Chapter 3
Selamat datang di chapter 3
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hope you enjoy and love this story as well
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Aku benci mengakui bahwa Quorra Wyatt laksamana vorteks yang menyeretku hidup-hidup ke dalam pusarannya tanpa dia perlu melakukan sesuatu untuk mengkonfrontasiku secara berlebihan
—Alejandro Rexford
____________________________________________________
Musim dingin
Santander, Madrid, 10 Januari
08.10. a.m.
Ketika Beatrisa mengatakan orang yang bertanggung jawab menangani ballroom-ku diganti, aku langsung tidak menyukai berita itu dengan berbagai alasan. Pertama, pihak Belleza Pura tidak mengabariku lebih dulu. Kedua, aku begitu khawatir penanggung jawab baru tidak tidak akan langsung memahami bagaimana ide renovasi ballroom Paraíso del Mundo sesuai yang aku inginkan dalam waktu cepat.
Saat Lozaro menyeretku ke kantor Belleza Pura beberapa hari lalu, aku tertantang untuk menyulitkan pria itu dengan keinginanku yang tidak umum bin banyak. Sekaligus sebagai syaratku mencabut surat pembatalan kontrak kerja sama dengan perusahaan konstruksinya. Itung-itung, sebagai hukuman karena pria itu meremehkanku, meremehkan pegawaiku, dan menambah pekerjaanku yang seharusnya tidak dilakukan sekarang. Sekadar informasi, agenda renovasi interior desain memang rutin diadakan setiap musim dan sesuai peringatan hari besar di Spanyol.
Dulu, aku menyerahkan tugas renovasi pada Beatrisa sepenuhnya dan menemui desainer interior sebagai formalitas belaka karena pekerjaan lain yang menumpuk sedang menunggu untuk kutuntaskan. Khusus kali ini, tidak. Aku pun akan memberlakukan cara yang sama seperti Lozaro pada penanggung jawab baru Belleza Pura yang sedikit teledor. Maka dari itu aku akan menemuinya sendirian dan akan mengurus ini sampai tuntas. Beatrisa akan kuminta menangani hal kecil lainnya.
Derit pintu ruang rapat terbuka, pertanda tubuhku melesak. Pemandangan yang kutemui di depan mataku mengusikku. Memang hal lumrah seseorang meneliti bagian-bagian desain interior suatu tempat. Terlebih tempat yang baru dipijakinya. Namun, aku tidak menyukai cara penanggung jawab baru itu meneliti setiap sudut ruang rapat seolah memberi penilaian. Seperti hendak menelanjangi segala desainnya dan menemukan kebobrokan yang dengan senang hati akan dia tawarkan untuk diperbaiki—mungkin.
Jadi, aku menyindirnya sekaligus untuk menunjukkan eksistensiku. Wanita itu pun kontan menoleh dan sepasang iris turkuoisnya langsung bertubrukan dengan sepasang iris hitam pekatku yang sedikit menyipit. Kelopak-kelopak matanya melebar kemudian kembali normal. Berbanding terbalik dengan bahu di balik kemejanya yang tampak tegang, kurus dan rapuh, tetapi menjanjikan kekuatan palsu.
Setelah berhasil memulihkan diri dari keterkejutan, dia diikuti rekannya lantas berdiri. Dengan senyum cemerlang hasil bentukan dari bibir penuhnya yang dipoles lisptik merah muda segar, dia mengulurkan tangan—syarat akan menyalamiku—sambil menukas, “Señor Rexford, saya Quorra Wyatt dari Belleza Pura yang menggantikan rekan saya Zurina Tanis. Maaf sebelumnya tidak memberi kabar karena ini sangat mendesak. Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin menata interior ballroom Paraíso del Mundo sesuai permintaan Anda.”
Aku mendekat dan balas menyalami Quorra. Mungkin karena pengaruh cuaca, tangannya yang kusambut terasa begitu dingin. Aku menahan godaan meremas tangan lentik bercat kuku merah muda cantik itu. Dan sangat sulit mencegah melumuri kulit sehalus sutra wanita itu dengan kehangatan yang bisa kujamin.
“Sudah saya dengar dari Beatrisa,” balasku, tentu tanpa menerangkan bagaimana bentuk kekesalanku atas hal tersebut dan rencana-rencana yang telah kususun rapi.
Setelah menyalami rekan Quorra, aku mempersilakan mereka kembali duduk. Sementara itu aku mengambil duduk di sebelah Quorra. Pengelihatanku lebih menyipit daripada tadi untuk memperhatikan wanita itu secara khusus, tetapi dalam gesture santai dan sopan.
Dilihat dari dekat, pipi dan hidung runcing wanita itu merah. Entah karena pemerah pipi seperti yang selalu dikenakan wanita atau karena cuaca dingin. Dan, ternyata kulit Quorra lebih pucat daripada yang kusangka sampai nyaris transparan sehingga tidak bisa menyembunyikan sulur-sulur nadi di sekitar pelipisnya. Sesuatu yang jelas mengusikku lantaran bertanya-tanya apakah dia tidak pernah terpapar cahaya matahari langsung karena pekerjaannya menuntut dalam ruangan?
Aku berusaha mengusai diri dan kembali memfokuskan perhatian pada kegiatan Quorra. Dia membuka map bawaannya di meja. “Jadi, saya sudah mempelajari semuanya dalam waktu singkat. Mudah-mudahan tidak salah terka. Saya menangkap Anda menginginkan sesuatu yang segar untuk ballroom Anda. Apakah benar?” tanyanya kemudian.
Mempelajarinya dalam waktu singkat katanya? Hm ... cukup mengesankan dia bisa memahami betul keinginanku secara garis besar. Namun, dia jelas butuh tantangan lain yang sudah kurencanakan. “Ya, tapi saya pasti akan mengembangkan keinginan saya.”
Quorra yang tidak kaget lumayan mengejutkanku, tetapi aku masih bisa mengontrol diri untuk tidak memperlihatkannya. Aku pun mendengarnya berkata, “Oh, tentu saja Anda bisa berimprovisasi dengan keinginan itu. Anda bisa melakukannya kapan pun Anda inginkan. Kalau ada sesuatu yang kurang cocok dengan rancangannya nanti, Anda boleh menggantinya.”
Aku mengangguk sependapat dan mulai menyukai permainan ini. “Saya ingin Anda melempar umpan yang bagus untuk interior ballroom hotel saya,” paparku. Entah kenapa malah mengeluarkan suara berat dan dalam. Seakan-akan aku berusaha menarik perhatiannya dengan suara yang disebut seksi oleh para wanita di sekelilingku, yang secara terang-terangan tertarik padaku dan berusaha menggodaku. Sehingga aku kembali bertanya-tanya apakah Quorra juga begitu? Maksudku, menggodaku dengan kecerdasannya?
Quorra melirik wanita yang duduk di sebelahnya sekilas kemudian menatapku lagi dengan senyum hangat yang kembali mengusikku. Seolah-olah senyum itu merupakan tempatku pulang.
Apa-apaan? Aku tersentak karena menyadari jelas ada yang tidak beres denganku. Bisa-bisanya otakku berpikir semacam itu. Alisku pun mulai berkerut karenanya. Wanita ini sepertinya memang benar-benar penggoda. Ahli menggunakan kecantikan dan kecerdasannya yang mengagumkan untuk menarik perhatianku.
“Kalau begitu, boleh kami melihat ballroom hotel ini dulu? Barangkali kami bisa mengamati lebih detail. Lalu merancang, memilah-milah dan menyimpulkan mana yang bisa dipertahankan atau direnovasi menurut versi kami,” pinta Quorra dengan kedua alis terangkat. Manik-manik matanya sejernih berlian yang berkilau karena ditempa cahaya. Ketika aku kembali terusik oleh fakta itu, dia mengimbuhkan, “Tentu saja, pendapat Anda akan sangat kami butuhkan.”
Tanggapan yang cerdas karena tidak gegabah menjabarkan ide sebelum melihat lapangan. Dan untuk kesekian kali, itu mengusikku.
Setelah berdetik-detik berhasil melempar perasaan benci tersebut ke tepi, aku membawa mereka ke ballroom Paraíso del Mundo. Menemani mereka serta menjelaskan dengan sabar setiap sudut ruangan. Sembari memperhatikan bagaimana mereka—khususnya Quorra—meneliti setiap jangkauan pengelihatan dalam ruangan. Kedua mataku seperti diset untuk hanya melihat Quorra. Sekali lagi, aku tidak menyukai kondisi ini, seakan-akan Quorra merupakan satu-satunya bidang pandangku.
“Sebenarnya saya sangat menyukai desain ballroom ini,” komentar Quorra ketika kami memutuskan berhenti di dekat kaskade untuk berdiskusi.
“Tapi? Pasti ada tapi, bukan?” sambungku.
“Ya,” balasnya sambil tersenyum kecil, lalu melanjutkan, “desain ballroom ini memang dikerjakan sangat sempurna. Tapi karena terlalu sempurna, saya khawatir karakter atau ciri khas ballroom ini jadi tidak begitu menonjol.”
Kepalaku praktis menoleh secara perlahan mengitari segala arah. Ballroom ini didesain setengah terbuka. Beratap dan berjendela Prancis besar klasik. Beberapa tanaman segala musim warna-warni ditata dekat kaskade dan setiap sudut. Melalui celah angin-angin, sinar mentari yang muram menyorot khusus pada tanaman-tanaman itu. Menurutku justru sangat hidup dan menonjol.
Jadi, aku bertanya karena sedikit tersinggung. “Maksud Anda?”
“Begini, ada bagian interior yang benar-benar art deco—kaskade ini dan jendela Prancis contohnya. Lalu ada juga yang sangat modern seperti pilar-pilar di setiap sudut. Bagi saya, baik klasik, semi modern atau modern, mereka harus selaras dan menonjolkan ciri khas sehingga menjadi icon tempat tersebut. Sedangkan ballroom ini timpang tindih. Semuanya ingin menonjol. Bagus, tapi terlalu umum.”
Sebenarnya, Paraíso del Mundo di Santander, Madrid ini merupakan bangunan yang telah berdiri sejak beberapa dekade milik keluarga Rodriguez. Berhubung nyaris gulung tikar, pemilik yang menyerah berjuang mempertahankannya memutuskan menjualnya dan aku membeli serta mengelolanya. Bagian-bagian yang rusak langsung direnovasi. Kami juga melibatkan arsitek andal untuk merancang ulang hotel ini. Pun, perancang interior. Waktu itu kuserahkan semuanya pada Beatrisa. Aku hanya ingin tahu hasil akhirnya. Intinya semuanya harus yang terbaik. Dan kupikir karena alasan itulah hotelku laris, padahal tarifnya setinggi langit.
“Apakah Anda baru saja menghina arsitek dan perancang interior sebelumnya?” sindirku.
Kedua mata Quorra kembali membelalak. Kepalanya pun menggeleng-geleng, selaras dengan tangannya bergerak-gerak. “Tidak. Tentu saja tidak, Señor. Saya hanya ingin mengutarakan pendapat dan setiap orang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap suatu hal, bukan? Maaf, kalau Anda merasa tersinggung. Saya sama sekali tidak bermaksud begitu.”
Bukan hanya tersinggung, dia juga membuatku sangat terusik. Baik dari segi fisiknya yang membuatku terguncang, kecerdasannya yang terpancar dari setiap dia bertutur kata, lalu sekarang, kelancangannya karena mengutarakan pendapat yang terlalu berani.
Aku juga sepakat bahwa setiap kepala memiliki isi pendapat berbeda-beda mengenai suatu hal. Dan, tergantung bagaimana pengimplementasianya. Namun, tetap saja aku tidak menyukai wanita ini karena terlalu mengusikku.
“Anda pasti sudah memiliki bayangan rencana hebat untuk ballroom ini, bukan?” sarkasku.
“Sebenarnya, ya.”
Aku pura-pura menampilkan wajah terkesan. “Kalau begitu, saya ingin rancangan lengkapnya besok lusa sudah ada pada saya.” Aku menantang Quorra untuk memberikan ide terbaik yang dimilikinya dalam waktu singkat.
Senyum tipis terukir di bibirku ketika mendengar sedikit dengkusan darinya. Namun, kuberi dia dua jempol sekaligus karena masih bisa menahan amarahnya dan tidak mencakarku dengan kuku-kuku cantiknya—meski itu sangat menggoda akal sehatku untuk menikmati tindakan berbahaya itu dengan cara paling primitif bersamanya.
Aku membaca mimik Quorra yang sangat jelas ingin mengajukan protes. Jadi, sebelum dia membuka suara, aku pun mendahuluinya. “Lusa, atau saya menganggap Paraíso del Mundo tidak pernah berurusan dengan Beleza Pura.”
Dengan senyum paksa, Quorra pun menyetujuiku. “Baik, lusa semua rancangan lengkapnya akan saya berikan.”
Hah! Tidak kusangka aku bisa sangat bersemangat karena hal ini. Quorra jelas membangkitkan insting berburuku. Layaknya elang yang menemukan buruan. Atau predator puncak rantai makanan yang ingin bermain-main dengan buruannya sebelum menerkamnya. Ya, saat ini itulah kondisiku terhadapnya.
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks banget yang udah vote, komen, atau benerin typo
Semacam jadi penyemangat saya buat nulis ini
Bonus foto Alejandro Rexford
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Sabtu, 28 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro