Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

77. Menikah

Big thanks buat yang masih stay di sini. Terima kasih juga buat yang sudah selalu meramaikan. Sayang kalian banyak-banyak.

Yang nggak suka, nggak apa-apa. Bisa melipir ke ceritaku lain yang udah tamat. Kalau masih belum suka juga yaa monggo bikin plot sendiri, biar aku yang jadi pembaca. Wkwk.

Yuk, ah! Lanjut lagi. Bab ini kudedikasikan buat yang selalu vote dan komen yang bikin aku ketawa, meringis, dan tersenyum.

Happy reading

❤️❤️❤️


-


-

-


Langit mendung saat Kirana hendak berangkat ke kampus pagi ini. Beberapa kali dia mendesah. Pasalnya ini hari pertamanya menjalani ospek. Niatnya untuk naik ojek sepertinya harus ditunda lantaran langit mulai menurunkan gerimis.

"Harus banget pake baju hitam putih dan pita merah, ya?"

Kepala Kirana menoleh dan menemukan Gama dengan setelan jas yang tadi pagi Kirana pilihkan, mendekat.

Kirana memandang tubuhnya sendiri. "Ya, mereka bilang harus memakai pakaian begini. Tapi nggak apa-apa sih daripada saya harus memakai seragam sekolah lagi."

Kaki Gama mundur selangkah lalu memperhatikan Kirana agak jauh. "Kamu masih pantas jadi anak SMA," katanya menilai penampilan asistennya saat ini. "Tapi, apa kemejamu itu nggak kekecilan?" tanya Gama memusatkan perhatian pada kemeja Kirana yang lengannya wanita itu lipat hingga tiga per empat 

Pandangannya lalu jatuh tepat di bagian dada Kirana yang tidak terlalu besar namun tampak sekal. "Kamu bisa ganti kemeja yang agak longgaran."

"Saya hanya punya satu ini, Mas."

"Mau pinjam kemeja saya?" tanya Gama dengan nada setengah menggoda.

Kirana mendesah. "Yang ada mereka menertawakan saya kalau pakai kemeja Mas Gama. Mereka pasti berkomentar pakai kemeja raksasanya siapa?"

Ucapan Kirana membuat Gama sontak menggeram. Berani sekali wanita itu menyebutnya raksasa. Sekali sentak Gama berhasil menarik tubuh Kirana mendekat.

"Kamu tahu, raksasa ini bisa memakanmu setiap waktu?" bisik Gama membuat Kirana menelan ludah.

Aroma kayu manis dan citrus langsung terhidu. Kirana merasa mulai menyukai aroma tubuh Gama. Wanginya menghangatkan. Dan, dia diam saja ketika pria itu menunduk dan mendekatkan wajah.

Nyaris saja Gama menyentuh bibir Kirana lagi ketika suara petir yang menggelegar membuatnya terkesiap. Refleks Gama menatap langit. Awan-awan hitam menggantung di atas sana. Lalu sesaat kemudian hujan turun begitu deras.

"Sepertinya kamu bakal gagal ospek hari ini, Kirana," ucap Gama menyeringai. Dia suka derasnya hujan pagi ini. Kontras dengan Kirana yang terlihat menghela napas berat.

Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Gama dan bergerak ke sofa ruang tamu. Dia memandang hujan dari kaca jendela lebar yang berada tepat di samping sofa. Tangannya bertumpu pada kepala sofa, sementara dagunya bersandar di atas tangan yang  saling bertumpu. Dia terlihat seperti orang galau.

"Percuma kamu pandang hujan seperti itu. Mereka nggak akan berhenti cuma karena kamu pelototi." Bukannya berangkat ke kantor karena supirnya sudah menunggu, Gama malah duduk di depan Kirana.

"Saya nggak minta hujan berhenti, kok. Saya cuma lagi menikmati bunyi hujan. Saya dulu suka main hujan-hujanan bersama adik-adik," ujar Kirana tanpa melepas tatap dari rintik air yang jatuh ke bumi.

"Kalian tidak takut sakit?"

Kirana menggeleng. "Ibu hanya membiarkan kami bermain selama sepuluh menit. Tidak lebih karena kami nanti bisa menggigil."

"Mau main hujan-hujanan lagi?" Sebuah ide melintas di kepala Gama.

Kirana spontan menatap lelaki berparas sempurna di hadapannya. "Itu bukan ide bagus. Sebaiknya Mas Gama berangkat kerja atau bakal terkena macet di jalan."

"Cuaca seperti ini orang-orang juga pasti pada malas bekerja."

"Itu hanya berlaku buat bos seperti Mas Gama. Bagi kami yang cuma pekerja jelas itu hal yang mustahil." Kirana menarik napas panjang lantas beranjak berdiri. "Saya juga harus berangkat sekarang."

"Aku antar."

"Kampus dan kantor berlawanan arah, Mas."

"Nggak masalah. Saya akan mengantarmu lebih dulu sebelum ke kantor. Lagi pula sekarang sedang hujan deras."

Kirana tidak bisa menolak. Jarang-jarang juga kan Gama bersikap baik? 

***

"Kirana, malam minggu kemarin...."

Jantung Kirana seolah berhenti berdetak mendengar Gama membahas kejadian malam itu. Sebenarnya Kirana ingin melupakan saja.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Gama melirik ragu wanita di sampingnya. 

"Saya...." Kirana menunduk, dua tangannya meremas ujung roknya. "Saya nggak apa-apa, Mas."

Gama menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Saya sudah memikirkannya. Secepatnya kita akan ke Jogja lagi."

Jogja? Kirana menoleh cepat. "M-mau apa, Mas?"

"Saya akan minta ayah kamu untuk menikahkan kita."

Serta-merta mata Kirana terbelalak. "Menikah?"

"Saya tau kamu pasti belum siap. Kamu juga baru mulai kuliah. Jadi, kita mungkin bisa menikah secara agama dulu. Setelah lulus nanti, kamu bisa memutuskan. Tetap bersama saya atau meraih cita-citamu sendiri."

Ini tidak pernah terpikirkan. Kirana memang sudah memberikan segalanya kepada Gama. Tapi bukan berarti dia meminta pertanggungjawaban lelaki itu. Dia tidak mau memaksa Gama yang mencintai orang lain untuk menikahinya.

Dia sadar semua yang terjadi antara dirinya dan Gama semata-mata hasrat masing-masing yang tidak terkontrol.

"Mas Gama tidak perlu melakukan itu. Orang tua saya bisa syok kalau tiba-tiba Mas mau menikahi saya."

"Saya takut menyakiti kamu lagi."

Wanita yang mengepang rambut panjangnya itu menunduk. "Mas Gama mencintai Mbak Silvana. Mana bisa menikahi saya begini?"

Silvana? Bahkan Gama ragu apakah masih mencintai wanita itu. Yang dia tahu saat ini, di sisi asistennya itu dia merasa nyaman. Gama tidak mau cepat menyimpulkan ini cinta atau sejenisnya. Dia hanya ingin menjalani apa yang membuatnya merasa nyaman.

"Mungkin saja kamu bisa membuat saya melupakan Silvana." Gama mengangkat bahu.

"Itu sepertinya mustahil. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Mbak Silvana," sahut Kirana tersenyum miris. "Mas Gama tenang saja. Saya tidak akan menuntut apa-apa. Jadi jangan merasa terbebani."

"Kirana, bukan begitu maksud saya. Saya—"

"Mas, saya nggak mau membahas soal ini lagi," sela Kirana cepat.

Menikah dengan seorang pria yang masih mencintai wanita lain itu menyakitkan. Kirana ingin menikah dengan seseorang yang bisa membalas cintanya. Dan orang itu bukan Gama.

Gama menghela napas, lalu memutuskan diam hingga mobil berhenti di teras lobi gedung kampus Kirana.

"Terima kasih buat tumpangannya," ucap Kirana sebelum membuka pintu mobil.

Gama membuang napas kasar begitu Kirana keluar. "Jalan, Pak," pintanya kembali kepada supir di depan.

"Saya tidak menduga Nona Kirana menolak menikah dengan Anda, Tuan." Sosok Sukma muncul. Duduk tepat di tempat yang tadi Kirana duduki.

"Dia tidak menolak. Dia tidak akan bisa menolak. Aku pasti akan menikahinya," sahut Gama penuh dengan keyakinan. "Dia sendiri nanti yang akan memintaku menikahinya."

Bibir Sukma menyeringai. "Tuan terlalu percaya diri. Apa yang membuat Tuan begitu yakin?"

"Entah. Tapi aku yakin dia akan datang dan memintaku menikahinya."

Sukma yang hari ini mengenakan outfit serba gold itu mengangguk-anggukan kepala. "Dia mungkin tidak mau menikahi Tuan, karena Tuan tidak mencintainya. Atau mungkin dia tidak mencintai Tuan."

"Respons tubuhnya tidak berkata begitu."

"Maksud, Tuan?"

Gama berdecak sebal. "Sudahlah, Sukma. Kamu nggak akan paham. Dan daripada kamu membuatku tambah galau, mending kamu bujuk Kirana agar dia mau menikah denganku."

Tanpa Gama duga, penjaganya itu malah tertawa. "Apa Anda lupa, beberapa waktu lalu Anda menolak menikahi Nona Kirana? Kenapa sekarang malah ngebet menikahi dia?"

Pria dengan tatanan rambut lurus ke belakang itu menggeram. "Berisik kamu, Sukma."

________

Kira-kira apa maksud Gama, Gaes? jgn lupa komen ya. 😉


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro