99. Fasad Rumah
Makin hari makin turun vote-nya keknya udah pada bosen. Aku genapin 100 bab nanti aku tamatin langsung aja ya, teman-teman.
😊😊😊
"Memang itu urgent banget sampai harus ditanyakan malam ini juga?"
"Nggak juga sih." Kirana bangkit dari kursi rias dan mendekati Gama yang sudah kembali berbaring di atas ranjang. "Aku lupa mematikan ponsel, maaf," ujarnya memosisikan diri di sebelah pria itu. "Mas Gama masih marah?"
"Kamu pikir?" sahut Gama terdengar sinis.
"Nanti aku bilangin deh sama dia biar nggak telepon malam-malam lagi."
"Bukan itu masalahnya, Kirana." Gama malah tambah uring-uringan.
"Terus gimana? Tadi Mas bilang dia nggak punya otak kalau telepon malam-malam." Kirana menatap heran suaminya. Itu hanya sebuah telepon bukan masalah besar.
"Aku nggak suka kalau ada laki-laki lain yang menghubungi kamu," jujur Gama. Namun pernyataan itu membuat mulut Kirana sontak terbuka.
"Termasuk Bapak dan Bayu?" tanya Kirana, tatapnya dibuat sepolos mungkin.
"Ya kalau mereka sih nggak masalah. Mereka kan keluarga kamu."
Kirana mengangguk-anggukkan kepala. Detik berikutnya dia menyenggol lengan kekar Gama yang melipat di dada. "Mas cemburu, ya?" tanya Kirana setengah menggoda.
"Cemburu? Yang benar saja!" sangkal Gama. Namun wajah salah tingkah di tengah rasa kesalnya gara-gara telepon tadi bisa Kirana lihat dengan jelas.
"Oh, nggak, ya. Kalau enggak kenapa Mas marah-marah?"
Pria bermata tajam itu berdecak. "Udahlah, terserah kamu. Aku ngantuk mau tidur."
Kata 'yes' dari bibir Kirana meluncur pelan saat Gama menarik selimut dan merebah memunggunginya. Kalau begini Kirana bisa puas tidur sampai pagi. Ini yang dia harapkan.
Tangan Kirana terulur dan menekan tombol sakelar lampu kamar, lalu menggantinya dengan lampu tidur. Baru dia kembali menyusul Gama, merebah di sisi pria itu. Tidak ada kata selamat malam seperti biasanya. Gama masih tetap pada posisi memunggungi wanita itu.
Namun Kirana, salah. Selamat di malam hari belum tentu selamat di pagi hari. Saat dia hendak menyiapkan pakaian ganti untuk Gama, dari belakang pria itu menarik tubuhnya. Tanpa aba-aba Gama mendorong tubuh Kirana menghadap meja rias membuat wanita itu terpekik.
Tangan lelaki itu menarik ke atas pencil skirt yang Kirana kenakan hingga sebatas pinggang. Ditariknya pinggang Kirana mendekat.
"Mas, ini sudah siang." Kirana berusaha mengingatkan saat suaminya melucuti celana dalamnya. Namun, ucapannya hanya dianggap angin lalu oleh pria itu.
Gama melepas handuk yang melilit pinggangnya. Dan miliknya yang sudah siap, bergerak mendorong. Pas pada sasarannya. Dari pantulan cermin dia bisa melihat wajah kesakitan Kirana saat hujaman keras dia layangkan lagi. Entah setan apa yang merasuki pria itu pagi ini. Permainannya pagi ini begitu kasar dan membuat Kirana kewalahan.
Wanita itu terus mengerang dan menjerit. Rasa sakitnya berubah menjadi rasa nikmat saat Gama mulai memberikan rangsangan-rangsangan ringan pada bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.
Kemeja yang Kirana kenakan sudah berantakan. Kancingnya bahkan sudah berhamburan karena Gama membukanya secara paksa. Dari meja rias, Gama membawa tubuh Kirana memepet ke dinding. Dengan posisi berdiri dan saling memeluk, mereka melanjutkan kegiatannya.
"Kirana, aku akan segera sampai," bisik Gama di tengah napasnya yang memburu.
Tidak ada jawaban. Hanya erangan dan desahan yang wanita itu keluarkan. Sepatah kata pun rasanya tak sanggup Kirana ucapkan. Dia sudah ditelan gairah.
Dengan cepat Gama memindahkan tubuh istrinya ke tempat tidur. Ditariknya dua tungkai Kirana yang mengenakan heels lima senti lalu dia hujamkan kembali miliknya di sana. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
"Mas... Bisa lebih cepat lagi?" ucap Kirana, seraya menyusupkan tangannya ke balik lengan kekar suaminya.
"As your wish." Seringai iblisnya muncul. Menuruti ucapan Kirana Gama makin mempercepat tempo gerakannya, dan tidak berapa lama miliknya terasa terjepit sempurna di bawah sana bersamaan dengan lenguhan panjang Kirana yang mengudara.
***
"Kiran, nitip!" Lita menyerahkan sebuah kertas persegi dengan cover hardbox. "Undangan ulang tahun Beta Grup buat Pak Gama."
"Oke." Kirana lanjut kembali menuju ruangan CEO. Beberapa menit lalu dia dan Gama baru sampai di kantor lagi setelah meninjau pabrik baru yang sedang direnovasi di daerah Bogor.
"Kirana, sini sebentar. Lihat ini."
Kirana yang baru memasuki ruangan CEO bergerak mendekat. "Ada apa, Mas?" Dia beranjak duduk di kursi, tapi sebelum itu terjadi Gama mencegahnya.
"Nggak akan kelihatan kalau kamu duduk di situ. Sini ke sebelahku," pinta Gama lagi.
Memutari meja lebar milik pria itu, Kirana pun berdiri di sebelah Gama. Badannya sedikit condong ke depan untuk bisa melihat apa yang Gama tunjukkan.
"Bagus enggak?" tanya Gama.
Pada layar laptopnya Gama menunjukkan gambar sebuah fasad rumah.
"Bagus, nggak terlalu mewah juga kelihatannya."
"Di dalamnya ada empat kamar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, ruang keluarga, dapur yang menyatu dengan ruang makan dan ada juga taman di dalam rumah."
Kirana hanya mengangguk mendengarnya. "Oke, tapi ini rumah siapa? Mas mau pindah ke sini?"
Gama menggeleng, dia tersenyum lantas memutar kursi, menghadap istrinya. Lelaki itu mendongak karena posisinya yang duduk sementara Kirana berdiri. Pria itu masih hanya tersenyum tanpa mengucapkan apa-apa hingga Kirana kembali bertanya.
"Mas? Itu bener bukan rumah baru kamu?"
"Bukan."
"Jadi, kenapa kamu nunjukin gambar itu ke aku?"
Alih-alih menjawab, Gama malah menepuk pangkuannya, mengisyaratkan agar Kirana duduk di sana.
"Ini kantor, Mas."
"Siapa yang bilang ini pasar?" Gama mencondongkan badan dan menarik pinggang Kirana agar mendekat padanya. "Kelamaan."
Panik menyerang Kirana. Kepalanya bergerak menoleh ke arah pintu. Sejak kejadian Silvana yang memergokinya tengah berciuman tempo hari, wanita itu agak trauma jika Gama sudah mulai usil begini.
"Mas, nanti ada orang masuk. Lepasin."
"Pintunya kamu kunci, kan?"
"Enggak."
Gama mengulurkan tangan dan menekan tombol interkom yang menghubungkan langsung dengan meja sekretaris. Suara Lita tidak lama terdengar.
"Ya, Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Lita, tolong kalau ada tamu jangan langsung kamu biarkan masuk. Kamu wajib memberitahu saya lebih dulu."
"Oh, baik, Pak."
Kirana hanya menggeleng melihat kelakuan suaminya itu.
"Beres, kan?" tanya Gama memandang wajah istrinya kembali.
"Mas masih ingat kan? Di rumah kita suami istri, tapi di kantor kita tetap pada posisi masing-masing." Kirana memiringkan kepala menunggu balasan ucapan itu.
"Aku nggak lupa. Lagi pula, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Ya, kalau colek dikit boleh kan?"
Kaki Kirana melangkah mundur namun dengan cepat Gama mengeratkan pelukannya.
"Jadi, itu rumah siapa?" tanya Kirana kembali ke topik awal.
Gama melirik laptopnya yang masih terbuka. "Ah, iya hampir lupa. Ini salah satu rumah rancangan arsitekku. Rencananya buat rumah orang tua kamu. Gimana?"
Ada tatap terkejut yang Kirana tunjukkan. Rumah untuk orang tuanya?
"Mas, aku masih sedang mengumpulkan uang untuk membangun rumah bapak dan ibu," ujar Kirana, menelan ludah. "Lagi pula rumah di kampung nggak perlu arsitek. Itu biayanya pasti mahal."
Pria pemilik rahang tegas di depan Kirana menggeleng. "Uang itu mending kamu simpan atau kamu gunakan untuk keperluanmu lainnya. Aku udah pernah janji sama kamu kalau proyek di Malaysia itu goal, aku akan memenuhi semua permintaan kamu kan? Apa pun tak terkecuali renovasi rumah kamu yang di kampung," terang Gama.
Kirana masih sangat ingat. Tapi, renovasi rumah apalagi menjadi sebagus gambar yang di laptop tadi itu memerlukan biaya besar. Bagaimana mungkin Gama mau memberinya secara cuma-cuma?
"Nggak usah aja, Mas. Biar aku kumpulin uang dari hasil kerjaku. Aku nggak enak sama kamu."
"Astaga, Kirana, kenapa nggak enak, sih? Kita kan sudah menikah. Dan kamu tau, aku merasa sejak menikah sama kamu makin dimudahkan saja dalam memperoleh proyek besar. Rejeki seolah mengalir deras, jadi apa salahnya aku bagi itu sama istriku dan keluarganya."
Tunggu! Apa ini benar ucapan bos iblis yang suka berkata kasar padanya dulu? Pria yang selalu membentak dan mengkritisi cara kerjanya? Rasanya seperti mimpi, pria itu berkata begitu bijak padanya.
"Mas, kamu udah minum infus water pagi ini?" tanya Kirana memastikan.
"Udah." Gama mengangguk.
"Kalau vitamin?"
"Udah juga."
"Mas yakin nggak salah ambil vitamin, kan?" tanya Kirana lagi.
"Kalau itu, aku nggak tau, nggak terlalu memperhatikan juga," jawab Gama acuh tak acuh.
"Mas, serius," seru Kirana gemas.
"Aku juga serius malah kamu nanya hal lainnya." Gama mengembuskan napas, lalu melepas rangkulannya pada pinggang Kirana.
"Maaf, Mas. Aku cuma bingung. Kamu benar-benar berubah. Kadang aku mikir ini cuma prank aja," ucap Kirana menyuarakan isi hatinya.
"Prank?"
Dengan wajah polosnya Kirana mengangguk. "Kamu nggak lupa bagaimana dulu bersikap sama aku kan, Mas? Nggak ada secuil pun ucapan baik yang keluar dari mulut kamu tentang aku. Bentakan kamu bahkan menjadi makanan keseharianku. Jadi, jujur sikap baik kamu sekarang, bikin aku takut. Takut semuanya cuma fatamorgana," ungkap wanita berhidung lancip itu.
Senyum Gama raib, dia memutar kursi dan kembali menghadap laptop. "Jadi, kamu lebih suka aku yang dulu atau aku yang sekarang?" tanya Gama menatap nanar layar laptopnya yang masih menyala menampilkan gambar fasad rumah yang terus bergerak-gerak.
"Aku suka kamu yang sekarang," sahutnya seraya menjulurkan tangan, menyentuh pundak pria yang saat ini memunggunginya.
Mata Gama melirik tangan Kirana yang hinggap di pundaknya. "Meskipun pernikahan kita belum resmi secara hukum dan negara, aku tetap akan memperlakukan kamu layaknya seorang istri. Aku bersikap baik ke kamu bukannya udah hal yang pantas kamu terima? Dan, yang perlu kamu tau ini bukan fatamorgana."
Kirana mengangguk. Gama hanya sedang menjadi suami yang baik, tidak sepatutnya dia meragukan sikap baik pria itu.
"Apa kamu begini hanya karena aku istri kamu?" tanya Kirana, mencoba menyelami isi hati manusia yang pernah bertindak seenaknya padanya itu.
Gama memutar kursi dan kembali menatap Kirana. "Ya, tentu saja. Istri bagiku ratu. Yang harus aku lindungi dan aku jaga."
Bukan, bukan itu jawaban yang Kirana harapkan. Tapi setidaknya sekarang dia tahu posisinya di hati Gama. Yang tidak lebih hanya seorang istri bagi pria itu.
"Bagaimana jika suatu saat aku jatuh cinta sama kamu?" tanya Kirana dengan pandangan menunduk.
Gama sempat tertegun selama beberapa saat. "Maksud kamu?"
Kirana mengangkat wajah dan menatap lurus suaminya. "Kalau kamu bersikap baik terus, aku bisa jatuh cinta sama kamu, Mas. Itu hal yang paling aku takutkan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro