83. Merahasiakan Pernikahan
Aku mau info, Gaes. Besok aku mau rilis cerita baru lagi. Nanti mohon mampir ke sana dan dukung, ya.
Padahal Gama dan Ribel belum tamat yak wkwk. Yah, mau gimana lagi aku maruk ikut event nubar, jadi terpaksa harus dikerjain semua 🤣
Aku spill covernya dulu aja, ya. Besok baru up!
🔥🔥🔥
Kirana tidak berani mengangkat wajah. Jarak wajahnya dengan wajah lelaki itu nyaris tak terpaut. Jika dia nekat menaikkan pandangan sudah bisa dipastikan akan terjadi hal yang tak diinginkan.
Di posisi seperti ini saja jantung Kirana seperti mau melompat dari rongganya. Kirana menyesali itu, tapi ini memang sulit dia kendalikan. Miris, di saat dadanya berdegup kencang, belum tentu juga lelaki yang mengungkungnya saat ini memiliki degup yang sama. Itu artinya hanya dia yang memiliki perasaan ini. Menyedihkan.
"Aku mau mandi, Mas."
Gama menyeringai, tangannya masih memeluk pinggang ramping Kirana. "Mandi memang kegiatan yang cocok untuk melepas rindu."
Rindu karena tidak meniduri Kirana, begitu?
"Mas, aku—" Kirana tidak lagi melanjutkan kata-katanya saat Gama menjepit dagunya hingga wajahnya terangkat.
"Kamu hutang 10 hari, Kirana. Dan kamu bisa mencicilnya dari sekarang."
Gama tidak membiarkan wanita itu protes, dia bergerak mencecah bibir Kirana yang setengah terbuka dan melumatnya begitu dalam.
Kirana nyaris kehabisan napas, tangannya menggapai apa pun untuk menghentikan reaksi bosnya yang sedang gila. Sebuah bantal berhasil dia gapai, lalu dengan cepat dia memukulkan bantal tersebut ke kepala Gama. Tidak sakit, tapi mampu membuat Gama melepas ciumannya.
"Kenapa kamu memukulku?!" bentak lelaki itu terlihat kesal. Momen itu digunakan Kirana untuk menyingkir dari dekapan Gama.
"Jangan bergerak, Kirana. Atau kamu akan tahu akibatnya."
Ya Tuhan, pria itu kenapa? Sikap baik yang lelaki itu tunjukkan saat Kirana terkena musibah, raib entah ke mana. Dia seperti orang kerasukan setan lagi. Kirana benar-benar bingung.
"Sebenarnya Mas kenapa?" tanya Kirana menatap ngeri lelaki di hadapannya itu.
"Kamu yang kenapa? Kamu nggak lupa kan kalau kita sekarang suami istri?"
"Aku nggak lupa." Kirana melengos. Bahkan dia sendiri yang meminta Gama menikahinya.
"Jadi, bersikaplah seperti layaknya seorang istri. Aku cuma menciummu, tapi kamu seperti nggak ikhlas dan malah memukulku." Gama mendengus sebal.
"Maaf." Kepala Kirana penuh hal buruk tentang pria itu. Setelahnya Kirana segera bergerak keluar dari kamar. Bergabung dengan si Mbok lebih baik daripada satu kamar dengan Gama.
"Kirana, berhenti!"
Seruan Gama tidak Kirana hiraukan. Dia terus melangkah keluar kamar dengan perasaan yang sedikit kacau. Dia bergerak turun ke lantai bawah. Langkahnya lantas membawa dirinya menuju halaman samping rumah.
Kirana membuang napas kencang-kencang di sana sembari meraba dadanya yang masih berdetak keras.
"Kirana!"
Suara Gama terdengar dari dalam rumah. pria itu masih mencarinya. Rasa panik menyerang kembali, Kirana beringsut dan bersembunyi di tempat yang tidak bisa Gama jangkau. Dari posisinya sayup-sayup dia mendengar Gama menanyakan keberadaannya pada si Mbok.
Entah apa yang dia lakukan di sini, sebagai seorang istri harusnya dia menurut pada suami kan?
Kirana bernapas lega saat tidak lagi mendengar suara Gama memanggil. Dia menyandarkan diri ke dinding seraya memejamkan mata. Namun, tanpa dia duga ponsel yang ada di saku roknya berdering. Dering yang lumayan kencang. Kirana kembali panik, dan segera merogoh saku roknya mengambil ponsel tersebut.
Matanya kontan melebar saat melihat nama yang tertera bersama layar yang menyala. Dia menelan ludah gugup, dan segera menggeser ikon panggilan berwarna merah. Itu tadi panggilan dari Gama.
Namun, Kirana tidak beruntung. Saat mengalihkan pandangan, tidak jauh dari tempatnya tampak Gama tengah menyeringai di sana.
"Ternyata istriku bersembunyi di sini." Dia mendekat.
Kirana diserang rasa panik yang luar biasa. Dia tidak bisa menghindar karena tidak ada jalan keluar. Bodoh.
"Tempat ini terlalu sempit untuk bercinta, Sayang. Badanmu nanti akan sakit," ucap Gama makin membuat Kirana takut.
"Mas jangan begini, aku beneran lelah," ujar Kirana tampak putus asa.
"Aku akan menyembuhkan lelah itu." Gama makin mendekat.
Kirana tidak bisa melangkah mundur. Tidak ada jalan baginya lagi. Dia hanya bisa menjerit saat Gama memanggul tubuhnya, membawanya seperti karung beras.
"Mas, turunkan aku!" teriaknya memberontak.
"Istri itu harus nurut apa kata suami," ujar Gama tidak peduli teriakan Kirana. Telapak tangannya lantas memukul bokong Kirana yang tertutup rok.
Merasakan pukulan itu mata Kirana membulat. Gama makin kurang ajar saja. "Mas, turunkan aku!"
Satu pukulan dia terima lagi.
"Mas!"
"Makin kamu teriak, itu artinya kamu minta dipukul."
Sial! Mau tak mau, Kirana merapatkan mulutnya. Dia pasrah saja saat Gama membawanya kembali ke kamar. Lalu dengan tidak sopannya lelaki itu membanting tubuhnya ke atas ranjang.
"Kamu itu kenapa jadi membangkang gini? Bersikap baik sedikit agar aku nggak nyakitin kamu. Bukannya kamu yang memaksaku menikahi kamu?" tanya Gama dengan nada menyebalkan. "Aku tau kamu lelah, maka aku akan menyembuhkan lelahmu."
Kirana tidak menjawab dia hanya menatap pria itu dengan napas naik turun.
"Kenapa melotot begitu? Kamu nggak percaya?" Gama kembali menyeringai, dia lantas bergerak dan merangkak naik ke atas tubuh Kirana yang terlentang. Bertumpu pada dua tangan dan lututnya, Gama memandangi wajah kesal Kirana dari atas.
Bibir Gama menyasar ke ceruk leher Kirana, lalu menghidu aroma perempuan itu dalam-dalam. Dia mengecup basah di sana membuat jejak kepemilikan hingga rintihan Kirana terdengar.
Gama menjauhkan wajah dan menatap Kirana. "Aku ingin pernikahan ini kita rahasiakan. Di rumah kita suami istri, tapi di kantor tetap pada posisi masing-masing," ucap Gama, mengundang tatapan Kirana.
"Begitu juga saat di kampus. Aku ingin Mas merahasiakan status kita."
Dahi Gama mengernyit. Dia melupakan hal ini. Setiap petang Kirana akan berkuliah, dan di kampusnya nanti wanita itu akan menemukan orang-orang baru. Mendadak Gama tidak suka memikirkannya. Dia berguling dan merebah di sisi Kirana.
"Aku akan menjemputmu tiap pulang kuliah," putus Gama.
"Itu nggak perlu, aku bisa pulang sendiri," tolak Kirana. Dia tidak mau menjadi beban lelaki itu.
"Nggak. Aku akan menjemputmu. Kenapa? Apa ada seseorang yang sudah menarik perhatianmu di sana?" Gama bergerak menyamping, menghadap Kirana.
"Nggak ada." Mana mungkin dia sempat memikirkan itu sementara di kepalanya penuh nama bosnya.
"Jadi, nggak masalah, kan kalau aku menjemput kamu?"
"Terserah, Mas Gama saja."
Gama kembali terlentang, menatap Langit-langit kamarnya yang tinggi. "Sepuluh hari nggak ada kamu rasanya aneh. Nggak biasanya aku begini. Padahal sebelum ada kamu juga semua baik-baik saja," akunya seraya menatap nanar ke atas. Dia lantas bergerak ke samping, kembali menghadap Kirana, dan menyangga kepalanya dengan tangan. "Kamu gitu juga enggak?"
Pertanyaan itu membuat Kirana gugup. Jelas dia juga merasakan hal sama. Mungkin dibanding pria itu dia memiliki perasaan rindu yang jauh lebih besar.
"Aku nggak tau."
"Apa?" Gama ternganga. "Mana mungkin kamu nggak tau sama perasaan kamu sendiri?"
Bukan tidak tahu. Lebih tepatnya tidak mau tahu. Biar bagaimana pun dia tidak akan mengakui hal yang ujung-ujungnya bisa menyakitinya.
Gama kembali mengempaskan diri ke kasur. "Aku pikir selama di sana kamu merindukan aku," ujarnya kecewa, lalu membuang napas. "Padahal di sini napasku rasanya sesak berjauhan sama kamu."
Kelanjutan ucapan Gama membuat Kirana serta merta menolehkan kepala padanya. Apa maksud pria itu?
__________&&&_________
Konflik internal Gama-Kirana sebenarnya udah selesai. Tinggal confess aja. Kalau aku lanjutkan, bakal nyerempet ke tokoh lain kayak Silvana, Raja, dan Nugo. Tapi kita liat ntar aja deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro