91. Kekhawatiran Kirana
Maaf ya, untuk semua cerita akan ada keterlambatan dalam upload cerita. Soalnya aku masih ada di luar kota selama seminggu ke depan. Jadi, agak belum bisa fokus nulis. Harap dimaklumi ya, Gaes.
Ini juga nggak diedit, maklumin kalo banyak typo yah. Atau kosakata yang berantakan. Hahaha
______
Pukul sepuluh Kirana baru tiba di kantor. Bagus! Gama membuatnya seperti karyawan yang tak punya aturan. Karyawan yang bagaimana jam sepuluh baru masuk?
Lita di balik mejanya mengernyit melihat kedatangan Kirana. "Lho, kamu masuk? Aku kira kamu izin hari ini," sapanya begitu batang hidung asisten Gama tersebut nongol di kantor.
Kirana nyengir. "Izinnya cuma sampai jam sepuluh aja, Mbak."
"Ooh." Lita tersenyum lalu beranjak berdiri. "Mau ngopi? Aku ngantuk banget kemarin lembur sampai pukul sebelas malam."
"Jaga kesehatan, Mbak. Nanti sakit lho."
"Mana bisa? Sekarang malah kerjaanku tambah banyak." Lita menuding tumpukkan berkas di atas mejanya. "Tiba-tiba Pak Gama bilang kamu nggak boleh pegang laporan kantor dan tetek bengek lainnya. Semua kerjaan yang biasa kamu tangani dilimpah ke kami."
Kirana merasa bersalah di sini. "Sebenarnya aku juga nggak setuju, Mbak. Tapi, Pak Gama nggak tau kenapa tiba-tiba begitu."
Lita mendesah. "Apa boleh buat, kita kan cuma pekerjanya, nggak mungkin nolak, kan? Bisa-bisa kita dipecat. Yuk, ikut nggak?"
Kirana menggeleng. "Nggak, deh, Mbak. Aku langsung masuk aja. Pak Gama belum selesai rapat?"
"Belum, paling bentar lagi. Tadi dia rapat sama Maria."
Kirana mengangguk lantas masuk ke ruang CEO yang merangkap menjadi ruang kerjanya. Dia mendekati meja Gama dan merapikannya sebentar. Baru kemudian beranjak ke meja kerjanya sendiri.
Tak berapa lama, pintu terdengar terbuka. Dia melebarkan senyum dan siap menyambut Gama, tapi urung kala mendengar suara seorang wanita yang menyertai suaminya itu.
"Aku bingung, Gam."
Kirana tahu persis itu suara Silvana. Kedua orang itu berjalan menuju meja kerja Gama dan sepertinya belum menyadari kehadiran Kirana di ruangan itu.
"Sudah aku bilang dari awal, kan, perjodohan kalian nggak akan berhasil? Dia terima kamu cuma karena aku," ucap Gama.
"I know, tapi aku juga cinta sama dia, Gam. Perjodohan ini seperti aji mumpung buat aku deketin dia. Tapi dia malah nggak mikirin perasaan aku."
Kirana masih diam dan tak bersuara, dua orang itu juga masih di posisi membelakangi meja kerja Kirana. Sehingga masih belum menyadari keberadaan wanita itu.
"Dan apa kamu memikirkan perasaanku?"
"Jangan mulai lagi, deh, Gam."
"Kamu tau persis gimana perasaan aku ke kamu. Dan, well, kamu juga mengabaikan aku."
"Memangnya kamu masih menyukaiku?"
"Aku—"
Tanpa sadar Kirana mengatupkan bibirnya kuat-kuat. Rasanya dia tidak sanggup mendengar kelanjutan obrolan mereka berdua.
"Selamat pagi, Mas." Sapaan Kirana memotong ucapan Gama.
Dua orang yang membelakanginya itu spontan menoleh mendengar sapaannya.
"Hei, Kirana. Kamu sudah datang?" sambut Gama, dengan ekspresi tanpa merasa bersalah. Silvana di sebelahnya juga tampak biasa-biasa saja.
"Aku pikir Mas masih rapat," ucap Kirana melirik Silvana.
"Oh, sebenarnya rapat sudah kelar setengah jam yang lalu, sih. Tadi aku ketemu Silvana jadi kita ngobrol sebentar."
"Oh." Kirana mengangguk lantas kembali duduk. Berusaha mengabaikan mereka. "Silakan dilanjut saja."
Mata tajam Gama menyipit melihat reaksi Kirana yang tampak lain.
"Gam, aku cabut dulu, deh, ya. Mau ke kantor Raja. Kali aja dia bisa aku bujuk. Bye." Wanita cantik itu lantas pergi meninggalkan ruangan Gama setelah sebelumnya melambaikan tangan sebentar kepada Kirana.
Sepeninggalan wanita pujaannya itu, Gama bergerak mendekati Kirana. Dia menarik kursi dan duduk di depan wanita itu sembari tersenyum.
"Kapan kamu sampai? Kok nggak kasih kabar?" tanya Gama menyangga dagunya dengan sebelah tangan sembari memandangi Kirana.
Wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu pura-pura sibuk di depan layar komputer. "Kan Mas lagi rapat, mana berani aku ganggu," sahut Kirana tanpa melepas pandangan dari layar.
"Tidur kamu nyenyak? Kamu bangun jam berapa?"
"Saat Mas menelepon aku baru bangun."
"Udah sarapan?"
"Udah."
Tiba-tiba Gama memutar layar PC, mengganggu kegiatan istrinya itu. "Kamu lagi ngerjain apa, sih? Kan semua kerjaan kamu udah aku kasih ke Lita dan Maria."
Kirana membuang napas kencang. Lalu menatap malas suaminya itu.
"Kenapa? Ada sesuatu?" tanya Gama membalas tatapan itu. "Atau kamu masih capek gara-gara semalam?" Dia menyeringai.
Lagi wanita 22 tahun itu menarik napas. "Mas Gama masih menyukai Mbak Silvana?" tanya Kirana.
Lelaki dengan setelan jas hitam itu sedikit tertegun mendengar pertanyaan itu. "Kenapa kamu menanyakan itu?"
Tangan Kirana memutar layar PC agar kembali menghadapnya. "Aku cuma ingin tau," sahutnya tanpa menatap lelaki itu. "Tapi kalau Mas nggak mau jawab nggak apa-apa."
Gama menyandarkan punggungnya ke kursi. Dua tangannya saling bertautan sementara sikunya bertumpu pada sandaran lengan. "Aku nggak tau."
Jawaban ambigu lelaki itu membuat Kirana kembali menoleh padanya. "Mas nggak tau perasaan Mas sendiri?"
"Aku nggak suka Silvana bersama Raja."
"Dengan kata lain Mas cemburu dengan kedekatan mereka?"
Gama mengedikkan bahu. "Mungkin. Udah, sih. Kenapa jadi bahas itu? Perasaanku ke Silvana sudah nggak penting lagi."
Kirana kembali menatap layar PC-nya. Bagi Kirana perasaan lelaki itu penting. Tiap malam dia menemani Gama tidur, menyerahkan segalanya. Namun, jika hati dan kepala lelaki itu masih mengingat wanita lain jelas itu menyakitinya. Meski Kirana sadar pernikahannya dengan Gama tidak didasari cinta, tapi ... ah!
Lagi wanita yang mengenakan blouse bergaris itu mengembuskan napas lelah.
"Mau aku buatkan kopi?" tanya Gama seraya berdiri.
"Mas, apa suatu saat kamu akan menceraikan aku?" tanya Kirana detik berikutnya. Sampai kaki Gama yang hendak melangkah urung.
Lelaki pemilik tulang hidung tinggi itu menatap dengan pandangan tak mengerti. Dia menarik napas untuk menghalau dadanya yang mendadak panas gara-gara pertanyaan bodoh Kirana.
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang belum terjadi," ucapnya berusaha menahan suaranya agar tetap tenang.
"Seenggaknya apa kamu memiliki niat untuk meninggalkan aku?" kejar Kirana lagi.
Gama bergerak dan beranjak menuju pantri. "Omong kosong."
"Bagaimana seandainya pertunangan Pak Raja dan Silvana gagal? Apa Mas mau menerima Silvana?"
Gama menengadahkan kepala. Tampaknya emosinya sudah tidak bisa dia tahan lagi.
"Kamu bisa diam tidak?!" teriaknya, yang serta-merta membuat Kirana terlonjak. "Apa tidak ada pertanyaan lain?! Pertanyaan kamu bikin mood-ku kacau!"
Dengan kesal Gama mendorong kasar sebuah kursi hingga benda itu membentur dinding. Untuk kedua kalinya Kirana terlonjak. Detik selanjutnya lelaki itu menghela langkah meninggalkan ruang kerjanya sambil membanting pintu keras-keras.
Mata Kirana terpejam seketika. Ada rasa ngilu yang menghantam dadanya. Apa pertanyaannya salah? Apa Kirana tak punya hak menanyakan sebentuk kekhawatirannya?
"Sikap kamu membuatku tau perasaanmu yang sesungguhnya, Mas," ucap Kirana lirih. Hatinya mendadak berdenyut hebat dan matanya terasa perih. Dia menengadahkan wajah berusaha menghalau air matanya agar tidak jatuh.
"Kenapa aku harus jatuh cinta pada manusia kejam itu, sih? Nyebelin," gerutunya sembari menyeka sudut matanya yang basah.
Kirana menegakkan punggung kembali, dan menepuk dadanya. "Kamu kuat, Kirana. Bukannya kamu datang ke sini untuk bekerja?" Dia mengangguk mantap, dan berdeham sejenak, melegakan tenggorokannya. Dia tidak boleh cengeng hanya karena cinta.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro