mengepal sangat kuat.
Aku melakukan hal yang benar, 'kan?
💍
Kediaman Namikaze, 10:00
"Anda terlihat bahagia, Tuan."
Minato menoleh ke samping di mana Shizune tengah menatapnya seraya tersenyum.
"Hm." Minato mendengkus pelan. "Memang siapa sih, yang tidak bahagia melihat anaknya sudah menikah? Aku sebentar lagi akan menjadi seorang kakek!" serunya semangat.
" .... " Shizune terdiam beberapa detik sebelum mengukir senyum tipis, sangat tipis. "Memangnya Nona Naru sudah... hamil?" tanyanya hati-hati.
Minato tersentak kecil mendengarnya. Kemudian dia tertawa canggung. "Ah. Hahaha... katanya belum, sih."
"Tapi, tak apa. Aku bahagia atas pernikahannya." Minato kembali berseru senang.
Shizune memandangnya nanar.
Jika Tuan tahu yang sebenarnya. Apa Tuan akan tetap sebahagia ini melihat anakmu bersanding dengan pria itu? Apa Tuan akan tetap merestui pernikahannya?
Shizune menghela napas pelan sebelum berdiri di belakang Minato dan menyentuh kursi roda sang tuannya. "Sebaiknya kita segera ke dalam, cuaca hari ini sedikit tidak bagus," gumamnya seraya mendorong kursi roda itu menjauh dari halaman rumah.
"Ayah."
Panggilan itu membuat Shizune menghentikan langkahnya. Sementara Minato melirik ke belakang di mana sang anak tengah berjalan menuju ke arahnya seraya tersenyum lebar.
Shizune yang mengikuti arah pandang sang Tuan pun turut tersenyum lembut. "Selamat siang, Nona," sapanya seraya berbungkuk hormat saat Naruto sudah berada di hadapan mereka.
Naruto membalasnya dengan senyuman kecil sebelum merendahkan tubuh, mensejajarkan tingginya dengan kursi roda yang diduduki sang ayah. "Apa Ayah tidak merindukan Ibu?" tanyanya tiba-tiba.
Minato menatapnya heran. "Apa maksudmu? Setiap detik aku selalu merindukannya, kau tahu."
Naruto tertawa pelan. 'Kalau begitu, hari ini kita akan mengunjungi Ibu." Naruto menggenggam tangan sang ayah dengan erat. "Ayah sudah lama tidak mengunjunginya, bukan?"
💍
"Hai, Ibu." Naruto merendahkan tubuh, menjadikan lututnya sebagai tumpuan di atas tanah yang kering. "Coba lihat, dengan siapa aku datang," ucapnya seraya menoleh ke samping di mana Minato memandang sendu pada pusara.
"Kushina...." ucap Minato setelah tersadar dari lamunannya. "Sudah lama sekali, ya. Dua tahun tidak mengunjungimu. Kau pasti membenciku, 'kan?"
Naruto hanya diam bergeming, mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan oleh sang ayah, seolah Kushina memang sedang ada di sana, di hadapannya dan mendengarkannya.
"Tapi, tidak apa. Aku akan selalu mencintaimu. Sampai maut menjemputku, cinta ini tidak akan berubah." Minato menghela napas pelan. "Ah, apa kau tahu bahwa putri kita yang cantik ini sudah menikah?" Tangan Minato mengelus pucuk kepala Naruto penuh sayang.
"Dia menikah dengan Sasuke. Seorang pria tampan dan cerdas." Pria bersurai pirang itu tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangan dari pusara. "Kau pasti tahu dia. Karena sejak awal, kau 'kan yang menginginkan anak kita menikah dengan putra bungsu dari Mikoto dan Fugaku itu? Sekarang, apa kau sudah tenang? Kuharap kau turut bahagia atas pernikahan anak kita, karena aku pun begitu. Yah, meski kita berdua sama-sama tidak menyaksikan pernikahannya."
Minato menyandarkan punggung seraya menghela napas berat, manik birunya masih saja terfokus menatap pusara sang istri. "Tunggu aku, Kushina. Tidak lama lagi aku akan menyusulmu, menemanimu di sana."
Naruto tersentak mendengarnya. "Ayah!" Dia menatap tajam pada Minato. "Apa maksud ucapanmu barusan!? Ayah berniat meninggalkanku!?"
" .... " Minato terdiam sebentar, menatapnya tanpa berkedip, sebelum detik kemudian pria itu tertawa kering seraya mengelus sebelah pipi sang anak dengan lembut. "Lihat anak kita ini." Minato mecubit gemas hidung Naruto. "Dia begitu takut aku meninggalkannya. Hah... sayang sekali ya, Kushina. Aku tidak bisa menyusulmu lebih cepat, sepertinya aku harus menundanya dulu sampai putri kita siap."
"CUKUP AYAH!"
Minato cukup terkejut mendengar suara sang anak yang begitu tinggi. "Hei, aku hanya bercanda, Sayang."
Naruto segera memeluknya. "Sampai kapan pun aku tidak akan pernah siap. Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku!"
Sementara Minato hanya tersenyum simpul seraya balas memeluk sang anak.
"Ayah." Naruto melepas pelukan.
"Hm?"
"Apa pernikahan dilakukan oleh orang yang saling mencintai?"
"Huh? Itu tentu saja." Minato menatapnya lurus. "Jika tidak saling mencintai untuk apa menikah?"
" .... "
"Kau 'kan sudah menikah dengan pria yang kau cintai juga mencintaimu. Seharusnya kau lebih paham. Tapi, kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
"Tidak, hanya iseng," jawab Naruto pelan sebelum bangkit dan berdiri di belakang kursi roda sang ayah. "Kita pulang."
Minato mengelus pundak. "Basah?" gumamnya, "Apa hujan?" tanyanya kemudian seraya menatap pada langit yang memang sudah diselimuti awan gelap.
"Ya, hujan," jawab Naruto lirih.
Naruto menundukkan wajah dalam-dalam, membiarkan sungai kecil terlukis di kedua pipinya.
💍
"Kau mau pulang?"
Naruto tersenyum, memeluk orang yang sudah melontarkan pertanyaan itu. "Ya." Naruto melepas pelukannya. "Maaf ya, karena aku belum bisa lebih lama lagi di sini. Di rumah masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
Minato mengangguk pelan. "Hm, Ayah mengerti. Pulanglah."
"Sebelum itu, Shizune..." Naruto menghampiri Shizune yang tak jauh dari mereka berada. "Kau harus selalu memberi makan dan obat pada Ayah tepat waktu. Jangan biarkan dia telat makan atau tidak meminum obatnya walau hanya sekali. Jangan sampai juga Dokter Tsunade telat memeriksa kondisinya ke sini. Kau harus memperhatikan jadwalnya, mengerti?"
Shizune mengangguk sopan. "Saya mengerti, Nona," jawabnya sambil tersenyum.
"Ishhh." Minato mendengkus geli. "Kau tidak perlu sampai begitu, Sayang. Seolah-olah aku ini seorang anak kecil."
"Bukan begitu." Naruto memandangnya lekat seraya berjalan mendekat. "Aku hanya ingin kondisi Ayah cepat pulih. Aku tidak mau melihat Ayah terus seperti ini."
Minato mengecup kening Naruto cukup lama. "Aku beruntung memiliki anak sepertimu."
💍
Otsutsuki Bistro, 15:30
"Uhh." Naruto mengusap tengkuk dengan canggung. "Apa aku terlambat?"
Toneri mendengkus kasar. "Ha!?" Pria itu masih enggan memandangnya. "Tentu tidak, Nona Manis. Anda datang tepat waktu. Yeah, waktu menuju pulang," sarkasnya.
Naruto mengerucutkan bibir. "Tidak perlu menyindirku. Dasar."
"Dan kurasa kau juga tidak perlu bertanya seperti barusan."
"Eiii. Baiklah, maafkan aku, Toneri. Tadi aku bersama Ayah mengunjungi Ibu, makanya aku datang terlambat."
Toneri melipat lengannya dengan angkuh, memandang tajam pada Naruto. "Lalu, kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Apa?" Naruto tampak heran. "Kenapa aku harus memberitahumu?"
"Kenapa katamu? Tentu saja agar aku tidak mengkhawatirkanmu. Kau tahu, aku takut terjadi sesuatu padamu."
"Huh?"
Toneri tiba-tiba terpaku atas ucapannya sendiri. Namun, detik kemudian pria itu memasang tampang menyebalkan. "Lupakan," ketusnya seraya melepas topi koki yang sejak tadi melekat di kepalanya. "Lagi pula, mau apa kau ke sini? Setengah jam lagi juga bistro ini akan tutup. Tidak ada gunanya kau datang."
Naruto melotot mendengarnya. "Kau menyebalkan sekali, sih!" Naruto mendelik tajam. "Setidaknya aku masih ada niat untuk bekerja dan seharusnya kau berterima kasih karena aku masih mau datang ke sini."
"Hm, terserahlah." Toneri memainkan ponsel. Namun, matanya sesekali melirik ke arah wanita itu yang tengah terduduk manis di hadapannya. "Well, daripada kau tidak ada pekerjaan, bagaimana jika hari ini kau menemani aku belanja?"
"Belanja?" Naruto membeo. "Maksudmu, shopping, eh?"
Toneri tersenyum geli. "Tentu saja bukan shopping seperti wanita-wanita."
"Lalu?"
"Membeli bahan-bahan untuk di sini."
💍
"Terigu, telur, mentega..." Naruto bergumam seraya mengecek barang yang sudah dibawa Toneri dalam sebuah trolley cukup besar.
"Bagaimana? Apa yang kurang?" tanya Toneri.
"Umm... sayuran."
"Ah iya, ada beberapa sayuran yang sudah habis. Aku hampir saja lupa." Toneri menyahut seraya mendorong trolley itu menuju lorong sebelahnya, di mana terdapat berbagai macam sayuran.
Naruto mengikutinya dari belakang, dia menatap punggung lebar Toneri. Ini pertama kalinya mereka keluar bersama seperti ini.
"Toneri."
"Hm?" Pria bersurai putih itu menoleh ke belakang sebentar.
"Kenapa kau harus repot berbelanja seperti ini? Biasanya 'kan kau selalu membeli secara online?"
"Sedang ingin saja." Toneri menghentikan langkahnya. "Kenapa? Apa kau tidak suka menemaniku?"
"Tidak, tentu saja tidak. Aku senang bisa membantumu," Naruto menjawab cepat, membuat sudut bibir Toneri sedikit terangkat.
"Bagaimana jika setelah ini kita pergi ke kedai ramen favoritmu?"
"Naruto."
Panggilan itu menghentikan langkah keduanya, sekaligus membuat tawaran Toneri terabaikan. Naruto melirik ke belakang, begitu pun dengan Toneri.
"Ino...?" " gumam Naruto saat melihat orang yang baru saja memanggilnya.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Ino setelah berada di hadapannya.
"Memang apa yang dilakukan orang jika berada di super market? Tentu saja berbelanja."
Ino menunjuk Toneri. "Tidak. Maksudku, dengan pria ini?"
"Kenapa? Tidak boleh? Aku yang memintanya untuk menemaniku belanja. Bahan-bahan di bistroku sudah mulai menipis." Toneri menyahut cepat sebelum Naruto yang menjawab.
"Ah, tidak apa-apa."
"Kau sendirian? Di mana Sai?" tanya Naruto.
Ino tersenyum kecil, "Sai-kun tidak ikut, dia sedang mengunjungi pameran dengan temannya."
Naruto mengangguk paham. "Kalau begitu, bagaimana jika kau ikut dengan kami saja? Setelah ini kita akan ke kedai ramen" Naruto melirik Toneri. "Benarkan, Toneri?"
Toneri tersenyum canggung. "Errr... yeah. Kau boleh ikut jika mau."
"Woah!" Ino menangkupkan kedua tangannya dengan senang. "Benarkah? Kalau begitu aku ikut!"
💍
Ichiraku - Kedai Ramen, 17:45
"Kalian tunggu saja di sini, biar aku yang pesan," ucap Naruto setelah sampai di sebuah meja yang cukup besar, cukup untuk mereka bertiga.
Naruto melirik ke setiap sudut ruangan, banyak yang berubah di kedai tersebut, selain ukurannya yang jelas sedikit lebih luas, sekarang banyak hiasan-hiasan dinding yang terpajang elegan di sana. "Baru beberapa bulan tidak berkunjung ke sini, tapi sudah banyak yang berubah, ya," gumamnya sambil berlalu, langkahnya tertuju pada seorang gadis bersurai coklat yang tengah membawa nampan kosong.
"Halo, Ayame-chan."
Gadis itu menoleh, seketika senyumnya merekah saat melihat Naruto ada di hadapannya. "Naruto-chan!" Ayame memeluknya sangat erat. "Uh, aku sangat merindukanmu." Ia melepas pelukannya. "Kenapa baru ke sini lagi? Semenjak menikah, kau tidak pernah ya berkunjung ke sini. Kukira kau sudah lupa padaku."
Naruto tertawa kecil. "Maaf, aku menjadi sangat sibuk. Ah, aku pesan tiga porsi ramen ya, aku ada di meja nomor sembilan."
💍
"Sudah?" tanya Ino setelah Naruto kembali.
Naruto mengangguk, dia terduduk di samping Ino, tepat berhadapan dengan Toneri. Namun tak lama, Ayame -sang pemilik kedai- datang dengan nampan yang membawa tiga porsi ramen.
"Selamat menikma-- ehh?" ucapan Ayame terhenti kala menatap Toneri dan Ino. "Naruto-chan?" panggilnya pelan.
Naruto menatapnya heran, "Hm, kenapa?"
"Kukira kau datang bersama Sasuke-kun." bisik Ayame.
" .... " Naruto diam beberapa detik sebelum menjawab. "Tidak. Sasuke sedang sibuk. Dan mereka adalah temanku," jawabnya sambil tersenyum.
Ayame mengangguk paham. "Aku permisi. Terima kasih dan selamat menikmati," ujarnya pada ketiga orang di hadapannya seraya berbungkuk sopan.
"Dia membisikimu sesuatu?" tanya Ino penasaran, menyikut lengan Naruto.
"Bukan apa-apa. Ayo makan."
💍
"Terima kasih untuk hari ini." Toneri, si pria berparas tampan itu tersenyum.
"Seharusnya aku yang berkata begitu. Terima kasih karena sudah mentraktir kami." Naruto menyahut cepat sembari tertawa pelan.
Toneri lagi-lagi hanya tersenyum. "Tidak masalah selama itu membuatmu senang," ucapnya disertai kekehan kecil. Tanpa sadar, tangan Toneri terangkat, mengelus pucuk kepala Naruto dengan gerakan lembut. "Benar tidak mau kuantar pulang?"
"Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang dengan Ino."
"Baiklah kalau begitu, aku duluan," ucap Toneri seraya memasuki mobilnya.
Naruto menatapnya melalui jendela mobil yang terbuka lebar, dia melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Hati-hati, yaaa!"
"Naruto."
Istri dari Sasuke itu menoleh ke samping di mana Ino tengah tersenyum canggung. "Mau temani aku sebentar? Ada baju yang harus kubeli di butik itu." Ino menunjuk butik yang tak jauh dari mereka berada, hanya terhalang oleh jalan di sana. "Uh, itu pun jika kau tidak keberatan."
Cara Ino berbicara padanya masih kaku, mungkin karena masalah kemarin yang sempat membuat hubungan mereka merenggang. Dan Naruto tersenyum maklum. "Tentu saja. Ayo," ucapnya seraya menarik lengan Ino menuju butik itu.
"Oh ya Ino, dulu kau pernah bilang bahwa kau tidak pernah tahu di mana keberadaan orang tuamu, tapi kini Ayahmu tinggal bersamamu, 'kan? Bagaimana bisa kalian bertemu?" Naruto bertanya di tengah-tengah langkahnya.
Ino tersenyum. "Ceritanya panjang, tapi intinya dulu Ayahku meninggalkanku bukan karena tidak sayang padaku, namun karena dia mencari Ibuku yang pergi entah ke mana setelah melahirkanku. Ayah bilang sih, Ibu pergi bersama pria lain tapi sekarang Ayah sudah tidak peduli."
Naruto hanya mengangguk paham.
"Na-Na-Naruto." Tiba-tiba Ino bergumam dengan terbata seraya mencengkeram pergelangan tangan Naruto dengan kuat, membuat langkah wanita itu terhenti.
"Ada apa?" Naruto memandangnya heran.
"Uhh, itu... emm... sepertinya aku tidak jadi membeli baju di sana," ucap Ino dengan mata yang sesekali melirik ke arah butik itu.
"Apa? Kenapa? Tapi, kita hampir sampai."
"A-aku baru ingat kalau baju di butik itu tidak bagus. Modelnya kurang menarik."
"Kau kenapa, sih?" Naruto mengerutkan dahinya, bingung. "Tiba-tiba bersikap an--"
"Ino."
Suara familiar itu seketika membuat keduanya terdiam. Terutama Ino yang hanya bisa merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Sakura." Ino memandangnya sinis. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya kemudian. Sementara Naruto hanya memandang Sakura datar tanpa berucap apa-apa.
Wanita dengan surai merah muda itu tersenyum kecut, memandang Naruto dan Ino bergantian. "Apa kau tidak lihat?" Sakura mengangkat beberapa tas kertas dalam genggamannya. "Aku baru saja dibelikan baju oleh Sasuke-kun," ucapnya penuh penekanan. Sebelah lengannya yang bebas meraih lengan Sasuke, menggandengnya dengan sangat posesif.
" .... " Pandangan Naruto masih dingin pada keduanya, namun tangannya terkepal sangat kuat.
"Ah, sepertinya satu kantong lagi tertinggal." Sakura melirik kantong kertasnya yang hanya ada emoat. "Sasuke-kun, kau tunggu sebentar di sini. Aku mengambil barang yang tertinggal dulu," lanjutnya seraya mengecup pipi kiri Sasuke dengan mesra namun manik hijaunya melirik Naruto, memberi pandangan penuh kemenangan yang seolah berkata; dia hanya milikku!
"Cih, menyebalkan." Ino berdecih tak suka melihatnya. "Ayo kita pergi, Naruto." Ino meraih lengan Naruto, menariknya untuk menjauh dari sana.
Namun, sebelum Naruto melangkah pergi meninggalkan Sasuke yang masih berdiri tegap di sana, sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut pria Uchiha itu mau tak mau membuat langkah Naruto terhenti tepat di sampingnya. "Dari mana saja kau?"
" .... " Naruto terdiam sebentar, dia enggan memandang Sasuke sedikit pun. "Bukan urusanmu," jawabnya sambil berlalu meninggalkan Sasuke yang sedikit tertohok akan jawabannya. Pria Uchiha itu memandang kepergian sang istri dengan kedua tangan yang terkepal erat.
"Sasuke-kun," panggilan itu membuat tubuh Sasuke yang tegang jadi sedikit relaks. Sepasang oniksnya melirik ke samping, di mana Sakura sudah berdiri di sana dengan tas belanjaan yang bertambah banyak.
"Kau kenapa?" tanya Sakura seraya mengelus tangan Sasuke.
Sasuke mendengkus kasar. "Tidak. Ayo pulang," gumamnya sambil berlalu. Sementara Sakura hanya memandangnya heran sebelum akhirnya menyusul Sasuke yang sudah menunggunya di dalam mobil.
💍
"Naru." Ino memandangnya sendu. "Maaf, ini semua salahku. Jika tahu ada mereka, aku tidak akan membawamu ke sana."
"Apa? Kenapa minta maaf?" Naruto balas menatapnya. "Ini bukan salahmu, kau tidak perlu merasa bersalah begitu, Ino."
Ino menghela napas kemudian bangkit dari sofa yang ia duduki. "Tunggu sebentar ya, kubawakan minum."
Naruto mengangguk pelan. Selang tiga menit Ino datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silakan di minum." Ino menyodorkan satu gelas pada Naruto.
"Hm, terima kasih." Naruto menerimanya sembari tersenyum kecil, ia mulai menyesap teh itu, sedikit.
"Naruto." Ino duduk di sebelahnya. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa itu?"
"Sebelumnya aku minta maaf, bukan maksudku mencampuri urusanmu. Tapi, ada apa denganmu?" Ino menggenggam kedua tangan Naruto dengan lembut.
"Huh?"
Ino tahu, Naruto belum paham maksudnya.
"Sikapmu pada Sasuke tadi begitu berbeda. Kenapa? Ada apa denganmu?"
" .... " Naruto memandangnya lurus, namun bibirnya masih terkatup rapat.
"Tidak apa jika kau tidak mau bercerita. Aku hanya khawatir. Jangan memendamnya sendiri, kau bisa bercerita padaku. Yah, dulu aku memang pernah berkhianat padamu." Ino menghela napas pelan. "Wajar jika sekarang kau takut untuk bercerita. Tapi, sungguh, kali ini aku--"
"Berusaha menjauh," ucap Naruto tiba-tiba, membuat ocehan wanita di sampingnya terhenti.
"Apa?"
"Aku hanya sedang berusaha menjauh darinya." Naruto tersenyum kecut menanggapi ucapannya sendiri.
Ino mengernyit heran. "Tapi... kenapa?"
"Kau pikir mau sampai kapan aku terus mengejar hatinya yang semakin jauh...?"
Ino menyentuh bahunya. "Naru, kau menyerah? Apa sampai di sini saja perjuanganmu?"
Wanita pemilik manik sebiru lautan itu menundukkan pandangannya. "Sampai di sini saja... perjuanganku ...?" Naruto mengulang ucapan Ino, beberapa tetesan hangat membasahi kedua pahanya. "Ya, kurasa sampai di sini saja. Sudah cukup." Punggung Naruto tersentak kecil karena isakannya. "Aku sudah tidak sanggup lagi."
Ino tertegun mendengarnya, ia mengelus punggung Naruto penuh sayang, berharap isakan temannya itu mereda. "Tapi, apa alasannya? Aku tahu, kau mungkin sudah cukup lelah memperjuangkannya sendirian. Tapi, aku juga yakin... kau pasti memiliki alasan yang kuat, 'kan? Tidak mungkin kau tiba-tiba menyerah seperti ini."
Naruto mengusap kedua pipinya yang basah. Dia mulai menegakkan punggungnya, memandang kosong ke depan. "Semua ini demi kebahagiaannya," jawabnya lirih.
"Kebahagiaan?"
"Kau tahu... saat melihat kau dan Sai bersanding di pelaminan dengan begitu bahagia, seketika aku teringat sesuatu. Aku tidak melihat ekspresi yang sama di wajah Sasuke saat pernikahan kita."
Ino terdiam, mendengarkan dengan saksama setiap kalimat yang dilontarkan Naruto.
"Seketika itu juga aku tersadar bahwa Sasuke benar-benar tidak bahagia menikah denganku. Sasuke pasti sangat menderita hidup denganku, dengan orang yang tidak dicintainya. Aku sudah mengikatnya dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah sedikit pun ia inginkan. Aku hanya memikirkan perasaanku, tapi tidak memikirkan kebahagiaan Sasuke." Lagi-lagi air mata membentuk sungai kecil di kedua pipi Naruto. "Aku selalu berjuang untuk mendapatkan hatinya. Namun tetap saja... tetap saja aku tidak bisa, hatinya tetap jauh, aku tidak mampu mendapatkan cintanya, tidak mampu memiliki hatinya."
"Pernikahan itu harus dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, bukan? Sementara aku dan Sasuke, kami tidak memiliki perasaan yang sama."
"Naru ...." Tanpa Ino sadari, embun hangat tergenang di pelupuk matanya sendiri. Betapa ia merasa menjadi orang paling berengsek selama ini karena pernah berusaha untuk menghancurkan hidup Naruto, padahal kehidupan wanita itu sudah menderita lebih dari yang ia inginkan. Kenapa dahulu ia begitu bodoh karena pernah berniat untuk menyakitinya?
Isakan pilu Naruto mengisi kesunyian rumah Ino dan Sai. "Maka dari itu, kini aku menyerah. Berharap memiliki cintanya sama saja dengan berharap memeluk bulan. Sampai kapan pun tidak akan bisa. Tidak akan pernah bisa," lanjutnya lirih. "Seandainya Tuhan memberiku satu permintaan, maka aku akan meminta agar dia mencintaiku. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin memaksakan hatinya, aku tidak ingin dia terluka dan merasakan sakit karena berusaha mencintaiku."
Ino segera memeluknya sangat erat. "Maaf Naru, sebagai teman aku ini sangat payah. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untukmu. Tapi, aku akan terus berdo'a agar Tuhan memberikan yang terbaik untuk kalian berdua."
Naruto balas memeluknya. "Terima kasih, Ino." Manik birunya terpejam beberapa detik sebelum terbuka kembali dan mendapati Sai yang kini tengah berdiri di hadapan mereka.
"Ada apa ini? Sedang hujan air mata?"
Sai memandang keduanya kemudian tersenyum geli.
"Ah, kau sudah pulang," ucap Ino setelah melepas pelukannya dan mengusap air mata yang sempat membasahi kedua pipinya. Begitu pula dengan Naruto.
"Ya, aku baru saja sampai dan melihat pemandangan menyedihkan. Kenapa? Apa yang terjadi?" Sai menatapnya bergantian.
"Bukan apa-apa." Naruto menjawab cepat. "Kalau begitu, aku pamit. Ini sudah malam, aku harus pulang," lanjutnya seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Biar kita antar."
💍
Kediaman Sasuke & Naruto, 21:20
"Terima kasih ya, sudah mengantarku," ucap Naruto setelah turun dari mobil.
Sai tersenyum simpul, sementara Ino mengangguk pelan seraya melambaikan tangannya. "Jaa! Sampai bertemu lagi, Naru!"
"Jaa!" Naruto balas melambaikan tangannya sebelum melangkah menuju rumahnya. Ia melihat mobil Sasuke sudah terparkir apik di halaman rumah, pertanda sang suami sudah pulang dari kencannya.
Naruto menghela napas kasar sebelum mengangkat tangannya untuk mengetuk pelan pintu rumah itu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan seorang pria yang tengah memandangnya tajam.
Naruto meliriknya sebentar sebelum berjalan melewatinya. "Permisi," ucapnya datar, tanpa emosi.
"Dari mana saja kau?"
Naruto menghentikan langkah, masih membelakangi Sasuke yang berada di dekat pintu. "Huh, pertanyaan itu lagi?" Naruto mendengkus geli. "Sudah kukatakan tadi. Ini bukan urusanmu," lanjutnya sinis.
Sasuke menggeram rendah sebelum menutup pintu dengan kasar, kemudian berjalan cepat menghampiri Naruto, mencengkeram pergelangan tangan wanita itu sangat kuat. "Bukan urusanku?" Sasuke mengulang ucapan sang istri. "Setelah kau pergi dengan pria itu dan pulang malam seperti ini. Kau bilang bahwa ini bukan urusanku?"
"Apa?"
"Kau pikir aku tidak tahu, huh?" Rahang Sasuke mengeras. "Kau keluar dari kedai itu bersama seorang pria. Dia juga memperlalukanmu begitu lembut. Istri macam apa kau ini?"
Naruto memejamkan matanya, jengah. Hidungnya tampak merah. Dan saat kelopak matanya kembali terbuka, embun hangat yang menghiasi iris birunya membuat manik yang jernih itu mengeruh. Perkataan Sasuke benar-benar menggoreskan sebuah luka baru di hatinya.
"Seharusnya kau bertanya begitu pada dirimu sendiri." Naruto memandang sang suami dengan tajam. "Suami macam apa kau ini? Bermesraan bersama wanita lain di hadapanku dengan terang-terangan! Apa pernah kau berpikir bagaimana perasaanku!?" Suara Naruto sedikit meninggi.
" .... "
"APA KAU TAHU SUDAH BERAPA KALI HATI INI TERLUKA SETIAP KALI MELIHATMU BERSAMANYA!?" Kali ini Naruto berteriak begitu tinggi hingga tenggorokannya terasa sakit. Pandangannya semakin mengabur seiring bertambahnya cairan bening yang tergenang di pelupuk mata, perlahan cairan itu meluncur bebas di pipinya.
Sasuke tertegun. Genggamannya pada lengan Naruto pun sedikit melonggar.
"Sudah cukup." Naruto melepas cengkeraman Sasuke dengan kasar.
"Lalu kenapa sikapmu berubah?" Tiba-tiba Sasuke melontarkan pertanyaan yang ia sendiri juga tidak menduga.
"Kenapa kau mempertanyakan hal itu?" Bibir Naruto bergetar, dia mengigit bibir bawahnya sangat kuat untuk meredam isakan yang mungkin akan keluar. "Bukankah hal seperti ini yang kau inginkan? Kau ingin aku menjauh darimu, bukan? Kau ingin aku pergi dari kehidupanmu, bukan?" Napas Naruto tercekat seiring usahanya menahan tangisan yang siap pecah, matanya memandang nanar pada Sasuke. "Jadi, mari kita akhiri semuanya."
"Apa?"
💍
Beberapa jam sebelumnya ...
Sasuke yang masih terduduk di meja makan bisa melihat Naruto yang tengah merapikan jaket kemudian memakai tas kecil yang memang biasa dibawa wanita itu bila hendak pergi. Tak lama kemudian, Naruto melangkah keluar rumah, meninggalkan Sasuke yang masih terdiam kaku di sana.
Apa-apaan dia? Sekarang dia sudah berani pergi tanpa berbicara apa pun padaku!?
Tak ingin mood menjadi lebih buruk lagi di pagi itu, Sasuke segera mengambil tas laptop serta kunci mobil. Dan setelah berada di tengah jalan, melalui jendela mobil dia bisa melihat sang istri menaiki taksi.
Sasuke tahu, seharusnya dia segera pergi bekerja. Namun, dia malah lebih tertarik untuk mengikuti taksi yang dinaiki oleh Naruto. Entah mengapa dia sangat ingin tahu ke mana istrinya itu pergi. Dan jika boleh jujur, Sasuke sedikit takut serta cemas.
Akan tetapi, saat taksi berhenti di depan gerbang rumah yang tak asing baginya, Sasuke pun menghela napas lega. Dan ketika sudah melihat Naruto turun dari taksi itu serta memasuki gerbang di sana, Sasuke segera memutar balik mobil, menuju kampus di mana dia bekerja.
Bodoh. Kenapa aku harus mengikutinya?
Pertanyaan itu berputar terus dalam pikiran Sasuke, bahkan saat bekerja pun pikirannya tetap terganggu oleh berbagai macam pertanyaan. Mulai dari kenapa sikap Naruto yang menjadi aneh dan kenapa dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba seperti ini.
Lamunan Sasuke terusik kala ponselnya tak berhenti bergetar sejak tadi. Dengan terpaksa Sasuke meraihnya, menerima panggilan masuk itu setelah melihat nama kontak yang tertera. "Hn?" Dia menyahut malas.
"Hn. Nanti kujemput," jawab Sasuke pada seseorang di seberang sana setelah ocehan-ocehan yang orang itu ucapkan.
💍
Sasuke menjambak rambut dengan kuat lalu membenturkan kepala pada setir mobil. Sasuke sudah berjanji untuk tidak memikirkan Naruto, tapi kenapa sikap Naruto yang tiba-tiba aneh membuat pikiran Sasuke kembali penuh olehnya?
"Tsk." Sasuke berdecak kesal sebelum menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya menuju sebuah rumah, menjemput seseorang yang tadi menghubunginya.
Sasuke meraih ponsel saat sudah sampai di tempat tujuan, dia mengirim pesan singkat padanya bahwa dia sudah berada di depan rumah. Tak lama kemudian, wanita yang Sasuke tunggu pun keluar dengan tubuh yang dibalut dress hijau tanpa lengan.
Wanita itu tersenyum ceria saat sudah memasuki mobil. Sedang Sasuke hanya memandangnya sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke depan. Tangan wanita itu merayapi leher Sasuke, berhenti di tengkuk, lalu menariknya dengan lembut, membuat wajah Sasuke berhadapan dengannya. Tak sampai lima detik, dia mencium bibir Sasuke dengan mesra. Namun, Sasuke hanya membalasnya dengan kecupan singkat.
"Sebenarnya kita mau ke mana, Sakura?" tanya Sasuke setelah mengemudikan kembali mobilnya.
"Butik." Sakura menjawab cepat.
"Butik? Untuk apa kita ke sana?"
"Kau sendiri 'kan, yang berjanji akan membelikanku baju hari ini."
💍
Di dalam butik Sakura begitu semangat memilih baju yang menarik perhatiannya. Tapi, Sasuke tidak terlalu peduli seberapa banyak baju yang akan kekasihnya itu ambil atau yang akan dia bayar nanti. Pikiran Sasuke sudah terlalu kalut oleh hal-hal yang terjadi di antara dirinya dan Naruto.
Sasuke berjalan menuju kursi yang tersedia di sana, tepat berhadapan dengan kaca besar yang langsung menembus pandang pada jalanan di hadapannya. Baru beberapa menit dia menatap jalanan itu, tiba-tiba saja ada sebuah pandangan yang membuat jantung Sasuke terasa dihantam sangat kuat. Sepasang oniksnya membulat sempurna melihat tiga orang yang tengah berbincang di hadapan sebuah kedai ramen, satu pria bersurai putih dan dua wanita yang bersurai pirang namun memiliki warna manik yang berbeda.
Rahang Sasuke mengeras. Tangannya terkepal kuat saat melihat pria itu mengelus pucuk kepala salah satu wanita di sana. Ada rasa aneh yang kembali menyesakkan dada Sasuke, rasa yang sama saat kemarin dia melihat Itachi mencium Naruto.
"Sas."
"Sasuke."
"Sasuke!"
Sasuke tersentak saat Sakura memanggilnya dengan suara yang cukup tinggi. Dia lihat kekasihnya itu mengerucutkan bibirnya dengan kesal. "Aku memanggilmu sejak tadi." Sakura memutar tubuhnya di hadapan Sasuke, menunjukkan sebuah mini dress yang tengah dipakainya. "Lihat, cantik 'kan?"
"Hn." Sasuke bergumam samar menanggapinya. Dia dan Sakura segera menghampiri kasir sembari membawa beberapa baju yang sudah Sakura pilih.
Jantung Sasuke berdegup tak beraturan saat keluar dari butik dan mendapati Naruto yang tengah berbincang dengan Ino. Entah kenapa ada rasa khawatir jika sampai sang istri melihat dirinya dengan Sakura, tapi sialnya mobil dia berada tak jauh di tempat sang istri berdiri.
"Ino."
Sasuke mengumpat dalam hati saat Sakura memanggil nama temannya itu. Untuk apa, sih? Sepertinya dia sengaja sekali ingin Naruto melihat kami.
Dan benar saja, Naruto menoleh ke belakang begitu pun juga Ino yang memang sudah menatap Sakura sejak tadi. Sasuke dapat melihat wanita yang berstatus sebagai istrinya itu memandang dia dan Sakura dengan sinis.
"Sakura." Ino menyahut. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya ketus.
"Apa kau tidak lihat?" Sakura mengangkat tas belanjanya. "Aku baru saja dibelikan baju oleh Sasuke-kun," ucapnya seraya meraih sebelah lengan Sasuke, menggandengnya dengan erat.
Sasuke melirik Naruto yang masih terdiam, seperti tak berniat mengeluarkan sepatah kata pun untuk dirinya atau pun untuk Sakura. Namun pandangan istrinya itu masih sama seperti awal, begitu tajam dan menusuk.
"Ah, satu lagi tertinggal." Sakura melirik tas belanjaannya yang hanya ada empat. "Sasuke-kun, tunggu sebentar di sini aku mengambil barang yang tertinggal dulu," ucapnya diiringi kecupan singkat di pipi kiri Sasuke.
Sasuke mengernyit. Dia ini, benar-benar sengaja ya? Ingin membuat Naruto cemburu?
"Cih, menyebalkan." Ino menatap nyalang pada Sasuke dan Sakura yang sudah melenggang pergi. "Ayo Naruto, kita pergi."
Sasuke yang sudah tak tahan akan hal yang terjadi sejak tadi, akhirnya mengeluarkan sebuah pertanyaan yang membuat langkah Naruto terhenti di sampingnya. "Dari mana saja kau?"
" .... " Sasuke tidak meliriknya, namun dari ujung matanya dia bisa melihat Naruto mengatupkan rahangnya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaannya. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin. Setelahnya ia melangkah pergi meninggalkan Sasuke yang cukup tertohok akan jawabannya.
Benar, ada yang tidak beres dengannya. Kenapa dia? Padahal masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiranku, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Sasuke memandang punggung kecil sang istri yang semakin menjauh, kedua tangannya tampak terkepal erat.
"Sasuke-kun." Panggilan itu membuat tubuh Sasuke yang tegang jadi sedikit relaks. Sepasang oniksnya melirik ke samping di mana Sakura sudah berdiri dengan tas belanjaan yang bertambah banyak. "Kau kenapa?"
Sasuke hanya mendengkus kasar. "Tidak. Ayo pulang," jawabnya sambil berlalu.
💍
"Sayang ...." Sakura memeluk Sasuke dari belakang karena posisi Sasuke yang masih berdiri membelakanginya, menghadap jendela.
Sasuke membalikkan tubuh untuk menatapnya. Dia pun dapat melihat Sakura sudah berganti baju memakai piyama tidur yang sangat tipis, bahkan dia juga bisa melihat baju bagian dalam yang membalut area pribadi Sakura.
Sakura kembali memeluk Sasuke sangat erat, menyandarkan kepalanya di dada sang kekasih. "Terima kasih untuk hari ini," bisiknya pelan.
Sasuke balas memeluk. Pria itu berusaha fokus pada Sakura, tapi tetap saja bayangan Naruto terus menerus mengganggu pikirannya. "Hn," gumam Sasuke menanggapinya.
Sakura melepas pelukan, kemudian tersenyum menggoda. Jemarinya menari-nari di dada Sasuke. "Karena kau sudah membuatku senang..." Dia membuka kancing kemeja Sasuke satu persatu. "Maka malam ini aku akan memberi pelayanan spesial untukmu," lanjutnya memberi kecupan-kecupan singkat di dada Sasuke yang sudah terekspose sempurna.
" .... " Sasuke hanya memandangnya datar. Dia meraih tangan Sakura yang mulai nakal menyentuh bagian-bagian pribadinya. "Cukup, Sakura."
"Eh?"
"Aku tidak ma--"
Brukh!
Belum sempat Sasuke menyelesaikan ucapannya, Sakura mendorong dirinya hingga terjatuh, membuat tubuh Sasuke pun terbaring di atas lantai kamarnya. "Tidak ada penolakan, Tuan Uchiha," ucapnya seraya menduduki tubuh Sasuke.
"Turun, Sakura." Sasuke menahan pundaknya.
Sakura berdecak kecil sebelum menepis tangan Sasuke dengan cepat. "Diam dan nikmati saja, Sayang," ucapnya sembari mendekatkan wajahnya pada wajah sang kekasih.
Dia mulai menempelkan bibirnya pada bibir Sasuke. Awalnya hanya kecupan biasa, namun semakin lama kecupan itu berubah menjadi ciuman ganas, Sakura menghisap bibir bawah Sasuke dengan kuat, lidahnya mendorong-dorong celah bibir Sasuke, meminta Sasuke untuk membukanya. Tapi, tentu saja tidak Sasuke izinkan, pria itu malah mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Bukannya menyerah, wanita itu justru semakin gencar menggoda Sasuke.
Sasuke menggeram rendah. "Menyingkir dari tubuhku." Nada suara serta tatapan Sasuke pada sang kekasih mulai tampak tak menyenangkan.
"Apa?" Seolah tidak mendengar ucapan sang kekasih, Sakura kembali mendekatkan wajahnya pada leher Sasuke. Namun, sebelum dia menenggelamkan wajahnya di sana, Sasuke lebih dulu menahan pundaknya dan mendorongnya dengan kuat hingga wanita itu pun terjatuh dari tubuhnya, terduduk bersimpuh di atas lantai.
"KUBILANG CUKUP!" Bentak Sasuke seraya bangkit dengan cepat.
Mata hijau Sakura membulat sempurna. Bibirnya langsung terkatup rapat. Sasuke tahu, kekasihnya itu pasti syok karena dia tiba-tiba berseru tinggi padanya. Terlebih, baru kali ini dia 'menolaknya'. Namun, Sasuke tidak mempedulikannya, dia hanya segera merapikan kemeja dengan cepat.
Sakura mendekati Saduke yang sedang memasang kancing terakhir. Dia menyentuh pipi Sasuke dengan tangan bergetar. Bibirnya membentuk senyum kaku. "Sa-Sasuke," panggilnya terbata. "Jangan bercanda. Kau tidak pernah membentakku seperti ini."
" .... " Sasuke hanya menatapnya datar, tak berniat untuk menjawab.
"Kau pasti sedang bergurau, iya 'kan?"
Dengan bodohnya Sakura kembali menangkup kedua pipi Sasuke, menariknya untuk mendekat. "Sejak tadi kau lebih banyak diam. Aku menyadarinya, Sas. Pikiranmu sedang kacau. Kau juga menolakku. Kenapa? Ada apa denganmu?"
Sasuke memejamkan matanya. Ia merasa sangat jengah. Dan tiba-tiba Sakura menjauhkan tangannya dari pipi Sasuke, beralih mencengkeram kedua lengan pria itu. "Apa ada wanita lain sampai-sampai kau berani menolakku!?" Suaranya sedikit meninggi.
Kelopak mata Sasuke masih terpejam, namun kedua tangannya terkepal kuat hingga dia sendiri yakin bahwa kini buku jarinya pun memutih.
Wanita ini... benar-benar menguji kesabaranku!
"JAWAB SASUKE!" Sakura mengguncang-guncang tubuh si bungsu Uchiha dengan kuat. "JAWAB! APA ADA WANITA LA-!"
"BISAKAH KAU DIAM!?" Sasuke berteriak tak kalah keras darinya setelah melepaskan cengkeraman Sakura pada lengannya sehingga membuat wanita itu kembali jatuh terduduk.
Sakura menatap Sasuke dengan pandangan tak percaya. Sebab, selama ini Sasuke selalu memperlakukannya begitu lembut. Iris sehijau baru emerald itu terhiasi cairan bening. Lengannya yang bergetar kembali terangkat meraih ujung kemeja Sasuke. "A-ada apa denganmu...? Kenapa begini?"
Tak mempedulikan pertanyaan itu, Sasuke segera meraih jas serta kunci mobil. Namun, saat dia sudah hampir sampai di ambang pintu, tiba-tiba Sakura memeluknya dari belakang dengan kedua tangan yang bergetar. "Ti-tidak. Jangan pergi," gumamya disertai isakan kecil.
Sasuke berdecak kesal sebelum menjauhkan kedua tangan Sakura dengan kasar. Tanpa membalikkan tubuh untuk menatapnya, Sasuke segera melangkah cepat menuruni tangga menuju keluar.
Telinga Sasuke bisa mendengar teriakan Sakura yang memintanya kembali juga langkah kaki wanita itu yang mendekat. Namun, Sasuke tak mempedulikan, dia terus berjalan menuju mobil, menyalakan mesinnya dan segera meninggalkan rumah itu sekaligus meninggalkan Sakura juga.
Sasuke menutup pintu mobil dengan kasar saat sudah sampai di halaman rumah, kediaman dia dan Naruto. Sasuke tahu, istrinya itu pasti belum pulang karena kini kunci rumah ada padanya. Menurut Sasuke, seharusnya saat ini Naruto sudah ada di sini menunggunya, tapi tidak ada siapapun di kursi depan.
Cih, dia benar-benar menikmati kencan dengan pria tadi?
💍
Suara dari jarum jam yang bergulir serta suara dari televisi, mengisi kesunyian rumah. Sasuke sudah berganti baju memakai piyama tidur, kini dia tengah terduduk di sofa ruang tengah, menunggu kepulangan Naruto. Dia melirik jam dinding yang terpajang di ruangan. Waktu telah menunjukkan pukul 21:22.
Sudah larut malam begini, tapi dia belum pulang juga!?
Namun beberapa menit kemudian, ketukan halus di pintu utama membuat Sasuke bangkit dari sofa dan segera berjalan ke sumber suara. Dia membuka pintu itu dengan cepat dan mendapati Naruto tengah berdiri di sana. Sasuke memberi tatapan tajam, namun sang istri hanya memandangnya sekilas.
"Permisi," ucap Naruto datar sembari melewati Sasuke yang masih bergeming di tempatnya berpijak.
"Dari mana saja kau?"
Naruto menghentikan langkah, masih membelakangi Sasuke yang berada di dekat pintu. "Huh, pertanyaan itu lagi?" Naruto mendengkus geli, "Sudah kukatakan tadi. Ini bukan urusanmu," lanjutnya sinis.
Sasuke menggeram rendah sebelum menutup pintu dengan keras kemudian berjalan cepat menghampirinya. Dia mencengkeram pergelangan wanita itu sangat kuat. "Bukan urusanku?" Dia mengulang ucapan sang istri. "Setelah kau pergi dengan pria itu dan pulang malam seperti ini. Kau bilang bahwa ini bukan urusanku!?"
"Apa?"
"Kau pikir aku tidak tahu, huh?" Rahang Sasuke mengeras. "Kau keluar dari kedai itu bersama seorang pria. Dia juga memperlalukanmu begitu lembut. Istri macam apa kau ini!?"
Naruto memejamkan mata. Hidungnya tampak memerah. Dan saat kelopak matanya kembali terbuka, embun hangat yang menghiasi iris birunya membuat manik yang jernih itu mengeruh. "Seharusnya kau bertanya begitu pada dirimu sendiri." Dia memandang sang suami dengan tajam. "Suami macam apa kau ini? Bermesraan bersama wanita lain di hadapanku dengan terang-terangan! Apa pernah kau berpikir bagaimana perasaanku!?" Suara Naruto sedikit meninggi.
" .... "
"APA KAU TAHU SUDAH BERAPA KALI HATI INI TERLUKA SETIAP KALI MELIHATMU BERSAMANYA!?" Kali ini Naruto berteriak dengan begitu tinggi hingga Sasuke yakin bahwa tenggorokannya terasa sakit akibat suara yang dia keluarkan itu. Cairan bening terus tergenang di pelupuk mata, perlahan meluncur bebas di pipinya. Dia memandang Sasuke dengan tatapan yang amat terluka.
Sasuke tertegun mendengar penuturan tersebut, cengkeramannya pada lengan Naruto pun sedikit melonggar.
"Sudah cukup." Naruto melepas cengkeraman sang suami dengan kasar.
"Lalu kenapa sikapmu berubah?"
"Kenapa kau mempertanyakan hal itu?" Bibir Naruto bergetar, dia menggigit bibir bawahnya sangat kuat berusaha tuk meredam isakan. "Bukankah hal seperti ini yang kau inginkan? Kau ingin aku menjauh darimu, bukan? Kau ingin aku pergi dari kehidupanmu, bukan?" Napas Naruto tercekat seiring usahanya menahan tangisan yang siap pecah, matanya memandang Sasuke dengan nanar. "Jadi, mari kita akhiri semuanya."
"Apa?" Dada Sasuke berkali-kali lipat terasa sesak saat mendengar ucapan istrinya itu. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memperhatikan Naruto yang berlari kecil memasuki kamar.
Ini yang kuinginkan...?
Dia menjauh. Pergi dari hidupku.
Benar. Bukankah hal itu yang selalu kuinginkan selama ini?
Lalu kenapa... kenapa dadaku terasa sangat sesak saat Naruto berkata akan mengakhiri semuanya...?
Kenapa hanya perih yang bisa kurasakan saat mendengar penuturannya...?
Bukankah seharusnya aku senang...?
Lalu kenapa sekarang aku menjadi tidak terima dia menjauh dariku...?
"GAH!" Sasuke mencengkeram rambutnya dengan kuat. Kenapa semuanya menjadi rumit!?
💍
Setelah ucapan terakhirnya pada Sasuke, Naruto segera memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Dia bersandar di daun pintu hingga terduduk di sana.
"Maafkan aku, Sasuke." Di tengah isakannya, Naruto bergumam sendiri. "Mungkin sampai di sini saja."
Naruto menundukkan pandangan, menjadikan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan. Dia dapat melihat lantai di bawahnya basah akibat tetesan dari sungai kecil yang tak berhenti mengalir di kedua pipinya. "Cinta memang sudah selayaknya diperjuangkan. Namun, aku tidak sanggup jika harus terus berjuang sendirian." Tubuh Naruto tersentak kecil akibat isakan yang terus menjadi.
Dia menyandarkan kepalanya pada daun pintu. Matanya perlahan terpejam. Sedangkan lengannya perlahan memeluk tubuhnya sendiri.
Maafkan aku, Sasuke.
Aku memang menyayangimu. Mencintaimu. Tapi, takdirmu bukan bersamaku, kau bukan untukku. Jalan kita berbeda. Semua ini demi kebahagiaanmu dan dia.
Sakura, wanita itu sudah terlanjur bersamamu, sudah memiliki cintamu sepenuhnya. Sampai kapan pun kita tidak akan bisa saling mencintai.
Selama ini perjuanganku tidak membuahkan hasil apapun. Hatimu tetap jauh, jangankan untuk memiliki, untuk menyentuhnya saja aku tidak bisa. Maka dari itu, kini aku menyerah.
Karena berharap untuk bisa bersamamu bagaikan berharap memeluk bulan.
Kau bagai bulan dalam gelapnya malam. Aku hanya mampu menatapmu, mengagumimu dari jauh tanpa sanggup menyentuhnya.
.
.
.
TBC ...
-----
🌷 Kota Kembang, 22 April 2018
✍🏻 Hana Dwinov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro