I
Diikut sertakan dalam event The Fantasies yang diselenggarakan oleh akun FantasiIndonesia
Hampir gelap saat pintu ke kamar Cass akhirnya terbuka, pelayannya sudah lama tidak pernah mengetuk ketika masuk ke kamarnya. Cass masih mengenakan jubah mandi, rambutnya yang berwarna keemasan basah dan terurai ke leher dan bahunya. Bibirnya yang merah mengerucut saat dia membaca lebih banyak laporan tentang transaksi penjualan antara provinsinya dan Yuodo. Itu tidak menguntungkan dan dia benci ketika ayahnya membiarkan kerugian hanya untuk mendapatkan simpatisan. Yuodo mungkin kuat tapi bahkan jika Yuodo dan Gahar berperang melawan Kekaisaran, Cass tidak akan kesulitan menebak mana yang akan keluar sebagai mayat.
"Kamu terlambat!" ucap Cass dingin. Cassia tidak pernah berpura-pura ramah pada siapa pun, dia membenci setiap orang di rumah tangganya. Ayahnya, saudarinya, bahkan pelayan. Dia benci mereka karena mereka membiarkan dirinya dikorbankan hanya karena dia terlahir sebagai Ivory, tidak memiliki sihir dalam darahnya bukan berarti Cass pantas untuk mati atau dikirim untuk hadiah Kaisar.
"Maaf Nona," ucap pelayan wanita muda dengan rambut hitam yang digelung di tengkuknya. Dia membungkuk dan Cass melirik tinta abu-abu yang melintang di setengah wajahnya, menciptakan pola-pola tribal. Seorang Gray, bukan yang kuat tapi masih memiliki setetes sihir.
"Pergi! Letakkan nampan di meja, aku akan segera meminumnya." Cass bahkan tidak mendongak dari laporan yang dia baca. Pelayan itu melakukan apa yang diperintahkan, ingin segera meninggalkan ruangan. Meskipun Cassia tidak memiliki sihir di dalam dirinya, dia selalu punya cara untuk membuat orang-orang merasa takut di sekitarnya. Mungkin itu kemarahannya atau cara dia melihat orang-orang seolah mereka tidak lebih dari serangga. Tidak ada yang menyangkal bahwa Cass cantik, beberapa mungkin mengatakan dia lebih cantik dari Amare sang Dewi Cinta sendiri. Dengan rambut keemasan dan mata biru pucat yang hampir tembus pandang, orang-orang yang melihatnya mungkin berpikir bahwa dia memang Dewi, tapi secantik apa pun Cass, dia masih Ivory. Dia masih berada di kasta terendah kekaisarannya.
Menutup buku laporan dan melemparkannya ke atas meja tulis, Cass berdiri dan menuju ke nampan yang ditinggalkan pelayan. Dia mengambil cangkir teh, setengah tergoda untuk membuang isinya ke pot terdekat, tapi seperti setiap sore yang lain, dia tidak melakukanya. Alih-alih membuangnya Cass menghabiskannya dalam sekali teguk. Rasa dan aromanya persis seperti teh, tapi Cass tahu pasti apa yang sebenarnya dia minum. Racun. Cass mulai merasakan rasa sakit tajam di kepalanya dan terhuyung ke ranjang. Cangkirnya tergelincir dari genggaman jarinya, pecah di lantai. Dia mencoba menutup matanya dan bernapas melalui hidung, mengembuskannya melalui mulut. Tubuhnya menolak dan membutuhkan racun di nadinya. Keringat membasahi kulitnya dan tenggorokannya menyempit hingga hampir tersumbat, Cass kesulitan bernapas dan jantungnya berdetak lebih cepat. Panik mengejarnya. Bintik-bintik gelap menari di depan matanya. Jari-jarinya mencengkeram seprai kusut tempat tidur dengan erat.
Cass bertanya-tanya apakah akhirnya ayahnya memutuskan untuk memberikan cukup dosis mematikan Bloodfever yang bisa membunuhnya? Jika ya, mungkin dia akan berterima kasih. Cass melayang ke gambar-gambar halusinasi mengerikan. Tidak ada yang masuk akal. Potongan tangan, kepala, dan anggota tubuh. Cass berkedip-kedip, setengah berada di kamarnya dan yang lain melayang ke tempat lain. Ada manusia dengan kepala bertanduk, yang lain dengan kaki cakar, Cass hampir terhibur dengan halusinasinya. Lalu ada merah, sungai darah dan Cass berendam di dalamnya, tenggelam, terbatuk dan memuntahkan darah. Dia berguling dan batuk lebih banyak, saat Cass membuka matanya lagi penglihatannya kabur, dia menemukan darah di jari-jarinya, di seprai, dan dia juga merasakannya di mulutnya.
Dia terhuyung-huyung berdiri, menggunakan tembok sebagai penopang untuk berjalan ke kamar mandi. Cass mencuci mulutnya dan mengutuk, masih lemah dari efek racun tapi nyeri tajam di kepalanya mereda. Mungkin dia hampir mati dan kecewa ketika tidak. Benci karena saran ayahnya untuk memulai mithridatism mungkin benar akan berhasil. Cass sudah muak dengan dosis Bloodfever yang harus dia ambil di setiap senja untuk mendapatkan kekebalan. Kekebalan yang akan dia butuhkan saat dia mencoba membunuh Kaisar. Cass membasuh wajahnya sekali lagi dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya yang pucat balas menatapnya. Dia fokus pada bibir yang berwarna merah kelopak mawar, seolah-olah dia baru saja berciuman. Cass benci tampilan dirinya setelah mengambil dosis Bloodfever. Seakan dia baru saja bersenang-senang. Dengan bibir merah, mata sayu, dan kulit yang memerah, orang bisa salah mengira bahwa dia baru saja bercumbu alih-alih menenggak racun.
Suara keras datang dari kamarnya membuat Cass mendesah, mengambil fokusnya dari memandangi dirinya sendiri. Dia tidak pernah mempertanyakan keindahannya, tidak ada yang menyangkal bahwa dia cantik bahkan jika dibandingkan saudarinya yang sekarang memekik panik. Itu membuatnya hampir pasti akan terpilih sebagai Gadis Merpati.
"Tidak sekarang!" gerutu Cass rendah. Dia menyeka mulut dengan punggung tangannya dan tertatih keluar. Saudarinya berdiri di ambang pintu kamar, matanya lebar pada noda darah di seprai. Mulutnya terbuka untuk berteriak lagi. "Ada apa Aquila? Aku tidak punya waktu untukmu!"
"Darah!" Saudarinya menunjuk ke seprai yang berdarah tapi Cass hanya menaikkan alisnya. "Aku pikir kamu—"
"Ayah pasti berpikir sudah waktunya untuk menaikkan dosis, aku akan terbiasa," ucap Cass. Aquila menatap adiknya dengan simpati dan Cass merengut, bergegas untuk melepaskan seprai dari ranjangnya. "Apa yang kamu inginkan?"
"Ohh ... Cass, aku benar-benar minta maaf—"
"Simpan simpatimu Aquila! Aku tidak membutuhkannya!" Cass membentak, melemparkan seprai ke keranjang kotor. Dia mulai mengumpulkan pecahan cangkirnya. "Katakan saja apa yang kamu inginkan dan pergi!"
"Haruskan kamu bertingkah begitu kasar?" balas Aquila. Cass menegakkan bahunya dan memiringkan kepala ke saudarinya. Wajah saudarinya dihiasi oleh pola-pola hitam yang terjalin di dahi, seolah dia mengenakan mahkota abadi. Tanda bahwa dia seorang Onix, kasta tertinggi, harta berharga ayahnya.
"Lihat! Siapa yang bicara? Putri kesayangan Gubernur Gahar, dia yang mulia, dia yang baik hati, dia yang berharga. Putri yang menyelamatkan orang-orang. Namun di sini aku, mati untukmu!" Cass mendengus saat melihat wajah saudarinya yang kesakitan. Dia telah melihat ekspresi itu ribuan kali, tapi tidak sekali pun Aquila menyarankan baginya untuk mundur dari perannya. Satu-satunya penghiburan yang ditawarkan Aquila padanya adalah bahwa dia akan mengingat pengorbanan Cass. Itu hanya mengobarkan kebencian dan rasa sakit hati di dalam diri Cassia. Dia tidak ingin dikenang. Cass ingin hidup, dan dia ingin menjalaninya dengan pilihannya sendiri.
"Kamu tahu, aku tidak berdaya! Aku sama sepertimu!" Air mata meleleh dari mata Aquila.
"Jika kita sama, lalu kenapa aku yang harus mati?" balas Cass, suaranya tidak melembut bahkan saat saudarinya tercekik dengan mata basah. "Aku lelah, jadi jika kamu tidak memiliki apa pun lagi untuk dikatakan, maka aku menyarankan kamu meninggalkan kamarku!"
Aquila mengusap matanya kering dan secepat dia menangis, dia tersenyum. "Ada pesta!" Cass menunggu, tidak sabar untuk mendapatkan kesunyian kamarnya sekali lagi. "Aku ingin kita pergi bersama. Apakah kamu ingat kapan terakhir kali kita pergi ke pesta bersama?"
Tidak pernah, pikir Cass. Mereka bukan jenis saudara yang menghabiskan banyak waktu bersama. Sementara Cass senang menghabiskan waktu dengan buku-buku dan politik, Aquila lebih suka berkumpul untuk acara sosial, tepat seperti apa yang diharapkan orang-orang untuk putri Gubernur.
"Ada bayak hal yang lebih penting untuk dilakukan. Aku tidak bisa pergi," jawab Cass. Aquila meraih tangan adiknya, menggenggamnya dalam permohonan.
"Maksudmu membaca tumpukan laporan tidak berguna itu?" desah Aquila, matanya melayang pada meja tulis Cass yang penuh gulungan dan buku. Semua berisi korespondensi dari orang-orang berpengaruh yang berhubungan dengan Gahar. "Ayolah Cassia! Sesekali kamu harus bersenang-senang!"
Cass menarik lenganya dan akhirnya duduk di ranjang. Menatap saudarinya dengan mengerutkan kening. Pesta bukan tempatnya. Dia tahu orang berbisik tentang dirinya di balik punggungnya. Hal-hal yang hanya membuatnya kesal "Hidupku bukan untuk kesenangan. Mereka untuk kematian."
"Berhentilah bersikap begitu pahit untuk hidupmu!"
Cass melotot pada saudaranya, dia ingat terakhir kali dia begitu marah dia telah menampar Aquila dan saudarinya membalasnya dengan menghapus udara dari paru-parunya, membuatnya tercekik tidak bisa bernapas dengan sihirnya. Tidak ada cinta yang mereka bagi dan Cass menolak untuk berpura-pura menerima nasibnya hanya untuk membuat saudarinya merasa lebih baik. Jika dia harus berjalan ke kematian, maka setiap orang yang mendorongnya harus tahu bahwa dia tidak pernah melakukannya dengan rela. Mereka akan tahu dengan pasti bahwa merekalah yang membunuhnya.
"Mudah mengatakanya, bukan?" balas Cass. "Kamu tahu aku tidak akan pergi, dan yakin ... kamu tidak akan bisa membujukku. Aku sarankan kamu pergi sebelum salah satu dari kita saling mencabik."
Mereka saling menatap, seolah menantang satu sama lain. Satu berambut emas yang lain hitam. Itu berlanjut beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya Aquila mendesah dan berbalik tanpa sepatah kata pun. Membanting pintu kamar Cass tertutup ketika dia terbang keluar ke koridor. Cass mengembuskan napas dan menjatuhkan punggungnya ke ranjang. Bertanya-tanya mengapa dia tidak merasakan apa pun lagi.
Dia membayangkan apakah semuanya akan berbeda jika dia terlahir Onix? Atau bahkan jika dia hanya Gray? Jika dia punya sedikit sihir di darahnya dia tidak akan harus melakukan semua ini. Ayahnya tidak mungkin memiliki alasan untuk memaksanya mendaftar sebagai Gadis Merpati. Dia tidak harus memikirkan tentang menjadi selir Kaisar, tidak harus memiliki mimpi yang mengerikan tentang saat-saat dia harus memenuhi kewajiban sebagai selir. Kamar dengan kelambu sutra, sentuhan jari asing, cahaya redup lilin, suara gairah yang bukan miliknya, karena dia yakin dia tidak akan merasakan apa pun selain jijik untuk malam pertamanya. Namun jika dia tidak pernah terlahir Ivory, Ayahnya tidak akan pernah menjadi Gubernur. Karena alasan ayahnya bisa naik sejauh ini adalah karena dia sudah dijanjikan sejak awal. Ironis, karena Kaisar baru saja membeli kematian untuk dirinya sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro