XXI
Warna hitam dan merah. Itu menari-nari di balik kelopak mata Cassia. Dua warna suram dan bentuk-bentuk monster dari mimpi buruk paling mengerikan. Semua mencoba meraihnya. Mencakarnya. Apakah itu nyata? Cass tidak pernah tahu, itu seperti berada di balik selubung. Meski terlihat begitu jelas mereka juga tidak pernah benar-benar menyentuhnya. Ada godaan untuk mengulurkan tangannya, untuk menyingkap kerudung yang membatasi dirinya dan dunia suram di baliknya. Hanya saja Cassia tidak cukup bodoh. Bahkan jika ini hanyalah halusinasi yang ditimbulkan oleh efek mengonsumsi bloodfever, dia tidak ingin merobek selubung itu.
Jantungnya berdetak sangat cepat, dan dia bisa merasakan telapak tangannya berkeringat. Dia menahan batuk keras yang akan meretas tenggorokannya. Dia tahu dia bisa menahannya. Bersikeras mendorong efek dari bloodfever saat kepalanya terasa menyakitkan. Seolah seseorang berusaha membelah tengkoraknya dengan kapak. Perlahan dia membuka matanya tapi pemandangan di sekelilingnya tidak berubah. Merah dan hitam. Darah dan kegelapan. Tampat apa pun itu yang dia bayangkan, itu bukan tempat yang indah. Bahkan saat dia benar-benar membuka matanya monster tetap ada. Mereka tidak menghilang.
Apakah mereka nyata?
Itu bukan pertama kalinya Cassia bertanya-tanya. Bukan pertama kalinya dia berharap semua monster itu nyata. Lucu bagaimana dia tidak terlalu takut dengan mereka. Cakar, taring, dan tanduk, tapi mereka lebih terlihat putus asa dari pada ganas.
Matanya mengerjap beberapa kali lagi sebelum akhirnya dia berhasil kembali memfokuskan pikirannya. Dunia merah dan gelap itu mencair dari penglihatannya, tergelincir perlahan ke balik selubung dan menghilang saat kamarnya kembali fokus. Dia telah berdiri di depan jendelanya, tangan mencengkeram bingkai kayu dengan sangat erat. Tubuhnya sakit, tapi dia bisa mengatasi itu. Napasnya tersengal tapi tidak butuh waktu lama untuk menstabilkannya lagi. Tangannya yang masih sedikit gemetar menggeser rambut yang menempel di dahinya karena keringat. Menyingkirkannya dari matanya.
"Kamu melakukannya dengan baik Cassia. Kamu akan hidup. Kamu tidak akan mati," gumam Cassia lirih. Dia tersenyum kecil. Senyum pahit dan sinis untuk dunia yang tidak adil tempat dia tinggal.
Sudah sangat lama dia merasakan kebencian di hatinya. Secara umum Cassia membenci semua orang, benci hidupnya, dan takdir bodoh yang membuatnya menjadi Ivory. Dia benci Dewa-Dewa. Dia bahkan sedikit membenci dirinya sendiri. Pernah ada masa di mana dia tidak memiliki kebencian seperti ini. Saat di mana dia mencoba menemukan kebaikan di dalam diri seseorang, tapi itu sudah sangat lama. Dia hanya bisa merasakan gema samar dari ingatan itu. Perasaan di mana hatinya ringan tanpa ambisi untuk membalas dan mencoba mendapatkan lebih. Ingatan ketika dia adalah orang yang baik. Orang yang melakukan hal yang benar. Bagaimanapun gadis itu sudah lama mati. Sekarang hanya ada Cassia ini, Cassia yang bersumpah hanya akan peduli tentang dirinya sendiri.
Perlahan dia melonggarkan cengkeramannya dari bingkai jendela. Memaksa kepalanya kembali fokus dan tidak terjebak di dalam suasana gelap hatinya. Sejujurnya Cassia jarang memiliki momen seperti itu. Untuk kembali menelusuri kenangan dan melihat dirinya yang lama. Apakah dirinya yang itu jauh lebih baik dari dirinya yang sekarang? Cass tidak yakin, tapi satu hal yang dia tahu pasti, dia tidak akan pernah bisa menjadi gadis itu lagi.
"Nona? Apa semua baik-baik saja?" Suara Iovita yang ragu-ragu membuatnya berbalik dari pemandangan di luar jendelanya.
"Kamu mendapatkan apa yang aku minta?" Cass balas bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Iovita, lagi pula apa yang bisa dia katakan?
Gadis itu mengunyah bibir bawahnya, terlihat khawatir saat dia mengangguk. "Ini sepertinya ide yang buruk."
"Apakah kamu mendapat kesulitan dari Apoteker saat memintanya untukku?"
"Tidak, dia sepertinya tidak terlalu peduli. Mungkin Gadis Merpati sebelumnya biasa memintanya juga. Hanya saja akar Red Heaven memiliki efek yang sangat kuat."
"Tepat itulah kenapa aku menginginkannya."
"Tapi Kaisar tidak meminta kehadiran Anda malam ini."
Cassia mendorong dirinya dari jendela, mengulurkan tangannya untuk meminta akar Red Heaven dari Iovita. Gadis itu mengulurkan kantung kain kecil, memberikannya pada Cassia yang membuka ikatannya. Puas melihat itu memang apa yang dia butuhkan. Tidak benar. Itu adalah apa yang dibutuhkan Laelia meskipun dia juga sedikit membutuhkannya.
"Ini bukan untukku," ucap Cass yang hanya membuat Iovita terlihat lebih gelisah. "Apakah Griseo Pollux ada di luar?"
"Dia seharusnya, tapi dia tidak ada. Itu sangat tidak bertanggung jawab, meninggalkan pos seperti dia. Jika Kaisar tahu, aku yakin dia akan mendapatkan cukup murka."
"Kaisar tidak harus tahu," jawab Cass ringan. Dia tidak tahu ke mana Griseo Pollux pergi tapi untuk saat ini dia tidak peduli.
"Tapi ini hal yang ceroboh, dan mungkin itu bisa menempatkan Anda dalam bahaya."
Cassia punya dorongan kuat untuk memutar bola matanya, tapi itu adalah hal kekanakkan jadi dia tidak melakukannya. "Apakah kamu benar-benar percaya akan ada pembunuh di sudut lorong yang akan melompat padaku setiap saat? Aku cukup yakin tidak ada orang yang bisa melewati hutan di luar sana jika Kaisar tidak ingin mereka lewat. Cukup yakin aku sangat aman di balik dinding ini. Jangan konyol!"
"Kemana Anda pergi?" tanya Iovita, gadis itu masih diam di tempatnya saat Cass menuju pintu.
"Aku perlu memberikan ini pada Laelia."
Cassia hampir tertawa dengan tulus saat melihat ekspresi terkejut Iovita yang berubah begitu cepat menjadi khawatir dan akhirnya pasrah. "Baiklah ... ini tidak seperti melanggar peraturan atau apa, 'kan?"
Cassia tersenyum sangat lebar saat dia membuka pintu kamarnya. "Tentu saja tidak."
***
Rupanya Cassia bukan satu-satunya orang yang berpikir Laelia mungkin membutuhkan beberapa saran yang bagus, karena saat dia tiba di kamar Laelia, Rhea juga berada di sana.
"Griseomu di luar sepertinya sama sekali tidak keberatan kamu mendapatkan benerapa pengunjung," ucap Cassia saat memasuki kamar Laelia, sedikit kejutan menarik bibirnya menjadi senyum yang dipaksakan saat dia melihat Rhea sudah berada di sana.
"Griseo Petran hanya bersikap baik," jawab Laelia, berdiri dari bantal tempat dia sebelumnya duduk bersama Rhea. "Aku terkejut kamu sama sekali datang."
"Aku pikir kamu mungkin butuh beberapa saran yang bagus," jawab Cassia.
Dia tersenyum dan duduk di salah satu bantal yang tersisa di sisi Rhea. Cassia tidak punya masalah dengan Rhea bahkan mempertimbangkan gadis itu sebagai sekutu. Hanya saja dia tidak pernah mudah untuk percaya, untuk mengambil lompatan iman seperti itu. Mereka berdua telah menjaga jarak selama ini, seolah tidak ingin membuat masalah untuk yang lain. Berbeda dengan Theo yang bersemangat untuk memprofokasi setiap orang, Rhea memilih tenang. Hampir sama dengan Cassia meski gadis itu jelas tidak terdorongan untuk melakukan kesembronoan seperti Cass yang lancang.
"Aku butuh lebih dari beberapa saran yang bagus," desah Laelia putus asa.
Dia kembali jatuh di atas bantalnya. Mata hijaunya yang cerah menatap bolak-balik antara Cass dan Rhea, seolah mereka mungkin secara ajaib bisa memberinya jalan keluar.
"Mungkin kamu punya saran yang lebih baik, mengingat kamu lolos dari malam pertamamu dengan Kaisar," usul Rhea tenang. Tidak ada penilaian di suaranya hanya menyatakan fakta dengan jelas.
"Apakah Kaisar benar-benar tidak menyentuhmu?" Kali ini Laelia mencondonkan tubuhnya melewati meja di antara mereka, menatap Cass dengan penuh harap.
Anehnya Cass benar-benar merasa bersimpati, dan itu membuatnya tidak nyaman. Kapan terakhir kali dia merasakan kepedulian tanpa pamrih seperti itu?
"Pertanyaan yang lebih penting, apakah kamu benar-benar tidak ingin Kaisar menyentuhmu?" Cass ikut mencondonkan tubuhnya ke depan, menekan telapak tangannya di atas meja kayu rendah yang dipernis.
Laelia berkedip, wajah mudanya berkerut saat dia memikirkan itu sebelum akhirnya menggeleng. "Aku tidak tahu," dia mengalihkan pandangannya pada Rhea, "apakah itu sangat buruk?"
"Itu bisa jadi menyakitkan untuk waktu pertama," jawab Rhea jujur.
"Atau bisa jadi menyenangkan," sela Cass, saat itu dia mengeluarkan kantong yang sebelumnya dia bawa. "Yang aku tanyakan bukan secara fisik, Lia, tapi secara mental. Bagaimana itu akan memengaruhi jiwamu. Karena terhubung dengan seseorang pada tingkat ini seharusnya menjadi intens. Apakah itu akan sangat buruk jika kamu menikmatinya?"
Gadis itu terlihat semakin bingung, mungkin karena Cass benar-benar tidak pandai menjelaskan apa pun pada seseorang.
"Bukankah bagus jika aku menikmati ini?" tanya Laelia ragu-ragu.
"Yang dimaksud Cassia adalah, apakah kamu akan merasa kotor dan jijik jika menikmati apa yang dilakukan Kaisar. Karena kita dipaksa ke dalam semua ini. Ini bukan pilihan kita. Seks bisa jadi hal paling intens yang dibagikan antara dua orang tapi terkadang itu juga bisa jadi hal paling merusak." jelas Rhea.
"Aku rasa aku mengerti." Laelia mengangguk. Memejamkan mata dan bernapas dengan pelan.
Cassia mengamatinya, bertanya-tanya apa yang mungkin melintas di kepala gadis itu. Dia sendiri merasa lemah memikirkan saat akhirnya dia harus menyerah dan membiarkan Kaisar memilikinya. Cassia tahu, apa yang diberikan Kaisar hanyalah penangguhan hukuman. Cepat atau lambat dia juga harus membuat keputusannya sendiri tapi malam ini tentang Laelia, dan dia telah memutuskan agar gadis itu punya semacam kendali, semacam pilihan.
"Bagaimana Lia?" ucap Cass.
Kelopak mata Laelia terbuka. Bola mata hijau menatap Cass dengan tekad yang mengejutkannya. "Aku rasa lebih mudah untuk menanggungnya jika aku menikmatinya daripada jika aku membencinya."
"Kamu memilih dengan bijak," jawab Cass, dia mendorong kantong ke arah gadis yang lebih muda. "Aku yakin pelayanmu tahu apa yang harus dilakukan dengan itu."
Rhea melihat ke arah kantong dengan penasaran. "Apa yang ada di dalamnya?"
"Akar Red Heaven."
"Yah kupikir itu lebih baik dari pada saranku."
Cassia tidak bisa menahan senyum. "Memangnya apa rencana yang kamu sarankan?"
"Pura-pura pingsan, jadi Kaisar mungkin akan meninggalkannya sendirian. Aku duga itu yang kamu lakukan?" Rhea meliriknya dan kali ini dia tertawa.
"Aku ragu tidak sadarkan diri akan menghentikan Kaisar dari mendapatkan apa yang dia inginkan," jawab Cass di antara kekeh tawanya yang masih berlanjut. Dari sudut matanya dia menangkap sudut bibir Rhea terangkat dalam senyum.
"Yah, kamu mungkin benar. Jadi bagaimana jika kamu membagikan sedikit rahasiamu? Beberapa trik?"
Cassia menggeleng. "Tidak mungkin trik yang sama akan berhasil dua kali."
***
Astaga aku sudah mencapai chapter 21 dan sepertinya masih berjalan terlalu lambat. Jika aku membuat lompatan waktu yang besar apakah kalian akan kesal? Aku tidak ingin merusak plot tapi sungguh ini bergerak sangat lambat.
Beri tahu aku mana yang lebih kalian dukung Cassia-Nero atau dengan banyak keajaiban Cassia-Kaisar?
Dari 1-10 menurut kalian berapa banyak kecocokan antara Kaisar dan Cassia?
Jangan ragu untuk menyuarakan pendapat kalian! Kritik atau saran untuk membangun karakter Cassia akan sangat dihargai
luv, luv
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro