Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. ToD

"Tapi, Pak. Permainan ToD mana seru kalau cuma berdua?"

Gama tampak menghela napas mendengar pertanyaan Kirana lagi. Dia menatap bosan perempuan di hadapannya. "Kamu mau saya memanggil semua staf agar datang ikut main?"

Kirana meringis canggung dan menggeleng. "Nggak, sih."

"Ya udah jangan bawel." Gama menarik sebuah pena yang tersemat di saku kemejanya. "Kita akan gunakan ujung pena ini sebagai petunjuknya," ujar Gama, pandangannya lantas melirik ke arah pantri. "Kamu mau ikut, Sukma?" tanya Gama, tanpa peduli ada Kirana di hadapannya.

"Suk-Sukma?" cicit Kirana, menegakkan badan, lalu kepalanya celingukan. Dia sedikit takut, teringat kejadian Bu Sulis tempo hari.

"Sebaiknya Anda tidak melibatkan saya. Nona Kirana sudah mulai ketakutan," sahut Sukma yang tengah tidur dengan posisi miring. Sebelah tangannya menyangga kepala.

Gama melirik wanita di depannya. "Kita mulai sekarang saja," ucapnya, mengalihkan perhatian Kirana.

Wanita itu mengangguk, lalu memperhatikan bagaimana tangan besar Gama memutar penanya. Sekali sentak, pena itu berputar dengan cepat, dan lama-lama bergerak pelan, sebelum ujung pena itu tepat menunjuk ke arah Kirana.

Tidak seperti Gama yang menyeringai puas, Kirana terlihat terkejut melihat ujung pena itu mengarah padanya.

"Truth or dare?" tanya Gama menyeringai.

Entah mengapa, Kirana merasa ini cuma akal-akalan Gama saja yang ingin mengerjainya.

"Dare," jawab Kirana. Truth atau dare bagi Kirana sama-sama berbahaya.

"Good choice." Gama mengangguk, lalu tampak berpikir.

"Jangan aneh-aneh loh, Pak."

"Nggak, saya akan memberi tantangan yang mudah." Gama tersenyum, menatap Kirana. "Saya yakin kamu bisa melakukannya."

Perasaan Kirana mulai tak enak.

"Cium saya," ucap Gama tanpa beban. 

Sangat kontras dengan reaksi Kirana yang terperanjat mendengar permintaan aneh itu.

"Saya kan minta nggak aneh-aneh, Pak."

"Mencium saya bukan hal yang aneh. Kamu juga pernah melakukannya."

Mata Kirana membulat, lalu tiba-tiba pipinya memerah tanpa alasan. "Itu kan karena—" Sial! Dia benar-benar dikerjai. Kirana beranjak berdiri. "Maaf, Pak. Kerjaan saya banyak," katanya lantas beranjak.

"Hei, mau ke mana? Kamu nggak bisa kabur begitu dong, Kirana. Kamu halus melakukan tantangan itu dulu."

"Tantangan Bapak nggak masuk akal."

"Nggak masuk akal bagaimana? Kamu cuma diminta mencium saya, nggak masuk akalnya di mana?"

Kirana menatap Gama kesal dari balik mejanya. Lelaki itu sedang berusaha mesum lagi. Kirana tidak peduli dan kembali menekuri berkas yang tadi sedang dia sortir.

"Kalau kamu nggak mau melakukannya, biar saya saja yang melakukannya. Bagaimana?" tanya Gama seraya berdiri dan berjalan menghampiri meja wanita itu.

"Bapak salah minum obat apa gimana? Lebih baik Bapak siap-siap untuk meeting dengan kepala bagian produksi dan pemasaran."

Gama berdecak, lantas mengintip Rolex di pergelangan tangannya. "Masih ada tiga puluh menit lagi. Kamu jangan lari dari masalah dong."

Kirana mengarahkan bola mata ke atas, dan kembali menatap bosnya dengan pandangan bosan. "Saya nggak mau mencium Bapak," tekan Kirana sekali lagi.

"Kalau begitu biar saya saja yang mencium kamu." Gama bergerak cepat meraih kedua sisi wajah Kirana, bersamaan dengan itu kepalanya meneleng dan menjatuhkan ciuman tepat ke bibir Kirana yang berwarna pink.

Gerakan Gama terlalu cepat sehingga tidak ada celah bagi Kirana untuk menghindar. Mata Kirana terbelalak merasakan kembali benda kenyal itu bergerak-gerak di atas permukaan bibirnya. Bahkan dia bisa merasakan lumatan Gama sesaat sebelum lelaki itu bergerak menjauh.

"Sangat mudah bukan?"

Lelaki itu benar-benar kurang ajar. "Apa yang Bapak lakukan?! Bapak benar-benar kurang ajar!" seru Kirana terlihat emosi. Dia mengusap-usap bibir dengan lengannya.

"Wow! kamu marah sama saya?" Tatap Gama mengerjap tak percaya. "Saya bahkan pernah melakukan lebih, tapi kamu nggak bereaksi berlebihan seperti sekarang ini." Dia merentangkan kedua tangannya.

Kirana menatap jengkel lelaki di hadapannya itu, lalu bergerak keluar dari kantor dengan perasaan dongkol.

"Hei, kamu mau ke mana? Kamu harus mempersiapkan file buat meeting tiga puluh menit lagi."

Kirana tak peduli, dia terus berjalan menuju pintu keluar.

"Hei, Kirana!"

Suara debaman pintu terdengar keras hingga membuat mata Gama terpejam. "Sialan, berani sekali dia," umpat Gama. Dan detik berikutnya sebuah tawa terdengar menggelegar di setiap sudut ruangan.

"Diam, Sukma!" hardik Gama ikut emosi.

"Anda sebenarnya kenapa, Tuan?" tanya Sukma berusaha menahan tawanya.

"Aku? Harusnya kamu tanyakan itu pada wanita itu. Aku hanya menciumnya tapi dia mencak-mencak nggak jelas," omelnya sambil beranjak kembali ke mejanya.

"Gimana Nona Kirana nggak mencak-mencak? Anda terlalu memaksakan kehendak."

"Dia yang mangkir dari permainan itu."

Sukma menggeleng lantas tersenyum. Dia sangat tahu itu hanya akal-akalan tuannya saja.

"Bahkan hari itu dia tidak mengatakan apa-apa dan marah-marah seperti tadi. Dasar wanita aneh," gerutu Gama masih tampak kesal.

"Sebaiknya Anda harus lebih bisa mengendalikan diri lagi, Tuan."

Gama mendengus dan tidak peduli. Dengan kesal dia meraih ponsel, menghubungi asistennya itu. Namun, sampai nada sambung berakhir, Kirana tidak mengangkat panggilannya.

"Kamu lihat, Sukma. Dia sudah berani melawanku."

"Nona Kirana tidak sedang melawan Anda, dia cuma sedang kesal dengan kelakuan Anda."

***

"Dasar lelaki aneh, apa yang sebenarnya dia pikirkan? Sembarangan saja mencium orang," runtuk Kirana kesal.

Sudah tiga kali dia berkumur-kumur di depan wastafel. Mungkin ini terdengar berlebihan karena dia sadar sudah pernah melakukan hal lebih dari sekedar ciuman. Namun, entah kenapa dia merasa jijik sekarang.

"Kirana? Kamu ngapain?"

Kepala Kirana memutar dan mendapati Lita berdiri di depan wastafel sebelah. Dia menggeleng dan menarik tisu, lantas mengelap wajahnya.

"Tadi aku dengar kamu mengomel. Pak Gama bikin kamu kesal?" tanya sekretaris itu penasaran.

"Kalau itu udah nggak perlu ditanyakan lagi kan, Mbak. Tiap hari kan dia begitu," sahut Kirana seraya terus mengelap wajahnya dengan tisu.

Lita di sampingnya mengulum senyum. "Tapi, kayaknya kamu sudah mulai menikmati kerja sama dia. Apa kamu sudah mulai betah?"

"Betah nggak betah harus dibetah-betahin, Mbak. Saya kan butuh digaji."

"Kamu benar, jadi aku harap kamu tetap bertahan. Kamu udah terima gaji pertama kamu kan?" tanya Lita, menatap diri sendiri ke pantulan cermin. Dia membenarkan pulasan bedak dan lipstiknya.

"Iya, dan hanya itu yang bisa membuatku semangat bekerja di bawah tekanan si bos."

"Nih." Lita tiba-tiba mengangsurkan lipstik padanya. "Bibir kamu pucat, kamu perlu sedikit pewarna."

Dengan ragu, Kirana menerima lipstik tersebut. Pulasan bibirnya sedikit berantakan karena Gama. Ditambah lagi dia mengelap bekas ciuman itu, lalu menggosoknya dengan air.

"Terima kasih," ucap Kirana. Dia menatap pewarna bibir itu sesaat lalu membukanya. Kirana lantas mencoba memulas pada bibirnya. Warnanya tidak terlalu mencolok, Kirana suka.

"Lumayan waterproof. Nggak akan hilang meskipun bibir kamu dicium seseorang," ujar Lita, terkikik.

Kirana sontak menghentikan kegiatannya memulas bibir. Ucapan Lita menohoknya sesaat. Dia lantas meringis. "Memang kamu pernah mencobanya?"

"Aku nggak akan mengatakan kalau belum mencobanya."

Astaga, wanita ini benar-benar frontal sekali.

____________

Malam ini 2 bab, Gas. Yuk ramaikan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro