Chapter 13
Selamat datang di chapter 13
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy sat night everyone
Happy reading
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Kenapa aku tidak bisa berada di jalur yang tepat dengan membiarkan pikiranku bebas dari Quorra
—Alejandro Rexford
____________________________________________________
Musim semi
Santander, Madrid, 28 Mei
01.30 a.m.
Apa yang sebenarnya dipikirkan Quorra sampai mabuk-mabukan seperti itu? Merayakan keberhasilannya yang telah sukses mempermainkanku? Sudah merasa hebat karena memutuskan hubungan kami untuk bersiap-siap pindah ke hati pria lain yang mendekatinya? Begitu? Hah? Dasar wanita penggoda!
Aku tahu dan sadar sepenuhnya kalau hubungan kami memang sudah selesai. Quorra yang dekat dengan pria lain seharusnya juga bukan menjadi urusanku dan dia bebas melakukannya sesuka hati. Namun, tetap saja. Aku tidak bisa mengendalikan situasi di mana kepalaku bagai disiram air mendidih sehingga membuat sekujur tubuhku terasa panas.
Sudah pernah kukatakan sebelumnya bahwa membayangkan Quorra tertawa bersama pria lain membuat sel-sel yang menyusun tubuhku meraung tidak rela. Lebih-lebih—kalau memang kata Beatrisa terbukti benar—alasan Quorra putus denganku karena sudah dekat dengan pria lain sebelumnya.
Kendati khawatir dengan keselamatan Quorra, untungnya dia pulang sendirian dini hari ini; di saat yang sama aku mengharap Zurina dan teman-teman Quorra lainnya pulang bersamanya. Jadi, jelas tidak ada pria mana pun yang mengantarnya. Awas saja kalau ada. Aku bersumpah akan menggantung mereka berdua karena telah berani-beraninya mencoreng harga diriku yang sudah terluka hebat. Tidak akan kubiarkan mereka bahagia sementara aku menanggung ini sendirian.
Ketika Quorra bertanya apa yang kulakukan di sini, hampir saja aku mengjawab ingin menginap di apartemennya, lalu memeluknya, kemudian menciumnya, menyentuhnya di tempat-tempat tepat, setelahnya .... Sialan! Entahlah! Aku tidak tahu.
Kegilaan ini jelas mulai merasuki akal pikiranku kian giat sehingga tidak bisa menyingkronkan rekasi tubuhku yang hampir bertindak kebalikan dari pikiran logis manusia waras. Jadi, sebaiknya aku segera pergi dari apartemen wanita itu.
Di saat tubuhku sudah susah payah kuputar agar tidak bergerak sendiri untuk membungkus tubuh Quorra dengan lengan-lenganku yang haus akan dia, pintu apartemen di belakangku terbuka dan wanita itu memanggilku. “Alex ....”
Suaranya yang lembut membuatku tak kuasa berbalik lantaran benar-benar takut tidak bisa menahan diri. Sehingga, aku hanya menoleh, menunggunya berkata lagi.
“Hati-hati di jalan,” ucapnya kemudian.
“Katakan itu pada sopirku. Dia yang menyetir,” balasku dengan nada rendah sebelum benar-benar pergi dari apartemen Quorra.
Apakah Quorra tidak memikirkan efek yang akan timbul dalam diriku ketika mendengarnya mengucapkan kalimat tersebut? Apakah dia tidak sadar bahwa perhatian semacam itu membuat dadaku menghangat dan mengharapkan sesuatu yang seharusnya tidak kuharapkan?
Karena perkara ini, tidurku yang semula sudah sulit semenjak menemukan kejanggalan sikap Quorra sebulan belakangan, kini menjadi lebih sulit daripada sebelumnya. Kalau boleh jujur, aku membutuhkan Quorra. Tubuh kami yang saling mendekap selama terlelap membuat tidurku nyenyak. Beban-beban yang semula bergelantungan di pundakku seakan terangkat sepenuhnya.
Sembari menatap kalung bertabur berlian turkuois, pikiranku berkelana pada kenangan cara tangan lentik bercat kuku cantik Quorra menyugar rambutku yang berantakan secara lembut—seirama dengan bisikan merdunya yang membelai daun telingaku—untuk membangunkanku di pagi hari. Pun, detak jantungnya yang kencang bagai musik ceria penghangat suasana. Sehingga, aku tak kuasa menahan diri untuk memeluknya lebih erat, sebelum terpaksa bangun.
Aku juga mengingat senyum puas wanita itu ketika menyajikan dua tumpuk bocadillode huevos[4] untuk sarapan kami. Dan tak lupa membandingkannya dengan sikapnya sekarang.
Pun, malam ini, aku mengingat raut wajah semringah wanita itu saat menatapku dulu. Lalu membandingkannya dengan wajah mabuknya tadi. Hingga akhirnya kala fajar menyingsing, aku baru bisa terlelap.
Getar dan dering ponsel yang memekakkan telinga tak henti-hentinya mencoba mengguncang kesadaranku yang minim. Sambil meraba nakas, aku berusaha mendapatkan benda kotak tersebut kemudian mengangkat panggilan itu.
“Anda ingat hari ini Paraíso del Mundo sedang sibuk-sibuknya kan, Señor?” sindir Beatrisa yang akhir-akhir ini suka menggunakan nada jengkel semenjak aku mengerahkan sebagian besar perhatianku ke Quorra—alih-alih ke pekerjaan seperti harapan Beatrisa dan semua orang yang tergabung dalam Paraíso del Mundo.
Setelah berhasil membuka mata, aku mengecek jam beker di nakas dan mendapati kurang lima menit lagi jam operasional kantor dimulai. Tanpa pikir panjang, aku menjawab, “Aku akan terlambat. Kalau ada rapat, tolong beritahu wakil menejer operasional untuk menggantikanku. Terima kasih, Beatrisa. Aku tahu kau bisa kuandalkan.”
“Apa? Kau tidak bisa seenaknya seperti ini, Alex. Aku—”
Kuputus sambungan itu sebelum Beatrisa menjerit-jerit lagi dan lebih membuatku jengkel.
Aku menatap langit-langit kamar sambil berpikir; kenapa diriku jadi seperti ini? Kenapa aku tidak bisa berada di jalur yang tepat dengan membiarkan pikiranku bebas dari Quorra sehingga bisa mengelola hotelku dengan baik? Tidak serta merta membiarkan sistem yang sudah terbentuk dengan sendirinya mengatasi bagianku? Kenapa dia begitu memberikan dampak besar bagi perubahan sikap terarahku seperti ini?
Apakah ini yang dirasakan ayah semenjak ibu meninggal? Apakah ayah akan bangga padaku karena aku mengulang sejarahnya, meski dalam kondisi tak sama?
Aku mengembuskan napas berat lalu berpikir praktis. Sebaiknya, aku menjadi Alejandro Rexford yang dulu, sebelum Quorra Wyatt menginvasi seluruh akal sehat dan kendali diri yang kumiliki. Maka, sebelum pikiranku berubah, dengan cekatan aku mengetik pesan untuk Quorra.
Alejandro Rexford:
Beritahu jam berapa kau siap. Aku akan mengirim sopir bersama kendaraan untuk langsung menjemputmu.
“Ini, notula rapat yang Anda minta, Señor,” ucap Beatrisa sambil melenggang masuk ke ruanganku. Lantas meletakkan map itu di meja. “Merokok lagi?”
Sambil mengembuskan asap rokok lalu menjepit lintingan tembakau itu di antara bibir, aku mengecek notula yang disusun Beatrisa. Dan, tentu saja tidak menggubris sindiran di akhir kalimatnya itu.
“Bagaimana persiapan pembukaan ballroom-nya?” tanyaku tanpa memindah atensi dari notula.
“Semua lancar. Persis seperti yang Anda inginkan. Oh ya, saya akan menjemput Anda bersama sopir jam enam seperti biasa. Mobil yang digunakan untuk menjemput Señora Wyatt juga sudah siap,” papar Beatrisa dengan wajah dipenuhi senyum puas. Lalu berbicara non formal saat menambahkan, “Apa kau sudah putus dengannya? Kupikir, kau sendiri yang akan menjemputnya.”
“Walau kita berteman, urusan itu sama sekali bukan urusanmu. Dan kau boleh keluar dari ruanganku, terima kasih.”
Wajah wanita itu terheran-heran dan sebal. Mana aku peduli? Dentingan ponsel pertanda sebuah pesan masuk dari Quorra lebih merenggut perhatianku sepenuhnya. Jadi, dengan segera kuletakkan notula di meja. Sambil mengembuskan asap nikotin lalu menyelipkan batangnya di antara bibir, aku meraih ponsel dan membaca pesan mantan kekasihku ketika Beatrisa menutup pintu ruanganku.
Quorra Wyatt:
Mungkin pukul enam?
Dengkusan beriringan dengan seringai tipis terakit begitu saja di bibirku. Sambil mengusap dagu yang cambangnya sedikit lebih panjang, aku mereka-reka. Rupanya, Quorra tidak peduli siapa yang menjemputnya kendati itu bukan aku. Jadi segera kuketik balasan untuknya lalu kembali memanggil Beatrisa.
Alejandro Rexford:
Sepakat.
Menurutku, jelas sangat membuang-buang waktu kalau harus pulang lebih dulu lalu kembali ke ballroom sementara aku berada dalam satu gedung yang sama sejak pagi hingga sore. Maka dari itu, aku meminta Beatrisa menyiapkan tuksedo yang kubutuhkan dan membatalkan penjemputan ku di rumah, tanpa memedulikan bagaimana wajah murka sekretarisku itu kepadaku. Dengan perubahan jadwal dadakan yang lebih efisien tersebut, pukul enam kurang lima belas menit aku sudah berada di ballroom.
Musik klasik mengalun lembut dan memenuhi seluruh penjuru ruang megah hotelku. Dekorasi pesta memang sederhana, tetapi sangat elegan. Aku sengaja tidak meminta orang-orang mendekorasinya secara meriah karena ingin ballroom ini menjadi fokus utama para undangan, bukan dekorasi pestanya yang sering kali dielu-elukan orang.
Beberapa tamu mulai berdatangan dan aku menyambut mereka secara formal. Deretan kolega baruku pun datang, termasuk Allesandro Baltasan. Dia merupakan arsitek yang merancang seluruh gedung hotel Paraíso del Mundo di Castellón de la Plana, minus dekorasi interiornya.
Setelah basa-basi yang cukup memuakkan—membahas cuaca dan kemacetan lalu lintas di jam pulang kantor yang bisa menaikkan tekanan darah, Allesandro mengamati seluruh penjuru ballroom. Sebelum menyesap sampanye dalam genggamannya, dia memberi komentar, “Rasa-rasanya, aku tidak asing dengan rancangan ballroom ini.”
“Oh ya?” tanyaku heran sekaligus penasaran. Pasalnya aku memastikan ballroom ini merupakan satu-satunya rancangan Auorra sesuai keinginanku. Sesuatu yang berbeda dari gedung-gedung mana pun di Santander. Apakah indra pengelihatan arsitek sangat sensitif dengan rancangan-rancangan interior semacam ini?
“Ya, mirip garapan—”
Omongan Allesandro terpotong oleh Beatrisa yang menginterupsi. Aku pasti akan marah seandainya sekretarisku itu tidak berbisik, “Señora Wyatt hampir tiba di lobi—”
“Aku akan menjemputnya,” potongku cepat. Tanpa peduli bagaimana Beatrisa ataupun semua orang yang membentuk kelompok kecil di sekelilingku, aku pun pamit kepada mereka. “Permisi, aku harus mengurus hal lain. Silakan lanjutan obrolan.”
Langkah kaki cepat dan lebar menjadi pilihanku menuju lift khusus. Setibanya di lobi, mobil yang kuminta menjemput Quorra datang. Langkah kakiku pun terhenti dengan sendirinya ketika pintu tengah mobil itu dibukakan petugas yang berjaga di pintu masuk, lalu keluarlah wanita itu.
Quorra Wyatt mengenakan gaun warna pastel yang hampir senada dengan kulit pucatnya dan berkerlap-kerlip bila ditimpa cahaya. Gaun itu memang menjuntai sampai ujung kaki, tetapi ada belahan yang mencapai paha. Kala Quorra melangkah, paha mulus wanita itu menjadi perhatian semua orang. Pun, tali pundaknya setipis kertas kualitas jelek. Dan belahan dadanya terlalu rendah.
Riasan Quorra tidak tebal, tetapi sangat natural. Dia menata rambutnya dengan mengepangnya di samping kiri-kanan yang kemudian dikucir satu.
Ketika Quorra menyamping untuk mengatakan sesuatu pada petugas hotel yang ingin kucolok matanya, punggung Quorra terekspos, nyaris memamerkan pantatnya.
Apa-apaan? Kenapa dia mengenakan gaun yang sangat banyak memamerkan kulit sehalus sutranya? Mau menggoda setiap pria dengan gaun itu? Iya? Dasar wanita penggoda! Dia harus kuberi pelajaran supaya paham bagaimana buruknya dampak yang ditimbulkan oleh gaun itu!
_______________
4 roti lapis Spanyol
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
It’s mean a lot to me
Bonus foto Alejandro Rexford
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Sabtu, 2 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro