Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. Es Dawet Mbah Hari

Gama hanya berjalan mengikuti Kirana dari satu toko ke toko lain. Melihat wanita itu menawar dengan logat jawa yang sulit Gama pahami. Sebenarnya dalam diri Gama memiliki darah Jawa yang kental dari ayahnya, tapi sejak lahir dirinya dibesarkan di ibukota. Dia tidak tahu adat atau kebudayaan leluhurnya.

Dulu sekali, ketika ibunya masih hidup, ayahnya beberapa kali mengajak pulang ke Surakarta. Mengunjungi Nenek dan Kakeknya yang masih tinggal di kawasan keraton Surakarta. Dan, ketika hubungannya dengan sang ayah memburuk, Gama tak pernah lagi diajak untuk mengunjungi keluarganya di sana. Bahkan ketika kakeknya meninggal, Gama tidak diberitahu.

"Pak, ini bagus, deh dipake Bapak."

Tahu-tahu Kirana sudah memakaikan blangkon ke kepala Gama. Bola mata lelaki itu bergerak ke atas. "Apa ini, Kirana?"

"Blangkon. Tuh kan, saya bilang juga apa." Kirana memundurkan badannya agar bisa menyaksikan lelaki di depannya dengan seksama.

"Tanpa memakai topi ini, saya juga tau kalau saya tampan," ucap Gama sambil melepas blangkon itu dari kepalanya dan meletakkan kembali ke etalase.

Kirana hanya mencibir lantas bergerak ke stand sepatu wanita yang  semuanya dibanderol dengan harga serba 35 ribu.

"Wah sepatunya bagus-bagus, Pak. Murah lagi." Dia mengambil flat shoes bercorak batik, lalu mencobanya. Ukurannya sangat pas di telapak kaki wanita itu.

"Kirana, sepatunya terlalu murah itu pasti nggak nyaman dipakai," ucap Gama dengan suara pelan.

"Ini sudah saya coba, Pak. Dan nyaman banget di kaki saya." Kirana mengambil satu pasang sepatu lainnya. "Ini juga bagus."

Hampir seluruh isi pasar Kirana datangi, tapi perempuan itu tidak tampak lelah sama sekali.

"Kamu nggak capek? Belanjaan kamu sudah banyak, Kirana. Kamu mau semua isi di pasar ini kamu beli?"

Kirana terkekeh mendengar pertanyaan Gama yang mirip keluhan itu. "Ya nggak dong, Pak. Saya beli banyak barang nggak cuma buat saya kok. Ini ada buat si Mbok dan Mbak Lita juga. Saya juga beli buat Ibu dan bapak saya, Bayu dan Rosma juga saya beliin."

Kening Gama mengernyit. "Ibu dan bapak kamu?"

Kirana mengangguk semangat. "Kita makan es dawet Beringharjo. Es dawetnya seger banget loh, Pak." Wanita itu kembali jalan. Kali ini menuju los pertama di sisi utara, tempat di mana penjual es dawet legendaris itu berada. 

"Duduk, Pak. Kita beruntung karena enggak antri banget. Biasanya dawet Mbah Hari ini suka mengantri."

Gama menurut saja ketika Kirana memintanya duduk di sebuah bangku kecil yang ada di sana.

"Dua ya, Mbah," pinta Kirana kepada seorang nenek yang menjual es dawet.

Tangan keriput itu dengan cekatan melayani. Di sebuah mangkok kecil sang nenek menaruh dawet warna-warni dan juga cincau. Lalu nenek itu menyiram dawet dan cincau itu dengan santan serta gula aren cair, terakhir dia menambahkan es batu yang membuat dawet itu memiliki rasa segar.

"Enak banget, Mbah. Dari dulu rasanya nggak berubah. Dari saya kecil rasanya tetap terjaga," ujar Kirana begitu menyuap satu sendok es dawet tersebut.

"Iya, Nduk. Mbah menjaga cita rasa biar tetap sama turun temurun," sahut Mbah Hari tersenyum. Setelah melayani Kirana, pembeli lain bermunculan.

"Pak, ayo habiskan. Kita gantian sama pembeli lain."

Gama tampak menikmati es dawet itu. Dia paling suka minuman tradisional seperti ini. Kirana benar rasa es dawet ini benar-benar mantap.

"Pak, besok setelah survei... apa boleh saya ke rumah orang tua saya?" tanya Kirana ketika mereka dalam perjalanan pulang ke hotel.

Gama tidak langsung menjawab, tatapnya bertemu dengan tatap Kirana sesaat lantas segera berpaling. 

"Hm, sudah saya duga kamu pasti minta pulang ke rumah orang tua kamu," sahut lelaki pemilik rahang tegas itu seraya memalingkan muka.

"Hanya sebentar, saya janji," mohon Kirana.

"Asal saya ikut nggak masalah."

Kirana terbelalak, dia tidak menyangka bos galaknya itu meminta ikut. "Bapak yakin? Desa saya jauh dari kota, Pak."

"Nggak masalah. Kita ke sana menggunakan mobil hotel."

Rasanya sulit dipercaya mendengar Gama mengizinkan dirinya berkunjung ke rumah. Padahal kemarin pria itu bilang alasan tidak ingin membawanya pergi lantaran Kirana pasti akan mencuri waktu pulang ke desanya. Mungkin ini salah satu efek dari es dawetnya Mbah Hari sedikit membuat hati keras lelaki itu meluluh.

"Boleh, sih, Pak. Tapi rumah orang tua saya nggak semewah rumah Bapak."

Gama mengedikkan bahu. "Nggak masalah selama masih ada atapnya."

Ucapan Gama membuat Kirana terkekeh. "Tentu saja ada, rumah apa yang nggak memiliki atap? Semoga suatu saat nanti saya bisa membantu merenovasi rumah orang tua saya yang hampir rubuh itu."

"Hampir rubuh? separah itu?" tanya Gama sedikit terperanjat.

Kirana meringis, lalu mengangguk. "Maklum, Pak. Rumah lama. Itu juga warisan dari mendiang kakek saya. Jadi, perlu direhab sana-sini sebetulnya. Hanya saja, kami belum cukup memiliki biaya."

Wanita yang mengenakan topi lebar itu menghela napas panjang, lantas melempar pandang ke suasana Jalan Raya Ahmad Yani yang ramai. Dia tidak sadar jika Gama di depannya terus memperhatikan di balik kacamata hitamnya.

***

Kirana baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah berganti dengan pakaian santai yang sudah dibelinya di Pasar Beringharjo siang tadi. Dia mengenakan oneset berbahan rayon dengan gambar sebuah wayang di depan dan belakang bajunya. Rambutnya dia gelung tinggi-tinggi.

"Bapak mau makan malam di hotel atau di mana?" tanya Kirana sembari duduk di tepi tempat tidurnya.

"Kamu sendiri mau makan malam di mana?" tanya Gama balik, di pangkuannya terdapat laptop yang layarnya bercahaya. Waktu sudah beranjak petang, namun lelaki itu masih saja bekerja.

"Malioboro gimana, Pak? Mumpung cuacanya bagus."

"Oke." Tidak banyak berpikir, Gama langsung menutup laptop. "Kita ke sana naik delman lagi?"

"Bapak mau mencoba becak?"

Mata tajam lelaki itu mengerjap. "Be-becak? Mereka apa bisa mengangkut dua orang sekaligus?"

"Bisa. Dulu saya dan ibu sering naik becak kalau ke pasar."

"Boleh kalau begitu."

Diam-diam Kirana mengulum senyum. Seharian ini Gama tidak menunjukkan sisi menyebalkan. Dia terkesan menurut saja apa yang wanita itu katakan. Entah itu sengaja ... atau dia memiliki rencana yang tidak Kirana duga. Namun, Kirana tak peduli. Hatinya terlanjur senang karena akan segera bertemu dengan orang tua dan adik-adiknya. Dia bisa membayangkan bagaimana terkejutnya mereka nanti.

"Bapak serius bisa membawa kami berdua?" tanya Gama kepada tukang becak yang akan mereka naiki.

"Saged, Pak. Kulo sampun kulino mbekto penumpang kalih*," sahut tukang becak yang bisa Gama perkirakan berumur empat puluh tahunan. 

"Dia bilang apa?" tanya Gama kepada l Kirana. Telinganya mendadak roaming mendengar jawaban si Bapak tukang becak.

"Dia bilang bisa, Pak. Udah biasa," sahut Kirana terkikik. Muka bodoh Gama terlihat lucu.

"Kalau sampai Malioboro pinten,** Pak?" tanya Kirana sopan.

"Kalih doso ewu mawon,***Mbak."

Kirana mengangguk lantas minta Gama untuk naik duluan ke kendaraan beroda tiga tersebut. Kirana menyusulnya kemudian.

___________

*Bisa, Pak. Saya sudah biasa membawa penumpang dua
**berapa
***dua puluh ribu saja

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro