Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Dua Mahkluk Lain

Malam belum terlalu larut ketika keduanya tiba di hotel kembali. Baru beberapa menit lalu Kirana mengganti pakaiannya dengan piyama tidur yang dia beli juga dari Pasar Beringharjo. Berdiri di balkon kamar dengan memegang cangkir berisi teh hangat. Gemerlap lampu kota tampak indah terlihat dari atas kamar. Jauh di sana, sebentar lagi dia akan bertemu keluarganya. Kirana tersenyum sendiri membayangkan wajah kaget Bayu dan Rosma nanti.

"Ada yang menarik? Kenapa kamu senyum-senyum?"

Kirana kontan menoleh dan menemukan Gama dengan rambut basah. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi. Mengenakan kaos slim fit dan celana tidur panjang dengan motif garis vertikal.

"Bapak mau teh?" tanya Kirana.

"Boleh asal pake madu dan jeruk nipis," sahut Gama seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil.

"Kalau itu harus pesan dulu ke layanan kamar. Di kamar ini hanya ada teh seduh biasa." Kaki Kirana kembali masuk ke kamar.

"Kelamaan." Gama menyusul kemudian. "Lebih baik tidur karena besok harus berangkat pagi."

Kirana bergerak ke mini bar dan meletakkan bekas cangkirnya di sana. Setelahnya dia bergerak ke tempat tidurnya.

"Kamu yakin nggak mau tidur di sini?" tanya Gama menyeringai seraya menepuk sisi kosong tempat tidurnya yang lebar.

Bola mata Kirana mengarah ke atas, dan tak menghiraukan lagi ucapan Gama. Dia menarik selimut dan mulai berbaring.

"Padahal di sini kasurnya lebih empuk. Kamu juga bebas memeluk saya," ucap Gama lagi, disusul dengan tawanya yang menyebalkan. Lelaki itu benar-benar puas melihat wajah memberengut Kirana.

"Saya akan matikan lampu utama, Bapak tetap di situ dan jangan macam-macam." Kirana kembali beringsut turun dari tempat tidur lalu bergerak mematikan sakelar lampu. Dia tidak bisa tidur dalam keadaan terang.

"Saya nggak bisa tidur kalau gelap begini, Kirana."

"Bapak bisa menyalakan lampu tidur di samping tempat tidur Bapak."

Kirana menahan kuap, kelopak matanya terasa berat, dan sekali kepala menempel bantal, lelap langsung menghampiri.

Sementara Gama masih belum bisa merapatkan mata. Dirinya masih terjaga. Dia mengedipkan mata dan memanggil Sukma. Tak lama angin bertiup kencang menggoyangkan tirai putih yang menjuntai. Lampu tidur yang masih menyala berkedip beberapa kali. Lalu sosok Sukma muncul dalam balutan kabut asap, tepat di depan pembaringan Gama.

Sukma mengenakan beskap jawa berwarna merah hati lengkap dengan blangkon di kepalanya. Disambung kain batik keris dengan corak yang menawan.

"Anda melalui hari dengan sangat menyenangkan bukan?" tanya Sukma setelah sebelumnya memberikan salam hormat kepada Gama.

"Hmm, kurasa begitu."

"Seandainya tiap hari Anda bisa seperti ini, itu akan sangat baik untuk kesehatan Anda, Tuan. Emosi hanya akan membawa penyakit." 

"Jika dia tidak menyebalkan, tentu saja aku tidak marah. Aku marah bukan tanpa alasan, Sukma. Tapi ...."

Gama menggantung kalimatnya berusaha mencerna apa yang dia rasakan sepanjang hari ini.

"Aku tidak tahu ini apa. Tapi, di kota ini aku merasa tenang, dan lebih bisa mengendalikan diri saja."

Sukma tampak menghela napas panjang. Lalu tatapnya beralih kepada Kirana yang sudah nyenyak.
"Mungkin karena di sini tempat Nona Kirana dilahirkan."

Gama mengernyit dan ikut melirik kepada Kirana. "Apa hubungannya?"

"Hari ini saya melihat Aura Nona Kirana terpancar sangat terang. Apa Anda tidak berusaha mengecek tanda lahir Anda?"

Sesaat pria kekar itu tercenung. "Kemungkinan, tanda lahir Anda juga berubah warna."

Kepala Gama menoleh ke samping dan menyingkap kaosnya. Apa yang Sukma katakan benar. Entah sejak kapan tanda khusus di pinggangnya berubah menjadi warna keemasan. Persis seperti tanda yang Kirana punya.

"Itu yang membuat perasaan Anda membaik, Tuan," ujar Sukma seraya tersenyum. "Di sini selain saya, ada dua makhluk lain. Apa Anda melihatnya?"

Gama memejamkan mata perlahan dan menarik napas dalam, lalu kembali kelopak matanya terbuka. Mata batinnya yang terbuka langsung melihat dua makhluk yang Sukma maksud.

"Sial," umpatnya begitu melihat sosok wanita bergaun merah tengah menyeringai ke arahnya. Satu lagi ada di pojokan kamar. Makhluk yang sering orang sebut hantu pocong. Makhluk berbalut kain putih kotor itu memiliki wajah legam dengan bola mata yang nyaris keluar. Benar-benar menjijikan.

"Jangan biarkan mereka mengganggu Kirana, Sukma."

Sukma kembali mengulas senyum. "Asal Anda tidak macam-macam, mereka tidak akan mengganggu."

"Jadi, bagaimana aku bisa tidur jika mereka terus mengawasiku seperti itu?"

"Saya akan menjaga Anda dan Nona Kirana di sini. Anda istirahatlah."

Gama mengangguk, tatapnya kembali bergeser ke dua sosok itu lagi. Napas lelahnya lepas, dia mengusap wajah sebelum merebahkan tubuh. Perlahan, tapi pasti, matanya merapat. Semilir angin malam berhasil membawanya ke alam mimpi dengan segera.

***

Gama tidak melihat sosok wanita bergaun merah dan pocong berwajah legam ketika matanya kembali terbuka. Bahkan dia tidak melihat Sukma, serta Kirana di tempat tidurnya.

Ranjang tidur Kirana sudah terlipat ke dinding. Tidak ada sesuatu yang tersisa selain baju tidur wanita itu yang tergantung di depan pintu lemari.

Gama mengusap sudut mata dengan ujung jemari. Lantas beringsut turun dari ranjang tidur menuju mini bar. Dia menggapai botol infus water yang semalam sempat Kirana buat. Membuka tutup botol itu, dia meneguk isinya perlahan. Rasa segar jeruk lemon dan mentimun menyatu melewati tenggorokannya yang kering.

"Bapak sudah bangun?"

Suara Kirana terdengar bertepatan dengan habisnya infus water. Gama menoleh dan mendapati asistennya sudah berpakaian rapi.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Gama, melempar botol bekas minum ke tempat sampah.

"Belum. Saya nunggu Bapak bangun." 

Kirana merapikan tempat tidur, sementara Gama ke kamar mandi. Tanpa sengaja dia menemukan tiga bunga melati di bawah bantal tidur Gama.

"Dia dapat bunga melati dari mana?" gumam Kirana memperhatikan bunga yang masih wangi itu. Kirana mengabaikan dan membuang tiga bunga berwarna putih itu ke tempat sampah sebelum beranjak menyiapkan pakaian Gama.

"Pak Dharma bilang, beliau akan menunggu kita sekitar pukul sembilan pagi di pabrik. Pihak mereka sudah akan mempersiapkan mesin produksinya, Pak," ujar Kirana ketika membantu memakaikan kemeja bosnya.

"Secepat itu?"

"Iya. Dari kemarin mesin-mesin sudah datang dari kantor pusat."

"Mereka bilang para calon pekerja juga sudah mulai tahap tes ujian masuk."

Gama mengangguk-angguk sembari mengancing lengannya. "Kita bergegas saja. Setelah itu langsung lanjut jalan menuju ke desa kamu."

Kirana yang sedang menyimpul dasi lelaki itu tersenyum. "Terima kasih, Pak."

"Hmm." Tatap Gama terus mengawasi wanita di depannya dengan seksama. Hidung kecil, tapi runcing itu serta alis hitam Kirana membuat wanita itu terlihat begitu cantik. Bibir berwarna pinknya sedikit terbuka kala dia menarik simpul dasi. Lalu melengkung ketika melihat dengan puas hasil kerjaanya itu.

"Selesai," ucap Kirana, menepuk pelan dada bidang Gama. Dia hendak beranjak namun dengan cepat Gama menarik pinggangnya mendekat.

Kirana terkesiap. Tatapnya sontak  bertemu dengan tatap Gama. Rasa terkejut belum sempat hilang saat bibir sang CEO jatuh tepat mengenai bibirnya. Terang saja hal itu membuat bola mata Kirana serta-merta terbelalak. Kewarasannya membuat tangannya bergerak hendak memberontak. Namun, pelukan erat Gama mengungkung tubuhnya begitu kuat. Kirana makin gusar ketika Gama memiringkan kepala dan memperdalam ciumannya.

🙈🙈🙈🙈🙈🙈 Dia nggak tahan main sosor aja, anak orang Tremor

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro