Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

70. Bingung

Woah udah sampai bab 70 nih, Gaes. Hayoloh, siapa yang belum follow authornya? Follow dulu ya sebelum lanjut.

Pastikan juga kamu ramaikan tiap babnya dan jangan lupa ngevote ya....

Dari judul, kira-kira siapa nih yang lagi bingung? Gama atau Kirana?

Muehehehe....

Happy reading

❤️❤️❤️


-


-



-





Melewati meja sekretaris dan workstation, Gama terus membawa Silvana keluar dari kantornya menuju lobi. Di lantai lokasi kantornya berada ada sebuah lobi tersendiri, berguna sebagai ruang tunggu saat ada tamu yang ingin bertemu dengannya.

Lobi tersebut memiliki fasilitas Coffe bean dengan interior yang cukup estetik. Gama membawa Silvana duduk di salah satu sudut sofa lobi tersebut.

"Sori, aku nggak lagi-lagi, deh datang tiba-tiba begitu," ujar Silvana mengangkat dua tangannya dengan dua alis naik tinggi-tinggi.

Gama mengembuskan napas kasar. "Tadi itu... Nggak seperti yang kamu pikir, Sil."

Kepala Silvana menggeleng. "It's OK, Gam. Itu hal yang wajar. Aku paham."

"No, no, no, pasti kamu mikirnya macam-macam karena liat hal tadi."

Silvana terkekeh. Entah apa yang sebenarnya mau Gama jelaskan. "Jadi?"

"Aku dan Kirana nggak ada hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan," ujar Gama mencoba menjelaskan agar Silvana tidak salah paham.

"Ya ampun, Gam. Kalau pun kamu ada sesuatu sama dia aku nggak masalah. Itu malah bagus, kan?"

Gama gusar dan mengusap wajah. Bagaimana cara menjelaskannya kepada Silvana?

"Kamu sangat tahu, Kirana sama sekali bukan tipeku. Jauh sekali dari tipeku. Lagi pula dia berasal dari kampung dan ada banyak hal yang dia belum tau,"

"Lantas? Memang kenapa kalau Kirana berasal dari kampung?" tanya Silvana heran. "Gama, kamu laki-laki dewasa begitu pun Kirana dia perempuan dewasa. Kalau kalian saling jatuh cinta itu wajar."

"Jatuh cinta? Kamu terlalu berlebihan. Aku nggak mungkin jatuh cinta sama dia."

Silvana menganga tak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. "Kalau nggak, maksud kamu mencium dia tadi itu apa?"

"Itu..." Gama memijat keningnya yang mendadak berdenyut. "Itu khilaf, sebuah kesalahan. Aku nggak sadar melakukannya."

"What?!" Silvana makin heran. Detik berikutnya dia terkekeh. "Kamu bercanda. Yang kayak gitu bukan kesalahan, Gama. Astaga." Dia menepuk kening.

"Ya lantas?" Gama merentangkan tangan. "Aku nggak cinta kok sama dia. Apa lantas sebutannya kalau bukan khilaf dan kesalahan?"

"Kamu tega kalau mengatakan itu sebuah kekhilafan. Asistenmu itu gadis lugu dan baik-baik aku lihat, jahat kalau kamu melakukan itu padanya hanya karena nafsu. Kamu jangan mempermainkan dia, Gam," ujar Silvana serius, menatap lurus-lurus sahabatnya. "Kalau kamu cuma mau mainin dia, hentikan, tapi kalau kamu memang mencintai dia, maka lebih baik segera kamu nyatakan."

"Silvana, aku—"

Silvana mengibaskan rambut sebahunya lantas berdiri. "Pikirkan kataku baik-baik. Jangan coba-coba jadi brengsek. Sahabatku Gama yang manis bukan orang yang suka memainkan perasaan perempuan. Aku pergi dulu." Dia melambaikan tangan dan bergerak meninggalkan Gama yang masih tampak gusar di atas sofa. 

"Arrgh!" erang Gama frustrasi, dia lantas mengusap wajahnya. "Kenapa, sih dia harus lihat? Sial!" Dia membanting punggung ke sandaran sofa.

"Khilaf dan tidak sadar?" suara Sukma terdengar, lalu tawanya membahana di setiap sudut lobi. Hanya wujudnya saja yang tidak tampak.

"Diam kamu, Sukma!" teriak Gama, membuat orang yang berada di lobi sontak menoleh dan menatap aneh padanya.

***

Bisu. Selama dalam perjalanan menuju rumah, keheningan memeluk  mereka. Gama menyibukkan diri dengan tabletnya. Kirana pun sama, dia sibuk mempelajari fitur-fitur ponsel baru pemberian Raja.

Jarak lima belas menit yang biasa mereka tempuh entah kenapa mendadak terasa lama. Ditambah lagi saat ini mobil mereka terjebak macet. Waktu lima belas menit, berasa lima belas tahun.

Pandangan Kirana memang tertuju ke layar ponsel, tapi beberapa kali dia menghela napas lelah. Bukan lelah karena bekerja, tapi lelah karena  sejak peristiwa siang tadi, Gama jadi mendiamkannya.

Lelaki itu seperti tengah marah padanya, di saat seharusnya Kirana-lah yang berhak marah lantaran lelaki itu tiba-tiba menciumnya. Namun, lelaki sombong itu bertingkah menyebalkan. Bahkan di saat macet seperti ini, Gama tidak mengajaknya mengobrol.

Dan sesampainya di halaman rumah setelah melewati waktu yang terasa seperti lima belas tahun lamanya itu, Gama tetap saja diam. Begitu mobil berhenti, lelaki itu turun begitu saja tanpa menunggu Kirana.

Untuk kesekian kalinya Kirana menghela napas. "Dia kenapa, sih?" gumamnya sebelum turun dari mobil. Tidak lupa dia membawa jas dan tas kerja Gama. 

"Selamat sore, Mbok," sapa Kirana begitu melihat si Mbok di ruang tengah sedang bersih-bersih.

"Sore, Nduk." Wanita tua itu tersenyum, lalu membiarkan Kirana pergi ke lantai dua.

Kirana memasuki kamar Gama terlebih dulu untuk menyimpan tas dan jas lelaki itu. Sosok Gama tidak terlihat ketika dia masuk. Meski begitu, Kirana tetap menyiapkan pakaian ganti seperti biasanya. Kemungkinan besar lelaki itu sedang mandi. Setelahnya, Kirana pun bergegas keluar menuju kamarnya sendiri.

Keduanya kembali bertemu di dining room ketika makan malam. Lagi-lagi tak ada suara yang mengiringi kegiatan makan malam mereka. Gama masih diam bahkan ketika Kirana melayaninya. Hingga sampai jam tidurnya menjelang, tidak ada suara berisik Gama yang biasanya selalu meneriakkan namanya.

"Apa yang sudah mereka bicarakan?" tanya Kirana dalam hati. Dia merasa sejak menemui Silvana, sikap Gama berubah. Kirana akan lebih tenang jika lelaki itu marah-marah seperti biasanya daripada diam seperti ini. Benar-benar di luar kebiasaan lelaki itu. 

Sementara itu, di dalam kamar, tepatnya di balkon kamar, Gama pun terlihat sama bingungnya. Dia kesal dengan ucapan Silvana siang tadi, juga kesal kepada diri sendiri. Dan semua rasa kesal yang bertumpuk di dalam dadanya tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah Kirana. Namun, anehnya untuk hal ini dia tidak bisa meluapkan emosi pada wanita itu seperti biasa. Entahlah, Gama benar-benar bingung.

"Anda galau, Den?"

Sosok si Mbok muncul tiba-tiba di sisi Gama. Namun, kali ini dalam wujud perempuan yang sangat cantik dengan pakaian modern ala wanita metropolitan. 

Gama hanya meliriknya sekilas tanpa menjawab.

"Nggak biasanya Anda galau karena wanita? Ini keajaiban," ucap si Mbok lagi seraya tersenyum manis.

"Aku tidak galau karena wanita. Jangan mulai sok tahu seperti Sukma, deh," tukas Gama, beringsut masuk ke dalam kamar.

Si Mbok berwujud wanita cantik yang mengenakan gaun merah terang sebatas lutut itu tersenyum seraya mengikuti Gama.

"Wajah Kirana terlihat murung juga. Apa terjadi sesuatu di antara kalian? Anda memarahinya lagi?" tanya si Mbok, terdengar mendesak.

"Nggak Udah, deh, lebih baik kamu pergi sekarang. Teman-teman kamu udah nungguin. Aku mau istirahat. Capek." Gama mengibaskan tangan membuat gerakan mengusir, lalu dirinya segera naik ke ranjang tidur.

Si Mbok terkekeh sebentar, lantas langkahnya terantuk menuju pintu keluar.  "Sukma, coba kamu hibur tuanmu itu," ucap si Mbok sebelum membuka pintu.

"Kamu cantik sekali, mau ke mana?" tanya Sukma dengan mata berbinar.

"Aku mau ke kelab malam, mau ikut?" si Mbok menyeringai lalu mengedipkan mata.

"Kelab bukan tempatku. Teman mainku bukan si Manis Jembatan Ancol seperti kamu " sahut Sukma lantas menghilang.

Si Mbok tertawa dan segera keluar dari kamar Gama. Kakinya yang terbungkus stiletto terantuk membentur lantai. Dia lantas segera beranjak menuruni tangga.

Si Mbok tidak tahu, bahwa di salah satu kamar lainnya, sepasang mata telah melihatnya keluar dari kamar Gama dengan mulut ternganga. 

________

si Mbok ini .... ada yang tau dia siapa? wkwk
Kok tiba-tiba jadi wanita cantik?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro