Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04

Saya tidak begitu pro dalam menggambar dan jarang mewarnai. Jadi mohon pemakluman dari kalian.

Terima kasih dan selamat membaca~

......
...
...
......

Aku menghela nafas setelah selesai mengerjakan nomor terakhir dari pelajaran terkahir yang di ujian kan dalam ujian akhir semester. Sudahlah, aku sudah peduli lagi. Authornya jahat nggak mau nunjukin kerja kerasku yang belajar untuk ujian kali ini.

Tiba-tiba kepalaku mengingat mengenai janji mereka untuk menemaniku ke sekolah dan pulang sekolah, itu terjadi. Untung saja mereka benar-benar menghilangkan wujud mereka. Kalau tidak, aku akan menjadi pusat perhatian. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku merinding.

"Baiklah, lembar jawaban boleh di kumpulkan!" seru guru pengawas yang membuat semua siswa di kelas ini berjalan cepat mengumpulkan lembar jawaban lalu mengambil tas dan meninggalkan kelas dengan senda tawa.

Aku juga ikut langsung mengumpulkan lembar jawabanku dan membereskan barangku yang lebih sedikit dari biasanya. Kembali aku memasangkan earphone di kedua telingaku menikmati alunan musik yang menenangkan hatiku. Langkahku cukup lunglai di tangga, mengingat aku ingin cepat-cepat memeluk kasurku.

Sesampainya di pagar sekolah aku melihat ke kiri dan kanan, tidak ada salah satu dari mereka. Memang mereka tidak dapat terlihat tetapi biasanya mereka menunjukkan mereka ada.

"Anda sudah selesai?"

Aku terdiam. Suara ini sangatlah asing, tentu saja bukan salah satu dari mereka. "Siapa kau?"

"Hm? Kau sadar aku bukan salah satu pelayanmu? Hebat juga." Rasanya ingin menendang kakinya saat ini juga tetapi sayang dia tak berwujud.

"Bagaimana jika kita pindah di tempat yang sepi, seperti pohon itu misalnya?"

Aku melihat ke satu arah di mana ada sebuah pohon besar yang rindang dan juga sepi. "Kalau nggak?"

"Tentu saja tidak masalah, jika kau ingin menjadi pusat perhatian," dapat terdengar bahwa ia sedang tersenyum sinis.

Pastinya hal itu membuatku merinding. Dengan posisi jam pulang sekolah ditambah bahwa ini sekolah SMA. Pastinya hanya sedikit berteriak sudah... ah, aku tak ingin membayangkannya. Kalau sampai macam-macam tinggal di tendang saja.

Kakiku melangkah ke pohon yang cukup tersingkirkan dari keramaian siswa menengah atas ini. Setelah sampai di bawah pohon aku berbalik dan menyiapkan kepalan tangan dan kakiku.

Tak lama terlihat sosok atau wujud seorang lelaki yang mempunyai rambut hitam dan panjang jika di bandingkan lelaki di ndonesia. Warna matanya yang berwarna biru jernih membuatku tertarik. Gaya pakaiannya seperti model dengan kalung dengan liontin tipis segi panjang. Entah apa namanya itu.

"Siapa kau?" tanyaku setelah beberapa detik mengagumi matanya. Jarang-jarang melihat mata sebiru itu di sini.

"Siapa ya? Hm... anggap saja aku salah satu dari orang-orang yang ingin menculikmu," katanya dengan senyumannya, yang pastinya itu bukan senyuman manis.

"Bukan 'anggap' lagi kan? Kau memang ingin menculikku," kataku kesal.

"Hebat, kau menebaknya dengan benar!" serunya riang.

Ada apa dengan orang ini? "Lalu kenapa kau tak menculikku saja langsung? Kenapa harus ketemu dulu?"

"Bukankah ini lebih menarik?" tanyanya dengan senyum lebar.

"Dari mananya coba? Trus alasan ingin menculikku apa? Biar aku katakan ya, jika mengenai si ilmuan itu maka aku akan menentangnya."

"Maksudnya... mengenai dirimu reinkarnasi dari..." Ekspresi wajahnya kini tak tampak senyuman di sana. Terlihat serius atau mungkin murung?

"Yap, reinkarnasi dari Alsovi si ilmuan. Ayolah, nggak mungkin aku reinkarnasi dari dia. Memangnya apa yang bikin kalian percaya bahwa aku reinkarnasinya? Dia adalah orang genius yang udah bikin banyak barang hebat. Nah aku? Aku hanya menikmati waktu luangku dengan bermain game tanpa menghasilkan apapun," ocehku menumpahkan pertanyaan yang terpendam di dalam pikiranku.

"Kau... tidak percaya?"

Tatapan sendunya yang disorot ke arahku membuatku terbungkam. Wajahnya yang ceria dan menjengkelkan kini berubah, terlihat kesedihan dan luka terdalam di sana. Kenapa selalu berakhir seperti ini sih?

Tiba-tiba saja dalam keheningan terdengar sesuatu melayang melewatiku dan lelaki di depanku melompat mundur beberapa langkah. Terlihat di tempat lelaki berpijak itu ada sebuah pisau kecil.

"Nona! Maafkan keterlambatan saya," kata Vin yang datang dari belakang. Ia melihatku dari ujung kepala hingga ujung kakiku. "Apakah nona terluka?"

Aku hanya menggeleng. Wajah yang selama ini datar kini menunjukkan kekhawatiran yang amat sangat membuatku tak dapat mengatakan apapun.

"Wah, pelayannya datang." Suara mengejek itu membuatku memalingkan wajahku dan melihat lelaki itu yang telah memasang senyum sinisnya.

"Kau..." geram Vin.

Ayolah aku sudah cukup shock melihat berbagai ekspresi yang berbeda dan mempunyai berbagai makna di sana-sini.

"Sampai berjumpa lagi, no~na." Setelah mengatakan itu ia menghilang. Entah ia teleportasi ke tempat lain ato dia hanya menyembunyikan wujudnya.

"Maaf nona, jika saja aku lebih cepat..."

"Sudahlah tidak apa. Kerutan itu nggak cocok di wajahmu, ayo kita pulang," kataku sambil menunjuk kedua alisnya yang mengkerut lalu berbalik menuju arah kos.

"Baik," katanya setelah terjeda beberapa detik. Aku menoleh ke belakang, melihatnya mengambil pisau kecil itu lalu berjalan mendekatiku.

........

Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Dari jendela terlihat sinar jingga yang memenuhi tempat ini. Artinya ini sudah sore. Cukup lama aku mengambil waktu untuk tidur siang. Aku bangun dan berjalan menuju ruang tengah.

Terlihat para lelaki itu sedang duduk di sofa, sepertinya mereka mendiskusikan sesuatu. Ruber yang pertama melihatku dan langsung menaikan sebelah tangannya. "Yo nona, bagaimana tidurmu?"

"Ya aku bisa tidur dengan nyenyak, mengingat bahwa ujian telah selesai. Semoga saja aku tidak ada remed," kataku sambil mengusap tengkukku.

"Nona, apakah anda memerlukan sesuatu?" tanya Glau yang memutar kepalanya dan sebagian tubuhnya.

"Tidak untuk sekarang. Aku ingin ke kamar mandi dahulu," kataku sambil berjalan menuju kamar mandi.

"Saya akan menyiapkan sesuatu untuk nona."

Aku langsung berbalik. "Eh nggak perlu!" seruku cepat.

"Nona, setelah ini kami mengajak anda membicarakan sesuatu," kata Rio yang lagi-lagi memasang wajah seriusnya.

"Oh... baiklah, tunggu ya," kataku sambil meraih knop pintu kamar mandi dengan sebelah tanganku.

Ada apa ini? Mengenai orang tadi itu?

Setelah dari kamar mandi aku berjalan menuju sofa dimana mereka biasa duduk. Setelah merasa dudukku nyaman, aku menatap keempat lelaki di depanku.

"Nona, ini teh dan kuenya," kata Glau yang meletakkan cangkir antik (yang entah cangkir itu dari mana) berisikan teh dan beberapa kue mangkuk.

Aku menarik lengan Galau saat ia akan beranjak. "Duduk di sini saja," ucapku saat ia melihatku bingung.

"Tetapi nona..."

"Sudahlah duduk saja ayo," ajakku kembali sambil menariknya lebih keras sampai ia terduduk di sebelahku. "Jadi ada apa?"

Baru saja Rio membuka mulutnya, aku berbicara duluan. "Mengenai hari ini? Penculikan itu?"

"Ya, seperti yang nona tahu."

"Sebenarnya mereka kenapa mau menculikku? Mereka itu siapa?" tanyaku bingung. Bahkan aku hampir protes lagi dengan mengatakan bahwa aku bukanlah reinkarnasi dari si ilmuan itu.

"Maaf, mengenai itu kami tak tahu," kata Rio sambil memutuskan pandangan denganku.

"Huh? Kalau kalian tak tau lalu bagaimana kalian tau kalau mereka ingin menculikku? Bahkan kalian dengan gampangnya mengatakan 'mereka'."

"Sebelum bertemu dengan nona, kami sudah mengetahui bahwa nona sudah bereinkarnasi dan tumbuh menjadi gadis remaja," kata Glau yang ingin aku potong tetapi akhirnya tak jadi karena tak tega mengingat raut sedihnya.

"Lalu tiba-tiba saja ada sebuah kertas yang mengatakan bahwa mereka akan menculik anda. Lalu kami langsung datang kemari untuk mencari nona," lanjut Ruber sambil menunjukku dan tangannya langsung di tepuk oleh Rio.

"Memang membutuhkan waktu sampai akhirnya menemukan tempat tinggal nona di pulau yang luas ini," ucap Vin pelan yang dapat terdengar jelas.

"Oh iya, di surat itu bertuliskan 'kami', karena itulah kami tahu bahwa yang ingin menculik nona bukan hanya satu," tambah El.

Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya aku dapat merangkum kata-kata mereka menjadi kongkrit. "Lalu... di surat itu tidak ada di bilang siapa?"

Dengan serempak kelima lelaki di sini menggeleng sambil menatapku beragam.

"Tetapi mungkin...." Seketika Rio menjadi pusat pandangan. Ia memegang dagunya khas orang pemikir. "Glaucio, apakah saat nona pergi selama beberapa hari ia mengatakan sesuatu padamu setelah pulang?"

Glau menggeleng.

"Ah... saat itu..."

"Apakah ia mengatakan sesuatu padamu?" tanya Rio yang langsung melihat Ruber.

"Ti~dak. Ia melakukan hal seperti biasa. Mengurung di dalam kamar," kata Ruber sambil menyilangkan tangannya.

"Saat kapan? Kenapa aku tak tahu?" tanya Vin dengan wajah datarnya.

"Aku juga tidak," tambah El.

"Tentu saja, saat itu kalian belum ada," tambah Ruber, membiarkan Rio berkutat pada pikirannya.

Sungguh bingung. Mereka ini terbuat dari apa sih? Memangnya mereka seperti robot, android, ato apa gitu? Jangan-jangan mayat yang di hidupkan kembali? Tapi mereka nggak pucet.

"Sudahlah, yang terpenting sekarang adalah keselamatan nona," kata Rio yang sepertinya menyerah.

"Aku? Tadi aku nggak diapa-apain kok. Cuman diajak ngobrol," kataku melihat lelaki itu satu per satu yang saling menatapku.

"Apa saja yang ia katakan kepada nona?" tanya Vin yang terdengar serius.

Wajah sendu orang itu kembali muncul di kepalaku. Aku tertunduk, entah bagaimana mengatakannya.

"Apakah ia mengatakan sesuatu yang menyakitkan untuk nona?" tanya Glau yang terdengar panik.

Aku kaget sambil menatapnya. "Eh nggak kok, dia cuman bercanda aja. Dia bilang dia salah satu yang mau menangkapku trus... trus..."

"Apa? Tolong ceritakan kepada kami nona," paksa Rio.

"Aku... aku nggak tau. Memangnya apa yang dulu aku lalukan sampai ia sedih banget pas aku bilang aku merasa bukan reinkarnasi Alsovi?"

"Sedih?" tanya Ruber sambil menaikan sebelah alisnya.

"Iya! Aneh bangetkan?! Memangnya siapa Alsovi untuknya? Kenapa harus menunjukan wajah sesendu itu tu loh? Matanya kek ngeliatin aku dalem..."

"Nona," panggil El yang membuatku melihatnya. "Nona tadi mengatakan 'apa yang dulu aku lakukan'. Apakah itu menandakan nona mengakui bahwa nona adalah..."

"NGGAK!" seruku cepat. "Ak-aku hanya me-mengatakan kak-karena kalian se-se-selalu mengatakan hal itu!" Dalam sekejab aku dapat merasakan wajahku memanas. Kok bisa aku mengakui walaupun aku nggak percaya reinkarnasi?! Bahkan dari seorang ilmuan? Nggak nggak enggak!!

Kelima lelaki ini tertawa. Salak, aku di buat malu sama mereka.

"Lalu, adakah mereka menyatakan alasan ingin menculikku?" tanyaku yang mengembalikan topik semula.

"Sayang sekali tidak ada nona," kata Rio sambil menunduk.

"Eh, kok murung? Tenang saja, ini bukan salahmu," kataku panik yang melihatnya seperti menyalahkan diri sendiri.

"Tenang saja nona, ia selalu seperti ini. Benar bukan?" Ruber menyenggol Rio dengan sikunya.

"Diamlah kau," geram Rio yang malah membuat Ruber tertawa pelan.

"Itu bukanlah kesalahanmu seperti yang dikatakan nona. Kau juga tak perlu mencari tahu secara detail," kata Vin dengan wajah datar dan kedua lengannya yang dilipat di depan dadanya.

"Itu benar, keselamatan nona yang terutama di sini," tambah El dengan semangat membara.

Rio menatap lelaki lainnya, semuanya tersenyum kecuali Vin. "Itu benar..."

"Itu nggak benar," potongku dengan wajah datar. Kelima lelaki itu langsung melihatku bingung. "Kalau kalian terluka gimana?"

"Nona, anda tak perlu..."

"Kalau misalnya kalian malah mengotori kosku bagaimana? Kalau misalnya kalian malah menghancurkan kos, bagaimana nasibku?!" tanyaku yang memotong ucapan Glau.

"Ditambah kalau misalnya kalian terluka serius trus kalian ngotot masih mau menjagaku gimana? Yang menjadi masalah jika kepala kalian hampir copot, kaki udah ilang. Ini mataku harus diapain?!" tanyaku ngeri sambil membayangkan adegan gore di film.

Keheningan terjadi, ekspresi mereka seperti tertegun. Mereka diam selama beberapa detik hingga akhirnya Rio kembali mewakilkan suara mereka, "baik nona, kami mengerti."

"Bagus deh, kalo kayak gini kan aku bisa tenang hingga kelas tiga nanti. Oh iya, apakah makan malamnya sudah di masak?"

"Maaf nona, saya akan menyiapkannya sekarang," kata Glau yang langsung berdiri.

"Oke, sambil menunggu... masih ada buah-buahankan di kulkas?" tanyaku sambil ikut berdiri.

"Oh sudah ada sebagian yang dimakan Ruber dan Irvine, aku sudah menyiapkan sisa untuk nona," kata El yang berjalan mendekatiku.

"Uwooh, nice El!" seruku senang sambil mengikutinya dari belakang.

Setelah itu semua berjalan seperti biasa. Walaupun wajah sendu lelaki itu masih bisa muncul beberapa kali. Padahal banyak ikemen di depanku. Eh hosbandoku menunggu!!!

Otome i'm coming~

.
.
.
.
.
.

Hampir! Saya! Lupaaaaaa!!!

Ya saya tau ini masih siang sih, tapi saya pengennya up td pas bangun (siang juga tapi bangunnya)!!!

Weslah, yang penting up :v

Udah beberapa hari ini saya blom ngetik jadi draft cerita ini belum bertambah. #curcol

Terima kasih sudah berkunjung~

-(05/07/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro