Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

72. Marini

Kirana mengangguk takut-takut.

Lalu dengan kasar Gama melepas cengkeraman tangannya pada lengan wanita itu.

"Kenapa, kenapa Bapak melakukan ini sama saya?" tanya Kirana pelan seraya mengusap lengannya yang masih terasa sakit.

"Apa maksud kamu?" Gama kembali menatap sebal asistennya itu.

Dada Kirana kembali merasa sesak. Kemarin dia benar-benar merasa seperti orang yang dicampakkan.

"Tolong jangan pernah menyentuh saya lagi," ucap Kirana dengan bibir bergetar. "Itu menyakiti saya." Lalu tanpa bisa dicegah, air matanya meluncur begitu saja.

Gama tertegun melihat pipi Kirana basah. Wanita itu mencoba menyembunyikan air mata. Namun, Gama tahu Kirana menangis, meski tidak ada suara isakan di sana. Pelan pria berahang tegas itu menarik napas panjang dan mengembuskannya.

"Saya minta maaf soal kemarin. Saya cuma sedang bingung," ucap Gama tanpa menoleh kepada Kirana yang tengah menyembunyikan tangis. "Saya benar-benar bingung."

Tangannya terangkat hendak meraih puncak kepala Kirana, namun urung. Dia hanya berhasil menggenggam udara, lalu kembali menarik tangannya.

***

Kirana bersyukur karena rapat dengan klien kali ini bukan dia yang menemani Gama, melainkan Lita. Sebenarnya dia wajib ikut ke mana pun Gama pergi, tapi lelaki itu seolah memberi ruang kepadanya untuk sendiri.

Kirana sedang membuat laporan ketika ponselnya bunyi. Matanya menyipit melihat nomor asing tertera pada layar benda pipih itu. Dengan tangan yang masih sibuk mengetik, dia mengangkat panggilan dengan tangan lainnya.

"Halo," sapanya.

"Halo, Kiran. Sibuk, ya? Sori nih, aku ganggu kamu."

Suara yang sangat familier. "Nugo?"

"Ya Tuhan, kamu nggak nyimpan nomor aku?" tanya Nugo di ujung sana.

"Sori, ponselku kemarin ganti jadi nomor kamu masih ada di ponsel lama," sahut Kirana nyengir, dia lantas meninggalkan aktivitasnya sebentar untuk berbicara dengan orang yang akan menjadi seniornya di kampus nanti. "Gimana, Nug. Ada yang bisa aku bantu?"

"Kamu kaya customer service aja. Emang kalau aku nelpon kamu karena butuh bantuan doang?"

Mau nggak mau Kirana terkekeh. "Sori. Abis tumben banget kamu telepon aku."

"Aku mau mastiin aja. Apa malam ini kamu bisa aku ajak makan malam?"

Pertanyaan itu membuat Kirana diam sesaat. Dia ingat ajakan Gama untuk menghadiri Grand opening restoran milik temannya. Dan Kirana menolak, jelas karena dia masih sakit hati.

"Pukul berapa?" tanya Kirana.

"Sekitar pukul tujuh."

"Oke. Bisa. Tapi kita ketemu di tempatnya langsung nggak apa-apa kan?" Kirana tidak mungkin membiarkan Nugo menjemputnya di rumah Gama. Dia bisa diinterogasi habis-habisan.

"Boleh, kalau begitu sampai ketemu nanti malam."

Bukan tanpa alasan Kirana menerima ajakan makan malam itu. Dia ingin menyegarkan pikiran. Membuang jauh-jauh segala hal yang membuat hatinya sakit. Apalagi yang bersangkutan dengan Gama.

Begitu sambungan telepon terputus, pesan dari Raja masuk. Dan yang membuat Kirana mengerutkan kening, di pesan itu Raja menanyakan soal malam minggunya.

Kirana mencubit ujung hidung, merasa geli sendiri membaca pesan itu. Kepalanya menggeleng, dan tanpa berniat membalas pesan itu dia melanjutkan pekerjaannya lagi.

Kirana sadar, dia nggak akan terus bekerja sendiri seperti ini. Pagi ini dia memang bebas dari tugas menemani Gama rapat bersama klien, tapi saat siang menjelang, dia kembali ikut pria itu untuk menemani makan siang bersama perwakilan Hana Bank.

Meskipun rasa kesalnya pada lelaki itu masih ada, Kirana tetap bersikap profesional.

"Pastikan posisi duduk kamu ada di samping swyq terus, Kirana," ucap Gama ketika keluar dari mobil.

"Baik, Pak."

"Mas kamu nggak lupa panggilan itu, kan?"

"Tapi kita sedang ada—"

"Saya nggak peduli, Kirana."

Kirana menghela napas dan mengangguk. "Baik."

"Sebisa mungkin tetap di sisi saya meskipun Bu Marini meminta tukar posisi." Lagi Gama memperingatkan.

"Baik, Mas."

Kirana belum pernah bertemu dengan wanita yang bernama Marini, tapi sepertinya ada sesuatu yang Gama sedang waspadai soal wanita itu.

"Selamat siang, Pak Gama my heart. Long time no see."

Kirana mengerjap-ngerjapkan mata melihat wanita di hadapannya sekarang. Diakah yang bernama Marini? Seorang tante-tante yang bisa Kirana perkirakan berusia sekitar 40 tahunan.

Pakaian yang wanita itu kenakan sangat seksi, terkhusus bagian dada dan pinggulnya yang menonjol. Dandanan wajahnya begitu berani, dengan gincu berwarna terang benderang yang bisa menggoyahkan iman.

Marini langsung menyambut Gama dengan pelukan dan cipika-cipika. Lalu tangannya langsung merangkul lengan Gama. Lagi-lagi Kirana mengerjap melihat tingkah ajaib wanita itu.

Gama mencoba menyingkirkan tangan Marini dari lengannya. Dia terlihat sangat tidak nyaman.

"Maaf, Kenalkan, Bu. Dia asisten pribadi saya. Namanya Kirana," ujar Gama mengenalkan Kirana pada Marini.

"Oh, asisten kamu beda lagi, ya? Halo, saya Marini." Bulu mata palsu wanita itu berkedip saat berkenalan dengan Kirana.

Kirana sendiri hanya tersenyum kaku sembari menyebut namanya.

"Ayo, silakan duduk." Marini mempersilakan keduanya duduk. "Pak Gama di sini saja, dekat dengan saya biar ngobrolnya enak."

Gama meringis. "Saya di sini saja, Bu. Bersama Kirana."

Meja mereka memiliki sofa panjang tanpa lengan yang saling berhadapan. Kirana mempersilakan Gama masuk terlebih dulu, baru kemudian dia menyusul di sampingnya.

Marini harus menelan kecewa saat Gama lebih memilih duduk bersama asistennya. Padahal wanita itu sangat merindukan lelaki itu.

"Saya membawa kerja sama menarik buat perusahaan kamu. Niatnya saya ingin berinvetasi untuk pabrik baru kamu yang ada di daerah Sumedang," ucap Marini memberitahu tujuannya mengajak makan siang Gama, setelah memesan beberapa menu.

"Wah, bagus itu. Apa ini investasi milik Hana Bank?"

Marini menggeleng. "Itu investasi pribadi saya. Saya yakin kamu tertarik dengan pembangunan pabrik di sana untuk menumbangkan pesaing kamu." Wanita itu tersenyum penuh muslihat. "Bukan hanya investasi, saya juga menawarkan kerjasama lain yang tak kalah besar. Saya akan membantu kamu untuk bisa mengakuisisi satu per satu perusahaan milik Raharja Grup."

"Wow, menarik." Gama masih menyimak dengan senyum tenang. "Tapi, tentu saya harus membayar mahal, kan?"

Marini tersenyum penuh arti. "Tentu. Kita kan sedang berbisnis."

Obrolan mereka terjeda ketika pesanan datang. Gama memutuskan makan siang terlebih dulu sebelum mendengar kelanjutan kerjasama yang Marini tawarkan. Firasatnya sudah tidak enak, tapi dia tetap berusaha sabar.

"Kenapa kamu singkirkan kacang-kacang itu?" tanya Gama melihat Kirana menepikan kacang-kacang yang bertaburan pada makanannya.

"Saya alergi kacang-kacangan," sahut Kirana.

"Oh, kamu bisa menaruh kacang itu di piring saya."

Kirana langsung menggeleng. "Ah, itu nggak perlu. Ini—"

Mata Kirana terbelalak ketika Gama menyendok kacang-kacang dari piring Kirana dan memindahkannya ke piringnya sendiri.

"Sudah nggak ada kacangnya. Kamu bisa makan dengan tenang."

Kirana meringis kaku. Ini menyebalkan. Kenapa dia harus bertingkah seolah-olah peduli seperti ini, sih?

Apa yang Gama lakukan tak luput dari perhatian Marini di depannya. Bibir merahnya melengkung. "Kamu perhatian sekali, ya sama asistenmu," komentarnya.

"Mutualan saja, sih, Bu. Dia juga perhatian sama saya, jadi saya pun sebaliknya," sahut Gama kalem.

Marini makin melengkungkan bibir. "Mutualan, ya? Hm, menarik. Kalau urusan ranjang, kalian mutualan juga tidak?"

Mendengar itu Kirana menghentikan kunyahannya seketika, nyaris saja dia keselek makanannya sendiri. Sementara Gama di sampingnya langsung tersedak dan terbatuk-batuk.

___________

Jangan lupa ramaikan ya, Gaes. Marini ini bakal jadi batu loncatan bersatunya Gama-Kirana, kayaknya sih. Hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro