79. Mahar Pernikahan
Sudah hampir 80 bab. Kemungkinan akan aku tamatin sekitar 10 bab lagi. Takutnya kalian yang baca pada mabok karena babnya kebanyakan. Wkwk.
Biar aku bisa fokus ke UNDER COVER. Oh ya yang belum baca, bisa langsung baca ya. Ubek-ubek aja profilku tapi jangan lupa follow hehe.
Wkwk. Yok kita kawal mereka sampe jadi dulu.
Jangan lupa vote dan komen ya, teman-teman.
🔥🔥🔥🔥
-
-
-
Ibu itu wanita yang kuat. Sepanjang Kirana hidup bersamanya, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah mengeluhkan apa pun meskipun harus berjuang mencari nafkah bersama suaminya yang hanya seorang petani.
Ibu sosok yang sangat Kirana teladani. Dia tidak pernah mengeluh apa pun kesulitan yang dia hadapi. Darinya Kirana banyak belajar. Bagaimana dia menjadi seorang yang kuat dan tidak mudah menyerah karena terinspirasi dari sang ibu.
Jadi, ketika dokter bilang ibu memiliki kelainan katup jantung karena terdapat lubang pada sekat jantungnya, dia rasanya tidak percaya. Tuhan pasti sedang mengajaknya bercanda. Selama ini Ibunya tidak pernah mengeluhkan apa pun. Tapi, kenapa tiba-tiba dokter memvonis begitu?
Kirana berjalan lunglai di koridor rumah sakit yang sepi. Penat yang bergelayut terasa makin berat ketika mendapat kabar itu. Dia menjatuhkan diri di kursi tunggu rumah sakit. Beberapa kali wanita itu menghela napas berat. Dokter juga bilang perlu tindakan lanjut yaitu operasi yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Kirana, saya membelikanmu makanan."
Kirana menoleh dan mendapati Gama ada di dekatnya. Setelah pulang ke rumah menjelang senja, lelaki itu langsung bersiap mengantar Kirana ke Jogja.
Delapan jam menempuh perjalanan dari Jakarta menuju rumah sakit umum Kota Bantul nyaris mata Kirana tetap terjaga. Sesekali mengantuk namun cepat terjaga kembali. Hingga dirinya bertemu dengan dokter pagi ini, matanya masih belum mau terkatup.
"Kamu belum sarapan." Gama duduk di sebelah Kirana. Di tangannya membawa satu kantong plastik berisi makanan. "Jangan sampai kamu sakit juga."
"Tapi saya nggak lapar, Mas."
Gama menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ketika istirahat dalam perjalanan Jakarta-Jogja wanita itu juga tidak mau mengisi perut. Wajahnya sudah pucat karena semalaman tidak tidur.
"Mau saya suapin?" tanya Gama menatap iba asistennya itu.
Kirana menggeleng. "Mas aja yang makan. Saya beneran nggak lapar."
"Kirana, saya tau kamu sedih. I feel you karena saya juga pernah ada di posisi kamu. Tapi seenggaknya ibu kamu masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan hidup dengan jalan operasi. Kalau saya dulu, ibu saya nggak bisa. Ibu pergi tanpa mengucapkan apa pun. Dan parahnya, belum genap satu bulan ibu pergi, ayah malah membawa wanita lain dan seorang anak lain ke rumah. Kamu tau gimana perasaan saya saat itu?"
Kirana tertegun mendengar cerita Gama. Dia hanya mendengar, tapi bisa merasakan sakitnya.
"Jadi, saya mohon jaga diri kamu, demi ibu kamu. Sekarang makan, ya?" bujuk Gama lagi.
Wajah pias Kirana bereaksi. Kepalanya lantas mengangguk, dan berhasil membuat Gama tersenyum.
"Mau saya suapi?" tanya Gama sembari membuka mealbox yang dia bawa.
"Biar saya makan sendiri aja." Kirana mengambil alih mealbox tersebut dan mulai memakannya. Meski rasanya sulit saat menelan, tapi dia mencoba memaksakan diri.
"Mas sudah makan?" tanya Kirana melihat tidak ada mealbox lain selain yang ada di tangannya.
"Sudah, tadi bersama Marco."
Kirana mengangguk dan kembali menekuri kotak makan dari kertas itu tanpa minat.
"Siapa yang sekarang jaga ibu kamu?"
"Bapak." Kirana memejamkan mata mengingat wajah lelah ayahnya. Wajah yang tampak sudah makin tua itu seperti banyak menyimpan beban. Baru saja akan menjalani hidup yang lebih baik, ada saja cobaan yang hadir.
"Kapan operasi ibu kamu kata dokter."
Itu yang sejak tadi Kirana pikirkan juga. Dokter bilang ibunya harus segera menjalani operasi biar kerusakan pada organ vital tersebut tidak makin parah. Tapi, terkendala biaya yang cukup besar.
"Dokter bilang kalau bisa secepatnya."
"Kalau begitu laksanakan secepatnya. Ibu kamu harus segera mendapatkan tindakan yang terbaik."
Ah, mudah sekali lelaki di sampingnya mengatakan hal itu tanpa memikirkan keadaan Kirana. Dari mana dia bisa mendapatkan uang ratusan juta?
Kirana tidak menjawab. Dia diam sesaat memikirkan cara untuk bisa mendapatkan uang untuk operasi ibunya. Mungkinkah Gama mau meminjamkannya?
Tapi rasanya aneh kalau belum genap dua bulan bekerja sudah mau meminjam uang ratusan juta. Namun, tiba-tiba kepalanya teringat sesuatu yang mungkin bisa menjadi jalan keluar masalah ini.
"Mas..." Kirana menatap lelaki di sebelahnya. Dia menggigit bibir, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi kepalanya.
"Ya?"
"Apa... Mas Gama masih mau menikahi saya?"
Ditanya tiba-tiba seperti itu mata Gama mengerjap perlahan. Dia bingung kenapa Kirana mendadak menanyakan hal tersebut.
"Itu... umm... Iya, tapi kenapa kamu—"
"Saya mau menikah sama Mas Gama," potong Kirana langsung. Membuat Gama melongo untuk beberapa saat.
"Tapi kenapa tiba-tiba begini? Kita kan—"
"Saya mau menikah dengan Mas Gama asal Mas mau memberi maskawin uang senilai biaya operasi ibu saya."
Gama kontan terbelalak mendengar ucapan Kirana. Apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan?
"Kirana, saya mau saja menolong kamu. Tapi nggak begini caranya."
Kirana menggeleng. "Saya nggak mau berhutang budi sama Mas. Katakanlah itu sebagai syarat pernikahan kita."
"Tapi—"
"Jika Mas Gama setuju, kita bisa menikah sekarang juga."
Apa? Gama menganga tak percaya. Padahal jika Kirana minta bantuan padanya untuk biaya operasi ibunya, Gama jelas mau membantu.
"Kirana, ini kenapa kesannya kayak saya membeli kamu, ya?" Gama mengempaskan punggung ke sandaran kursi.
"Anggap saja begitu," sahut wanita itu ringan, seolah itu bukan hal yang besar.
Gama membuang napas. Dia sama sekali tidak pernah berpikir ke arah sana. Tujuan dia menikahi Kirana hanya ingin melindungi wanita itu dari tindakannya sendiri yang kadang kurang terkontrol. Namun, kenapa sakitnya ibu Kirana malah seperti aji mumpung begini?
"Memang kamu nggak masalah menikah dengan saya karena uang?" tanya Gama masih kurang yakin dengan ucapan asistennya. Mungkin saja Kirana hanya sedang kacau dan kepalanya sedang tidak bisa berpikir dengan benar.
"Sebenarnya bukan karena uang. Tapi, karena ibu harus segera mendapat penanganan."
"Astaga, Kirana." Dua tangan Gama memegangi kepalanya sendiri. "Saya bisa bantu kamu untuk soal itu. Kamu nggak perlu melakukan hal yang kamu sendiri nggak mau."
Wanita berambut lurus itu menoleh. "Memang Mas Gama udah nggak mau menikahi saya?"
"Ya... Ya... Nggak gitu. Cuma alasan kamu itu lho yang bikin saya—ah, Kirana." Lelaki itu menatap Kirana putus asa.
Kirana berhasil menandaskan isi mealbox dengan susah payah. Dia meremas kotak berbahan karton itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Sebaiknya Mas siapkan maharnya saja. Lalu kita menikah secepatnya," ucapnya lantas berdiri. "Saya akan memberi tahu bapak soal ini sebelum Mas ngomong langsung sama bapak. Biar Bapak nggak terlalu syok."
Gama tidak bisa berkata-kata saat wanita itu beranjak pergi menuju ruang rawat inap ibunya berada.
"Lakukan saja apa yang Nona Kirana minta, Tuan. Bukannya itu kebetulan?"
Gama menoleh dan menatap sebal penjaganya yang sekarang sudah duduk di sebelahnya. "Kebetulan? Ini malah seperti aku sedang memanfaatkan kesulitan mereka. Aku nggak mau begini."
"Anggap saja Tuan sedang membantu mereka. Dibuat simpel saja, toh itu kemauan Nona Kirana sendiri. Bukan Tuan yang maksa."
Kembali Gama mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Matanya terpejam, mendadak kepalanya terasa ngilu.
"Ucapan Tuan ternyata benar-benar terjadi. Nona Kirana sendiri yang akhirnya minta Tuan nikahi."
_______
Nggak hamil duluan ya Kirana. Wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro