Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXVII

Nero tidak menyukai posisinya saat ini. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia hanya mengikuti gadis di depannya dengan membabi buta dan mungkin itu akan berakhir langsung ke kematian mereka. Namun melihat Nona Cassia yang berjalan dengan kepercayaan diri seperti itu membuatnya kagum dan sedikit ngeri.

"Aku mengerti bahwa penjaga akan terlambat berada di posnya, tapi itu masih tidak menyelesaikan masalah kita tentang kunci." Nero mendesis dengan rendah, bahkan jika lorong yang mereka lewati sekarang sunyi, dia tidak ingin mengambil risiko seseorang memeriksa mereka. Mengacaukan misi penyelamatan yang sepertinya terlalu nekat.

"Aku sudah memikirkan ini, bahkan sebenarnya kita tidak harus berada di sana," ucap Cassia yang hanya membuat Nero lebih bingung.

"Apa maksudmu?"

"Kita tidak membutuhkan kunci jika kita memiliki sihir. Sederhana, mudah, tidak adil, tapi memang seperti itu."

Nero sama sekali tidak melewatkan kepahitan di suara Nona Cassia, kebenciannya terhadap sihir tidak dapat diabaikan. Mungkin bukan kebenciannya terhadap sihir tapi keinginan. Ketidakpuasan karena dia tidak memilikinya.

"Katakanlah kita berhasil mengeluarkan Griseo Pollux dari selnya, bagaimana kita akan membebaskan Nona Sabina?"

Sekali lagi gadis di depannya mengabaikan pertanyaannya, mereka terus berjalan hingga akhirnya mencapai pintu yang akan membawa mereka ke ruang bawah tanah. Nero bahkan tidak bisa mulai menebak bagaimana Nana Cassia mengetahui letaknya dengan tepat. Dia juga terkejut saat gadis itu membuka pintu kayu yang berat tanpa keraguan atau rasa takut sedikit pun. 

Apakah gadis di depannya pernah mengenal rasa takut? Atau mungkin menjadi Ivory berarti merasa ketakutan secara konstan sehingga tidak mungkin untuk menjadi lebih takut lagi?

Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi, gadis itu mulai menuruni anak tangga pertama. Nero baru saja akan mengikutinya saat gadis itu berbalik dengan begitu tiba-tiba. Hampir membuat Nero tersandung dan membuat mereka berdua jatuh menuruni anak tangga batu ke bawah sana.

"Kamu tetap," ucap Nona Cassia singkat, dan kemudian dia sudah berbalik. Nero segera meraihnya bahunya, menghentikan kemajuan gadis itu untuk menuruni tangga.

"Kamu tidak bisa turun ke sana sendirian," desis Nero marah, kesal, dan mungkin sedikit kagum pada keberanian yang sepertinya tidak pernah habis dari gadis ini.

"Tentu saja aku bisa, jangan khawatirkan aku. Aku benar-benar tahu apa yang aku lakukan. Sekarang jadilah berguna dengan tetap di sini dan cobalah untuk tidak terlalu menarik perhatian."

Nero menatap Nona Cassia dengan tidak percaya, gadis bahkan berani tersenyum kecil padanya sebelum melanjutkan langkahnya.

"Bagaimana jika penjaga dari shift sebelumnya masih ada di sana?" ucap Nero dengan suara rendah, itu menghentikan Nona Cassia dari anak tangga ke tiga dari atas.

"Aku akan mengurusnya."

"Bagaimana tepatnya kamu akan mengurusnya?" desis Nero dengan frustrasi, dia tidak pergi sejauh ini untuk gagal dan mati.

"Terkadang kata sederhana bisa membujuk lebih baik dari pada sihir," jawab Cassia dan dengan itu meninggalkan Nero di atas.

Berdiri di depan pintu tertutup Nero tumbuh semakin gelisah. Setiap beberapa detik sekali dia memeriksa lorong gelap yang ada di kedua sisinya. Jantungnya berdebar setiap kali mendengar langkah kaki yang cukup dekat. Namun, tidak ada yang pernah benar-benar muncul.

Detik berlalu menjadi menit dan Nero mulai mempertimbangkan untuk mendobrak pintu terbuka. Bagaimana jika gadis itu mati di sana? Nero ingin mengatakan bahwa dia tidak peduli jika Nona Cassia mati atau hidup tapi jauh di dalam hatinya yang membatu, Nero peduli. Dia tidak ingin gadis itu mati, bahkan setelah mengetahui kegilaan yang mampu dia buat. Nero masih tidak ingin gadis itu mati.

Kenapa? Kenapa kamu tidak ingin dia mati?

Pertanyaan itu bergema di kepalanya. Mengganggunya dengan intensitas yang begitu menyilaukan. Nero tidak berani memeriksa pikiran itu lebih jauh, takut dengan apa yang akan pikirannya temukan di balik semua perasaan campur aduk yang dia rasakan untuk Nona Cassia Salvius.

Menit lain berlalu dan bagian belakang leher Nero mulai menusuk dengan kecemasan. Dia melihat bolak-balik dari lorong di kedua sisinya dan pintu di belakangnya. Satu detik semuanya begitu tenang, dan detik berikutnya, dia mendengar Nona Cassia berteriak. Teror dalam suaranya tidak salah lagi.

Nero tidak lagi berpikir saat dia mendorong pintu terbuka dan melompati dua anak tangga sekaligus untuk mencapai ruang bawah tanah. Darahnya berubah menjadi dingin saat dia menyaksikan adegan di bawah sana dengan mata kepalanya sendiri.

Memar mulai terbentuk di pipi pucat Nona Cassia, sudut bibirnya robek dan mengeluarkan sedikit darah. Sementara tangan besar Griseo Pollux mencengkeram lehernya yang rapuh, satu sentakan sederhana. Hanya itu yang dibutuhkan Griseo Pollux untuk membunuhnya.

"Tolong," ucap Cassia dengan suara serak dan tercekik, air mata tumpah melalui kelopak matanya.

Mata biru pucat itu menatap Nero dengan penuh penderitaan. Napas pendek keluar dan masuk dengan berat melalui tenggorokannya yang tercekik.

"Lepaskan dia, dan aku akan membiarkan kamu pergi tanpa terluka," ucap Nero pada Griseo Pollux yang berwajah liar. Pria itu hanya tertawa dan menendang penjaga yang sekarang tergeletak di dekat kakinya. Nero tidak ingin tahu apakah Griseo itu mati atau hanya pingsan.

"Mundur dan jangan menghalangi jalanku, makan aku tidak akan mematahkan leher halus ini," balas Griseo Pollux, jari-jarinya jelas mengetat di sekitar leher Cassia karena gadis itu segera menyerang dan meronta-ronta di dalam pelukannya yang menghancurkan.

"Kamu tidak ingin melawanku," ucap Nero, rasa takut dan kemarahan bersaing untuk mendominasi dirinya.

Nero hampir menyesal karena mencoba menyelamatkan pria ini. Monster yang sepertinya tidak keberatan untuk menyakiti mereka yang lebih lemah darinya.

"Begitu juga kamu," ucap Griseo Pollux sebelum dia menggunakan sihirnya yang sekarat untuk membelah tanah di bawah kaki Nero.

Pria itu segera terengah-engah pada percobaan pertamanya menggunakan sihir. Jelas dia telah mendapatkan dosis bloodfever sebelum dilemparkan ke penjara. Namun, setelah berjam-jam efeknya akan segera larut.

Nero melompat mundur untuk menghindari tanah yang mencoba menjepit kakinya, tersandung ke belakang dan dengan satu keputusan yang suram, dia menggunakan sihirnya.

Api menderu hidup dari obor yang berada di dinding. Menyala lebih terang berkat sihirnya yang berubah menjadi bahan bakar. Dengan lambaian sederhana dari tangan Nero api menuruti kehendaknya. Nyala oranye membungkus pria yang sebelumnya memeluk Nona Cassia. Jari yang mencengkeram leher gadis itu segera mengendur.

Teriakan pria yang terbakar hidup-hidup bergema di sepanjang lorong yang membentuk sel bawah tanah. Menarik setiap perhatian yang sebelumnya mereka hindari.

Nona Cassia terhuyung beberapa langkah, menjauh dari tubuh yang terbakar sebelum ambruk di lantai batu dengan terengah-engah. Jarinya menggosok memas di lehernya, matanya merah dan sembab menatap Nero dengan shock.

Segera gema dari banyak langkah kaki yang menuruni anak tangga terdengar oleh mereka. Namun Nero tidak terlalu peduli. Dia fokus pada sosok yang sekarang masih terbakar dan menjerit rasa sakit saat dia menyebabkan melepuh di kulitnya.

Hingga sentuhan ringan di bahunya dan suara Kaisar terdengar dari balik punggungnya.

"Selesaikan. Bunuh dia atas nama Kaisar-mu."

Nero tersentak tapi saat dia menemui mata Nona Cassia, gadis itu sedikit menggelengkan kepalanya. Nero mengerutkan dahinya tapi menjawab dengan patuh pada perintah Kaisar.

"Itu akan dilakukan, Yang Mulia."

Dari sudut matanya, Nero bisa melihat sosok Kaisar yang berjongkok di depan Nona Cassia sebelum merengkuhnya ke dalam pelukan dan mengangkatnya. Membawanya pergi.

Nero merasakan simpul di perutnya, api yang tidak nyaman menyulut dadanya saat dia menyaksikan pria lain menyentuh Nona Cassia seperti itu. Dia tidak ingin mencari tahu alasannya.

Hampir semua Griseo yang turun ke ruang bawah tanah segera mengikuti Kaisar, meninggalkan dirinya bersama dengan Griseo Pollux yang terbakar dan Griseo Tiberius yang berdiri di sisinya.

"Kamu melakukan hal yang benar dengan menyelamatkan Nona Cassia. Kami seharusnya lebih tahu, gadis itu terkenal keras kepala."

Nero melirik Griseo Tiberius, menyaksikan pria itu menggeleng dengan lelah.

"Kita tidak bisa kehilangan Gadis Merpati lain. Selesaikan ini Griseo Marinus, kemudian segera bergabung bersama yang lain," ucap Griseo Tiberius sebelum dia meninggalkan Nero sendirian bersama Griseo Pollux.

Apinya perlahan padam, dan meskipun seluruh kulit Griseo Pollux melepuh hingga merah dan hangus, dadanya masih bergerak naik turun dengan napas yang lemah. Pria itu belum mati, tapi tidak ada yang perlu tahu itu.

"Aku masih berharap kamu mati karena menyentuhnya seperti itu," ucap Nero di dekat telinga Griseo Pollux yang setengah pingsan.

Pria itu tidak merespon apa pun, bahkan tidak ada erangan saat Nero melemparkan tubuhnya ke atas bahunya dan mulai membawanya menaiki tangga. Hingga dia memuatnya ke dalam gerobak yang biasa digunakan untuk memuat berbagai pasokan dari pasar. Nero tidak memiliki sihir penyembuhan, tapi dia kenal seseorang yang memilikinya. Namun, sebelum dia sempat memikirkan cara untuk menghubunginya. Seseorang meraih bahunya.

Gerakan itu mengejutkannya tapi ketika dia berbalik dia menatap Fara dalam gaun pelayannya, dan berdiri di belakangnya adalah Nona Sabina yang menangis saat menatap tubuh melepuh Griseo Pollux. Namun, gadis itu tidak mengatakan apa-apa.

"Kami akan mengurusnya mulai dari sini," ucap Fara menarik perhatian Nero.

"Bagaimana dia bisa bersamamu?" Nero kembali menatap Gadis Merpati yang seharusnya menunggu ekseskusi.

"Ada lebih dari satu pintu jika kamu memiliki sihir yang tepat," jawab Fara tenang.

"Kalian tidak memiliki sihir," balas Nero menunjukkan apa yang sudah jelas.

"Betulkah?" tanya Fara, tersenyum sombong meskipun wajahnya muram. Nero tidak ingin membayangkan apa yang harus Fara lakukan untuk membuat keajaiban ini berhasil. "Beberapa rayuan, dan beberapa dosis obat yang tepat. Aku akhirnya berhasil mendapatkan kunci itu. Itu melelahkan untuk memuaskan dua pria dalam waktu yang begitu singkat. Tambahkan keributan yang kalian buat di ruang bawah tanah dan boom, hampir tidak ada yang memperhatikan pelarian kami."

"Jadi pelayan yang memperlambat Griseo di shift berikutnya, itu adalah kamu?" ucap Nero tidak percaya. "Bukankah kalian berteman? Bagaimana dia bisa melakukan itu padamu?"

Fara mengangguk dengan sedih. "Aku berutang banyak padanya. Tidak ada yang tidak akan aku lakukan jika Nona Cassia meminta sesuatu. Aku tidak bisa lagi menjadi mata dan telinga di sini, tapi aku percaya Nona Cassia akan memperbaiki banyak hal.

"Tidak ada banyak waktu. Kamu sebaiknya pergi Griseo Marinus. Aku akan menjadi buron setelah aksi sembrono seperti ini, tapi itu mungkin layak. Melegakan rasanya mengetahui sahabatku masih tidak berubah. Dia mungkin tidak ingin mengakuinya, tapi dia masih gadis itu. Gadis yang menyelamatkan Ivory lain dengan biayanya sendiri."

Nero tidak mengatakan apa-apa saat Fara melompat ke atas kuda sementara Nona Sabina naik di atas gerobak bersama Griseo Pollux. Gadis itu akhirnya menemui tatapannya.

"Katakan terima kasih padanya, dia bilang ini satu-satunya cara," ucap Sabina lemah sementara Nero berdiri di sana dengan mata terbelalak.

Apakah ini benar-benar rencananya sejak awal?

***

Apakah kalian terkejut seperti Nero, atau kalian sudah sangat mengenal Cass sehingga tahu sejak awal saat kalian melihatnya disandera oleh Griseo Pollux?

Bab selanjutnya kita akan melihat kepala Cass 😚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro