Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXIII

Sebelum kita mulai, biarkan aku memberi tahu kalian. Aku sangat kesal dan aku benar-benar berharap pekerjaanku bisa jadi lebih baik. Aku merasa seperti jalang total karena tidak bersyukur dengan pekerjaan yang aku miliki tapi sungguh, itu melelahkan. Nah aku hanya perlu menumpahkan omong kosong itu dari kepalaku.

Selamat membaca!

***

Kesempatan jarang datang dua kali, terutama kesempatan yang bagus. Cassia sedang memikirkan cara terbaik untuk melakukan apa yang perlu dia lakukan ketika kakinya membawanya menyusuri lantai batu yang diterangi obor. Masih berdebat di kepalanya apakah ini ide yang bagus atau benar-benar konyol. Bisa jadi keduanya, jika dipikir-pikir itu lebih seperti ide yang sangat buruk. Namun dia tidak ingin kehilangan kesempatan. Griseo Pollux jarang meninggalkan dia sendirian, hampir tidak pernah dan itu lebih membuatnya jengkel dari yang bisa dia izinkan.

Dia perlu mengambil tindakan sendiri. Sepertinya menunggu Griseo Marinus untuk melakukan apa yang dia inginkan tidak berjalan dengan cukup cepat. Cassia tahu mereka tidak bisa terburu-buru untuk menampilkan hubungan palsu Griseo Pollux dan Sabina. Itu akan terlalu mencurigakan, terlalu tidak nyata. Kecuali jika Cassia bisa membukanya tanpa bisa disangkal dan dia cukup yakin pada kemampuannya untuk membuat cerita latar yang meyakinkan.

Ada bagian kecil, bagian yang bahkan Cass tidak akui masih dia miliki, merasa bersalah karena ini. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Kaisar. Hukuman apa yang akan dia timpakan pada dua orang yang secara teknis tidak bersalah. Dia mendengus di kepalanya, menyadari betapa dia telah rusak berkat bertahun-tahun kehidupan yang mengajarinya tentang pengorbanan. Toh dia sendiri dipaksa untuk melakukannya, jadi apa salahnya jika dia melakukannya pada orang lain. Paksakan takdir buruk pada orang lain. Lagi pula itulah yang dilakukan dunia.

Pikirannya masih berlari dengan kecepatan tinggi saat dia berhenti di depan pintu yang identik dengan miliknya. Logam pintu terasa dingin saat dia meletakkan telapak tangannya di atasnya. Sekali lagi Cassia menimbang pilihannya. Ini bisa menjadi komplikasi yang lebih rumit jika ternyata orang lain yang membuka pintu. Namun mengetahui itu tidak menghentikannya dari mengetuk. Buku jarinya membuat suara tumpul dengan logam. Dia menghitung tiga kali ketukan dan menunggu.

Detik berubah menjadi menit saat dia terus menunggu dengan kepala menunduk untuk mengamati ujung kakinya. Gelang emas melingkar di pergelangan kaki Cassia memantulkan cahaya merah dari obor. Itu menarik perhatian Cassia saat dia bertarung dengan pikirannya yang berdebat dengan dirinya sendiri kenapa dia begitu putus asa untuk datang. Itu bukan hanya tentang rencana menyingkirkan Griseo Pollux dari punggungnya. Dia berani mengakui itu pada dirinya sendiri. Alasan dia berdiri di sini lebih dari itu.

Ketika menit lain berlalu Cass mengetuk lagi, semakin gelisah di setiap detik yang diperpanjang.

"Mungkin ini bukan keputusan yang cerdas," gumamnya sebelum dia tertawa dengan sinis, "tentu saja ini bukan keputusan yang tepat."

"Aku yakin juga begitu."

Cassia melonjak terkejut dari suara yang berasal dari belakang punggungnya. Dia berputar, punggungnya membentur pintu logam dan tangannya terbang untuk mencengkeram dadanya saat mata birunya melebar melihat siapa yang ada di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Cassia mendesis, memelototi gadis yang sekarang menyepitkan mata dengan tidak setuju ke arahnya.

Gadis itu mendengus, ekspresi sinis yang Cass kenali sangat mirip dengan miliknya memutar sudut bibirnya. "Di sanalah aku tidur."

"Beraninya kamu!" Cass mendorong dirinya maju, meskipun dia tidak tahu pasti apa yang akan dia lakukan. Ada kemarahan yang begitu tiba-tiba muncul di perutnya saat dia melihat gadis itu berdiri di sana. Dia tidak bodoh. Dia tahu pasti apa yang dilakukan gadis itu dengan berada di sana. "Kamu menyia-nyiakan apa yang aku berikan."

"Aku melakukan sama seperti yang kamu lakukan untukku dulu. Aku ingin tempat yang lebih baik untuk orang-orang seperti kita." Gadis itu tidak mundur dari Cass, menahan tatapan tajam Cassia tampa berkedip.

"Persetan dengan tempat yang lebih baik!" Cass mendesis dengan marah, takut setiap saat dia akan kehilangan kontrol atas emosinya dan akhirnya membentak. Takut jika dia akhirnya akan berteriak dan membangunkan setiap orang. "Aku bukan gadis naif itu lagi. Aku tidak akan menyelamatkan lehermu lagi ketika kamu masuk ke dalam masalah. Karena aku yakin ke sanalah kamu menuju!"

"Demi Sol, Cassia! Kamu sendiri tidak berbeda!" gadis itu balas mendesis dan Cass menghela napas.

"Jangan ikut campur. Jangan membuat dirimu tenggelam lebih jauh. Jangan bodoh."

Gadis itu mengangguk, meskipun jalas apa pun yang dikatakan Cassia tidak akan mengubah keputusannya. "Aku sudah terlibat terlalu jauh untuk mundur sekarang."

"Berengsek!" Cass mengumpat dengan keji, yang biasanya jarang dia lakukan dengan karas.

"Aku tahu kamu akan di sini pada akhirnya. Aku tahu aku bisa membantu." Gadis itu meraih tangan Cassia, yang segera dia sentak menjauh.

"Aku bilang jangan bodoh!"

"Aku tahu apa yang akan kamu lakukan. Aku tahu kenapa kamu ada di sini."

Cass meringis dan mengutuk dirinya sendiri. Dari begitu banyak komplikasi yang bisa terjadi saat dia mencoba membunuh Kaisar. Dia tidak mengharapkan ini. dia menggeleng dengan kesal, merasa sangat marah dan tidak bisa menyalurkannya membuatnya frustrasi.

"Aku bisa membantu Cassia, tidak bisakah kita saling percaya seperti dulu?" Gadis itu mengambil tangannya, dan kali ini Cass membiarkannya. Itu adalah kebodohan. Titik lemah yang dia tidak bisa tanggung. Namun akhirnya dia mengangguk.

"Cobalah untuk tidak mati," Cass mengucapkannya dengan acuh tak acuh tapi di hatinya dia bersungguh-sunguh.

"Bisakah kamu melakukan hal yang sama?" Gadis itu berbisik sekarang saat akhirnya dia memeluk Cass di lengannya.

"Aku tidak pernah berencana untuk mati, Fara." Cass tahu itu bodoh dan ceroboh tapi dia tidak bisa menahan dorongan saat dia balas memeluk sahabatnya.

"Aku tahu itu, kamu terlalu keras kepala untuk mati."

***

Nah apakah kalian ingat siapa Fara? Atau apakah kalian harus menggulir ke beberapa bab sebelumnya untuk mengingat di mana Fara muncul sebelumnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro