63. Kamu, Mas
Duh, maaf ya, aku belum sempet balas-balas komen kalian. Tapi serius itu moodbaster buat aku produktif nulis.
Terima kasih all. 😍😍
Aku up awal, ya. Soalnya mau kerja dulu. Under Cover ntar malam juga. up lagi. Stay tune.
❤️❤️❤️
-
-
-
Dari balik meja kerjanya, Gama terus mengawasi gerak gerik Kirana. Wanita itu benar-benar mulai mencurigakan. Sesekali Kirana tersenyum sendiri, lalu menoleh kepada benda tipis di mejanya. Dan tiba-tiba akan serius menghadap layar komputer.
Wanita itu juga kadang terlihat berpikir sembari menggigiti ujung penanya. Lalu mengulas senyum lagi sebelum menekuri pekerjaannya. Sial, Gama bisa melihat aura yang sangat berbeda pada asistennya itu.
"Kenapa dia terus tersenyum seperti itu?" gumam Gama penasaran. Rasanya tidak sudi kalau Kirana mengumbar senyum karena Raja. Ah, tapi benarkah gara-gara Raja? Gama menyipitkan mata seraya menopang dagu, memperhatikan Kirana yang entah sedang menulis apa. Hingga ...
"Pak, kalau notulen rapat kem—"
Topangan dagu Gama sontak terlepas saat tiba-tiba Kirana bersuara dan mengangkat wajah. Hal itu tidak Gama prediksi, jadi dia sedikit terkejut membuat tangan dan kepalanya terjatuh.
"Bapak baik-baik saja?" tanya Kirana melihat kekonyolan bosnya barusan.
Gama tampak salah tingkah dan mengambil apa pun untuk mengalihkan perhatian. "Saya baik, memangnya saya kenapa?" sahutnya tanpa menatap Kirana.
Meski posisi meja mereka berjauhan, Kirana bisa dengan jelas menyaksikan wajah gugup dan salah tingkah bosnya. "Ooh, oke. Tadi saya cuma mau tanya notulen rapat tadi pagi ada sama siapa?"
"Itu ... mungkin sama Lita, kamu tanyakan saja padanya."
Kirana mengangguk kaku sambil terus memperhatikan sikap Gama yang tampak canggung. Tangannya meraih interkom dan menghubungi meja Lita.
"Ya, Kiran, Lita cantik di sini." Suara Lita langsung terdengar.
"Mbak notulen rapat tadi pagi masih sama, Mbak, kan?" tanya Kirana dengan mata yang tak lepas memandangi Gama. Dan hal lucu itu terjadi, Gama di mejanya juga tampak meliriknya, lalu buru-buru membuang pandang saat tahu Kirana tengah menatapnya. Kirana mengulum senyum sesaat sebelum fokusnya tertuju ke interkom sepenuhnya.
"Iya, ada di aku. Aku kirim ke email, ya."
"Oke, Mbak. Terima kasih, ya." Kirana kembali mengangkat wajah dan melihat bosnya. "Bapak butuh sesuatu?"
"Tidak, saya tidak butuh apa-apa. Kamu lanjutkan saja bekerja," ucap Gama tanpa melihat ke arah Kirana.
"Oke, Pak."
Namun, tidak berapa lama nada panggilan masuk dari ponsel Kirana terdengar. Itu cukup membuat perhatian Gama teralihkan kembali. Dia sempat melihat senyum lebar Kirana sebelum wanita itu mengangkat panggilan.
"Halo, Ibu...."
Gama bernapas lega ketika mendengar Kirana menyebut ibu. Kepalanya sudah berpikir macam-macam saja. Seandainya itu telepon dari Raja, dia sudah berniat akan merebut paksa ponsel asistennya itu.
Setelah menerima panggilan telepon dari ibunya Kirana beranjak berdiri. Di tangannya membawa sebuah dokumen. "Pak, saya pamit sebentar, ya. Saya mau kasih ini ke tim koordinasi," ujar Kirana pamit.
"Oh, iya."
Belum ada tiga langkah berjalan, Gama memanggil Kirana kembali. Wanita itu berhenti dan menoleh. "Ya, Pak?"
"Itu..." Gama menuding samar. "Itu apa kamu bawa ponsel?"
Dahi Kirana mengernyit mendengar pertanyaan yang tak biasa itu. "Iya, saya bawa. Saya selalu bawa, kok. Jadi, Bapak tinggal menghubungi saya kalau butuh sesuatu."
Ya, Kirana benar. Tapi bukan itu maksud Gama. Dia hanya ingin memastikan Raja tidak menghubungi wanita itu saja. Namun, tentu saja dia tidak mungkin mengatakannya.
Gama hanya mengangguk pasrah, dan mempersilakan Kirana untuk pergi. Dia meremas rambutnya seketika saat wanita itu menghilang dari balik pintu.
"Sebenarnya aku kenapa?" geramnya kesal pada diri sendiri. Di tengah kegalauannya, tiba-tiba sebuah bola bekel menggelinding ke permukaan mejanya. Dia mengambil bola itu segera, lalu saat menoleh ke samping tampak bocah berkepala plontos tengah menunjukkan deretan giginya yang hitam.
"Main, main, main, Tuan," ucap bocah berkepala botak itu.
"Aku sedang pusing. Tidak ingin main." Gama melempar bola bekel itu dan langsung bisa bocah itu tangkap. Sejurus kemudian bocah itu berlarian dan mengumbar tawa di sekitarnya. Benar-benar mengganggu.
***
Di dalam mobil Kirana terus memperhatikan tablet tanpa menghiraukan Gama di sebelahnya yang masih saja terlihat galau. Entah apa yang wanita itu lihat sampai-sampai perhatiannya begitu penuh menghadap layar.
"Weekend nanti Bapak ada acara ke mana?" tanya Kirana, menoleh sesaat.
"Mana panggilan Mas kamu? Kita kan sekarang di luar kantor. Sudah bukan jam kerja kantor juga," sahut Gama mengabaikan pertanyaan Kirana.
"Oh, iya, lupa. Udah kebiasaan, sih, jadi agak susah." Kirana nyengir sebelum kembali fokus dengan layar tabletnya. "Jadi, ada jadwal ke mana, Mas?"
"Tidak ke mana-mana sepertinya."
"Mas yakin? Nanti tiba-tiba ada acara mendadak lagi." kali ini Kirana menyimpan tabletnya lalu mengalihkan perhatian kepada Gama.
"Aku ingin santai di rumah saja sepertinya. Kenapa?" Tidak seperti biasanya Kirana menanyakan jadwal akhir pekan.
Wanita yang masih terlihat cantik meskipun matahari hampir terbenam itu tersenyum dan sedikit menyerongkan badan menghadap Gama. "Begini, Mas. Boleh saya minta waktu sekitar dua sampai tiga jam besok?" tanya Kirana, berharap Gama mau memberi waktu.
Gama menegakkan punggung. Ini benar-benar di luar kebiasaan. "Memang kamu mau ke mana?"
"Saya akan menemui seorang teman."
Gama mulai curiga. Apakah mungkin itu Raja? "Teman siapa? Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan. Dia tetangga kosan saya dulu. Nggak lama, kok. Dua sampai tiga jam saja. Dia lagi sedih karena dengar gosip kosan itu mau digusur," ujar Kirana, menjelaskan.
"Bilang sama temanmu itu nggak akan pernah terjadi," ucap Gama yakin. "Saya nggak akan membiarkan Raharja Grup memiliki tanah itu dan mendirikan apartemen di sana."
"Benar kah? Bukannya Mas bilang mau mempertimbangkan akan membantu mereka asal mereka mau memberi imbalan yang sesuai?" Kirana ingat betul pertemuan terakhirnya bersama Raja.
"Itu hanya basa-basi saja. Bukannya kamu nggak ingin saya merusak acara makan siang itu. Kalau saya berkata secara langsung tidak mau membantu, si brengsek Raja itu pasti akan mendebat. Saya sedang malas meladeninya."
Bibir Kirana melengkung mendengar penjelasan Gama. "Syukurlah kalau kampung itu nggak jadi digusur."
"Jadi, kamu jangan terpengaruh dengan rayuan manis Raja. Jika dia mendekati kamu pasti ada hubungannya dengan proyek pembebasan tanah."
Kirana menoleh, dia tidak menyangka pikiran Gama dan dirinya sama. Raja terlalu memaksa ingin bertemu, bisa jadi ada hubungannya dengan proyek tersebut.
"Iya, saya tahu kok." Kirana melempar pandang ke jalan raya. Suasana sudah berubah jingga. Matahari hendak beranjak turun ke perut bumi.
Jika di desanya Kirana bisa melihat matahari terbenam di pematang sawah yang indah, tapi sekarang dia melihatnya di ujung kota. Masih sama indahnya. Kirana suka.
"Mas, mataharinya bulat banget," seru Kirana menunjuk raja siang yang menampakkan bentuk sempurnanya.
"Jadi, terlihat indah, kan?" tanya Gama ikut memperhatikan bola merah dengan latar belakang kota itu.
"Iya, indah banget. Siapa yang tahu dibalik keindahan itu menyimpan panas yang membara."
Mirip dengan Gama. Bosnya itu indah. Paras dan bentuk tubuhnya nyaris sempurna, tapi jika jiwa iblisnya keluar, tingkahnya benar-benar naudzubillah. Setan saja kalah.
"Apa yang kamu pikirkan ketika melihat matahari itu?" tanya Gama.
Tanpa melepas pandangannya dari bola merah yang bergerak turun perlahan ke garis cakrawala, Kirana menjawab. "Kamu, Mas."
_______
Hayoloh, Gama. Salting-salting, deh. Wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro