Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

Selamat datang di chapter 7

Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo

Thanks

Happy reading everyone

Hopefully you will love this story

♥️♥️♥️

____________________________________________________

Aku sangat amat membenci Quorra yang melekat erat dalam memori otakku

—Alejandro Rexford
____________________________________________________

Musim dingin
Santander, Madrid, 17 Februari
08.42 a.m.

“Ya Tuhan, ada apa dengan Anda? Tidak biasanya Anda merokok?”

Atensiku yang semula mengarah pada kembalinya warna lanskap kota Santander dari putih akibat salju yang mencair kini beralih ke wanita dalam balutan pakaian formal yang baru saja memasuki ruanganku sambil berkacak pinggang.

Benar yang diucapkan Beatrisa. Tidak biasanya aku membakar lintingan tembakau dan mengisapnya. Terlebih di pagi hari. Di akhir musim dingin pula. Namun, serta merta aku membutuhkannya lantaran sedari tadi merenungkan kejadian beberapa hari belakangan yang membuatku kacau. Kejadian yang membuatku merasa diriku bukan Alejandro Rexford yang kukenali.

Bahwa, salah besar aku mengira apabila menantang diri sendiri dengan menjadikan Quorra Wyatt sebagai kekasih, maka pengendalian diriku akan kembali utuh. Alih-alih demikian, yang terjadi justru bertolak belakang alias sebaliknya.

Aku benci setiap kali kedua netraku menangkap lengkungan senyum pada garis bibir Quorra yang khusus diperuntukkan bagiku, tetapi aku tidak bisa mengendalikan detak jantungku yang mendadak menggila.

Aku benci setiap kali saraf indra pembauku menghidu aroma khas Quorra, lalu kemampuan bicaraku mendadak lenyap seolah tubuhku diperintah untuk tetap diam, khidmat menikmati momen di mana aku bisa berpuas diri menghirup aroma wanita itu dalam-dalam sampai meresap ke pori-pori tubuhku.

Aku benci setiap kali permukaan kulitku bersentuhan dengan kulit sehalus sutra Quorra yang pucat, tetapi aku tidak bisa melepaskan diri. Seberapa keras upaya yang dilakukan otakku untuk memperingatkan diriku agar berhenti dan pergi darinya, sekeras kepala itu pula ragaku memilih tetap tinggal dan kembali menyentuh Quorra. Seakan-akan aku akan gila apabila tidak memilikinya. Seakan-akan aku akan buta kalau tidak mengenyangkan indra pengelihatanku dengan Quorra yang tidur nyenyak dalam dekapanku sehabis kegiatan dewasa kami.

Aku benci merasakan sesuatu yang meledak-ledak dari balik rongga dadaku ketika menerima penghargaan dari Quorra yang mempercayakan pengalaman pertamanya itu denganku akhir pekan kemarin. Yang secara otomatis membatalkan rencana kami makan siang dan pergi bermain ice skating di Alcala lantaran pengendalianku yang runtuh seketika saat melihatnya sehabis mandi.

Dan dalam waktu sekejap saja, aku tahu Quorra pandai memasak. Wanita yang sangat mandiri dan penuh dedikasi terhadap apa yang menurutnya penting. Termasuk aku dan mahkotanya yang diserahkan padaku. Aku tahu, aku penting baginya.

Aku sangat amat membenci Quorra yang melekat erat dalam memori otakku dan berlarian ke sana-kemari tak kenal lelah. Dia laksamana bidadari yang diturunkan ke bumi untuk memikatku, sekaligus bagai hantu yang bertugas menggoda sambil menakutiku. Dia seperti penyihir yang mahir mengayunkan tongkat sihir tak kasat matanya kepadaku untuk membuat segala teori atau latihan menenangkan diri dari hasil terapi psikiater serta asramaku seakan tidak berguna.

Namun, aku tidak akan pernah mengatakan itu kepada siapa pun. Tidak terkecuali sekretarisku yang kadang suka ingin tahu apa yang kupikirkan.

Aku mengisap rokok yang terselip di antara jemari agak lama lalu membagi asapnya ke udara yang masih dingin. Tanpa menjawab keluhan Beatrisa, aku pun bertanya, “Kenapa kau mencariku?”

Wanita itu menepuk jidatnya pelan lalu mempertahankan kelima jarinya di sana sedikit lebih lama. “Astaga, Señor. Rupanya tidak hanya mula-mula Anda merokok. Tapi juga tidak mendengarkan pesan yang saya kirim melalui interkom?”

Alisku mengerut tak suka. “Apa ada yang penting?”

Kuharap dia tahu bahwa aku tidak tertarik basa-basi sehingga bisa ke inti pokok pembicaraan ini. Syukurlah Beatrisa melakukannya dengan tepat. Dan karena itulah aku memilih wanita ini sebagai sekretaris.

“Yah, bisa dibilang penting tidak penting. Hanya informasi kalau orang-orang dari Belleza Pura yang hari ini datang untuk menggarap ballroom,” paparnya dengan wajah yang jelas terheran-heran. Mungkin dia berpikir bagaimana bisa bosnya yang selalu terkendali, fokus serta teliti pada hal-hal sepele justru kehilangan jati diri.

Inilah maksudku. Quorra Wyatt membuatku seperi ini. Wanita yang menyandang gelar sebagai kekasih resmiku itu terlalu banyak menyita perhatianku. Seharusnya dengan kesadaran ini  aku meminta Beatrisa menanganinya; mengecek kinerja orang-orang Belleza Pura. Termasuk Quorra.

Namun, ketika ponselku yang tergeletak di meja bergetar dan memperlihatkan sebuah pesan dari Quorra yang menyebutkan dia sudah ada di sini, lagi-lagi aku tidak bisa mencegah tubuhku bergerak untuk berniat menyusulnya dan mulutku berkata sendiri kepada Beatrisa. “Aku akan ke sana melihatnya.”

“Saya akan menemani Anda.”

“Tidak perlu. Selesaikan saja pekerjaanmu,” titahku lagi.

Sekali lagi aku mengisap rorkokku sedikit lebih lama hingga bara apinya nyaris membakar habis benda yang tidak seberapa berguna bagiku itu. Aku pun menyulutnya ke asbak, mengambil ponsel dan tergesa-gesa keluar ruangan. Meninggalkan Beatrisa yang kebingungan.

Aku tiba di ballroom ketika Quorra sedang berbicara dengan Luzi. Dan hal pertama yang kulakukan adalah berhenti di tempat yang tidak dapat dilihatnya dalam jarak tidak terlalu jauh. Yakni di balik salah satu pilar besar yang menjulang sampai langit-langit ruangan.

Aku bersandar agak miring untuk mengamati kekasihku yang berkostum kerja: kaus putih turtle neck polos dan jumpsuit jins warna lebih gelap agak belel seperti yang pernah dia kenakan di rumah sakit hewan eksotis akhir pekan kemarin.

Di balik tubuh agak kurus, siapa pun pasti tak akan menyangka bahwa Quorra merupakan bos yang baik dengan sikap tegas bin cekatan. Darah pemimpin seakan-akan sudah melekat erat di dalam tubuhnya. Dia seolah sudah dilatih selama berabad-abad untuk menjadi seperti itu. Dan kombinasi dari semua rangkaian tersebut membuatnya lebih bersinar dibandingkan dengan yang lain.

Setelah selesai mengarahkan beberapa kru pria Belleza Pura, Quorra berbalik. Dan saat itu pula tatapan kami berserobok. Ada perbedaan nyata pada ekspresi yang kami tunjukkan untuk satu sama lain. Aku menatapnya dengan alis berkerut dan mata menyipit yang terkesan mengintimidasi. Sedangkan Quorra menatapku dengan senyum mengembang seketika dan pipi merona yang terkesan luar biasa cantik.

Aku berdiri tegak dan menggerakkan kakiku menuju Quorra. Pada jarak beberapa langkah darinya aku berhenti lantaran hampir menariknya ke pelukanku jikalau tidak ingat di mana kini aku berada. Dan lingkungan seperti apa yang sedang berada di sekeliling kami.

“Sejak kapan kau ada di sini?” tanya Quorra penasaran dengan gesture rikuh sehabis menipiskan bibirnya. Bibir yang tak pernah puas kukuasai secara rakus kemarin. Dan kini aku mulai membenci diriku karena menginginkannya lagi dan lagi.

“Sejak kau berbicara dengan Luzi,” jawabku enteng dan jujur. Serak dalam suaraku menandakan efek nikotin sudah agak bekerja pada tenggorokanku. Atau justru karena bara api dalam diriku mulai menyala karena menginginkannya?

“Oh! Sudah selama itu rupanya.“ Quorra yang mendongak menatapku pun terkesiap kecil, lalu melanjutkan kalimatnya. “Kenapa kau tidak langsung bergabung dengan kami? Kau ingin mengecek keadaan, kan?” tebaknya benar.

“Ya,” jawabku yang tiba-tiba susah menelan Saliva. “Aku hanya tidak ingin mengganggumu.”

Tangan Quorra mengibas. “Kau sama sekali tidak mengganggu, kau tahu. Ini kan ballroom-mu,” bebernya logis, tetapi melupakan suatu hal krusial.

“Benar. Tapi ini tidak sedang bekerja di ranahku,” bantahku. “Secara literal, ini daerah kekuasaanmu sekarang. Dan aku merasa akan jadi pengganggu kalau tiba-tiba menyela bos yang sedang memberi mengarahkan pegawai-pegawainya.”

Garis bibirku Quorra ditarik lebih lebar. Senyuman yang lebarnya mendadak menjungkirbalikkan jantungku. Aku menahan diri dari keinginan membubuhkan bibirku pada bibirnya, sampai-sampai harus memasukkan tanganku ke saku celana kerja dan mengepalkannya erat-erat agar pertahananku tidak bobol.

“Kau benar,” ucap Quorra masih seriang tadi. Aku lantas bertanya-tanya, apakah hanya dengan melihatku, dia bisa seriang ini padahal dari tadi wajah yang kutunjukkan masam?

“Jadi, apa yang baru saja kau arahkan pada pegawai-pegawaimu?”

“Oh, akan kujelaskan sambil berkeliling agar kau bisa lebih jelas melihatnya,” ajaknya riang dan aku mengikuti kekasihku melangkah ke dekat pintu masuk dan mulai menjelaskan, “Jadi, untuk kru pria, aku meminta mereka melepas atau menyingkirkan interior-interior yang sudah kita sepakati untuk direnovasi.”

Aku bergumam sebagai jawaban. Padahal tidak peduli sama sekali. Satu-satunya yang kupedulikan adalah bagaimana wanita itu menjelaskan padaku dengan binar mata bahagia. Selain mahir, itu menandakan dia mencintai pekerjaannya.

Kami pin berpindah ke sebelah pilar di bangunan bagian belakang. “Ya, jadi begitulah.“ Quorra mengakhiri penjelasannya. Kemudian bertanya, Bagaimana menurutmu?”

“Tepat seperti yang kuinginkan,” jawabku asal. Kekasihku sungguh ahli dalam bidangnya. Tentu saja aku tidak perlu khawatir.

“Benarkan?

“Tentu saja.”

“Apa ada sesuatu yang ingin kauubah?” tanyanya lambat-lambat.

“Tidak.”

“Kau ... yakin?”

“Kenapa tidak?”

Quorra pun meringis lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum kembali padaku. “Ya, barangkali. Aku hanya tidak sengaja mengingat keinginanmu yang berubah-ubah.”

“Kau tahu betul aku melakukannya karena sedang mendekatimu.”

“Em, baiklah.”

“Kalau begitu, lanjutakan saja pekerjaanmu. Aku juga akan melanjutkan pekerjaanku,” kataku lugas. Sebaiknya aku pergi sebelum tubuhku mengambil alih pikiranku untuk bertindak tidak sesuai tempat.

Namun, jelas dibutuhkan kekuatan amat besar untuk pergi dari Quorra sebab wanita itu menahanku dengan pertanyaan, “Apa kau baik-baik saja, Alex?” dengan wajah khawatir.

Aku tidak langsung menjawab, melainkan berpikir sejenak. Dari sekian banyak orang yang berjumpa denganku dalam kurun waktu beberapa jam, kenapa hanya dialah yang bisa membuatku merasa harus menjawab pertanyaannya kekhawatirannya keadaanku?

Serangan itu pun mulai menjangkitiku lagi. Dadaku mukai menghangat karena dan aku tertarik untuk menjawab tentang bagaimana keadaanku yang sebenarnya. Namun, takut menyimpulkan efek buruk pada Quorra.

“Apa yang membuatmu berpikir ada apa-apa terhadapku, Mi Querido?” tanyaku dengan smirk smile.

“Kau kelihatan murung.”

Lalu serangan itu mulai berlanjut pada jantungku yang mempekerjakan detaknya lebih kencang. “Tapi aku baik-baik saja. Hanya efek memikirkan proyek baru,“ jawabku setengah jujur.

“Begitu rupanya.“

“Kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku.”

Tubuhku sudah berputar 180 derajat menjadi membelakanginya ketika tiba-tiba Quorra memanggilku lalu mengatakan, “Aku harap proyeknya lancar. Lalu ... aku tidak tahu ini bisa membantu atau tidak, tapi kurahap bisa.”

Quorra melangkah tepat di hadapanku, berjinjit lalu membubuhkan bibirnya di pipiku. “Selamat bekerja.”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo

It’s mean a lot to me

Well, see you next chapter teman-teman

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 11 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro