Chapter 23
Selamat datang di chapter 23
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
___________________________________________________
Itu apresiasi karena kau tidak mencoba melarikan diri dariku seminggu ini
—Alejandro Rexford
____________________________________________________
Musim panas
Santander, Madrid
18 September, 06.20 a.m.
Sebagai seorang pria tidak sabaran, menunggu Quorra menjawab pertanyaanku merupakan lain hal. Sebaliknya, apabila penantian ini membuahkan hasil bagus dalam perkembangan hubungan kami, itu patut kulakukan.
Sayangnya, aku lupa bahwa Quorra sedang tidak dalam keadaan baik untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Sehingga, sebelum dia melontarkan kalimat balasan, aku lebih dulu berkata, “Aku lupa kau mabuk semalam. Pasti kepalamu sakit dan perutku pengar sekarang. Tidak seharusnya aku menanyakan itu. Lupakan saja.”
Aku bisa bertanya kapan-kapan. Masih banyak waktu yang akan kuhabiskan bersama Quorra.
“Betapa pengertiannya kau,” desah Quorra dengan suara serak. Aku membayangkan dia sedang memejam, berguling di kasur dan tersenyum ketika mengatakan itu.
“Kalau begitu, sampai jumpa akhir pekan nanti.”
“Alex,” panggil Quorra cepat-cepat.
Niatku memutus sambungan pun buyar. “Ya?”
“Apa itu sangat penting untukmu?”
“Apanya?” tanyaku tak mengerti.
“Aku harus menjawab pertanyaan merindukanmu atau tidak,” balas Quorra ragu-ragu.
Satu dengkusan lolos dari bibirku. Pandanganku yang semula tertuju pada jendela luar mobil kini berpindah ke awan. Hari ini langit cerah di Santander. Warna birunya yang menemani perjalananku ke penthouse sebelum bekerja mengingatkanku pada warna mata Quorra kala terpapar cahaya. Bentuknya yang bulat akan menyipit, tetapi kilatan-kilatannya masih tampak.
Aku lantas menjawab, “Tentu. Sangat penting bagiku untuk mengetahui kau merindukanku atau tidak.”
“Untuk apa kalau aku boleh tahu?” bisik Quorra.
Senyum miring singkat kuukir di wajahku ketika mengingat pertemuan kami tadi malam. Aku baru mengetahui sisi lain dari Quorra. Dia terlihat menggemaskan kalau sedang merajuk. Hal yang tak pernah sekali pun dia lakukan padaku selama kami pacaran.
Padahal, aku paling benci ketika melihat atau mendengar wanita merajuk untuk mendapatkan keinginan mereka. Menggunakan jurus basi itu untuk meluluhkan lawan bicaranya. Meski Quorra memakai cara serupa untuk mendapatkan informasi yang tidak pernah aku bagi kepada siapa pun tadi malam, aku menyukainya. Aku menyukai caranya menyindirku dengan wajah mabuknya.
“Itu tergantung jawabanmu. Setelah mendapat jawabannya darimu, aku baru bisa menjawab pertanyaanmu yang satu ini,” paparku jujur.
Quorra mengerang pelan. “Kalau kau sendiri bagaimana? Apa kau juga merindukanku, Alex?”
Aku lantas bersuara rendah. “Ya. Aku merindukanmu. Kenapa tidak? Kau sempat tidak menghubungiku beberapa waktu.”
“Begitu rupanya.”
Aku kembali menuntut, “Jadi?”
“Kurasa.”
Mataku menyipit dan embusan napas berat cepat keluar dari bibir serta mulutku. Mengabaikan sopir pribadiku yang sedari tadi sibuk mencuri-curi dengar dan pandang melalui kaca spion tengah, aku protes, “Apa maksudku kurasa? Kau terdengar tidak yakin. Kau harus menjawabnya dengan tegas. Kalau kau merindukanku, katakan saja sejujurnya. Kalau tidak, jangan bertele-tele, Mi Querido. Aku mulai bosan.” Meski tidak bisa melihat, aku harap Quorra mendengar suara kuap pura-puraku.
Ada jeda beberapa detik sebelum Quorra mengaku, “Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu, Alex. Mulanya kita sering bertemu, sedangkan beberapa waktu lalu tidak. Sangat normal bila seseorang merindukan orang lain karena itu. Aku juga merindukan Zurina dan Luzi karena beberapa hari ini tidak bertemu mereka.”
Dahiku pasti berkerut sampai keriting lantaran mendengar jawaban membingungkan itu. “Apa-apaan itu? Kenapa aku setara dengan Zurina dan Luzi?”
Daun telingaku bagai dibelai oleh suara tawa Quorra yang renyah di pagi hari. “Jadi, kau ingin berada di level tertentu?”
“Tentu saja. Aku ingin levelku di atas mereka.”
“Apa sudah ada yang mengatakannya padamu kalau kau itu konyol?”
“Ha?”
“Baiklah, sepertinya aku harus ke toilet. Sampai jumpa akhir pekan, Alex.
“Hei! Itu curang—ck! Sudah ditutup.”
Dasar wanita penggoda!
Lihat saja! Kau tidak akan bisa lari dariku lagi!
Dengan buru-buru, aku mengetik pesan untuknya.
Alejandro Rexford:
Bawa baju ganti, kita akan menginap. Aku benar-benar tidak menoleransi pelarian diri dalam bentuk apa pun, Mi Querido. Camkan itu!
Musim panas
Solares 23 September
07.20 a.m.
Akhir pekan pun tiba. Aku kembali menjemput Quorra di apartemen sementaranya di Solares. Dia membukakan pintu tepat setelah ketukan ketigaku.
“Mana barang bawaanmu? Biar kubawakan,” pintaku. Tanpa menunggu jawaban Quorra, aku meraih tas besar yang ditentengnya. Sementara tanganku mendorong punggungnya menuju mobilku.
Aku membukakan pintu mobil bagian depan untuk Quorra. Lalu meletakkan tasnya di jok belakang dan mengambil buket bunga forget me not biru yang kubeli.
“Untukmu.“ Aku berkata sambil mengulurkan bunga itu kepada Quorra.
Wanita itu menerimanya. Binar bahagia terpancar dari wajahnya, tetapi dengan cepat berganti bingung. “Baru kali ini kau memberiku bunga. Maksudku, selain karangan-karangan bunga ucapan selamat atas ballroom yang kukerjakan bersama timku.”
“Itu apresiasi karena kau tidak mencoba melarikan diri dariku seminggu ini,” tanggapku santai tanpa melihat Quorra sebab sibuk meyalakan mobil, pendingin udara dan musik.
Quorra tertawa kecil ketika aku melihat spion untuk memundurkan mobilku sebelum pergi dari pekarangan rumah yang notabenenya menyewakan kamar di bagian lantai duanya untuk Quorra.
“Dengan memberiku bunga forget me not?”
“Bunga itu melambangkan kau ingat kata-kataku, bukan?”
Aku melihatnya menghidu bunga itu dengan senyum malu-malu. Sungguh? Dia bisa sesenang ini hanya karena aku memberikannya buket bunga?
“Entahlah. Kau mengancamku. Aku takut kau akan menelanku hidup-hidup. Lagi pula, kita sudah membicarakan kontrak kerja. Jadi, tidak ada celah untuk melarikan diri darimu.”
“Siapa tahu.”
Aku mengedikkan bahu ringan. Pura-pura tidak terlalu menaggapi. Padahal sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk; dia meninggalkanku lagi.
“Omong-omong, kenapa kita ke bandara Santander?” Kepala Quorra meneleng dan pandangannya mengikuti papan penunjuk jalan.
“Nah, kau tidak kuizinkan bertanya sampai kita tiba di tujuan.”
Tidak lama kemudian, kami sudah di bandara Santander. Kali ini, aku meminta seorang pria menenteng tas Quorra. Sedangkan aku menggenggam tangan wanita itu yang tidak merangkul buket bunga pemberianku.
Dia menyeletuk, “Jet pribadi. Ke mana kau pikir kau akan memba—”
“Sudah kukatakan kau tidak diizinkan bertanya sampai kita tiba di tujuan,” potongku cepat.
“Baiklah.”
Aku mempersilakan Quorra naik tangga lebih dulu dan menyusul di belakangnya. Dia menepati salah satu kursi dan melihat ke luar jendela.
Aku tertegun secara sesaat karena atmosfer yang mengelilingi Quorra. Sinar mentari yang menerobos jendela itu menerpa sebelah wajah Quorra sehingga sosoknya bagai lukisan Dewi Yunani. Dengan begini saja, aku semakin memperkuat keinginanku untuk mendapatkannya lagi. Dan cara ekstrim seperti ini menjadi pilihanku untuk mewujudkan keinginan tersebut.
Kami menghabiskan waktu mengudara selama dua jam dengan sarapan sambil mengobrol. Seperti dua orang yang baru melakukan pendekatan. Hei! Namun, itulah yang memang sedang kulakukan; mendekati Quorra lagi.
Bila dulu aku terburu-buru menjadikannya pacar, kini aku lebih memberikan banyak waktu agar dia terperangkap sepenuhnya olehku dan tidak lagi berusaha kabur. Selama kami pacaran, kami belum pernah kencan ke mana pun selain dia menginap di penthouse-ku atau aku menginap di apartemennya. Oleh sebab itu, sebut saja ini salah satu penebusan.
Dua jam kemudian, kami mendarat di bandara Málaga-Costa disambut langit cerah. Ketika baru keluar dari pesawat dan hendak menuruni anak tangga, Quorra berhenti sebentar dan memayungi matanya menggunakan tangan. Rambut pirang stroberinya berkibar-kibar ditiup angin. Dia lantas merapikan kemeja putih gading lengan tiga perempat santainya. Jins pendek yang memamerkan pahanya yang mulus.
Sungguh, saat baru melihatnya keluar apartemen dengan pakaian itu, aku hendak protes. Namun, aku tidak akan menjadi pria penuntut hari ini.
Sudah ada sebuah mobil yang menunggu kami di bawah jet pribadi. Salah satu pria membantuku memasukkan tas Quorra ke bagasi sebelum aku menggumaman terima kasih. Lalu membantu Quorra membuka serta menutup pintu depan mobil.
“Sekarang, apa aku sudah boleh bertanya?” tuntut Quorra yang memangku buket bunga pemberianku. Sepertinya dia sangat menyayangi tanaman itu.
“Kau sudah ada di bandara Málaga-Costa. Jadi, apa lagi yang butuh dipertanyakan?” jawabku kaku.
Jujur saja. Butuh mental sekeras baja untuk bisa membawa Quorra datang ke sini. Sebab atmosfer kota amat familier bagiku ini masih saja terasa mencekikku. Semoga usahaku tidak sia-sia untuk mendapatkan wanita itu lagi.
“Oh! Ayolah, Alex. Aku tahu .... Maksudku, kenapa kau mengajakku ke sini?” tuntut Quorra.
“Sebentar lagi, kau akan mengetahuinya.”
Quorra mengembus napas dan memutar bola mata malas. Tampaknya, dia sudah menyerah sebab dari tadi menanyakan hal yang sama sebanyak kurang-lebih 30 kali dalam satu jam terakhir. Yang sayangnya tidak mendapatkan hasil apa pun.
Jantungku mulai berpacu ketika laju mobil ini memasuki jalan agak sempit dengan bangunan-bangunan bergaya Mor yang memiliki tebing-tebing menghadap Laut Alboran.
Aku membelokkan Volkswagen ini ke tempat terakhir yang bisa dimasuki mobil. Tepatnya di depan sebuah gang sempit. Lalu aku mematikan mesinnya dan menatap Quorra yang kelihatan mengagumi bangunan-bangunannya.
“Selamat datang di Casares-Costa,” ucapku pahit.
“Wah .... Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke Casares-Costa.” Quorra menatapku yang mengajaknya lekas turun.
“Ayo turun. Kau bisa meletakkan buket bungamu di jok belakang agar tidak terkena matahari,” usulku dan wanita itu melakukannya. Kemudian mengambil kacamata hitam untuk dikenakan. Sama sepertiku.
“Aku tidak tahu kalau tempat ini lebih indah dari yang aku pernah lihat di TV,” komentar Quorra yang mendongak, menatap bangunan di depannya. “Apa kau mengajakku ke sini karena ingin aku mendapat inspirasi untuk interior-interiormu?”
Aku memejam sejenak. “Kemarilah, Mi Querido,” pintaku lembut yang selanjutnya menggenggam tangan Quorra. “Ikutlah, kau akan segera tahu jawabannya.”
Quorra tidak bertanya lebih lanjut. Dia membalas genggaman tanganku dan mengikutiku masuk gang. Beberapa pria berpapasan dengan kami dan menatap Quorra seolah mereka baru saja melihat malaikat jatuh. Jikalau tidak sedang menenangkan kondisi hatiku yang mulai diserang jarum-jarum tajam, aku pasti akan membanting tubuh pria-pria itu.
Ketika kami berhenti di sebuah bangunan yang cukup luas yang memiliki tiga lantai dengan halaman lapang, Quorra bergumam, “Dinas sosial? Kenapa kau mengajakku ke sini?” tanyanya yang kelihatan benar-benar bingung.
“Bukankah semalam kau ingin aku menceritakan tentang diriku? Sekarang, aku sedang melakukannya.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Alejandro Rexford
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 8 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro