VI
Sulit untuk melihat di antara kerumunan, tapi sepertinya Aquila tidak kesulitan menavigasi langkahnya saat dia terus menyeret Cassia menuju platform yang didirikan di pusat alun-alun. Itu adalah malam terakhir sebelum Festival Tahun Baru, mungkin juga akan menjadi akhir dari kebebasan Cass.
"Cepat! kita tidak ingin ketinggalan ini!" Aquila menatap Cass melalui bahunya, menariknya melalui kerumunan yang tumbuh semakin padat.
Cass hanya bisa mendengus, mempercepat langkahnya agar tidak terseret, dan berharap dia berada di kamar. Dia tidak suka kerumunan, orang-orang membencinya, Aquila adalah yang dicintai di masyarakat. Seorang Onix yang kuat dan penuh senyum, itulah yang orang harapkan dari putri Gubernurnya, bukan gadis Ivory pahit dan sinis.
"Lambat Aquila, atau kamu akan mematahkan kakiku sehari sebelum upacaraku!" desis Cass jengkel, dia bahkan tidak yakin apa yang sebenarnya dia lakukan. Kenapa dia setuju untuk melakukan ini? Itu mungkin karena sebagian dari dirinya, sebagian dari Cass kecil yang masih tersisa berharap untuk kasih sayang saudarinya. Untuk menghabiskan waktu terakhir mereka bersama sebelum semuanya selesai.
"Ingat dulu saat kita menyelinap melalui istana? Saat kita berlari di sekitar taman dan berfantasi untuk memanjat dinding kompleks Kaisar?" Aquila berteriak untuk membuat suaranya terdengar di tengah hiruk pikuk alun-alun, "itu adalah hari-hari yang aku rindukan."
Cass tidak mengatakan apa-apa, hari itu sudah lama sekali. Hari saat dia tidak memiliki kepahitan di jiwanya untuk apa yang harus dia lakukan. Saat dia dan saudarinya dapat tertawa tanpa merasa iri satu sama lain.
"Yah, akhirnya salah satu dari kita benar-benar akan melewati dinding-dinding itu." Cass tidak bermaksud suaranya menjadi terlalu tajam, tapi tiap kali dia ingat apa yang harus dia korbankan besok, dia tidak bisa menahannya.
Genggaman jari-jari Aquila di pergelangan tangan Cass tiba-tiba mengetat, seolah kata-kata Cass telah menyentaknya secara fisik. "Itu adalah sebuah kehormatan."
"Maksudmu itu kehormatan untuk mati?" Kata-kata Cassia kejam seperti cambuk.
"Itu untuk tujuan yang lebih basar. Bayangkan berapa banyak kebaikan yang datang dari pengorbananmu," ucap Aquila. Kali ini Cass tidak lagi menjawab, itu adalah percakapan yang sia-sia.
"Lalu mungkin kamu sebaiknya menonton sirkus bodoh ini sendiri! Aku tidak bisa berpura-pura semua baik-baik saja Aquila! Aku tidak mau!" Dengan itu, Cass menarik tangannya, dan berbalik. Kali ini dia bersyukur pada kerumunan yang segera menelannya. Mengabaikan suara Aquila yang meneriakkan namanya, Cass menghilang di antara tubuh-tubuh yang berkeringat. Menarik kerudungnya lebih rendah untuk menyembunyikan profil Ivory-nya yang mencolok. Dia ingin pulang, dia seharusnya tidak pernah datang.
Baru saat dia merasakan kerumunan menipis di sekitarnya dia memperlambat langkah kakinya. Mengatur napas saat dia meluruskan kain stola yang kusut dan membetulkan bros yang menahan kerudungnya tetap rendah. Hanya untuk ditabrak oleh seorang bocah yang berlari seolah kemarahan Eres mengejarnya, yang mungkin memang demikian. Tabrakan itu mengirim Cass jatuh ke pasir yang berdebu bersama bocah itu, tapi sebelum bocah itu bangkit, seorang pria menangkapnya. Mengambil kerah chiton bocah yang menabrak Cass untuk mencegahnya kembali lari.
"Maaf Tuan," bocah itu merengek, suara yang membuat hati Cass meringis. Sebagai anak yang terlahir Ivory, dulu dia juga sering memohon untuk pengampunan. Berharap anak-anak bangsawan lain akan meninggalkan dia sendirian. Hanya ketika dia telah belajar kekuatan tanpa sihir, dia menangani setiap anak laki-laki dan perempuan yang mengganggunya. Beberapa dengan permainan emosi, yang lain dengan pemerasan. Karena Cass sudah lama belajar bahwa rahasia adalah mata uang yang lebih baik dari pada emas. "Tolong, belas kasihan."
"Pemotongan tangan adalah hukum untuk pencuri," ucap pria yang menangkapnya. Baru ketika Cass berdiri dia mulai memerhatikan pria itu. Dia mengenakan tunik abu-abu yang sederhana di balik baju besi hitam yang dipoles, jubah kelabu dijepit ke bahunya oleh lencana matahari perak thorunam. Simbol Griseo Kaisar.
"Tolong," ucap bocah itu menarik tatapan Cass padanya. Pada tubuh kurus di balik kain himation birunya yang lusuh dan pudar. Wajahnya kotor dari debu di padang pasir dan bibirnya yang pucat mengelupas karena kekurangan air. Hal kecil yang menyedihkan pikir Cass, saat dia memerhatikan rambut pirang kusut bocah laki-laki. Jelas seorang bocah Ivory yang bodoh, jika dia memutuskan untuk mencuri dari seorang Griseo.
"Bahkan belas kasihan Sol tidak meluas pada tikus kotor yang mencuri perak dari upeti yang dikumpulkan untuk Kaisar Solarus," ucap Griseo itu sebagai tanggapan. Suara dingin dan mekanis mereka tidak pernah mengganggu Cass, mungkin karena Cass telah belajar mengelola suara itu di mulutnya sendiri selama bertahun-tahun.
"Tapi aku yakin Kebijaksanaan Ulie akan menyarankan hal lain, Dominus." Kata-kata Cass halus saat dia berbicara. Semua jejak kemarahan yang dia miliki sebelumnya diredam, dikubur jauh ke kedalaman arus bawahnya. "Seorang anak berhak kesempatan kedua, bahkan Sol Yang Terang percaya. Ingatlah pada kisah seorang petani dan Dewi Nemit yang murah hati. Bahwa bahkan ketika seorang pria melakukan kesalahan Dewa dan Dewi kita mempu berbelas kasih."
Sekarang mata gelap Griseo menatapnya, dia tidak yakin apa yang bisa dilihat Griseo melalui kain kerudungnya yang jatuh menutupi wajah. Menyisakan kemiringan dagu dan bibirnya, tidak lebih.
"Tapi kesalahan pantas dihukum, apakah kamu menyangkal itu, Domina?"
Senyum melengkungkan bibir merah Cass, dan dia membiarkan kepalanya sedikit menunduk. Gambaran sikap patuh dan rendah diri. Bahwa dia mengakui posisinya, karena menunduk bukan berarti dia kalah, menunduk berarti memaksa lawanmu membungkuk lebih rendah untuk tetap melihatmu. "Tentu aku tidak."
"Lalu apa yang kamu sarankan?"
"Biarkan aku membayar apa yang dia curi—"
"Itu tidak akan mengajari bocah ini apa pun."
Cass mengangguk, dia tahu itu yang akan dikatakan seorang Griseo yang fanatik. "Lalu ambil satu jarinya, maka dia belajar bahwa tindakan membawa konsekuensi, tapi kamu tidak akan mengutuknya untuk kelaparan di jalanan. Karena itulah yang akan terjadi jika kamu memotong tangannya. Aku yakin Dewa Riye sendiri berpikir itu adil."
"Kenapa kamu mau melakukan itu?" Cass akhirnya melirik ke wajah Griseo. Pandangannya tidak jelas melalui kain kerudung tapi dia bisa melihat fitur-fitur di wajah Griseo yang tajam. Tulang pipi yang tinggi menyoroti hidungnya yang tajam, kulitnya cokelat gelap yang terbakar matahari, dan rambut merahnya menyala seperti suar. Namun dari semua hal itu, matanya yang akhirnya menarik minat Cass. Sesuatu di tatapannya dipenuhi harapan, bahwa itu tidak seperti mata Griseo yang pernah dia temui sebelumnya. Ada jiwa di kedalamannya, bukan cangkang kosong yang membabi buta mengikuti perintah Kaisar mereka yang tiran.
"Kenapa aku tidak mau, adalah apa yang harus ditanyakan," jawab Cass lembut. Dia melepaskan Bros yang menahan kerudungnya, terbuat dari perak murni dan batu kecubung. Itu diukir menjadi setengah sayap merpati. "Aku yakin ini akan menutupi apa yang bocah itu curi."
"Aku berharap demi kebaikanmu, Domina, kamu tidak akan menemui masalah untuk hal-hal yang coba kamu bela," ucap Griseo saat telapak tangannya terulur terbuka, dan Cass meletakan bros di dalamnya.
"Aku bersyukur pada kekhawatiranmu, Dominus, tapi aku yakin Sol dan para Dewa menjaga mereka yang baik."
Selama pertukaran Cass dan Griseo, bocah itu tetap diam. Pintar, pikir Cass. Seseorang yang tahu kapan harus menjaga mulutnya diam adalah orang yang memiliki naluri bertahan hidup.
"Itulah yang dipercaya semua orang," jawab Griseo pahit, dan Cass yang telah belajar membaca emosi di dalam diri seseorang tidak bisa melewatkannya. Rasa tidak puas, penyangkalan, semua itu ada di sana. Entah bagaimana pria ini, Griseo ini, tidak buta pada ketidak adilan. Bahkan Cass melihat kelegaan di matanya, seolah dia senang terhindar dari mengambil tangan seorang anak.
Hanya ketika Griseo memotong satu ruas jari kelingking bocah Ivory yang malang dengan belati, wajahnya kembali mengeras. Cass juga memerhatikan itu, semua yang Griseo tunjukkan adalah topeng, sama seperti miliknya. Pertanyaannya untuk siapa pertunjukan itu? Griseo menyimpan potongan jari bocah pencuri dan pergi meninggalkan Cass bersama isak tangis kesakitan.
"Kenapa kamu membiarkan dia memotongku sama sekali?" isak bocah itu saat Cass menuntunnya, membantunya menavigasi langkahnya melalui kerumunan.
"Karena kamu perlu belajar," ucap Cass tenang, bahkan saat dia melihat darah bocah itu mengotori kain Stola miliknya. "Bahwa untuk menyimpan hal yang lebih berharga kamu harus melepaskan hal yang lebih tidak berarti."
Bocah itu akhirnya berhenti terisak, menyeka hidungnya yang berlendir dan menstap Cassia dengan mata serta pemahaman baru. "Terima kasih, Domina."
Cass hanya mengangguk, berjalan dalam keheningan bersama bocah itu hingga dia mencapai The Goose. Dia membiarkan Mistress Valentina merawatnya, dan memastikan bocah itu memiliki tempat di The Goose, bahwa dia akan memiliki pekerjaan untuk menghasilkan tembaga.
"Kamu tidak akan kelaparan lagi, tidak perlu lagi mencuri," ucap Cass, dia telah menurunkan tudungnya sejak dia memasuki salah satu kamar privasi the Goose. "Kamu bisa tinggal dan menghasilkan cukup tembaga jika kamu pintar."
"Terima kasih, Domina, aku tidak akan pernah melupakan kemurahan hatimu." Cass tidak tersenyum pada kata-kata manis, hanya mengangguk dangkal dan bangkit. Bocah itu buru-buru mengikutinya. "Setidaknya izinkan aku tahu siapa penyelamatku?"
Cass menatap bocah itu serius sekarang. Dia tidak mungkin lebih dari dua belas tahun, dan wajahnya yang indah setelah dicuci dari debu terlihat menawan. Beberapa makanan yang layak dan tahun untuk tumbuh, dia akan menjadi pria Ivory yang cantik. Mungkin bahkan seorang wanita bangsawan akan menginginkan dia sebagai simpanan saat itu.
"Cass," jawab Cassia tenang.
"Teon Vitus pada layananmu." Tangan bocah itu menyilang di dada, telapak tangan menekan ke jantungnya saat dia membungkuk. Sikap penyerahan dan hormat.
"Aku bukan seorang tiran Teon, tapi jika aku membutuhkan bantuanmu, aku tidak akan ragu untuk memintanya."
Ketika Cassia berbaring di kamarnya malam itu, dia bertanya-tanya, apakah kematiannya benar-benar akan membuat banyak hal menjadi lebih baik?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro